Lima hari kemudian, Andini memakai riasan tipis. Setelah menutupi wajahnya yang pucat, dia bersiap untuk keluar.Andini sudah belasan hari tidak mengunjungi Ainun. Meskipun dijaga Farida, Ainun tetap akan sangat mengkhawatirkan Andini. Andini harus pergi untuk menenangkan Ainun.Setelah bertemu dengan Ainun, Andini akan pergi menemui Byakta. Menurutnya, Byakta pasti juga sangat mengkhawatirkannya.Tidak disangka, begitu keluar, Andini bertemu dengan Kirana yang berdiri di luar paviliun.Kirana tersenyum kaku saat melihat Andini. Dia membuka mulut, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Dia hendak maju, tetapi khawatir Andini akan menjauhkannya. Jadi, dia hanya berdiri di tempat dengan canggung.Andini menghela napas sebelum berjalan menghampiri Kirana. Dia memberi hormat, lalu bertanya, "Ada urusan apa Ibu mencariku?"Ketika mendengar nada bicara Andini yang lembut, senyuman di wajah Kirana akhirnya tidak begitu kaku lagi. Matanya tanpa sadar berkaca-kaca. Dia menatap Andini seraya menya
"Ibu sudah memberikan undangan ini padaku. Bukannya Ibu memang mau aku pergi?" tanya Andini sambil menyimpan undangannya. Dia menengadah menatap Kirana sembari tersenyum tipis, lalu menambahkan, "Lagi pula, apa Panji bisa lebih buruk dari Pangeran Baskoro?"Begitu mendengar ini, dada Kirana tiba-tiba bergetar hebat seakan-akan dihantam sesuatu. Dia juga tiba-tiba mundur dua langkah.Andini memberi hormat sebelum meninggalkan Kirana.Hanya cucu dari Penasihat Agung. Lagi pula, undangannya bukan diberikan sendiri oleh Penasihat Agung. Keluarga Adipati memang sudah merosot, tetapi belum lemah sampai harus takut pada seorang cucu Penasihat Agung yang tidak disukai orang-orang.Jika benar-benar mengkhawatirkan Andini, Kirana tidak akan memberikan undangan ini padanya. Lantaran Kirana ingin Andini pergi, untuk apa pura-pura peduli?Ketika masih kecil, Andini merasa bahwa Kirana adalah ibu yang paling lembut di dunia. Namun sekarang, Andini hanya merasa Kirana sangat munafik. Saking munafikny
Ketika melihat ekspresi licik Panji, Andini sangat ingin menyiram wajahnya dengan air panas! Namun, di belakang Panji ada Penasihat Agung. Andini tahu bahwa dirinya tidak bisa menyerang Panji. Dia juga tahu Panji bisa membunuh beberapa rakyat biasa dengan sangat mudah.Saat ini, Andini hanya bisa mengepalkan tangan dengan erat dan menggertakkan gigi.Senyuman di wajah Panji makin lebar. Dia bertanya, "Apa kamu tahu gimana orang-orang luar mendeskripsikanku?"Panji berbicara sambil menuangkan teh untuk Andini dengan perlahan. Dia tampak tenang dan santai."Mereka bilang aku serigala berbulu domba, lebih rendah dari binatang, lintah, ular berbisa .... Ck, ck. Biar aku menasihatimu. Nggak ada gunanya marah pada orang sepertiku," sambung Panji.Panji mengangkat cangkir teh dan menyesapnya. Senyuman di wajahnya terlihat angkuh. Kedua matanya terus menatap Andini dengan tajam.Andini baru pertama kali bertemu dengan orang yang mendeskripsikan diri sendiri seperti itu. Orang bilang, lebih bai
Panji menatap Andini dengan tajam dan beringas. Dia bertanya, "Orang sepertimu bisa melakukan itu?""Benar. Aku bisa melakukan itu," balas Andini dengan pelan. Suaranya tidak lantang, tetapi bisa membuat orang merasa cemas."Baik menyewa pembunuh atau memberi racun, aku punya caraku sendiri. Kalau nggak berhasil, aku akan membakar seluruh kediaman Penasihat Agung. Setidaknya ada beberapa keluargamu yang akan mati," tambah Andini.Saat ini, Andini memang tidak bisa berbuat apa-apa pada Panji. Namun, dia harus memberi tahu Panji bahwa dia bukan orang yang mudah ditindas. Dia juga bukan orang yang mudah ditaklukkan untuk dinikahi.Hanya saja, Panji sudah dikenal sebagai seorang berandal. Dia tentu tidak akan terpengaruh oleh kata-kata Andini.Setelah terkejut sejenak, Panji tiba-tiba berdiri dengan sikap tidak takut pada ancaman. Dia tertawa dingin sebelum menimpali, "Baiklah! Bunuh saja kalau kamu mau. Tapi, aku tetap akan menikahimu!"Begitu ucapan ini dilontarkan, pintu ruang privat ti
Di sisi lain, Byakta menarik Andini meninggalkan Kedai Arum. Di belakangnya, Laras berlari pelan sambil mengingatkan, "Wakil Jenderal Byakta, jangan berjalan terlalu cepat! Pergelangan kaki Nona Andini pernah cedera. Gimana kalau nanti terkilir?"Byakta segera menghentikan langkahnya. Dia buru-buru melihat pergelangan kaki Andini. Tatapannya menunjukkan kepanikan. Katanya, "Maaf, aku nggak tahu ...."Kata-kata Byakta tersirat kegelisahan dan rasa bersalah. Bahkan amarahnya yang barusan sudah sirna.Andini tersenyum seraya menggeleng dan menyahut, "Aku nggak apa-apa." Tidak disangka, telapak tangannya tiba-tiba terasa hangat dan lengket.Begitu menunduk, Andini baru menyadari bahwa lengan bawah Byakta terluka. Saat ini, darahnya sedang mengalir dari pergelangan tangan Byakta ke telapak tangan mereka yang bergandengan.Andini bertanya dengan terkejut, "Kamu terluka?"Sepertinya Byakta juga baru menyadarinya. Dia melirik lengan bawahnya sekilas, lalu mengernyit sembari menyahut, "Mungkin
Gayatri adalah adiknya Byakta. Sudah seharusnya Byakta yang mendidiknya.Byakta mengernyit sambil memelototi Gayatri, lalu menegur, "Gayatri, jangan bersikap nggak sopan!"Namun, Gayatri seolah-olah tidak mendengar. Sebaliknya, dia malah bertanya, "Kak, orang-orang jahat tadi sudah ditangkap? Sudah tahu siapa yang mengutus mereka? Apa ulah Keluarga Adipati lagi?" Dia sengaja bertanya seperti itu.Andini pura-pura tidak mendengar.Byakta menjawab, "Bukan Keluarga Adipati, tapi seorang berandal ibu kota yang aku singgung beberapa waktu lalu. Nggak ada hubungannya dengan Andin."Mendengar ini, Gayatri justru mendengus dingin sebelum bertanya lagi, "Benarkah? Tapi, kenapa aku merasa berandal itu juga menargetkan Andini?"Andini akhirnya sedikit mengangkat alisnya dan melirik Gayatri sekilas.Gayatri sedang menatap Andini dengan tajam. Matanya berkaca-kaca. Dia mengeluh, "Pertama, ayahku tiba-tiba dituduh membunuh dan disiksa lima hari sebelum dibebaskan! Hari ini, tiba-tiba ada beberapa ba
Saat ini, kereta kuda sudah berada di Jalan Gusria. Orang yang berlalu-lalang memang tidak banyak, ada sekitar belasan orang.Tindakan Byakta seketika menarik perhatian semua orang. Byakta bukan orang yang pandai mengungkapkan perasaan. Dia juga tidak suka menjadi pusat perhatian.Namun sekarang, Byakta sama sekali tidak peduli dengan tatapan dan bisikan orang-orang di sekitarnya. Dia menatap Andini lekat-lekat sambil berkata dengan tegas, "Aku pernah bersumpah nggak akan mengkhianati Nona Andini!"Andini masih tertegun. Dia mengira Byakta memerlukan waktu yang lama untuk berpikir. Tidak disangka, Byakta justru mengejarnya secepat ini. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi seketika tidak tahu harus berkata apa.Apakah Byakta berpikir Andini akan meninggalkannya? Itu sebabnya Byakta memanggilnya Nona Andini?Byakta meyakinkan, "Aku tahu, kamu khawatir keluargaku akan terseret ke dalam masalah. Tapi, sejak awal aku sudah memikirkan solusi. Baik itu Keluarga Adipati atau Panji, aku punya
Selesai berbicara, Byakta bersujud pada Yudha dan Ajeng.Gayatri merasa kakaknya sudah gila.Kala ini, Ajeng tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah Andini.Andini mengernyit. Dia merasa Ajeng pasti mau memohon padanya untuk meninggalkan Byakta. Menurutnya, dia juga harus membuat Ajeng mengerti bahwa dirinya tidak akan menyerah.Tidak disangka, Ajeng meraih tangan Andini sambil berkata, "Tadi setelah kamu pergi, Byakta sangat marah. Dia sangat patuh sejak kecil. Ini pertama kalinya dia marah pada kami. Jadi, aku pikir kamu pasti akan kembali bersamanya."Setelah mendengar ucapan Ajeng, Andini merasa pergelangan tangannya terasa berat. Dia menunduk untuk melihat tangannya. Ternyata ada sebuah gelang giok di pergelangan tangannya.Andini tercengang. Dia hendak berbicara, tetapi Ajeng lebih dulu bertutur, "Kualitas gelang ini memang kurang bagus, tapi neneknya Byakta yang memberikannya padaku. Sekarang, aku memberikannya padamu. Semoga kamu nggak merendahkannya."Andini tidak menyangka bah
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg