Andini menyerahkan urusan membeli rumah kepada Laras.Laras sangat cekatan. Pada sore hari, keluarganya Byakta sudah tinggal di rumah itu. Rumahnya tidak besar, tetapi keluarganya Byakta tidak pernah tinggal di tempat sebagus ini. Begitu masuk, mereka tidak berhenti memuji.Laras dengan semangat memperkenalkan rumah ini pada keluarganya Byakta. Mulai dari halaman depan sampai halaman belakang. Bahkan, bunga-bunga yang ditanam di halaman belakang juga dia jelaskan secara rinci.Andini mengikuti di belakang. Melihat pemandangan yang sangat harmonis, senyuman di wajahnya tak kunjung memudar.Tiba-tiba, Byakta muncul di belakang Andini. Tangan kanannya melewati kepala Andini. Dia menunjukkan sebuah liontin bulat yang terbuat dari kayu.Andini terkejut. Dia secara spontan mengambil liontin itu dan memperhatikan dengan teliti. Terlihat sebuah kata "Keselamatan" yang terukir di liontin itu."Apa ini?" tanya Andini.Byakta memakaikan liontin itu di leher Andini, lalu menjelaskan, "Aku sudah te
Setelah berbicara, Kresna masuk ke kediaman terlebih dulu.Andini mengernyit dengan muram. Dia merasa Kresna benar-benar tidak sopan.Untungnya, Byakta sama sekali tidak keberatan. Dia berkata, "Kalau begitu, besok aku akan datang menemuimu lagi."Andini tersenyum tipis sambil menangguk, lalu menyusul Kresna masuk ke kediaman.Kresna duduk di ruang tamu. Ketika menengadah, dia melihat Andini. Andini berdiri di sana dengan ekspresi datar, tidak sebahagia saat berdiri di sisi Byakta barusan.Kresna merasa sedikit tidak senang. Dia bertanya, "Kenapa kamu bahkan nggak senyum saat bertemu Ayah?"Andini memandang Kresna dengan dingin. Dia sama sekali tidak berniat untuk menanggapi pertanyaan Kresna yang tidak masuk akal. Dia hanya bertanya, "Ada urusan apa Ayah mencariku?"Sepertinya Kresna sudah terbiasa menghadapi sikap Andini yang seperti ini. Meskipun hatinya penuh dengan amarah, dia tidak mempermasalahkannya dan hanya mengeluarkan sebuah undangan."Ini dari Keluarga Penasihat Agung," uc
Keesokan harinya, Andini memberikan undangan dari Penasihat Agung kepada Byakta. Mereka berdua duduk di atas atap. Sinar matahari di sini sangat bagus. Byakta membolak-balik undangan itu beberapa kali di bawah sinar matahari, tetapi dia tetap tidak mengerti."Kenapa Penasihat Agung bisa mengeluarkan undangan demi Panji?" tanya Byakta.Jika dipikir-pikir, Panji adalah pecundang yang tidak bisa diandalkan. Penasihat Agung masih menghidupinya karena hubungan keluarga, bahkan sesekali membereskan masalahnya. Namun, Penasihat Agung tidak ada alasan untuk mencampuri urusan pernikahan Panji.Siapa pun tahu bahwa Panji adalah seorang bajingan. Keluarga baik-baik mana yang rela menikahkan putrinya dengan Panji?Kalaupun benar-benar ikut campur, Penasihat Agung mungkin akan mencari keluarga yang tidak begitu terpandang yang ingin menjalin hubungan dengan keluarganya. Bagaimana mungkin mencari Andini yang berasal dari Keluarga Adipati?Memikirkan hal ini, Byakta masih tidak menyerah dan menggosok
Namun, Andini menoleh untuk menatap Rama sekilas. Rama mengernyit. Dia juga merasakan kegelisahan yang sama.Tidak lama kemudian, Andini tiba di kediaman kedua Penasihat Agung. Orang pertama yang menyambutnya adalah seorang wanita berpakaian anggun. Wajahnya dipenuhi senyuman.Sebelum Andini sempat memberi hormat, wanita itu menggenggam tangan Andini dan berujar, "Kamu pasti Andini. Wah, pantas saja Panji selalu memikirkanmu. Setelah bertemu denganmu, ternyata kamu memang secantik bidadari."Jika gadis polos yang mendengar pujian ini, dia mungkin akan tersipu malu dan percaya. Namun, Andini justru menarik tangannya dari genggaman wanita itu. Dia memberi hormat dan menyapa, "Salam, Nyonya Mayang."Lantaran tidak berhasil menyenangkan Andini, ekspresi Mayang sedikit kaku. Namun, dia tetap mempersilakan Andini ke dalam dengan ramah.Begitu memasuki ruang utama, Andini bertemu dengan Panji. Panji mengangkat dagunya, lalu memberi hormat pada Andini. Sikapnya seperti bajingan yang pura-pura
Kala ini, Andini sudah meninggalkan pelayan yang menuntunnya dan berlari keluar kediaman dengan cepat. Dia memang tidak mengenal jalan keluar dari kediaman ini. Namun, dia kurang lebih tahu arahnya.Andini juga tidak menyangka bahwa Byakta benar-benar berani macam-macam di kediaman Penasihat Agung.Undangannya memang dikeluarkan oleh Penasihat Agung, tetapi Penasihat Agung tidak hadir di jamuan. Bukankah ini sama saja mempermainkan Andini?Mayang juga tidak terlihat seperti orang baik. Dia bisa membesarkan seorang pecundang seperti Panji. Mungkin hatinya lebih busuk dibandingkan Panji!Andini makin gelisah saat memikirkannya. Dia juga tidak mengerti kenapa Penasihat Agung justru membantu perbuatan jahat ini? Cap itu jelas-jelas milik Penasihat Agung!Pada saat ini, tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang. "Berhenti!"Andini seketika terkejut. Ketika menoleh, terlihat pelayan yang menuntunnya tadi. Pelayan itu membawa sekelompok orang untuk mengejarnya!Andini langsung berlari secepa
Mengapa dia malah percaya begitu saja?Andini tidak bisa menahan tubuhnya yang mulai gemetar hebat. Tiba-tiba, kepalanya terasa pusing dan berat.Dengan buru-buru, dia mengangkat pandangannya ke arah tungku dupa di kejauhan. Saat itu, dia melihat asap tipis perlahan-lahan menyebar dari tungku itu ....Ketika Panji mendorong pintu dan masuk, Andini sudah pingsan di lantai. Mayang mengikuti di belakang Panji. Saat melihat Andini yang tergeletak di tanah, dia mendengus dingin."Anak ini memang cukup cerdik, tapi sayang sekali, dia bertemu denganku!" Mayang menginstruksi pelayan di belakangnya, "Kenapa diam saja? Cepat angkat Nyonya Muda ke atas ranjang!"Sebutan Nyonya Muda membuat Panji merasa muak. "Kalau bukan karena statusnya sebagai bagian dari Keluarga Adipati, aku nggak akan pernah menikahinya!""Sudahlah, yang terpenting sekarang adalah menyelesaikan urusan utama!" Mayang menepuk punggung Panji seolah-olah menyuruhnya bergegas.Melihat para pelayan telah menaikkan Andini ke ranjan
Mendengar jeritan memilukan itu, Mayang yang sedang menunggu di halaman bergegas masuk.Saat dia mendorong pintu, yang pertama terlihat adalah Panji yang menutupi matanya sambil menjerit kesakitan. Penjepit rambut itu masih tertancap di matanya!Mayang langsung terkesiap, lalu segera menoleh ke arah Andini dan berteriak marah, "Beraninya kamu melukai putraku! Pengawal, tangkap dia!"Begitu perintah itu dilontarkan, dua orang pengawal segera maju. Andini mundur berulang kali karena tidak mungkin bisa menang. Tidak peduli bagaimana dia mencoba, dia tidak mungkin bisa melarikan diri!Tepat pada saat itu, seorang pelayan berlari tergesa-gesa dari luar. Wajahnya panik saat melapor,"Nyonya! Ada masalah besar! Kediaman ini telah dikepung oleh pasukan bersenjata!""Apa?" Mayang terkejut. "Siapa yang berani melakukannya?""Orang yang memimpin pasukan itu menyebut dirinya adalah Byakta!"Byakta! Saat mendengar nama itu, Andini pun merasa lega. Byakta datang untuk menyelamatkannya!Panji masih m
Tanpa perlu berpikir panjang, jelas sekali bahwa Mayang yang diam-diam mengambil cap resmi Penasihat Agung untuk membubuhkan segel pada kartu undangan itu! Apakah wanita itu mengira dirinya sudah tua dan mudah diperdaya?Amarah meluap dalam diri Rendra. Dengan kasar, dia melemparkan kartu undangan itu ke kaki Mayang dan membentak dengan dingin, "Masih berani bohong? Katakan yang sebenarnya!"Mayang langsung berlutut. Suaranya gemetar. "Benar! Hari ini Panji memang mengundang Nona Besar Biantara ke jamuan makan! Tapi, Panji benar-benar tulus ingin menyenangkan Nona Andini!""Siapa sangka, bukan hanya nggak dihargai, wanita itu malah menusuk mata Panji dengan penjepit rambutnya! Ayah! Sekalipun Panji nakal, dia tetap cucumu! Kamu harus membelanya!"Kata-kata itu membuat semua orang terkejut. Byakta adalah yang pertama yang bereaksi. Suaranya berat saat bertanya, "Apa yang telah kalian lakukan padanya?"Tidak mungkin Andini melukai Panji tanpa alasan!Namun, Mayang terus menangis di depan
Andini tahu Kirana datang untuk menghiburnya. Hanya saja, Andini malah menganggap ucapan Kirana tidak enak didengar. Semua ini takdir? Apa Kirana merasa Byakta pantas mati?Andini mengernyit, tetapi dia tidak mampu berdebat dengan mereka lagi. Andini menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati. Apa pun yang terjadi padaku nggak ada hubungannya dengan kalian. Aku harap ke depannya kalian jangan datang lagi."Selesai bicara, Andini langsung berjalan masuk ke kediaman. Abimana marah-marah, "Andini! Jangan nggak tahu diri! Biasanya Ibu jarang keluar, dia datang karena mengkhawatirkanmu!"Langkah Andini terhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan kamu?"Mendengar ucapan Andini, Abimana terdiam. Dia tidak memahami maksud Andini.Andini tiba-tiba berbalik dan lanjut bertanya seraya menatap Abimana, "Kenapa kamu datang kemari? Kamu memperhatikanku atau merasa bersalah?"Sebenarnya Andini tidak memahami satu ha
Yudha hanya ingin membawa Byakta pulang bersama keluarganya tanpa Rangga dan Andini. Mulai saat ini, para bangsawan dari ibu kota tidak berhubungan dengan Keluarga Muhadir lagi.Rangga mengangguk. Dia bisa memahami pemikiran Yudha. Tentu saja, Rangga tidak memaksakan kehendaknya.Andini juga mengerti. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ajeng dan melepaskan gelang gioknya. Andini berucap, "Aku nggak pantas terima gelang ini ...."Sebelum Andini menyelesaikan ucapannya, Ajeng menahan tangan Andini. Ajeng tampak kelelahan, tetapi dia tetap tersenyum kepada Andini dan menimpali, "Gelang ini sudah menjadi milikmu. Kalau kamu kembalikan padaku, Byakta pasti sedih."Andini memandang Ajeng dengan ekspresi kaget. Jika Ajeng masih meminta Andini menyimpan gelang ini, berarti Keluarga Muhadir masih mengakui Andini.Andini tidak menyangka sekarang Keluarga Muhadir masih menerimanya. Dia merasa sangat sedih. Andini memeluk Ajeng dengan erat. Dia merasa bersyukur dan juga bersalah.Ajen
Andini yang menyebabkan Yudha dan Ajeng kehilangan putranya. Dia juga menyebabkan Gayatri kehilangan kakaknya. Semua ini salah Andini.Tangisan Gayatri makin menjadi-jadi. Dia berujar, "Tapi, Kak Byakta pasti marah kalau lihat aku salahkan kamu ...."Ucapan Gayatri membuat hati Andini terasa sakit. Andini kewalahan melihat Gayatri yang menangis histeris.Gayatri tetap berusaha berbicara, "Sebelum pergi, kakakku bilang padaku dia nggak pernah begitu menyayangi seorang wanita selama hidupnya. Dia cuma ingin kamu aman dan bahagia. Biarpun harus mengorbankan nyawanya, dia juga rela."Gayatri menambahkan, "Andini, kakakku benar-benar mengorbankan nyawanya. Jadi, kamu harus aman dan bahagia! Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu!"Ini adalah keinginan terakhir Byakta. Gayatri tidak bisa bicara lagi. Dia terus menangis. Gayatri tidak mengerti kenapa di dunia ini ada orang yang begitu bodoh hingga rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain.Namun, Gayatri tidak be
Andini tertegun. Semalam dia mendengar bandit mengatakan jika bukan karena Rangga mengutus orang untuk mengikuti Andini, mereka juga tidak akan menyangka orang yang berada di dalam peti mati adalah Byakta. Pembunuhan semalam juga tidak akan terjadi.Mungkin sekarang Andini sudah keluar dari Yolasa. Seharusnya Andini tidak menyalahkan Rangga. Bagaimanapun, Rangga hanya berniat melindungi Andini. Dia tidak menyangka semalam bandit akan muncul.Lagi pula, masalah kali ini terjadi karena bandit terlalu brutal. Mereka membantai penduduk desa, bahkan mereka tidak melepaskan bayi.Jika bukan karena masalah itu, Kaisar tidak akan buru-buru mengutus prajurit. Semua ini juga tidak akan terjadi.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Byakta dan para prajurit telah mati. Andini tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyalahkan Rangga.Andini diam-diam menyalahkan semua orang yang berkaitan dengan masalah ini. Akan tetapi, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, Andini hanya terdiam dan menunduk.Andi
Suara langkah kaki makin mendekat. Andini langsung mundur, lalu berteriak, "Jangan mendekat!"Namun, Rangga tidak menghentikan langkahnya. Andini yang panik segera mengayunkan pedangnya. Rangga tidak menyangka Andini berniat menyakitinya. Dia buru-buru mundur.Pedang Andini menggores lengan baju Rangga. Andini merasakan serangannya kurang tepat, jadi dia mengayunkan pedangnya lagi.Siapa sangka, Rangga menggenggam pergelangan tangan Andini. Sebelum Andini sempat merespons, Rangga menarik Andini ke dalam pelukannya sambil menghibur, "Jangan takut, ini aku."Andini yang hendak memberontak langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar suara Rangga. Tubuh Andini menegang. Dia bertanya, "Rangga?"Rangga menyahut, "Iya, ini aku. Sekarang kamu sudah aman."Andini hanya merasa tenang sesaat. Dia segera menyeka darah di wajahnya dengan baju Rangga, lalu mendorongnya dan bergegas berjalan ke luar hutan.Andini kaget saat melihat penutup peti terbuka. Dia buru-buru naik ke kereta kuda. Andini
Rangga hanya menghabiskan waktu sehari untuk membereskan masalah di Kabupaten Horta. Bandit yang ditangkap Rangga tidak bisa bertahan lama. Bandit langsung mengakui semuanya.Rangga juga mengancam Akbar sehingga Akbar yang ketakutan setengah mati tidak berani menutupi kebenarannya lagi. Masalah ini memang sangat rumit.Rangga menyuruh Cahya untuk menyelidiki masalah ini dengan teliti. Cahya sudah kehilangan lengan kirinya. Ke depannya dia tidak bisa berperang lagi. Jika Cahya bisa menyelesaikan masalah ini, dia bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.Biarpun hanya menjadi bupati di Kabupaten Horta, itu lebih baik daripada pulang dengan tubuh cacat dan menjadi petani.Rangga buru-buru pergi dengan menunggangi kudanya tanpa minum sedikit pun. Dia sangat panik. Sosok Andini yang pergi menjauh terus terlintas di benak Rangga. Jadi, Rangga tidak bisa menunggu lagi.Rangga terus mengejar Andini tanpa beristirahat. Begitu sampai, dia baru tahu semua orang yang diutusnya untuk melindungi And
Tenaga bandit sangat kuat. Andini merasa tangannya hampir patah. Dia berusaha menahan rasa sakit dan mencoba menggerakkan tangannya.Pedang di perut bandit juga mulai bergerak. Bandit berteriak kesakitan. Genggamannya di tangan Andini makin erat.Andini yang merasa kesakitan berteriak. Namun, teriakan Andini bukan hanya karena rasa sakit. Akhirnya, Andini berhasil memutar pedang itu.Sepertinya usus bandit itu putus, dia memuntahkan darah. Bandit itu tumbang. Andini tetap menggenggam pedang dengan erat.Wajah Andini ternodai darah sehingga dia kesulitan untuk membuka matanya. Kemudian, terdengar suara langkah kaki dan suara bandit lain lagi. "Madun! Harjo!"Andini sangat panik, tetapi dia masih bisa berpikir rasional. Andini tidak boleh terus berada di sini. Hanya saja, Andini sudah kehabisan tenaga dan tangannya terasa sakit. Bahkan, dia tidak mampu menyeka darah di wajahnya.Alhasil, Andini ditendang oleh bandit hingga terjatuh ke tanah. Bandit hendak menusuk Andini setelah melihat k
Andini terkejut saat melihat bandit yang wajahnya ternodai darah prajurit. Andini langsung mundur. Siapa sangka, dia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.Bandit tertawa melihat kondisi Andini. Di dalam kegelapan malam, bau amis darah membuat Andini pusing.Andini yang tampak ketakutan bertanya sembari terisak, "Apa ... kamu nggak akan bunuh aku ... kalau aku ikut kamu?"Bandit makin bangga ketika melihat Andini sangat ketakutan. Dia menyahut, "Tentu saja. Yang penting kamu bersikap patuh."Andini mengangguk dan menimpali, "Aku sangat patuh. Tapi ... sepertinya aku terkilir."Bandit melihat pergelangan kaki Andini. Dia tidak curiga karena tadi Andini memang tersandung. Bandit mengamati Andini lagi. Melihat ekspresi Andini yang ketakutan, bandit menganggap Andini hanya wanita yang lemah. Andini sama sekali tidak membawa senjata, mana mungkin dia bisa membuat masalah?Bandit menghampiri Andini sambil mengangkat alis. Dia hendak memapah Andini. Sementara itu, Andini mengulurkan
Karena terkejut, prajurit itu mundur beberapa langkah ke belakang.Prajurit lain melangkah maju. Saat melihat apa yang terjadi, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Sekarang sudah masuk musim semi. Ular, serangga, dan binatang kecil lain mulai keluar mencari makan. Ini bukan masalah besar."Mendengar itu, yang lainnya pun mengangguk, lalu menyarungkan pedang mereka kembali.Andini juga menghela napas lega. Pandangannya tertuju pada kepala ular yang terpenggal di tepi jalan.Di bawah cahaya bulan, kepala ular yang kecil itu masih bergerak, seolah-olah berusaha bertahan. Entah kenapa, Andini merasa ini adalah pertanda buruk. Kegelisahan mulai merayap ke hatinya.Semoga saja semuanya akan berjalan lancar di perjalanan ini.Para prajurit sudah terbiasa dengan perjalanan panjang. Mereka hanya tidur 4 jam setiap malam, tetapi tetap memperhatikan Andini selama perjalanan.Namun, kegelisahan yang muncul malam itu terus membekas di hati Andini. Dia sama sekali tidak bisa tenang.Seakan-akan me