Namun, Andini menoleh untuk menatap Rama sekilas. Rama mengernyit. Dia juga merasakan kegelisahan yang sama.Tidak lama kemudian, Andini tiba di kediaman kedua Penasihat Agung. Orang pertama yang menyambutnya adalah seorang wanita berpakaian anggun. Wajahnya dipenuhi senyuman.Sebelum Andini sempat memberi hormat, wanita itu menggenggam tangan Andini dan berujar, "Kamu pasti Andini. Wah, pantas saja Panji selalu memikirkanmu. Setelah bertemu denganmu, ternyata kamu memang secantik bidadari."Jika gadis polos yang mendengar pujian ini, dia mungkin akan tersipu malu dan percaya. Namun, Andini justru menarik tangannya dari genggaman wanita itu. Dia memberi hormat dan menyapa, "Salam, Nyonya Mayang."Lantaran tidak berhasil menyenangkan Andini, ekspresi Mayang sedikit kaku. Namun, dia tetap mempersilakan Andini ke dalam dengan ramah.Begitu memasuki ruang utama, Andini bertemu dengan Panji. Panji mengangkat dagunya, lalu memberi hormat pada Andini. Sikapnya seperti bajingan yang pura-pura
Kala ini, Andini sudah meninggalkan pelayan yang menuntunnya dan berlari keluar kediaman dengan cepat. Dia memang tidak mengenal jalan keluar dari kediaman ini. Namun, dia kurang lebih tahu arahnya.Andini juga tidak menyangka bahwa Byakta benar-benar berani macam-macam di kediaman Penasihat Agung.Undangannya memang dikeluarkan oleh Penasihat Agung, tetapi Penasihat Agung tidak hadir di jamuan. Bukankah ini sama saja mempermainkan Andini?Mayang juga tidak terlihat seperti orang baik. Dia bisa membesarkan seorang pecundang seperti Panji. Mungkin hatinya lebih busuk dibandingkan Panji!Andini makin gelisah saat memikirkannya. Dia juga tidak mengerti kenapa Penasihat Agung justru membantu perbuatan jahat ini? Cap itu jelas-jelas milik Penasihat Agung!Pada saat ini, tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang. "Berhenti!"Andini seketika terkejut. Ketika menoleh, terlihat pelayan yang menuntunnya tadi. Pelayan itu membawa sekelompok orang untuk mengejarnya!Andini langsung berlari secepa
Mengapa dia malah percaya begitu saja?Andini tidak bisa menahan tubuhnya yang mulai gemetar hebat. Tiba-tiba, kepalanya terasa pusing dan berat.Dengan buru-buru, dia mengangkat pandangannya ke arah tungku dupa di kejauhan. Saat itu, dia melihat asap tipis perlahan-lahan menyebar dari tungku itu ....Ketika Panji mendorong pintu dan masuk, Andini sudah pingsan di lantai. Mayang mengikuti di belakang Panji. Saat melihat Andini yang tergeletak di tanah, dia mendengus dingin."Anak ini memang cukup cerdik, tapi sayang sekali, dia bertemu denganku!" Mayang menginstruksi pelayan di belakangnya, "Kenapa diam saja? Cepat angkat Nyonya Muda ke atas ranjang!"Sebutan Nyonya Muda membuat Panji merasa muak. "Kalau bukan karena statusnya sebagai bagian dari Keluarga Adipati, aku nggak akan pernah menikahinya!""Sudahlah, yang terpenting sekarang adalah menyelesaikan urusan utama!" Mayang menepuk punggung Panji seolah-olah menyuruhnya bergegas.Melihat para pelayan telah menaikkan Andini ke ranjan
Mendengar jeritan memilukan itu, Mayang yang sedang menunggu di halaman bergegas masuk.Saat dia mendorong pintu, yang pertama terlihat adalah Panji yang menutupi matanya sambil menjerit kesakitan. Penjepit rambut itu masih tertancap di matanya!Mayang langsung terkesiap, lalu segera menoleh ke arah Andini dan berteriak marah, "Beraninya kamu melukai putraku! Pengawal, tangkap dia!"Begitu perintah itu dilontarkan, dua orang pengawal segera maju. Andini mundur berulang kali karena tidak mungkin bisa menang. Tidak peduli bagaimana dia mencoba, dia tidak mungkin bisa melarikan diri!Tepat pada saat itu, seorang pelayan berlari tergesa-gesa dari luar. Wajahnya panik saat melapor,"Nyonya! Ada masalah besar! Kediaman ini telah dikepung oleh pasukan bersenjata!""Apa?" Mayang terkejut. "Siapa yang berani melakukannya?""Orang yang memimpin pasukan itu menyebut dirinya adalah Byakta!"Byakta! Saat mendengar nama itu, Andini pun merasa lega. Byakta datang untuk menyelamatkannya!Panji masih m
Tanpa perlu berpikir panjang, jelas sekali bahwa Mayang yang diam-diam mengambil cap resmi Penasihat Agung untuk membubuhkan segel pada kartu undangan itu! Apakah wanita itu mengira dirinya sudah tua dan mudah diperdaya?Amarah meluap dalam diri Rendra. Dengan kasar, dia melemparkan kartu undangan itu ke kaki Mayang dan membentak dengan dingin, "Masih berani bohong? Katakan yang sebenarnya!"Mayang langsung berlutut. Suaranya gemetar. "Benar! Hari ini Panji memang mengundang Nona Besar Biantara ke jamuan makan! Tapi, Panji benar-benar tulus ingin menyenangkan Nona Andini!""Siapa sangka, bukan hanya nggak dihargai, wanita itu malah menusuk mata Panji dengan penjepit rambutnya! Ayah! Sekalipun Panji nakal, dia tetap cucumu! Kamu harus membelanya!"Kata-kata itu membuat semua orang terkejut. Byakta adalah yang pertama yang bereaksi. Suaranya berat saat bertanya, "Apa yang telah kalian lakukan padanya?"Tidak mungkin Andini melukai Panji tanpa alasan!Namun, Mayang terus menangis di depan
Mendengar kata-kata itu, tatapan Rendra menjadi agak suram.Byakta mengangkat dagunya sedikit, menatap Mayang dengan dingin, "Kalau bukan karena Panji berniat jahat, Andini nggak akan melukainya! Itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri!""Omong kosong!" Mayang berseru dengan suara melengking, "Jelas dia yang mencoba menggoda Panji, lalu marah karena ditolak!"Lagi pula, tidak ada yang benar-benar melihat kejadian itu, tidak ada saksi. Jadi, siapa yang bisa membuktikan kebenarannya selain kata-kata mereka sendiri?Memangnya kenapa jika semua orang tahu bahwa Panji adalah bajingan? Andini juga memiliki hubungan tidak jelas dengan seorang wakil jenderal. Mungkin, dia juga bukan wanita baik-baik!Byakta menghardik dengan marah, "Omong kosong! Andini nggak mungkin tertarik pada sampah seperti Panji!"Mayang yang sudah bertekad untuk membela anaknya, langsung membalas, "Aku bilang dia yang menggoda, berarti dia yang menggoda! Orang-orang di rumahku bisa menjadi saksi!"Dia pun menoleh ke
Namun, tiba-tiba rasa sakit yang menusuk menjalar di punggung tangan Byakta. Begitu dahsyat hingga dia tidak dapat lagi menggenggam penjepit rambut itu.Penjepit rambut itu terlepas dari genggamannya, jatuh ke tanah dengan suara jernih. Bersamaan dengan itu, sebuah batu kecil berwarna juga ikut jatuh. Itu adalah ...Keheningan menyelimuti sekeliling. Tidak lama kemudian, suara derap kuda terdengar perlahan mendekat.Semua orang menoleh ke arah suara itu. Sebuah kereta kuda tampak melaju menuju Kediaman Penasihat Agung. Itu adalah kereta Keluarga Maheswara!Hati Andini bergetar. Tanpa sadar, dia menggenggam tangan Byakta erat-erat. Alisnya berkerut. Rangga? Kenapa dia datang?Kereta itu berhenti di depan Kediaman Penasihat Agung. Sebuah tangan putih mengangkat tirai kereta, diiringi suara yang dingin dan tenang. "Tuan Rendra, sudah lama nggak bertemu."Andini tercengang. Suara ini ... bukan suara Rangga! Dia pun menatap ke arah kereta dan melihat sosok yang duduk di dalamnya.Di balik t
Sampai kereta kuda itu pergi jauh, Byakta baru mengangkat tangannya, memberi perintah kepada para prajurit di belakangnya untuk mundur.Setelah itu, dia membungkuk untuk memungut penjepit rambut yang jatuh di tanah. Dia melangkah ke belakang Andini dan membantu mengikat rambutnya menjadi sanggul sederhana.Namun, saat jarinya menyentuh rambut Andini, dia baru sadar bahwa tangan kanannya masih belum bisa mengerahkan tenaga.Byakta teringat pada Kalingga yang telah mengurung diri selama lima tahun, tetapi tetap memiliki keahlian bertarung yang luar biasa. Seketika, dia tidak bisa menahan diri untuk tertawa ringan.Mendengar tawa tulus itu, Andini merasa bingung. "Kenapa kamu tertawa?"Byakta tersadar dari lamunannya dan menggeleng pelan. "Bukan apa-apa."Sambil berbicara, dia menengadah menatap papan nama tinggi di gerbang Kediaman Penasihat Agung. Matanya sedikit meredup. Sesaat kemudian, dia berujar, "Aku antar kamu pulang."Andini menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. Suda
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it
Rangga pernah menculik Andini dan akhirnya membuat Andini terjatuh ke Sungai Mentari. Dendam itu masih terus disimpan Laras di dalam hati sampai sekarang.Meskipun statusnya hanyalah seorang pelayan biasa dan tak bisa berbuat apa-apa pada Rangga, jangan harap dia bersedia mengikuti Rangga!Selesai bicara, Laras pun membalikkan badan dan melangkah ke arah Kalingga. Kalingga masih tidak mengatakan apa-apa. Setelah mendengar kata-kata Laras barusan, seulas senyuman tipis tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.Senyuman ringan itu, sekalipun sangat tipis, tetap menyakitkan mata Rangga. Dia tidak mengerti. Kenapa Andini tidak mau bersamanya, bahkan pelayannya pun menolaknya?Rangga sontak melangkah maju, hendak menarik tangan Laras. Namun, baru satu langkah diambil, terdengar suara Kalingga yang datar. "Rangga."Hanya satu panggilan pelan, tetapi makna ancamannya sangat jelas. Apabila Rangga benar-benar menahan Laras, Kalingga pasti akan bertindak.Rangga pun berhenti. Aura yang dipancarkan
Jabal mencari tiga kuda terbaik dari kediaman dan berangkat malam itu juga menuju lokasi yang berjarak lebih dari 50 kilometer.Perjalanan tidak sepenuhnya mulus. Mayat perempuan itu ditemukan di sebuah desa kecil. Ketika mereka tiba, matahari sudah bersinar terik.Di luar desa, anak buah mereka sudah menunggu. Begitu turun dari kuda, Kalingga segera masuk ke desa. "Di mana?""Masih di tepi sungai," kata anak buah itu sambil menurunkan suaranya. "Jenderal Rangga juga ada di sana."Mendengar itu, Kalingga sempat tercengang sejenak. Dia mengikuti arah yang ditunjuk. Benar saja, di tepi sungai tak jauh dari sana, terlihat Rangga sedang membuka kain putih penutup mayat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik.Melihat itu, Kalingga merasa lega. Dari ekspresi Rangga, seharusnya itu bukan Andini. Namun, detik berikutnya, hatinya kembali diliputi amarah. Informasi itu datang dari bawahannya sendiri, kenapa Rangga bisa lebih dulu sampai di sini?Di belakang, Laras yang melihat mayat tertutup ka
Tingkah mereka yang berpura-pura mabuk tadi memang tak terlihat mencurigakan. Namun, akting setelah mereka "sadar" barusan sungguh buruk. Beberapa dari mereka bahkan langsung terbangun, padahal tidak disiram.Andini mengernyit pelan saat memikirkan hal ini, lalu secara refleks menoleh ke arah jendela. Di sana, dia melihat sosok tinggi besar itu berjalan ke arah barat, menuju ke bawah atap.Dia tak ingin berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi saat itu di halaman hanya ada dia seorang yang bukan dari kalangan mereka. Mereka semua pura-pura mabuk, jelas-jelas untuk diperlihatkan kepadanya.Kenapa? Sedang mengujinya? Apakah karena sebelumnya dia secara tidak sengaja menunjukkan sedikit kemampuan bela dirinya?Namun, jika Surya hanya pemburu biasa, bagaimana mungkin dia bisa terpikir menggunakan cara semacam ini? Jangan-jangan identitasnya pun tidak sesederhana itu?Begitu benih kecurigaan tertanam, hal itu mulai tumbuh liar dalam hati. Andini berusaha keras mengingat semua kejadian se
Andini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Begitu keluar dari pagar bambu, kaki kirinya terasa sakit lagi. Langkahnya semakin pincang. Sebelum berjalan jauh, dia sudah mulai memanggil, "Bi Endah! Bi Endah!"Dia sama sekali tidak tahu, sebelum dia membuka mulut, sebilah belati nyaris menyentuh leher putihnya dari belakang, hanya sedikit lagi sudah akan menggorok tenggorokannya.Namun, saat dia memanggil nama Endah, belati itu tiba-tiba ditarik mundur, lalu pemiliknya buru-buru kembali ke dalam halaman.Tak lama kemudian, lampu di rumah Endah kembali menyala. Wanita itu bertanya, "Ada apa? Ada apa ini?"Andini memandang Endah dengan wajah penuh rasa bersalah. "Kak Arjuna dan teman-temannya mabuk semua, mereka tidur di luar. Aku khawatir mereka masuk angin kalau tidur di luar. Bisa Bibi bantu aku?"Di dalam pagar, para pria yang mendengarnya saling melirik, masing-masing mulai merasa bersalah."Aduh, ya sudah, aku ke sana sekarang!" sahut Endah cepat-cepat. Tak la
Kata "orang kasar" benar-benar mewujud saat ini. Andini sempat terpaku menatap mereka.Surya membelakangi Andini, tentu saja tidak menyadarinya. Namun, pria yang duduk di depannya melihat tatapan Andini, lalu melirik ke arah Surya dan mengangkat dagunya sedikit.Surya pun menoleh. Ketika melihat Andini sedang tersenyum sendiri ke arah mereka, Surya seperti baru menyadari sesuatu. Dia mendorong pria di sampingnya. "Tenang sedikit."Baru saat itu, rombongan pria itu menyadari bahwa masih ada seorang perempuan di sini. Mereka buru-buru minta maaf."Maaf ya, Nona. Kami ini orang-orang kasar, mulut kami kadang suka seenaknya!""Iya, Nona. Kalau tadi ada kata-kata yang nggak enak didengar, anggap saja kami cuma kentut!""Kamu yang kentutnya paling bau, hahahaha!""Sialan kamu!"Suasana kembali ceria, penuh tawa dan canda. Andini memandangi para pria itu. Meskipun kasar dan berisik, kehangatan dan keharmonisan ini adalah sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.Andini pun tersenyum lem
Surya pertama kali turun ke medan perang saat usianya baru enam belas tahun.Sebagai seorang pangeran, ibunya tidak memiliki latar belakang yang kuat. Dia tahu dalam perebutan takhta, dirinya tak mungkin bisa menyaingi para kakaknya. Jika terus tinggal di ibu kota, mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi mangsa di tangan orang lain.Karena itu, dia mengajukan diri untuk menjadi prajurit garis depan di bawah komando jenderal besar saat itu.Tahun itu, suku Tru sering mengganggu perbatasan. Rakyat Negara Darsa sangat menderita karena kekacauan itu.Dia memacu kuda di barisan paling depan, menyerbu ke medan perang. Pedang besarnya berayun liar. Saat bilah tajam itu menebas tubuh musuh, dia bahkan bisa mendengar jelas suara tulang yang terbelah.Darah hangat memercik ke wajahnya, dunia seolah-olah berubah merah seketika. Dia mendengar detak jantungnya sendiri begitu keras, tetapi tak bisa membedakan apakah itu karena takut atau justru karena gairah.Di medan perang yang kejam, di mana hi
Sambil bicara, Surya menoleh ke arah para pria kekar di belakang Anom, lalu berkata, "Kalian lakukan sendiri. Di sana ada kapak dan parang."Setelah itu, dia pun berbalik dan berjalan ke samping. Beberapa pria itu langsung maju dan menangkap Anom.Anom ketakutan setengah mati, berteriak dan menangis sambil terus memohon ampun. Namun, kekuatan para pria itu terlalu besar. Tangan Anom ditarik dan ditekan ke tanah.Kapak pun diangkat tinggi-tinggi, memantulkan kilatan dingin cahaya, lalu dihantamkan dengan keras."Argh!" Anom menjerit. Bagian selangkangannya langsung terasa hangat, seluruh tubuhnya jatuh lemas ke tanah. Namun ... ternyata tangannya masih utuh.Salah satu pria berkata dengan dingin, "Kalau masih berani ulangi lagi, kami nggak akan biarkan begitu mudah!"Pria lain mengeluarkan kantong uang dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Surya. "Ini, Kak.""Terima kasih. Kalian makan saja dulu sebelum pergi," ucap Surya."Siap! Nanti teman kita akan bawa daging dan arak ke sini
Endah masih terus menangis. Surya tidak tahu harus bagaimana menenangkannya. Meskipun sosoknya besar dan kekar, dia justru tampak kewalahan saat berdiri di samping Endah.Akhirnya, Andini yang menenangkan Endah untuk beberapa saat. Suasana hati Endah pun membaik. Melihat waktu sudah tidak pagi lagi dan dia masih harus turun ke ladang, Endah pun tidak berlama-lama di situ.Setelah mengantar Endah pergi, Surya menuju ke sisi barat halaman dan mulai sibuk bekerja. Dia berencana membangun atap untuk berteduh. Soalnya kalau hujan turun, dia tidak punya tempat untuk tidur.Melihat Surya sesibuk seperti itu, Andini akhirnya tak tahan untuk bertanya, "Kak Arjuna, kamu benar-benar percaya kalau Anom ambil uang itu buat bayar utang?"Uang itu bukan hasil kerja Andini, jadi dia merasa tidak berhak ikut campur. Namun, dia juga tidak tega melihat penyelamatnya ditipu.Tangan Surya tak berhenti bekerja, suaranya terdengar dalam dan tenang. "Dia pergi judi."Mendengar itu, Andini terkejut. "Kalau beg