Nada suaranya begitu dingin dan tidak acuh.Hal ini membuat Abimana semakin marah. "Menghalangimu? Andini, kamu terlalu menganggap dirimu penting!""Ayah dan Ibu peduli pada pernikahanmu karena mereka masih menganggapmu sebagai putri mereka! Kalau kamu memutus hubungan, kamu pikir keluarga ini masih akan peduli padamu?"Mendengar kata-kata itu, Andini tiba-tiba tertawa. Dia lantas menimpali, "Makanya, aku ingin memutus hubungan keluarga."Apa yang baru saja dikatakan Abimana adalah alasan kenapa dia ingin memutuskan hubungan keluarga!Abimana tertegun. Dia merasa Andini telah kerasukan.Saat dia hendak memarahi Andini untuk membuatnya sadar, gadis itu tiba-tiba bertanya, "Tuan Kresna, apa kamu yakin cap itu asli?"Suaranya lembut tanpa sedikit pun kemarahan, seolah-olah dia hanya menanyakan sesuatu yang biasa, sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengannya.Namun, pertanyaan itu membuat Abimana dan Kirana sama-sama mengernyit. "Palsu? Kamu bilang cap dari Penasihat Agung itu
Setelah bersujud, Andini berdiri dan berkata kepada pelayan yang berjaga di luar aula, "Ambilkan kertas dan tinta."Pelayan itu tidak berani bergerak, hanya menatap Kresna dengan wajah penuh kebingungan.Namun, yang terlihat adalah Kresna yang sedang terengah-engah. Jelas sekali, dia murka hingga hampir kehilangan kendali.Di sisi lain, Kirana hanya bisa terus menyeka air matanya tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.Satu-satunya yang masih bisa berbicara saat ini hanyalah Abimana. "Andini, apa kamu sudah memikirkannya dengan matang? Tanpa perlindungan Keluarga Adipati ....""Aku sudah memikirkannya," sela Andini dengan dingin. Matanya yang tenang kembali menatap Kresna. Nada suaranya mengandung sedikit ejekan. "Sekarang melihat bagaimana kalian terus menolak dan mengulur, rasanya seperti keluarga ini yang lebih membutuhkanku."Bukankah itu secara tidak langsung membuktikan bahwa selama ini keluarga ini hanya memanfaatkannya?Mendengar ucapan itu, Kresna akhirnya kehilangan kesabar
Setelah mengatakan itu, Farida menangis tersedu-sedu. "Nyonya Ainun ... tahu Nona ingin memutus hubungan dengan Tuan Kresna. Beliau terus bertanya pada hamba, tapi hamba nggak berani bicara banyak. Beliau malah memaksa para pelayan ini untuk buka mulut ....""Nyonya Ainun bukan hanya tahu Nona ingin putus hubungan dengan Keluarga Adipati, tapi juga tahu sebelumnya Nona hampir dibunuh oleh Pangeran Baskoro. Beliau tahu bagaimana Tuan Abimana memperlakukan Nona, jadi beliau ...."Di akhir kalimatnya, Farida sudah menangis hebat hingga tidak bisa melanjutkan kata-katanya.Sementara itu, Andini pun gemetaran karena marah. Wajahnya dingin, dia perlahan mendekati pelayan-pelayan yang berlutut. Mereka semua menunduk dan gemetar ketakutan, tak ada yang berani menatap Andini.Hingga akhirnya, suara Andini yang bergetar karena amarah terdengar. "Sudah berkali-kali aku peringatkan kalian, jangan pernah membiarkan Nenek tahu urusanku. Dari mana kalian mendapatkan keberanian untuk membahas tentangk
Pintu Paviliun Persik tertutup rapat. Andini menendang pintu halaman hingga terbuka lebar, lalu melangkah masuk.Di dalam, para pelayan dan pengawal sudah bersiaga, seolah-olah mereka telah menduga Andini akan datang.Namun, tak satu pun dari mereka menyangka bahwa Andini akan datang dengan membawa pedang. Mereka sudah melihat betapa garangnya Andini, tetapi tidak pernah melihatnya membunuh orang. Jadi, mereka berpikir dia hanya menakut-nakuti.Seorang pelayan pria yang cukup berani pun maju untuk membujuk, "Nona Andini, tolong tenang dulu. Jangan lakukan hal bodoh. Tunggu sampai Tuan Kresna tiba ... ah!"Sebelum dia selesai bicara, Andini telah mengayunkan pedangnya. Dalam sekejap, lengan pria itu terluka parah dan darah segar mengucur.Mata Andini memerah saat menyergah, "Dianti, keluar sekarang juga!"Dia menatap semua pelayan dan pengawal yang masih berani menghalangi dan berteriak dengan dingin, "Siapa yang berani menghalangiku lagi?"Para pelayan wanita yang ketakutan segera berl
Saat itu juga, sebuah bayangan menerjang masuk ke dalam ruangan dan mendorong Andini hingga terhuyung.Karena benturan itu, pedang panjang di tangan Andini pun menggores dada Dianti, meninggalkan luka yang panjang dan dalam.Abimana terkejut bukan main. Dia segera maju, lalu menggendong Dianti dan membawanya keluar.Namun, Andini seperti orang gila. Dia mengejar dengan pedang terhunus dan menebaskannya ke punggung Abimana!Abimana tak sempat menghindar. Pedang itu menebas punggungnya. Seketika, lengannya kehilangan tenaga, dia pun jatuh ke tanah bersama Dianti.Kresna yang baru saja tiba langsung berlari dan menahan kedua tangan Andini. Dia membentaknya dengan marah, "Kamu sudah gila?"Jika bukan karena laporan pengawal yang pedangnya direbut itu, mungkin saat mereka tiba, Dianti sudah mati di tangan Andini!Andini menyergah dengan murka, "Aku memang gila! Kalau bukan karena dia mengirim orang untuk bicara sembarangan di depan Nenek, Nenek nggak akan sekarat! Hari ini, aku akan memoton
Andini berlari secepat mungkin sambil menghapus darah di sudut bibirnya. Dia tidak boleh membiarkan neneknya melihatnya dalam keadaan seperti ini!Saat tiba di depan kamar Ainun, dia melihat Farida dan tabib kediaman sudah menunggu di depan pintu.Begitu melihat Andini, tabib itu segera memberi hormat. Andini buru-buru bertanya, "Bagaimana? Bagaimana keadaan nenekku?"Tabib menyahut, "Kondisi Nyonya Ainun sudah sangat lemah. Meskipun aku sudah melakukan akupunktur untuk menstabilkan detak jantungnya, aku khawatir beliau nggak akan bertahan lebih dari 10 hari."Andini tertegun, menggeleng dengan tidak percaya. "Itu nggak mungkin! Bibi Farida bilang, Nenek tampak bersemangat hari ini. Dia bahkan bisa turun dari ranjangnya ...."Bagaimana bisa sekarang dikatakan tidak bisa bertahan lebih dari 10 hari?Farida hanya bisa menangis tanpa berkata apa-apa. Tabib itu menghela napas pelan, lalu membalas, "Kalau beliau nggak mengalami tekanan emosional yang besar, mungkin masih bisa bertahan 2 ata
Rasanya pasti sangat sakit! Andini pasti kesakitan!Hanya dengan membayangkannya saja, Ainun sudah merasa hatinya tercabik-cabik. Dia ini nenek yang tidak berguna!Setiap hari berada di dalam rumah ini, tetapi bagaimana bisa dia tidak tahu apa pun? Andai saja dia tahu seperti apa sebenarnya Baskoro, dia tidak akan pernah membiarkan Andini masuk ke istana.Andai saja dia tahu bahwa Abimana si bajingan itu telah melakukan begitu banyak kejahatan, dia pasti sudah menghajarnya sampai mati!Andai saja ... andai saja dia pergi lebih cepat, Andini tidak akan terjebak di rumah ini, menanggung begitu banyak penderitaan dan penghinaan!Semuanya salahnya! Dia sudah tua, sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Bukannya melindungi Andini, dia malah menjadi beban baginya!Mereka bahkan memberi Andini makanan sisa! Cucu perempuan yang sejak kecil dia lindungi dan sayangi! Bagaimana bisa mereka memberinya makanan sisa seperti itu?Semakin Ainun memikirkannya, semakin sakit hatinya. Hingga akhirnya, di
Di sisi lain, Byakta pergi ke kediaman Keluarga Maheswara.Saat dia tiba, Rangga sedang berada di ruang kerja, menelaah buku strategi militer. Melihat Byakta datang dengan membawa dua kendi arak, Rangga pun meletakkan buku di tangannya.Sepasang matanya yang dalam menatap ke arah Byakta yang tampak menyeringai dan berkata, "Saya datang untuk minum bersama Jenderal."Begitu ucapan itu dilontarkan, salah satu kendi arak langsung dilemparkan ke arah Rangga. Rangga mengangkat tangan dan menangkapnya, lalu langsung meneguknya.Rasa pedas mengalir melewati tenggorokannya. Rangga mengangkat alis, "Arak terbaik dari Kedai Arum." Kemudian, dia tersenyum tipis. "Byakta, kamu menang lotre ya?"Satu kendi arak ini harganya tidak murah. Apalagi Byakta membawa dua kendi.Byakta menarik kursi dan duduk di hadapan Rangga. Dia mengangkat kendi arak di tangannya dan berkata, "Yang saya pegang ini bukan arak terbaik."Araknya hanyalah arak putih biasa.Rangga menatapnya dengan bingung, lalu melihat ekspr
Andini tahu Kirana datang untuk menghiburnya. Hanya saja, Andini malah menganggap ucapan Kirana tidak enak didengar. Semua ini takdir? Apa Kirana merasa Byakta pantas mati?Andini mengernyit, tetapi dia tidak mampu berdebat dengan mereka lagi. Andini menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati. Apa pun yang terjadi padaku nggak ada hubungannya dengan kalian. Aku harap ke depannya kalian jangan datang lagi."Selesai bicara, Andini langsung berjalan masuk ke kediaman. Abimana marah-marah, "Andini! Jangan nggak tahu diri! Biasanya Ibu jarang keluar, dia datang karena mengkhawatirkanmu!"Langkah Andini terhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan kamu?"Mendengar ucapan Andini, Abimana terdiam. Dia tidak memahami maksud Andini.Andini tiba-tiba berbalik dan lanjut bertanya seraya menatap Abimana, "Kenapa kamu datang kemari? Kamu memperhatikanku atau merasa bersalah?"Sebenarnya Andini tidak memahami satu ha
Yudha hanya ingin membawa Byakta pulang bersama keluarganya tanpa Rangga dan Andini. Mulai saat ini, para bangsawan dari ibu kota tidak berhubungan dengan Keluarga Muhadir lagi.Rangga mengangguk. Dia bisa memahami pemikiran Yudha. Tentu saja, Rangga tidak memaksakan kehendaknya.Andini juga mengerti. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ajeng dan melepaskan gelang gioknya. Andini berucap, "Aku nggak pantas terima gelang ini ...."Sebelum Andini menyelesaikan ucapannya, Ajeng menahan tangan Andini. Ajeng tampak kelelahan, tetapi dia tetap tersenyum kepada Andini dan menimpali, "Gelang ini sudah menjadi milikmu. Kalau kamu kembalikan padaku, Byakta pasti sedih."Andini memandang Ajeng dengan ekspresi kaget. Jika Ajeng masih meminta Andini menyimpan gelang ini, berarti Keluarga Muhadir masih mengakui Andini.Andini tidak menyangka sekarang Keluarga Muhadir masih menerimanya. Dia merasa sangat sedih. Andini memeluk Ajeng dengan erat. Dia merasa bersyukur dan juga bersalah.Ajen
Andini yang menyebabkan Yudha dan Ajeng kehilangan putranya. Dia juga menyebabkan Gayatri kehilangan kakaknya. Semua ini salah Andini.Tangisan Gayatri makin menjadi-jadi. Dia berujar, "Tapi, Kak Byakta pasti marah kalau lihat aku salahkan kamu ...."Ucapan Gayatri membuat hati Andini terasa sakit. Andini kewalahan melihat Gayatri yang menangis histeris.Gayatri tetap berusaha berbicara, "Sebelum pergi, kakakku bilang padaku dia nggak pernah begitu menyayangi seorang wanita selama hidupnya. Dia cuma ingin kamu aman dan bahagia. Biarpun harus mengorbankan nyawanya, dia juga rela."Gayatri menambahkan, "Andini, kakakku benar-benar mengorbankan nyawanya. Jadi, kamu harus aman dan bahagia! Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu!"Ini adalah keinginan terakhir Byakta. Gayatri tidak bisa bicara lagi. Dia terus menangis. Gayatri tidak mengerti kenapa di dunia ini ada orang yang begitu bodoh hingga rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain.Namun, Gayatri tidak be
Andini tertegun. Semalam dia mendengar bandit mengatakan jika bukan karena Rangga mengutus orang untuk mengikuti Andini, mereka juga tidak akan menyangka orang yang berada di dalam peti mati adalah Byakta. Pembunuhan semalam juga tidak akan terjadi.Mungkin sekarang Andini sudah keluar dari Yolasa. Seharusnya Andini tidak menyalahkan Rangga. Bagaimanapun, Rangga hanya berniat melindungi Andini. Dia tidak menyangka semalam bandit akan muncul.Lagi pula, masalah kali ini terjadi karena bandit terlalu brutal. Mereka membantai penduduk desa, bahkan mereka tidak melepaskan bayi.Jika bukan karena masalah itu, Kaisar tidak akan buru-buru mengutus prajurit. Semua ini juga tidak akan terjadi.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Byakta dan para prajurit telah mati. Andini tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyalahkan Rangga.Andini diam-diam menyalahkan semua orang yang berkaitan dengan masalah ini. Akan tetapi, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, Andini hanya terdiam dan menunduk.Andi
Suara langkah kaki makin mendekat. Andini langsung mundur, lalu berteriak, "Jangan mendekat!"Namun, Rangga tidak menghentikan langkahnya. Andini yang panik segera mengayunkan pedangnya. Rangga tidak menyangka Andini berniat menyakitinya. Dia buru-buru mundur.Pedang Andini menggores lengan baju Rangga. Andini merasakan serangannya kurang tepat, jadi dia mengayunkan pedangnya lagi.Siapa sangka, Rangga menggenggam pergelangan tangan Andini. Sebelum Andini sempat merespons, Rangga menarik Andini ke dalam pelukannya sambil menghibur, "Jangan takut, ini aku."Andini yang hendak memberontak langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar suara Rangga. Tubuh Andini menegang. Dia bertanya, "Rangga?"Rangga menyahut, "Iya, ini aku. Sekarang kamu sudah aman."Andini hanya merasa tenang sesaat. Dia segera menyeka darah di wajahnya dengan baju Rangga, lalu mendorongnya dan bergegas berjalan ke luar hutan.Andini kaget saat melihat penutup peti terbuka. Dia buru-buru naik ke kereta kuda. Andini
Rangga hanya menghabiskan waktu sehari untuk membereskan masalah di Kabupaten Horta. Bandit yang ditangkap Rangga tidak bisa bertahan lama. Bandit langsung mengakui semuanya.Rangga juga mengancam Akbar sehingga Akbar yang ketakutan setengah mati tidak berani menutupi kebenarannya lagi. Masalah ini memang sangat rumit.Rangga menyuruh Cahya untuk menyelidiki masalah ini dengan teliti. Cahya sudah kehilangan lengan kirinya. Ke depannya dia tidak bisa berperang lagi. Jika Cahya bisa menyelesaikan masalah ini, dia bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.Biarpun hanya menjadi bupati di Kabupaten Horta, itu lebih baik daripada pulang dengan tubuh cacat dan menjadi petani.Rangga buru-buru pergi dengan menunggangi kudanya tanpa minum sedikit pun. Dia sangat panik. Sosok Andini yang pergi menjauh terus terlintas di benak Rangga. Jadi, Rangga tidak bisa menunggu lagi.Rangga terus mengejar Andini tanpa beristirahat. Begitu sampai, dia baru tahu semua orang yang diutusnya untuk melindungi And
Tenaga bandit sangat kuat. Andini merasa tangannya hampir patah. Dia berusaha menahan rasa sakit dan mencoba menggerakkan tangannya.Pedang di perut bandit juga mulai bergerak. Bandit berteriak kesakitan. Genggamannya di tangan Andini makin erat.Andini yang merasa kesakitan berteriak. Namun, teriakan Andini bukan hanya karena rasa sakit. Akhirnya, Andini berhasil memutar pedang itu.Sepertinya usus bandit itu putus, dia memuntahkan darah. Bandit itu tumbang. Andini tetap menggenggam pedang dengan erat.Wajah Andini ternodai darah sehingga dia kesulitan untuk membuka matanya. Kemudian, terdengar suara langkah kaki dan suara bandit lain lagi. "Madun! Harjo!"Andini sangat panik, tetapi dia masih bisa berpikir rasional. Andini tidak boleh terus berada di sini. Hanya saja, Andini sudah kehabisan tenaga dan tangannya terasa sakit. Bahkan, dia tidak mampu menyeka darah di wajahnya.Alhasil, Andini ditendang oleh bandit hingga terjatuh ke tanah. Bandit hendak menusuk Andini setelah melihat k
Andini terkejut saat melihat bandit yang wajahnya ternodai darah prajurit. Andini langsung mundur. Siapa sangka, dia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.Bandit tertawa melihat kondisi Andini. Di dalam kegelapan malam, bau amis darah membuat Andini pusing.Andini yang tampak ketakutan bertanya sembari terisak, "Apa ... kamu nggak akan bunuh aku ... kalau aku ikut kamu?"Bandit makin bangga ketika melihat Andini sangat ketakutan. Dia menyahut, "Tentu saja. Yang penting kamu bersikap patuh."Andini mengangguk dan menimpali, "Aku sangat patuh. Tapi ... sepertinya aku terkilir."Bandit melihat pergelangan kaki Andini. Dia tidak curiga karena tadi Andini memang tersandung. Bandit mengamati Andini lagi. Melihat ekspresi Andini yang ketakutan, bandit menganggap Andini hanya wanita yang lemah. Andini sama sekali tidak membawa senjata, mana mungkin dia bisa membuat masalah?Bandit menghampiri Andini sambil mengangkat alis. Dia hendak memapah Andini. Sementara itu, Andini mengulurkan
Karena terkejut, prajurit itu mundur beberapa langkah ke belakang.Prajurit lain melangkah maju. Saat melihat apa yang terjadi, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Sekarang sudah masuk musim semi. Ular, serangga, dan binatang kecil lain mulai keluar mencari makan. Ini bukan masalah besar."Mendengar itu, yang lainnya pun mengangguk, lalu menyarungkan pedang mereka kembali.Andini juga menghela napas lega. Pandangannya tertuju pada kepala ular yang terpenggal di tepi jalan.Di bawah cahaya bulan, kepala ular yang kecil itu masih bergerak, seolah-olah berusaha bertahan. Entah kenapa, Andini merasa ini adalah pertanda buruk. Kegelisahan mulai merayap ke hatinya.Semoga saja semuanya akan berjalan lancar di perjalanan ini.Para prajurit sudah terbiasa dengan perjalanan panjang. Mereka hanya tidur 4 jam setiap malam, tetapi tetap memperhatikan Andini selama perjalanan.Namun, kegelisahan yang muncul malam itu terus membekas di hati Andini. Dia sama sekali tidak bisa tenang.Seakan-akan me