Setelah mengatakan itu, Farida menangis tersedu-sedu. "Nyonya Ainun ... tahu Nona ingin memutus hubungan dengan Tuan Kresna. Beliau terus bertanya pada hamba, tapi hamba nggak berani bicara banyak. Beliau malah memaksa para pelayan ini untuk buka mulut ....""Nyonya Ainun bukan hanya tahu Nona ingin putus hubungan dengan Keluarga Adipati, tapi juga tahu sebelumnya Nona hampir dibunuh oleh Pangeran Baskoro. Beliau tahu bagaimana Tuan Abimana memperlakukan Nona, jadi beliau ...."Di akhir kalimatnya, Farida sudah menangis hebat hingga tidak bisa melanjutkan kata-katanya.Sementara itu, Andini pun gemetaran karena marah. Wajahnya dingin, dia perlahan mendekati pelayan-pelayan yang berlutut. Mereka semua menunduk dan gemetar ketakutan, tak ada yang berani menatap Andini.Hingga akhirnya, suara Andini yang bergetar karena amarah terdengar. "Sudah berkali-kali aku peringatkan kalian, jangan pernah membiarkan Nenek tahu urusanku. Dari mana kalian mendapatkan keberanian untuk membahas tentangk
Pintu Paviliun Persik tertutup rapat. Andini menendang pintu halaman hingga terbuka lebar, lalu melangkah masuk.Di dalam, para pelayan dan pengawal sudah bersiaga, seolah-olah mereka telah menduga Andini akan datang.Namun, tak satu pun dari mereka menyangka bahwa Andini akan datang dengan membawa pedang. Mereka sudah melihat betapa garangnya Andini, tetapi tidak pernah melihatnya membunuh orang. Jadi, mereka berpikir dia hanya menakut-nakuti.Seorang pelayan pria yang cukup berani pun maju untuk membujuk, "Nona Andini, tolong tenang dulu. Jangan lakukan hal bodoh. Tunggu sampai Tuan Kresna tiba ... ah!"Sebelum dia selesai bicara, Andini telah mengayunkan pedangnya. Dalam sekejap, lengan pria itu terluka parah dan darah segar mengucur.Mata Andini memerah saat menyergah, "Dianti, keluar sekarang juga!"Dia menatap semua pelayan dan pengawal yang masih berani menghalangi dan berteriak dengan dingin, "Siapa yang berani menghalangiku lagi?"Para pelayan wanita yang ketakutan segera berl
Saat itu juga, sebuah bayangan menerjang masuk ke dalam ruangan dan mendorong Andini hingga terhuyung.Karena benturan itu, pedang panjang di tangan Andini pun menggores dada Dianti, meninggalkan luka yang panjang dan dalam.Abimana terkejut bukan main. Dia segera maju, lalu menggendong Dianti dan membawanya keluar.Namun, Andini seperti orang gila. Dia mengejar dengan pedang terhunus dan menebaskannya ke punggung Abimana!Abimana tak sempat menghindar. Pedang itu menebas punggungnya. Seketika, lengannya kehilangan tenaga, dia pun jatuh ke tanah bersama Dianti.Kresna yang baru saja tiba langsung berlari dan menahan kedua tangan Andini. Dia membentaknya dengan marah, "Kamu sudah gila?"Jika bukan karena laporan pengawal yang pedangnya direbut itu, mungkin saat mereka tiba, Dianti sudah mati di tangan Andini!Andini menyergah dengan murka, "Aku memang gila! Kalau bukan karena dia mengirim orang untuk bicara sembarangan di depan Nenek, Nenek nggak akan sekarat! Hari ini, aku akan memoton
Andini berlari secepat mungkin sambil menghapus darah di sudut bibirnya. Dia tidak boleh membiarkan neneknya melihatnya dalam keadaan seperti ini!Saat tiba di depan kamar Ainun, dia melihat Farida dan tabib kediaman sudah menunggu di depan pintu.Begitu melihat Andini, tabib itu segera memberi hormat. Andini buru-buru bertanya, "Bagaimana? Bagaimana keadaan nenekku?"Tabib menyahut, "Kondisi Nyonya Ainun sudah sangat lemah. Meskipun aku sudah melakukan akupunktur untuk menstabilkan detak jantungnya, aku khawatir beliau nggak akan bertahan lebih dari 10 hari."Andini tertegun, menggeleng dengan tidak percaya. "Itu nggak mungkin! Bibi Farida bilang, Nenek tampak bersemangat hari ini. Dia bahkan bisa turun dari ranjangnya ...."Bagaimana bisa sekarang dikatakan tidak bisa bertahan lebih dari 10 hari?Farida hanya bisa menangis tanpa berkata apa-apa. Tabib itu menghela napas pelan, lalu membalas, "Kalau beliau nggak mengalami tekanan emosional yang besar, mungkin masih bisa bertahan 2 ata
Rasanya pasti sangat sakit! Andini pasti kesakitan!Hanya dengan membayangkannya saja, Ainun sudah merasa hatinya tercabik-cabik. Dia ini nenek yang tidak berguna!Setiap hari berada di dalam rumah ini, tetapi bagaimana bisa dia tidak tahu apa pun? Andai saja dia tahu seperti apa sebenarnya Baskoro, dia tidak akan pernah membiarkan Andini masuk ke istana.Andai saja dia tahu bahwa Abimana si bajingan itu telah melakukan begitu banyak kejahatan, dia pasti sudah menghajarnya sampai mati!Andai saja ... andai saja dia pergi lebih cepat, Andini tidak akan terjebak di rumah ini, menanggung begitu banyak penderitaan dan penghinaan!Semuanya salahnya! Dia sudah tua, sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Bukannya melindungi Andini, dia malah menjadi beban baginya!Mereka bahkan memberi Andini makanan sisa! Cucu perempuan yang sejak kecil dia lindungi dan sayangi! Bagaimana bisa mereka memberinya makanan sisa seperti itu?Semakin Ainun memikirkannya, semakin sakit hatinya. Hingga akhirnya, di
Di sisi lain, Byakta pergi ke kediaman Keluarga Maheswara.Saat dia tiba, Rangga sedang berada di ruang kerja, menelaah buku strategi militer. Melihat Byakta datang dengan membawa dua kendi arak, Rangga pun meletakkan buku di tangannya.Sepasang matanya yang dalam menatap ke arah Byakta yang tampak menyeringai dan berkata, "Saya datang untuk minum bersama Jenderal."Begitu ucapan itu dilontarkan, salah satu kendi arak langsung dilemparkan ke arah Rangga. Rangga mengangkat tangan dan menangkapnya, lalu langsung meneguknya.Rasa pedas mengalir melewati tenggorokannya. Rangga mengangkat alis, "Arak terbaik dari Kedai Arum." Kemudian, dia tersenyum tipis. "Byakta, kamu menang lotre ya?"Satu kendi arak ini harganya tidak murah. Apalagi Byakta membawa dua kendi.Byakta menarik kursi dan duduk di hadapan Rangga. Dia mengangkat kendi arak di tangannya dan berkata, "Yang saya pegang ini bukan arak terbaik."Araknya hanyalah arak putih biasa.Rangga menatapnya dengan bingung, lalu melihat ekspr
Apakah ini ada hubungannya dengan Andini? Andini tidak apa-apa, 'kan?Abimana sudah merasa kesal sejak tadi. Sekarang melihat Byakta, amarahnya semakin memuncak. Namun, mengingat peringatan tabib barusan, dia tidak berani bertindak gegabah. Dengan suara dingin, dia bertanya, "Apa urusannya denganmu?"Kemudian, dia langsung menuju Kediaman Adipati.Byakta tak menyerah dan terus mengikutinya. "Di mana Andini? Keluarga Adipati jelas punya tabib sendiri, tapi kenapa kamu harus keluar untuk mencari tabib? Apakah tabib di kediaman sibuk mengobati luka Andini?"Melihat Abimana terus mengabaikannya, Byakta akhirnya melangkah lebih cepat dan mengadang jalannya. "Apa yang kamu lakukan pada Andini?"Jika tangannya tidak membawa dua bungkus besar obat, Abimana pasti sudah meninju Byakta saat ini juga!Menatap wajah Byakta yang dipenuhi kegelisahan, Abimana semakin kesal. "Sejak kapan urusan keluargaku menjadi urusan seorang wakil jenderal kecil sepertimu?"Byakta tidak mundur. "Aku nggak peduli de
Setelah berjalan cukup jauh, amarah Abimana masih belum mereda. Jika bukan karena tabib berpesan padanya untuk jangan banyak bergerak, dia pasti sudah menghajar Byakta.Abimana berusaha menahan diri untuk kembali ke kediaman dan langsung menuju Paviliun Persik. Dia ingin melihat kondisi Dianti, sekaligus meminta tabib kediaman memeriksa lukanya.Tabib di luar memang bisa menghentikan pendarahan. Namun, untuk mengobati luka masih kurang bisa dipercaya.Tidak disangka, begitu tiba di depan Paviliun Persik, Abimana bertemu dengan tabib kediaman yang baru keluar. Tabib kediaman yang melihat Abimana langsung memberi hormat sembari menyapa, "Salam, Tuan Abimana."Abimana segera melirik ke dalam paviliun, lalu bertanya, "Gimana dengan kondisi luka Dian?"Tabib kediaman menjelaskan, "Luka Nona Dianti nggak begitu serius. Nona Andini menusuk pedangnya dengan tepat, nggak membahayakan nyawa. Luka di dadanya juga nggak dalam. Saya sudah meminta pelayan untuk mengoleskan obat."Mendengar ini, Abim
Penjahat yang satu lagi adalah seorang duda tua di desa, bernama Dierja. Dia adalah orang yang dulu mengajari Anom berjudi.Lucunya, saat warga desa datang menghadapinya, Dierja masih berani menunjukkan kakinya yang terjepit perangkap hewan dan mengaku kalau itu akibat kecelakaan saat pergi mencari Ihatra dan ayahnya di hutan.Niatnya sebenarnya adalah untuk memeras keluarga Diah. Kalau gagal, setidaknya dia bisa mengemis sedikit uang dari kepala desa. Namun tak disangkanya, para warga langsung mengikatnya dan menyeretnya ke hadapan Surya.Mengenai kelanjutannya, Andini sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu, keesokan paginya saat bangun tidur, Dierja sudah diseret dan dikirim ke kantor pemerintahan. Sementara itu, Anom sudah dibawa Surya ke ladang sejak pagi.Dulu, Endah selalu memanjakan anaknya dan tidak pernah membiarkan Anom menyentuh pekerjaan ladang. Namun hari ini, di bawah pengawasan langsung dari Surya, Anom dipaksa bekerja keras di bawah terik matahari selama empat jam penuh seb
"Dasar nggak peka," ujar Endah tiba-tiba.Surya mengerutkan alis. "Apa maksudnya?"Barulah Endah menurunkan suaranya dan berkata, "Kaki kiri gadis itu terluka, kenapa kamu nggak langsung gendong saja?"Surya tidak merasa dirinya salah. Dia hanya menjawab dengan tenang, "Dia bilang bisa jalan, cukup minta aku bantu topang sedikit.""Itulah kenapa aku bilang kamu ini nggak peka!" Endah menggeleng tak berdaya, lalu menghela napas, "Dasar si Anom ... sampai melakukan hal seperti ini. Arjuna, tolong bantu aku kasih dia pelajaran, ya."Tatapan Arjuna seketika berubah dingin. "Takutnya Bibi nggak tega.""Nggak ada yang perlu ditakuti," Endah menghela napas panjang. "Kamu benar. Lebih baik aku lihat dia dihukum sekarang, daripada nanti harus memungut kepalanya di lapangan eksekusi.""Mm." Arjuna mengangguk ringan, menandakan bahwa dia menerima permintaan untuk mendidik Anom.Tak lama kemudian, rombongan mereka pun kembali ke halaman rumah berpagar bambu.Mereka melihat Anom sudah berlutut di t
Andini benar-benar tidak punya tenaga untuk membuka jebakan hewan itu. Namun, setelah dia mengutak-atik sebentar, dia menyadari bahwa jebakan itu diikat dengan rantai besi tipis dan ujung rantainya terimpit di bawah sebuah batu besar.Dengan sisa tenaga yang dia punya, Andini berjuang keras menarik rantai itu keluar dari bawah batu dan akhirnya berhasil membawa jebakan yang masih menjepit kakinya. Dia pun terpincang-pincang keluar dari hutan.Meskipun tidak tahu persis arah jalan pulang, dia masih ingat dari mana dia datang tadi. Namun, sebelum berjalan jauh, dia justru melihat sosok seseorang berlari ke arahnya dari kejauhan.Sesaat, Andini merasa bimbang. Dia hampir mengira itu adalah Byakta. Dia terlalu merindukan Byakta.Namun, dia segera tersadar bahwa sosok yang dulu selalu menemani di saat terpuruk dan tak berdaya, tidak akan pernah kembali.Jadi, Andini langsung mengenali sosok yang datang itu, menepis perasaan duka dalam hatinya, memaksakan senyuman, dan berseru pelan, "Kak Ar
Anom bersikeras. "Ma ... mana aku tahu dia ke mana!"Surya menatapnya dengan sorot mata yang semakin suram. "Bi Endah hanya tanya soal sup ayam, nggak pernah bilang hilangnya gadis itu ada hubungannya denganmu. Tapi, kamu langsung panik sendiri. Itu namanya mengaku sebelum ditanya."Mendengar itu, Anom semakin gelisah. "Aku nggak salah! Jangan fitnah aku! Aku nggak punya dendam sama dia, kenapa harus mencelakainya?"Justru karena sikapnya yang begitu, semakin terlihat bahwa dia memang merahasiakan sesuatu.Endah juga marah. Dia langsung mengambil sapu dari balik pintu dan menghajarnya tanpa ampun, "Dasar anak setan! Kau bawa gadis itu ke mana, cepat bilang!"Anom menjerit-jerit, berlari ke sana sini untuk menghindari amukan Endah. Namun, dia tetap saja bersikeras. "Aku nggak tahu! Aku benar-benar nggak tahu!"Tanpa sadar, dia berlari ke arah Surya yang langsung menangkapnya dan menekan tengkuknya ke tanah. Seketika, Anom tak bisa bergerak.Suara Surya rendah dan dingin, mengandung kema
Dalam keadaan linglung, Andini teringat saat dulu dirinya ditangkap oleh Panji dan dibawa masuk ke gua.Waktu itu, dia juga berlari sekuat tenaga ke dalam hutan, hingga akhirnya tidak tahu sudah berapa lama dia terjebak di sana. Pada akhirnya, Rangga yang menggendongnya keluar dari hutan itu.Andini tak ingin mengulang nasib yang sama. Jadi, sambil terus berlari, dia juga memperhatikan keadaan di belakangnya. Melihat Anom masih belum menyerah mengejar, dia mulai panik.Malam kian larut. Hanya dalam waktu singkat setelah menerobos masuk ke hutan, Andini sudah tidak bisa melihat apa-apa saking gelapnya. Hal yang paling dia khawatirkan akhirnya terjadi.Krek! Suara tajam menggema. Kakinya terjepit jebakan hewan!"Anom! Jangan ke sini lagi!" teriak Andini panik. "Di sini banyak jebakan! Aku juga kena!"Mendengar itu, suara langkah kaki Anom pun terhenti. Mungkin karena teringat pada temannya yang juga cedera, Anom akhirnya memutuskan untuk tidak lanjut mengejar, lalu berbalik dan pergi.Di
Tepat saat itu, terdengar suara samar-samar dari arah halaman.Andini tersentak, segera bangkit dan mengintip ke luar. Dia pun melihat bayangan seseorang yang mondar-mandir di halaman."Siapa di sana?""Aku."Suara itu terdengar cukup familier.Andini mencoba menebak, "Anom?""Benar!" sahut Anom, lalu berjalan ke depan pintu sambil berkata, "Ibuku masak sup ayam malam ini. Tapi gara-gara kejadian Bi Diah, jadi lupa. Tadi baru dipanaskan lagi, terus aku disuruh antar ke sini."Memang benar, Endah sering membuatkan sup ayam untuknya setiap beberapa hari sekali. Andini tidak terlalu curiga, jadi berkata, "Taruh saja di depan pintu, nanti aku ambil.""Baik!" Jawaban Anom cepat dan ringan.Tak lama kemudian, Andini melihat Anom keluar dari halaman. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pintu.Begitu membuka pintu, memang benar ada semangkuk sup ayam di atas lantai. Dia perlahan berjongkok, hendak mengambil mangkuk itu.Tepat saat itu, dari sudut halaman, tiba-tiba muncul bayangan. Sebelum Andi
Saat Surya kembali ke Desa Teluk Horta, matahari sudah terbenam. Dari kejauhan, dia langsung melihat halaman rumahnya dikerumuni oleh banyak orang.Hatinya langsung mencelos, tak tahu apa yang sedang terjadi. Seseorang melihatnya dan langsung berteriak, "Itu dia! Dia sudah kembali!"Semua orang pun serentak menoleh ke arah Surya.Begitu memasuki halaman, Surya langsung melihat Diah terbaring di tengah halaman. Di samping, Andini sedang berlutut.Terlihat dia memegang sebatang jarum sulam dan sedang menusukkannya ke tubuh Diah, yang matanya tampak sayu, antara sadar dan tidak."Ada apa ini?" Suara Surya terdengar dalam.Endah segera melangkah ke depan, menjelaskan, "Ihatra bertengkar sama ayahnya, terus kabur ke dalam hutan. Ayahnya takut terjadi apa-apa, jadi ikut masuk hutan juga.""Diah menunggu di rumah sampai langit hampir gelap. Dia panik dan langsung pingsan. Untungnya gadis ini menguasai ilmu medis. Baru dua tusukan jarum saja, Diah langsung siuman."Mendengar itu, tatapan Surya
Melihat punggung Surya yang semakin menjauh, Endah hanya bisa menghela napas, lalu berbalik dan berkata kepada Andini, "Aku rebus dulu ayamnya, nanti aku balik lagi ke sini."Usai berkata begitu, dia pun pergi.Andini duduk di dalam rumah, memandangi punggung Endah yang perlahan menghilang. Dia juga melihat dengan jelas bahwa Anom belum pergi.Anak itu masih berdiri di tempatnya, menatap Andini dari balik jendela. Saat Andini memandang balik ke arahnya, Anom buru-buru mengalihkan pandangan dan berseru, "Bu, tunggu aku!"Setelah itu, dia pun berbalik dan pergi. Namun, sorot mata Anom tak luput dari pandangan Andini.Tatapan yang dilontarkan padanya mengandung kebencian. Perasaan itu terlalu familier bagi Andini. Dulu ketika Dianti diam-diam memandangnya, sorot mata itu sama persis.Dua jam kemudian, Surya akhirnya tiba di kota kecil. Dia menjual hasil buruannya ke rumah makan yang sudah akrab dengannya, lalu berkeliling sesaat dan masuk ke sebuah gang kecil. Kemudian, dia mendorong pint
Keesokan hari saat Andini bangun, sosok Surya sudah tak terlihat. Sementara itu, Endah tengah sibuk di dapur.Dengan kaki yang masih pincang, Andini berjalan ke ambang pintu, menatap Endah dengan heran, "Bibi Endah, kok hari ini bangunnya pagi sekali?"Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit!Endah menyiapkan air untuk Andini mencuci muka, lalu menjawab, "Arjuna sudah pergi ke gunung sejak fajar bersama Anom. Aku hari ini nggak ada pekerjaan di ladang, jadi mampir ke sini untuk bantu-bantu sebentar."Saat berbicara, sudut bibir Endah menyiratkan senyuman kecil.Mengingat kejadian kemarin, Andini pun merasa perlu meminta maaf. "Maaf ya, Bi Endah. Kemarin aku asal bicara cuma untuk menakut-nakuti Anom."Endah buru-buru mengangguk. "Iya, aku tahu. Anak bandel itu memang perlu ditakut-takuti! Setelah pulang kemarin, dia nangis-nangis sambil janji nggak akan berjudi lagi.""Pagi ini juga semangat banget bangunnya. Kalau dia bisa meninggalkan kebiasaan buruk itu, lalu ikut Arjuna berburu, it