Tak lama setelah Ainun bangun, dia kembali merasa lelah dan tertidur lagi. Andini menyelimutinya dengan hati-hati sebelum keluar dari kamar bersama Farida.Begitu pintu kamar tertutup, Andini tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. "Kenapa kondisi tubuh Nenek terlihat semakin memburuk?"Farida menghela napas. "Tabib istana sudah bilang Nyonya Ainun nggak akan bertahan lama. Saat ini, beliau masih bisa bertahan hanya karena menerima tonik berkualitas tinggi yang dikirimkan oleh Jenderal Rangga setiap bulan."Hanya dari hal ini saja, Andini benar-benar merasa berterima kasih kepada Rangga. Setengah dari ramuan obat berharga yang dianugerahkan oleh Kaisar telah dikirim ke Kediaman Adipati.Tanpa anugerah itu, dengan kondisi Keluarga Adipati yang semakin buruk, tidak mungkin Ainun bisa bertahan selama ini.Melihat Andini diam, Farida akhirnya bertanya, "Barusan hamba dengar Nona telah menemukan seseorang yang disukai?"Karena terlalu mengkhawatirkan Ainun, suasana hati Andini menjadi bur
Laras masih belum mengerti. "Kalau dia nggak ada, gimana?"Kalau Byakta tidak ada, itu berarti Abimana sudah mengambil tindakan terhadapnya!Namun, Andini tidak mengutarakan pikirannya. Dia tidak ingin membuat Laras ikut cemas, jadi dia hanya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Kita kembali ke kediaman dulu."Laras bergerak dengan cepat. Sesampainya di kediaman, tidak butuh waktu lama baginya untuk mengutus seseorang pergi ke Desa Mutia.Selama itu, Andini tetap menunggu di kediaman, hatinya tidak bisa tenang sedikit pun. Hingga menjelang senja, utusan yang dikirim ke Desa Mutia akhirnya kembali dengan tergesa-gesa.Andini segera bertanya, "Bagaimana? Apa kamu bertemu dengan Wakil Jenderal Byakta?"Pelayan itu menggeleng, menyerahkan kembali botol obat dalam kondisi utuh, lalu berkata, "Hamba nggak menemukan Wakil Jenderal Byakta di Desa Mutia, bahkan keluarganya juga nggak ada di sana.""Penduduk desa bilang tadi malam, orang-orang dari Biro Administrasi datang dan membawa ayahnya. Ibu d
Tawa nyaring itu menusuk telinga, membuat Byakta langsung mengepalkan tinjunya dengan erat.Andini buru-buru melangkah maju, berdiri di depannya, takut Byakta akan bertindak gegabah. Dia lantas menatap Panji dan bertanya, "Ini perbuatanmu?"Kalau bukan, bagaimana mungkin Panji tahu Byakta ada di sini dan sengaja datang untuk mentertawakannya? Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh.Panji memang cucu Rendra, tetapi dia bukan cucu utama dan tidak dianggap penting. Orang-orang di Biro Administrasi juga bukan orang bodoh, mana mungkin mereka menangkap orang sembarangan hanya demi seorang pemuda sampah seperti Panji?Kecuali, Rendra sendiri yang turun tangan. Namun, Rendra adalah sosok berpangkat tinggi dan berpengaruh. Kemungkinan besar, dia tidak akan melakukan hal seperti ini hanya demi Panji!Saat ini, Panji tersenyum lebar hingga luka di sudut bibirnya tertarik dan membuatnya meringis kesakitan. Namun, dia tetap berkata, "Aku nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan. Tapi, a
Keduanya berpelukan dalam diam untuk beberapa saat sebelum akhirnya Byakta berbalik dan pergi.Andini tetap berdiri di tempatnya, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Di matanya, hanya tersisa secercah ketenangan yang dingin.Saat kembali ke Kediaman Adipati, langit sudah gelap. Begitu memasuki gerbang, seorang pelayan segera memberi tahu bahwa Kresna sedang menunggunya di ruang tamu depan.Di dalam ruangan, hanya ada Kresna seorang diri. Melihat Andini datang, dia mengangkat cangkir teh di sampingnya, berpura-pura menyeruputnya sebelum akhirnya bertanya, "Kenapa pulang selarut ini? Kamu pergi ke mana?""Ke Biro Administrasi," jawab Andini dengan jujur. Pandangannya tetap lurus ke depan tanpa sedikit pun melirik Kresna.Kresna sama sekali tidak mempermasalahkan sikapnya. Dia hanya mendengus dingin. "Sebagai putri Keluarga Adipati, kamu nggak seharusnya berkeliaran sesuka hati. Nggak pantas sekali pulang selarut ini! Mulai besok, kamu tetap tinggal di rumah. Tanpa izinku, kamu ngga
Dianti benar-benar ketakutan. Dia menatap Andini dengan mata terbelalak, membiarkan air matanya mengalir tanpa henti."Kakak, aku tahu aku salah karena iri padamu hingga menyuap para pengemis itu, bahkan membuat mereka kehilangan nyawa. Tapi, aku hanya menyuruh mereka membawaku pergi. Aku nggak pernah nyangka mereka punya niat jahat. Aku sudah menyadari kesalahanku ...."Sambil berbicara, Dianti berlutut dan menangis tersedu-sedu, tampak begitu menyedihkan.Namun, Andini hanya melirik para pelayan di dalam ruangan dan berkata dengan suara dingin, "Keluar."Para pelayan itu merasa cemas jika harus meninggalkan Dianti, tetapi entah mengapa, mereka lebih takut kepada Andini.Setelah saling bertukar pandang dengan ragu, mereka akhirnya keluar dan menutup pintu di belakang mereka.Setelah pintu tertutup rapat, barulah Andini perlahan-lahan berjalan mendekati Dianti.Dianti masih tersedu-sedu. Begitu melihat Andini semakin dekat, dia secara naluriah mundur sedikit.Namun, Andini langsung mer
Mendengar kata-kata Andini, Dianti seperti sudah bisa membayangkan akhir dari hidupnya. Dia akan dicemooh oleh semua orang, dihina oleh masyarakat.Saat itu terjadi, Abimana pasti akan membencinya. Keluarga Maheswara juga akan merasa wanita yang nama baiknya telah tercemar seperti dia tidak pantas menjadi Nyonya Keluarga Maheswara.Sementara itu, Rangga ... pasti tidak akan menikahinya lagi ....Melihat mata Dianti yang terus berkedip dengan panik, ekspresi Andini semakin dingin. "Bukankah Nona Dianti takut ditinggalkan oleh Keluarga Adipati dan Rangga? Kalau kamu nggak menurutiku, aku jamin, nasibmu akan jauh lebih tragis daripada aku.""Aku akan menurut, Kak!" Tiba-tiba, Dianti memeluk kaki Andini. Tatapannya dipenuhi ketakutan. "Asalkan Kakak berbaik hati, aku pasti akan menurut. Kakak tenang saja, aku nggak akan makan ataupun minum. Apa pun yang Kakak suruh, aku pasti lakukan!"Saat mengatakan itu, ketakutan dalam hatinya semakin memuncak, hingga akhirnya dia tidak bisa menahan dir
Dianti secara naluriah meraih lengan baju Abimana, lalu mencengkeramnya erat dan bersembunyi di belakangnya.Melihat sikapnya yang ketakutan, Abimana semakin merasa iba. Dia segera berucap dengan suara rendah, "Dian, katakan saja! Kakak ada di sini, nggak akan ada yang berani menyentuhmu!"Saat mengucapkan kalimat terakhir, Abimana memelototi Andini dengan murka, seolah-olah dia adalah penjahat paling keji di dunia ini.Namun, di belakangnya, terdengar suara gemetar, "Kak Andini hanya datang untuk berbicara denganku, dia nggak menyakitiku."Mendengar itu, Abimana sontak menoleh ke arah Dianti, menunjuk kekacauan di lantai. "Dia sudah membalikkan meja, kamu masih membelanya?”Dianti mengerutkan kening dan menundukkan kepala. "Kakak melakukannya demi kebaikanku. Aku telah berbuat dosa dengan mencelakai beberapa nyawa tak bersalah. Mereka meninggal, tapi aku malah hidup dengan begitu nyaman."Setelah berkata demikian, Dianti diam-diam melirik Andini, lalu melanjutkan, "Kak, aku sudah memu
Pembunuh yang sebenarnya itu, yang dimaksud oleh Andini adalah Abimana.Abimana tentu menyadarinya. Seketika, tangannya mengepal erat. "Kamu ingin ayah Byakta selamat? Itu mudah. Putuskan saja hubunganmu dengan Byakta!""Aku nggak akan memutuskan hubungan dengannya." Andini menyahut dengan dingin. Tatapannya tertuju pada Dianti. "Nona Dianti akan menebus dosa Keluarga Adipati. Pada akhirnya, kita akan lihat apa yang lebih penting di hati Tuan Kresna, perjodohanku atau putri satu-satunya."Di mata Andini, Dianti melihat ancaman yang jelas. Menyadari maksudnya, dia buru-buru menarik lengan baju Abimana. "Kak, kalau ayah Wakil Jenderal Byakta nggak bersalah, kita nggak seharusnya menjebaknya! Kumohon, bujuklah Ayah! Selama Ayah nggak melepaskannya, aku nggak akan makan apa pun!"Mendengar perkataan itu, Abimana menjadi sangat marah. "Kamu ini! Apa kamu sudah dicuci otak olehnya?"Namun, melihat ekspresi takut Dianti, Abimana segera menyadari sesuatu. "Apa dia mengancammu sesuatu? Kenapa k
Andini tahu Kirana datang untuk menghiburnya. Hanya saja, Andini malah menganggap ucapan Kirana tidak enak didengar. Semua ini takdir? Apa Kirana merasa Byakta pantas mati?Andini mengernyit, tetapi dia tidak mampu berdebat dengan mereka lagi. Andini menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah putus hubungan dengan Keluarga Adipati. Apa pun yang terjadi padaku nggak ada hubungannya dengan kalian. Aku harap ke depannya kalian jangan datang lagi."Selesai bicara, Andini langsung berjalan masuk ke kediaman. Abimana marah-marah, "Andini! Jangan nggak tahu diri! Biasanya Ibu jarang keluar, dia datang karena mengkhawatirkanmu!"Langkah Andini terhenti. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, lalu bertanya, "Bagaimana dengan kamu?"Mendengar ucapan Andini, Abimana terdiam. Dia tidak memahami maksud Andini.Andini tiba-tiba berbalik dan lanjut bertanya seraya menatap Abimana, "Kenapa kamu datang kemari? Kamu memperhatikanku atau merasa bersalah?"Sebenarnya Andini tidak memahami satu ha
Yudha hanya ingin membawa Byakta pulang bersama keluarganya tanpa Rangga dan Andini. Mulai saat ini, para bangsawan dari ibu kota tidak berhubungan dengan Keluarga Muhadir lagi.Rangga mengangguk. Dia bisa memahami pemikiran Yudha. Tentu saja, Rangga tidak memaksakan kehendaknya.Andini juga mengerti. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Ajeng dan melepaskan gelang gioknya. Andini berucap, "Aku nggak pantas terima gelang ini ...."Sebelum Andini menyelesaikan ucapannya, Ajeng menahan tangan Andini. Ajeng tampak kelelahan, tetapi dia tetap tersenyum kepada Andini dan menimpali, "Gelang ini sudah menjadi milikmu. Kalau kamu kembalikan padaku, Byakta pasti sedih."Andini memandang Ajeng dengan ekspresi kaget. Jika Ajeng masih meminta Andini menyimpan gelang ini, berarti Keluarga Muhadir masih mengakui Andini.Andini tidak menyangka sekarang Keluarga Muhadir masih menerimanya. Dia merasa sangat sedih. Andini memeluk Ajeng dengan erat. Dia merasa bersyukur dan juga bersalah.Ajen
Andini yang menyebabkan Yudha dan Ajeng kehilangan putranya. Dia juga menyebabkan Gayatri kehilangan kakaknya. Semua ini salah Andini.Tangisan Gayatri makin menjadi-jadi. Dia berujar, "Tapi, Kak Byakta pasti marah kalau lihat aku salahkan kamu ...."Ucapan Gayatri membuat hati Andini terasa sakit. Andini kewalahan melihat Gayatri yang menangis histeris.Gayatri tetap berusaha berbicara, "Sebelum pergi, kakakku bilang padaku dia nggak pernah begitu menyayangi seorang wanita selama hidupnya. Dia cuma ingin kamu aman dan bahagia. Biarpun harus mengorbankan nyawanya, dia juga rela."Gayatri menambahkan, "Andini, kakakku benar-benar mengorbankan nyawanya. Jadi, kamu harus aman dan bahagia! Kalau nggak, aku nggak akan ampuni kamu!"Ini adalah keinginan terakhir Byakta. Gayatri tidak bisa bicara lagi. Dia terus menangis. Gayatri tidak mengerti kenapa di dunia ini ada orang yang begitu bodoh hingga rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain.Namun, Gayatri tidak be
Andini tertegun. Semalam dia mendengar bandit mengatakan jika bukan karena Rangga mengutus orang untuk mengikuti Andini, mereka juga tidak akan menyangka orang yang berada di dalam peti mati adalah Byakta. Pembunuhan semalam juga tidak akan terjadi.Mungkin sekarang Andini sudah keluar dari Yolasa. Seharusnya Andini tidak menyalahkan Rangga. Bagaimanapun, Rangga hanya berniat melindungi Andini. Dia tidak menyangka semalam bandit akan muncul.Lagi pula, masalah kali ini terjadi karena bandit terlalu brutal. Mereka membantai penduduk desa, bahkan mereka tidak melepaskan bayi.Jika bukan karena masalah itu, Kaisar tidak akan buru-buru mengutus prajurit. Semua ini juga tidak akan terjadi.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Byakta dan para prajurit telah mati. Andini tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyalahkan Rangga.Andini diam-diam menyalahkan semua orang yang berkaitan dengan masalah ini. Akan tetapi, dia tetap menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, Andini hanya terdiam dan menunduk.Andi
Suara langkah kaki makin mendekat. Andini langsung mundur, lalu berteriak, "Jangan mendekat!"Namun, Rangga tidak menghentikan langkahnya. Andini yang panik segera mengayunkan pedangnya. Rangga tidak menyangka Andini berniat menyakitinya. Dia buru-buru mundur.Pedang Andini menggores lengan baju Rangga. Andini merasakan serangannya kurang tepat, jadi dia mengayunkan pedangnya lagi.Siapa sangka, Rangga menggenggam pergelangan tangan Andini. Sebelum Andini sempat merespons, Rangga menarik Andini ke dalam pelukannya sambil menghibur, "Jangan takut, ini aku."Andini yang hendak memberontak langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar suara Rangga. Tubuh Andini menegang. Dia bertanya, "Rangga?"Rangga menyahut, "Iya, ini aku. Sekarang kamu sudah aman."Andini hanya merasa tenang sesaat. Dia segera menyeka darah di wajahnya dengan baju Rangga, lalu mendorongnya dan bergegas berjalan ke luar hutan.Andini kaget saat melihat penutup peti terbuka. Dia buru-buru naik ke kereta kuda. Andini
Rangga hanya menghabiskan waktu sehari untuk membereskan masalah di Kabupaten Horta. Bandit yang ditangkap Rangga tidak bisa bertahan lama. Bandit langsung mengakui semuanya.Rangga juga mengancam Akbar sehingga Akbar yang ketakutan setengah mati tidak berani menutupi kebenarannya lagi. Masalah ini memang sangat rumit.Rangga menyuruh Cahya untuk menyelidiki masalah ini dengan teliti. Cahya sudah kehilangan lengan kirinya. Ke depannya dia tidak bisa berperang lagi. Jika Cahya bisa menyelesaikan masalah ini, dia bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.Biarpun hanya menjadi bupati di Kabupaten Horta, itu lebih baik daripada pulang dengan tubuh cacat dan menjadi petani.Rangga buru-buru pergi dengan menunggangi kudanya tanpa minum sedikit pun. Dia sangat panik. Sosok Andini yang pergi menjauh terus terlintas di benak Rangga. Jadi, Rangga tidak bisa menunggu lagi.Rangga terus mengejar Andini tanpa beristirahat. Begitu sampai, dia baru tahu semua orang yang diutusnya untuk melindungi And
Tenaga bandit sangat kuat. Andini merasa tangannya hampir patah. Dia berusaha menahan rasa sakit dan mencoba menggerakkan tangannya.Pedang di perut bandit juga mulai bergerak. Bandit berteriak kesakitan. Genggamannya di tangan Andini makin erat.Andini yang merasa kesakitan berteriak. Namun, teriakan Andini bukan hanya karena rasa sakit. Akhirnya, Andini berhasil memutar pedang itu.Sepertinya usus bandit itu putus, dia memuntahkan darah. Bandit itu tumbang. Andini tetap menggenggam pedang dengan erat.Wajah Andini ternodai darah sehingga dia kesulitan untuk membuka matanya. Kemudian, terdengar suara langkah kaki dan suara bandit lain lagi. "Madun! Harjo!"Andini sangat panik, tetapi dia masih bisa berpikir rasional. Andini tidak boleh terus berada di sini. Hanya saja, Andini sudah kehabisan tenaga dan tangannya terasa sakit. Bahkan, dia tidak mampu menyeka darah di wajahnya.Alhasil, Andini ditendang oleh bandit hingga terjatuh ke tanah. Bandit hendak menusuk Andini setelah melihat k
Andini terkejut saat melihat bandit yang wajahnya ternodai darah prajurit. Andini langsung mundur. Siapa sangka, dia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.Bandit tertawa melihat kondisi Andini. Di dalam kegelapan malam, bau amis darah membuat Andini pusing.Andini yang tampak ketakutan bertanya sembari terisak, "Apa ... kamu nggak akan bunuh aku ... kalau aku ikut kamu?"Bandit makin bangga ketika melihat Andini sangat ketakutan. Dia menyahut, "Tentu saja. Yang penting kamu bersikap patuh."Andini mengangguk dan menimpali, "Aku sangat patuh. Tapi ... sepertinya aku terkilir."Bandit melihat pergelangan kaki Andini. Dia tidak curiga karena tadi Andini memang tersandung. Bandit mengamati Andini lagi. Melihat ekspresi Andini yang ketakutan, bandit menganggap Andini hanya wanita yang lemah. Andini sama sekali tidak membawa senjata, mana mungkin dia bisa membuat masalah?Bandit menghampiri Andini sambil mengangkat alis. Dia hendak memapah Andini. Sementara itu, Andini mengulurkan
Karena terkejut, prajurit itu mundur beberapa langkah ke belakang.Prajurit lain melangkah maju. Saat melihat apa yang terjadi, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Sekarang sudah masuk musim semi. Ular, serangga, dan binatang kecil lain mulai keluar mencari makan. Ini bukan masalah besar."Mendengar itu, yang lainnya pun mengangguk, lalu menyarungkan pedang mereka kembali.Andini juga menghela napas lega. Pandangannya tertuju pada kepala ular yang terpenggal di tepi jalan.Di bawah cahaya bulan, kepala ular yang kecil itu masih bergerak, seolah-olah berusaha bertahan. Entah kenapa, Andini merasa ini adalah pertanda buruk. Kegelisahan mulai merayap ke hatinya.Semoga saja semuanya akan berjalan lancar di perjalanan ini.Para prajurit sudah terbiasa dengan perjalanan panjang. Mereka hanya tidur 4 jam setiap malam, tetapi tetap memperhatikan Andini selama perjalanan.Namun, kegelisahan yang muncul malam itu terus membekas di hati Andini. Dia sama sekali tidak bisa tenang.Seakan-akan me