Seorang siswa—yang kerap kali disapa Aydan—dengan rambut hitam dan sedikit menjuntai di depan kening mengayunkan langkah dengan gagah. Ia tak berjalan sendiri. Melainkan dengan kedua temannya—Deon dan Lucas. Dengan ekspresi datar dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana membuat aura ketampanannya semakin menguar.
Ketiga siswa itu berjalan menyusuri koridor menuju tempat parkir. Di sana mereka sudah mendapatkan tatapan memuja yang tentu saja sudah biasa bagi mereka. Bahkan, kalimat pujian pun tak luput mereka dengar. Namun, mereka tak pernah sama sekali menggubris itu. Sebagai most wanted di sekolah, hal itu sangat lazim. Bahkan, mereka dijuluki oleh para penggemar dengan sebutan “Trio G” atau “Trio Ganteng.”
Aydan menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Pasalnya, kelasnya kosong pada jam terakhir dan itu ia manfaatkan bersama beberapa teman sekelasnya yang lain untuk bermain basket. Gerakan tangan Aydan itu justru membuat para siswi yang melihatnya berteriak histeris. Namun, Aydan tetaplah Aydan. Siswa tampan, tetapi berkepribadian cuek, dingin, dan pendiam.
“Eh, coba deh lihat di sana,” celetuk Deon tiba-tiba. Tangan kanannya menunjuk ke arah dekat parkiran. Aydan dan Lucas mengikuti begitu saja ke mana arah jari telunjuknya.
“Itu Carla sama Arabelle, ‘kan?”
Lucas langsung mengangguk mengiyakan.
Lain halnya dengan Lucas. Aydan bahkan membuang pandang kembali lurus ke depan. Ia benar-benar malas jika kembali dihadapkan dengan seorang siswi yang beberapa bulan lalu menginjakkan kaki di SMA Nusa itu. Carla.
Deon memulai aksi dengan memunculkan tatapan memujanya. “Si Carla cantik banget dah. Kecantikannya bahkan melebih kecantikan kembang desa di kampung gue. Sumpah demi apa.”
Tak mau kalah dengan Deon. Lucas juga melakukan hal yang lebih dari itu. Tangannya terangkat, menyentuh udara seakan tengah menjamah wajah dengan kulit putih mulus milik Carla. “Cantik aja nggak cukup buat ngegambarin sosok Carla. Tapi, dia juga pintar, cerdas, murah senyum dan selalu ramah. Benar-benar satu bentuk kesempurnaan yang Tuhan ciptakan di muka bumi ini.” Ia memejamkan mata. Membayangkan kecantikan gadis blasteran itu. “Demi apapun gue pengen jadiin Carla pacar gue,” lanjutnya setelah beberapa detik terjeda sunyi. Kelopak matanya terbuka. Memandang ke arah Carla yang meskipun hanya tampak punggung saja, karena gadis itu berdiri membelakangi mereka.
Deon yang sejak tadi memperhatikan Lucas dengan sangat lekat tak kuasa menahan tawa. Lelaki dengan jiwa humoris high level itu mengeluarkan tawanya yang keras dan memekakkan telinga. Terutama bagi Aydan. “Tolong lo kalau ngehalu jangan tinggi-tinggi banget, Lucas. Cowok dengan tampang kaya lo nggak bakalan pernah dilirik sedikit pun sama Carla,” ucapnya dengan tawa yang kembali mengudara. Tak peduli jika tatapan aneh beberapa siswa menyorot ke arahnya. Oh, tidak! Lebih tepatnya memperhatikan mereka bertiga. Jangankan ada tingkah yang mereka perlihatkan tidak menyita perhatian. Mereka hanya sekedar berjalan saja sudah menjadi pusat perhatian. Khususnya kamu hawa.
“Lagian nih, ya. Gue kasih tau sama lo. Carla kan sekarang pacarannya sama si Devan. Anak kelas XI IPA2 yang jadi ketua OSIS itu. Yah! High class-lah,” kata Deon untuk mengingatkan Lucas.
“Terus lo sendiri kenapa kayak memuja Carla banget?”
Deon bergerak cepat pindah posisi ke samping Lucas. Ia letakkan tangannya di pundak Lucas yang lebih pendek beberapa senti darinya. “Emang apa yang salah coba kalau gue memuja si Carla? Ingat, ya! Gue Cuma muja doang, muja kecantikannya. Bukan ngehalu kayak lo sampai pengen jadiin pacar. Nggak salah kan gue?”
Dengan kasar Lucas menyingkirkan tangan Deon. “Iya. Soalnya lo kayak cewek. Nggak pernah salah.”
Deon menepuk pelan pundak Lucas. “Gue sih suka sama temannya. Si Arabelle. Paham?”
“Tapi, terserah gue juga dong mau suka sama siapa aja. Lagian, Carla sama Devan masih Cuma sebatas pacaran. Belum terikat tali pernikahan. Jadi, gue masih punya kesempatan besar buat dapetin dia,” sanggah Lucas tak mau kalah.
Rupanya kalimat yang diucapkan Lucas itu terdengar lucu di telinga Deon. Buktinya lelaki itu lagi-lagi tertawa dengan keras. “Manusia dengan tampang dan kelakuan kayak lo nggak bakal bisa ngalahin Si Devan. Lo harus sadar diri sejak awal. Sebelum lo ngerasain sakitnya dicampakin.”
Aydan yang sejak tadi hanya berdiam diri tanpa berniat untuk ikut nimbrung pembahasan Deon dan Lucas sudah mulai merasa jengkel. Ia mendengus kesal. “Lo berdua apa-apaan sih? Ribut mulu. Nggak bisa, ya, kalian sehari aja nggak bahas tentang dua cewek itu? Gue aja yang dengar bosan.”
Lucas dan Deon menatap Aydan bersamaan dengan tatapan bingung. Hal langka dari seorang Aydan tiba-tiba muncul. Ya, karena bicara panjang adalah hal terlangka di hidup Aydan. Lelaki itu kalau bicara hanya singkat dan seadanya saja.
“Emang lo nggak tertarik gitu sama Carla atau Arabelle, Dan?” tanya Lucas dengan ekspresi polos. Lagipula. Ia benar-benar bingung pada Aydan. Di tengah para siswa yang begitu mengagumi Carla. Mungkin hanya Aydan seorang yang bahkan melirik gadis itu pun enggan.
“Nggak sama sekali,” jawab Aydan dengan cepat.
“Kayaknya lo dilahirin emang bukan jadi cowok normal, Dan,” celetuk Deon spontan mendengar jawaban Aydan. Celetukan yang berhasil mengundang tawa Lucas.
Tatapan tajam Aydan menyorot Lucas dan Deon secara bergantian. “Lo berdua yang nggak normal! Tertarik cuma sama cewek kayak Carla dan Arabelle. Masih banyak tuh cewek yang lebih segalanya dari mereka berdua. Apalagi si Carla. Aduh! Selera kalian rendah banget.”
“Lo apaan dah, Dan? Manusia sesempurna mereka lo kata rendah. Sehat nggak sih lo?” Lucas tak terima.
“Gue setuju banget sih sama lo kali ini, Cas.” Deon berucap untuk membenarkan apa yang dikatakan Lucas sebelumnya.
“Terserah lo-lo pada dah. Gue sudah benar-benar malas dengarin pembahasan tentang cewek terus-terusan. Kayak nggak ada bahasan lain yang jauh lebih penting aja.” Aydan memasang earphone untuk menutupi sepasang telinganya dengan niat menghalau suara berisik yang ditimbulkan Lucas dan Deon. Ia tak berbohong dengan rasa malasnya membahas tentang perempuan. Pasalnya, bagi Aydan sekarang apapun yang menyangkut tentang perempuan hanya membuatnya ribet. Belajar dari pengalamannya yang pernah menjadikan kakak kelasnya sebagai pacar. Meski tak lama.
“Kayaknya Aydan emang benar-benar nggak normal, ya, Cas? Coba cewek secantik Carla dan Arabelle aja nggak bisa bikin dia tertarik.”
“Entahlah temen lo. Gue juga nggak tau. Gue juga nggak paham.”
Deon dan Lucas lantas tertawa kencang. Sedang Aydan yang sudah tak ingin menggubris kelakuan kedua temannya itu berlalu begitu saja. Dengan pasti ia melanjutkan langkahnya yang semoat terjeda. Namun, seketika terhenti saat ia teringat barangnya tertinggal di ruang ganti.
“Mau ke mana?” tanya Lucas yang melihat tubuh Aydan berbalik, melangkah dan melewatinya.
“Duluan aja. Ada yang ketinggalan,” sahut Aydan yang dibalas anggukan oleh kedua temannya.
Sepasang tungkai membawa tubuhnya bergerak maju melewati koridor. Namun, sebuah suara berhasil membuatnya terpaku di tempat.
“Abang!”
Aydan tak ingin menoleh sama sekali ke belakang. Ia tahu siapa pemilik suara itu. Adalah seseorang yang Aydan coba hindari.
“Bang, tunggu!”
Sekali lagi suara itu terdengar. Sudah lama sekali sepasang telinganya tak menangkap panggilan itu. bohong jika hatinya tak tersentuh. Ia terharu dalam diam. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum tipis. Rasanya ingin sekali berbalik dan menyapa sang empunya suara. Namun, ia berusaha menepis jauh apa yang dirasakannya itu. Ia tak boleh kalah. Ia harus menjadi dari orang tersebut.
Aydan kembali mengayunkannya lebih cepat dan lebar dari sebelumnya. Ia tidak ingin bertemu dengan orang tersebut. Tidak boleh.
“Abang!”
Panggilan untuk ketiga kalinya kembali mengudara. Namun, Aydan berusaha menulikan inderanya. Ia tak mengindahkan panggilan itu. Hingga sebuah tarikan tangan dengan paksa menghentikan langkahnya dan berbalik. Tatapannya bertabrakan dengan sepasang bola mata yang sipit. Dengan jarak sedekat itu ia bisa melihat bagaimana lentiknya bulu mata seseorang yang memanggilnya.
“Kenapa sih lo ngehindarin gue kayak gitu terus, Bang? Salah gue apa coba?” tanya seorang siswa yang mengenakan seragam yang sama seperti Aydan. Bedanya lelaki yang memanggil Aydan itu menutupi seragamnya dengan hoodie.
Aydan menatap lelaki itu datar. “Berhenti manggil gue Abang. Karena, gue bukan kakak lo!” ucap Aydan memberi penegasan dengan penekan kuat di setiap kata yang keluar dari bibirnya. Ia benci dengan panggilan itu. Ia benci mendengar kata yang mengharuskannya mengingat kepingan peristiwa di masa lalunya.
“Tap—”
Aydan mengangkat tangannya ke udara. Membuat lelaki itu tak bisa melanjutkan kalimatnya. “Pergi dan jangan ikuti gue! Di sini kita bukan siapa-siapa. Kita hanyalah orang asing yang sama sekali nggak saling kenal,” tegasnya. Ia membalik badan dengan angkuh. Namun, rasa sesal begitu saja mendekapnya. Perasaan yang sebenarnya hancur itu ia bawa menjauh dari hadapan lelaki yang memanggilnya Abang itu. Pandangannya mulai memburam. Air mata mulai bergumul di kelopak mata. Dalam hati ia benar-benar merutuki sikapnya yang berusaha tak acuh pada lelaki tadi. Ia menyesal.
“Bang, jelasin salah gue apa sama lo?”
Lelaki itu belum juga menyerah menuntut jawaban darinya. Namun, Aydan masih berusaha tak mempedulikan suara lirih yang maish bisa ditangkap telinganya. Ia masih dikuasai ego. Tekadnya untuk tidak lagi dekat dengan si pemilik suara sudah benar-benar bulat. Dan cara satu-satunya adalah dengan ia berusaha pergi, berusaha tak peduli.
Aydan menyandarkan tubuhnya pada tembok putih ruang kelas. Tubuhnya merosot menyentuh ubin yang dingin. Ia menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. Ia tentu tak ingin orang lain melihat wajahnya yang kacau. Kini yang ia rasakan adalah sesal yang membuat sesak. Benci juga pada dirinya sendiri.
Air yang menggenang di kelopak matanya runtuh, membentur dan menembus tembok pertahanan. Pikirannya kacau. Entah sudah berapa kali ia merutuki dirinya sendiri.
“Maafin gue, Dev. Gue Cuma nggak mau lo kena dampak kesialan dari diri gue. Gue nggak mau hal-hal buruk terjadi sama lo. Kayak Papa dan Mama.” Ia memeluk tubuhnya sendiri. Menumpahkan tangisnya yang sudah pecah.
“Kenapa sih Papa sama Mama harus pergi dari hidup Aydan? Kenapa, Pa, Ma?” lirihnya bertanya pada diri sendiri. “Kalian tau, nggak? Kepergian kalian adalah kesakitan bagi Aydan. Aydan hanya dianggap anak sial oleh orang-orang setelah kepergian kalian.” Ia mengadu pada udara. Pada ruang kosong.
Kata-kata lirih mengalun dari bibirnya. Ia tumpahkan segala keluh kesah yang tertimbun menyesakkan dada. Kesah yang tak pernah orang lain tahu. Ya, tak ada satu pun.
Aydan terlampau kacau sekarang. “Sial! Kenapa sih hidup gue kayak gini?” Ia menggeram kuat. Ditinjunya udara berulang kali. Melampiaskan kemarahan yang menyapa.
“Akh!” teriak Aydan sambil menjambak rambutnya frustasi. Tak peduli jika nanti masih ada manusia yang mendengar teriakannya.
Benar saja. Tanpa Aydan sadari, lelaki yang Aydan hindari tadi justru mendengar semua yang diucapkan Aydan. Lelaki itu meremat hoodie-nya dengan kuat. Menahan gejolak dalam dadanya. Jadi, serapuh itu Aydan selama ini, pikirnya.
Dari celah pintu ia bisa melihat bagaimana wajah kacau Aydan. Ia meringis tertahan. Andai saja diizinkan ia tentu sudah memeluk Aydan dan berusaha menenangkan. Namun, alih-alih menyentuh Aydan. Hanya sekedar menyapa saja lelaki itu sangat enggan.
Entah dari mana datangnya rasa sesak itu. Tiba-tiba saja pasokan oksigen seakan perlahan menghilang. Lelaki itu menepuk dadany pelan sambil menunduk. Berharap rasa sesak itu segera enyah dan tak menyiksa.
“Devan, lo kenapa?” tanya seorang siswi dengan name tag Sarah Adnia W dengan suara yang melengking sambil berlari mendekati Devan.
Ya. Lelaki yang berusaha mendekati Aydan itu adalah Devan—adik sepupu Aydan.
Devan hanya menggelengkan kepala. Membuat butiran keringat di keningnya terjatuh menyentuh lantai. “Nggak apa-apa, Sar,” jawabnya berusaha baik-baik saja. Ia kembali berdiri tegak dengan susah payah. Berusaha tersenyum ke arah Sarah—teman sekelas sekaligus teman satu organisasinya.
“Serius, Dev? Muka lo pucat banget lagi.” Sarah tak percaya. Ia tahu bagaimana seorang Devan yang susah sekali untuk terbuka.
Kepala Devan mengangguk dengan tatapan sayu. Lantas, menoleh ke arah ruang kelas di mana ia melihat Aydan. Namun, kini ia sudah bisa menangkap tubuh itu sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah datar. Ia yakin ini pasti karena Aydan yang mendengar pekikan Sarah. Lantas, ia tersenyum tipis ke arah Aydan dan menganggukkan kepala seakan berkata “Aku baik-baik saja”.
“Sar, gue duluan, ya,” ucap Devan dengan susah payah. Dadanya masih naik turun tak konstan. Napasnya masih tersengal seakan baru saja berhenti lari maraton.
“Gue nggak yakin lo baik-baik aja, Dev. Gue anterin pulang, ya.”
Devan hanya menggelengkan kepala. Sedangkan tangannya sudah berpegangan di dinding. Berusaha membantu tungkainya untuk menahan bobot tubuhnya agar tak roboh. Itu tidak boleh terjadi. Ia tidak ingin menyusahkan Sarah dan Aydan. Tunggu! Aydan? Terlalu percaya diri jika ia berharap Aydan akan membantunya. Toh, tadi saja Aydan sangat tidak ingin melihatnya.
“Lo lupa kita kenal sudah berapa lama, Dev?”
Kalimat itu berhasil membuat Devan akhirnya mengangkat bendera putih tinggi-tinggi. Ia salah orang untuk dibohongi. Sarah teman sekelasnya. Jelas gadis itu tahu tentangnya.
Tanpa suara Sarah mengalungkan lengan Devan di lehernya. Membantu lelaki itu berjalan dengan pelan.
Sedangkan seseorang yang berdiri di ambang pintu itu hanya menatap pilu punggung yang semakin menjauh. Sebelum tubuh Sarah dan Devan benar-benar menghilang di balik dinding. Ia bisa melihat Devan menoleh dan tersenyum. Namun, justru itu sangat menyakiti dirinya.
“Apakah aku terlalu jahat padanya?”
Carla melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil berjalan setengah berlari. Ia menepuk keningnya dengan keras setelah melihat waktu yang ditunjukkan arlojinya. Dua menit lagi bel masuk akan berbunyi. “Sial! Jangan sampai gue telat di hari pertama masuk ini. Nggak mungkin dong siswa baru bakal telat, ‘kan? Oh, itu tidak boleh terjadi,” monolognya sambil mempercepat langkah. Tak peduli jika apa yang dilakukannya akan membuatnya berkeringat dan seragamnya akan basah. “Sedikit lagi, Carla!” Gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Larinya semakin dipercepat sekuat yang ia bisa. Salahnya di hari pertama masuk sebagai siswa baru ia memilih berangkat menggunakan taksi online daripada menerima tawaran Muti—ibu tirinya. Dan sialnya lagi taksi yang ia tumpangi justru mengalami masalah di tengah jalan. Sedikit beruntung jarak sekolah tak terlalu jauh. Alhasil, berakhirlah ia dengan berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah barun
Aydan memarkir motor sport-nya di depan rumah bercat putih itu. Ia melepas helm full face yang melindungi kepalanya saat dalam perjalanan. Untuk kemudian tas sekolahnya ia sampirkan pada sebelah pundak. Ia berjalan memasuki rumah tanpa suara. Saat pintu sudah terbuka. Ia tak menemukan siapapun di sana. Rumah itu mencerminkan tempat tak berpenghuni. Sepi dan sunyi.
Satu tempat dari bagian SMA Nusa yang menjadi sasaran para siswa setelah dering bel istirahat berbunyi adalah kantin. Saat ini tempat tersebut sudah dipadati oleh para siswa yang ingin memberikan asupan untuk cacing-cacing di perut mereka yang sudah meminta jatah sejak tadi. Di sana juga tak luput tiga siswa yang menjadi most wanted di sekolah. Tiada lain tiada bukan Aydan dan kedua temannya—Deon dan Lucas—yang kerapkali dijuluki dengan sebutan “Trio G” itu. Mereka asyik bercengkrama. Lebih tepatnya hanya Deon dan Lucas. Sedang Aydan hanya menjadi pendengar setia mereka dan sesekali hanya tersenyum tipis. Gelak tawa Deon dan Lucas sesekali melengking, bercampur dengan udara dan riuh pengunjung kantin lainnya. Dan seperti biasa, apapun yang mereka lakukan pasti akan berhasil menyita perhatian kaum hawa di sana. Bahkan setiap pergerakan yang mereka lakukan tak luput dari tatapan memuja. Tak hanya itu, bisik-bisik dengan kalimat pujian pun tak urung sampai di indera pe
Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah. Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas. “Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan. “Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nun
Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa. Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya. “Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko. Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka. “Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang ent
Carla menyentuh knop pintu dan membuka benda dari bahan kayu tebal itu. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan yang bisa tertangkap indera. Di rumah sebesar istana itu ia hanya menemukan sepi. Rumah itu seperti tak ada kehidupan yang berjalan di sana yang mengharuskannya untuk kembali menghela napas panjang. “Bibi!” pekiknya untuk mendeportasi sunyi. Tak lama setelah suara Carla yang melengking dan mengudara. Seorang wanita dengan setelan daster rumahan berlari kecil mendekat. “Iya, Non. Baru pulang sekolah, ya?” Carla menjawab dengan anggukan. Tangannya yang sejak tadi terlipat di depan dada terlepas untuk menggamit dan mencium tangan kasar dan keriput milik wanita yang sudah mengabdikan diri di keluarganya sebagai asisten rumah tangga itu. Lama menjadi pekerja di rumahnya membuat Carla terbiasa, bahkan bergantung pada wanita yang sering ia panggil Bi Aini. “Bi, aku pulang sama Devan. Boleh minta tolong buatkan minum buat Devan? Aku mau k
Carla menatap lurus ke depan. Menatap pintu kaca yang tertutup rapat di mana di dalamnya ada sang ibu yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas berulang kali setiap mengingat kondisi ibunya. Juga menahan rasa kesal bercampur kecewa pada sang ayah yang belum juga datang ke rumah sakit. Gadis itu menoleh ke samping. Melihat Devan yang sejak tadi hanya terdiam dengan tubuh yang bersandar sempurna dan kepala yang menengadah ke atas. Ia bingung pada lelaki itu yang lebih banyak diamnya sekarang. Apalagi melihat Devan dengan wajah yang pucat. Apakah Devan sakit, pikirnya. Terlebih lagi dengan Devan yang meletakkan tangan di dada dan mengusap pelan bagian tubuhnya yang satu itu. ia juga melihat dada lelaki itu naik turun sedikit tak beraturan. Carla menyentuh pundak Devan pelan membuat lelaki itu sedikit tersentak. “Dev, kamu kenapa?” tanya Carla sedikit khawatir melihat wajah pucat Devan. Ia tak tahu betul apa yang tengah terjadi pa
Asap yang mengepul dari mulut Aydan bercampur dengan udara sore. Juga dengan asap dari secangkir kopi di sampingnya. Untuk mencari tenang yang jarang, Aydan hanya bisa melakukan hal itu. Kendati ia tahu apa yang dilakukannya bukanlah hal yang tepat dan tentu saja tak baik untuk tubuhnya. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa melakukan hal itu untuk mencari sebuah ketenangan. Kakinya yang jenjang menjuntai di kolam, menikmati segar air jernih di sana. Sedang kepalanya menengadah ke atas. Menatap angkasa yang membiru dan sebentar lagi akan berubah hitam pekat. Ia tersenyum tiba-tiba. Tipis sekali. Saat teringat wajah yang ia pandang dengan jarak sangat dekat di dalam kepala. Untuk pertama kali. Sebuah bayangan bisa menyeret bibirnya agar melengkung ke atas. Ah, ada apa ini? Aydan menepis kembali bayangan itu. Untuk apa ia membayangkan manusia yang selalu membuat kesal dirinya? Tidak boleh ia membawa masuk lagi urusan perempuan ke dalam hidupnya yang pelik. Itu tidak boleh ter
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Tubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu. Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian. Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Aydan kini sudah berada di perkiran. Ia berdiri di samping mobilnya. Rasanya enggan untuk ia pulang ke rumah di mana banyak kenangan di sana bersama Papa dan Mama. Namun, bukan itu alasan lelaki yang sebentar lagi menginjak umur tujuh belas tahun itu. Melainkan perlakuan sang Oma yang kerap kali membuatnya harus menelan pil pahit sendirian.Lalu, ke mana Aydan akan pergi jika tidak ke rumah itu? Bahkan, keluarga lainnya satupun tak berada satu kota dengannya.Aydan menghela napas panjang dan berat. Ia segera menyentuh pintu mobil untuk membukanya. Namun, tangan seseorang yang tampak hanya tinggal tulang saja mencekal tangannya seiring suara memelas itu terdengar di ceruk telinga."Bang, aku ikut pulang bersamamu, ya."Aydan tahu betul siapa manusia yang kini berada di belakangnya. Ia melepas cekalan tangan kurus itu. Kemudian, ia membalik badan. Seketika ngilu terasa ulu hatinya menatap wajah pucat Devan dengan seragam yang sudah tampak kebesaran. Ke mana tubuh k
Entah sudah berapa lama Carla masih setia berdiri di depan sebuah ruang kelas. Berharap pagi ini ia bisa menemukan sosok laki-laki yang sudah menghilang tanpa kabar yang jelas sejak empat hari yang lalu. Bahkan, Aydan pun sudah ia teror hampir setiap detiknya hanya sekadar mencari informasi tentang kekasihnya, Devan. Namun, sia-sia saja. Aydan sama sekali tidak bisa menjadi ladang informasi yang baik untuknya.Namun, sepertinya pagi ini Dewi Fortuna tengah berbaik hati pada gadis berambut pirang itu. Dari kejauhan ia bisa menangkap seonggok tubuh laki-laki yang sudah beberapa hari ini tak dilihat atensinya tengah berjalan di koridor sekolah. Seperti biasanya dengan tubuh yang terbungkus jaket. Hal itu kemudian membuat kedua sudut bibir Carla terangkat dan membentuk lengkungan tipis yang manis."Dev!" ucap Carla menyerukan nama Devan tanpa malu seraya melambaikan tangan ke arah laki-laki itu. Ya, untuk apa juga Carla harus merasa malu sekarang? Hubungan yang ia jalin dengan Devan sudah
Laki-laki bersurai hitam legam dengan sepasang manik warna serupa itu melajukan langkahnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah ruang yang sudah diberitahukan oleh Salmira dan Aji sebelumnya. Pahatan wajah dengan rahang tegas itu masih tampak sangat kacau dengan semburat garis kekhawatiran di sana yang tak bisa disembunyikan oleh tuannya. Satu hal yang memang Aydan sulit untuk pungkiri ketika sudah menyangkut kondisi Devan. Kendati sejauh ini ia lebih sering menunjukkan sikap tidak peduli pada sepupunya itu."Pa, Ma," panggil Aydan setelah membuka perlahan pintu ruang rawat itu. Seketika aroma antiseptik menyeruak menyapa indra penciuman. Ia segera melangkah mendekati sepasang suami istri yang duduk di dekat tempat tidur pasien tipis itu. Layaknya Aydan menghormati orang tua kandungnya, ia mencium punggung tangan Salmira dan Aji secara bergantian. Sekarang, perlahan ia sudah bisa membuka ruang untuk menganggap pasangan itu sebagai orang tuanya sendiri.Aydan beralih menatap seseorang yang
“Hm, Bang,” panggil Carla tanpa menoleh ke samping dan sukses memecah keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat Ilmi dengan sebuah panggilan yang masih terdengar sangat kaku dan canggung tentunya. Ya, wajar saja jika memang demikian. Carla masih belum terbiasa dengan panggilan barunya pada sosok laki-laki yang pada hari pertamanya masuk sekolah sudah memberikan kesan mengesalkan untuknya. Namun, kini laki-laki itu sudah tampak berbeda di pandangan Carla. Ada sisi lain yang sudah Carla temukan dari laki-laki yang kini duduk tepat di sampingnya itu. Laki-laki dengan rambut hitam pekat itu menoleh ke arah gadis yang memanggilnya untuk pertama kali dengan panggilan “Abang” itu. Ia menyibak rambutnya ke belekang yang sedikit menjuntai di depan kening. Andai saja ia melakukan hal itu di hadapan gadis-gadis berseragam putih abu-abu di sekolah. Sudah sangat bisa dipastikan hal itu akan sukses menarik perhatian mereka. Lalu, teriakan histeris akan terdengar dan pujian akan ketampanan Aydan
Aroma antiseptik menyeruak mengisi indera penciumannya. Kalau boleh jujur, Carla tak pernah ingin terjebak di gedung putih ini, karena tak menyukai aroma yang membuat perut terasa ingin mengeluarkan segala isinya. Namun, apalah daya seorang Carla Farzana, keadaan memaksa untuk menginjakkan kaki di tempat yang isinya orang-orang yang mengandalkan tenaga tim medis itu. Seperti saat ini. Ia harus kembali menjebak diri di ruangan di mana seorang wanita paruh baya yang telah mengorbankan banyak hal—untuknya dan Karel—tengah terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang tak ia tahu apa namanya menempel di tubuh ringkih dan kurus itu. Ia dengan setia menggenggam tangan kurus Ilmi seraya memainkan ibu jarinya di punggung tangan. Dalam hati ia menyesal telah berbuat hal yang mungkin membuat kecewa ibunya. Namun, Carla juga tak bisa berbohong bahwa tak mudah untuk menerima seseorang yang tiba-tiba hadir di tengah keluarganya. Apalagi dengan status sebagai istri kedua sang ayah.
Sepasang tungkai milik Aydan mengayuh lebar menuju toilet rumah sakit dengan niat menyusul Devan yang sejak pergi. Rasa khawatir yang merajalela dalam diri membuatnya kalang kabut. Sekali lagi Aydan tekankan pada siapapun juga. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Devan—adiknya. Ya Devan adiknya. Tangan kekarnya membuka pintu toilet dengan brutal hingga menyita para pengguna di sana. Aydan tak peduli. Persetan dengan tatapan tak suka mereka. “Dev, lo di mana?” pekiknya tanpa malu. Ia menyenggol tubuh seseorang tanpa sengaja. Namun, rasa khawatir yang begitu hebat tak justru membuatnya meminta maaf. Ia bahkan menatap tajam orang tersebut karena merasa sudah mengganggu jalannya. Ia berdecak kesal kemudian berlalu. Aydan membuka satu per satu bilik toilet rumah sakit. Namun, tak ia temukan seseorang yang dicarinya. Hingga tangannya menyentuh bilik toilet terakhir dan paling ujung yang terkunci dari dalam. Ia yakin di dalam sana ada Devan. “Dev, lo di dalam kan?” tanya
Sepasang netra milik Devan sudah bisa menangkap sosok gadis yang sejak tadi ia cari di taman rumah sakit. Sesosok gadis berambut pirang yang ia sebut kekasih tengah duduk di depan ruang ICU. Devan mempercepat langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Seakan lupa dengan rasa sakit yang menikam dadanya. Atau setelah ini ia akan merasakan sakit yang lebih parah lagi. Juga ia lupa bahwa ia datang bersama seseorang yang sejak tadi membantu menopang tubuhnya. Aydan."Hai, By," sapa Devan dengan lembut. Ia menyentuh pundak gadis yang tengah duduk tertunduk dalam itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh gadis itu karena berusaha menahan tangisnya agar tak tumoah begitu saja.Begitu Carla merasakan ada sentuhan lembut. Ia perlahan mengangkat kepala. Tampak jelas jehak air mata yang dengan bebas dan tanpa permisi lebih dulu menjelajahi wajah putih mulusnya hingga basah. Lantas, ia bngkit dan menghambur memeluk Devan hingga hampir saja tubuh lelkai itu limbung karena belum siap dengan aksi Carl