Satu tempat dari bagian SMA Nusa yang menjadi sasaran para siswa setelah dering bel istirahat berbunyi adalah kantin. Saat ini tempat tersebut sudah dipadati oleh para siswa yang ingin memberikan asupan untuk cacing-cacing di perut mereka yang sudah meminta jatah sejak tadi. Di sana juga tak luput tiga siswa yang menjadi most wanted di sekolah. Tiada lain tiada bukan Aydan dan kedua temannya—Deon dan Lucas—yang kerapkali dijuluki dengan sebutan “Trio G” itu. Mereka asyik bercengkrama. Lebih tepatnya hanya Deon dan Lucas. Sedang Aydan hanya menjadi pendengar setia mereka dan sesekali hanya tersenyum tipis.
Gelak tawa Deon dan Lucas sesekali melengking, bercampur dengan udara dan riuh pengunjung kantin lainnya. Dan seperti biasa, apapun yang mereka lakukan pasti akan berhasil menyita perhatian kaum hawa di sana. Bahkan setiap pergerakan yang mereka lakukan tak luput dari tatapan memuja. Tak hanya itu, bisik-bisik dengan kalimat pujian pun tak urung sampai di indera pendengaran mereka. Namun, itu tentu saja tak diacuhkan sama sekali oleh mereka. Sebab, hal itu bukan lagi hal luar biasa.
“Dan,” panggil Lucas dengan mulut yang sudah terisi makanan. Ia menatap ke arah lelaki yang dipanggilnya tadi seraya menyilangkan tangan di depan dada. Seakan siap untuk menginterogasi temannya itu.
Lelaki dengan perawakan tinggi dan alis tebal yang tengah menyendokkan makanan itu menoleh ke arah Lucas. Alisnya terangkat sebelah. Sedang tangannya menggantung di udara tepat di depan mulut. “Kenapa?”
Sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan Aydan, Lucas lebih dulu menelan makanan yang memenuhi mulutnya. Ia menyambar es teh di depannya dan meneguk hingga tersisa setengah. Dengan tampang serius ia menatap Aydan. Lantas, ia letakkan tanganya di atas meja dan menopang dagu. “Kenapa lo kayaknya benci banget sama Carla? Lo ada masalah sama dia?”
Sebentar Lucas melirik Deon yang duduk tepat di sampingnya. Namun, yang diliriknya justru tak acuh dan sibuk menikmati semangkok bakso di atas meja. ia menyenggol tangan Deon dengan lengannya dan melempar pertanyaan, “Lo juga ngerasa nggak sih?”
Deon geram dengan cara Lucas. “Harus banget, ya, pakai nyenggol segala. Nih lihat! Seragam gue jadi kotor gara-gara lo,” sungut Deon pada Lucas.
“Ya sorry. Gue kan nggak sengaja juga. Tangan gue refleks juga nyenggol lo.” Lucas memunculkan wajah polosnya. Ya, lebih tepatnya berpura-pura polos. Karena, dalam hati ia sudah terbahak bukan main. Tak lupa dengan mengangkat dua jemarinya—jari telunjuk dan jari tengah—membentuk huruf V.
Deon yang terlanjur kesal hanya bisa mendengus melihat tingkah Lucas. Tangannya mulai sibuk membersihkan seragamnya yang kotor dengan tisu karena terkena kuah bakso yang sudah bersiap-siap masuk ke dalam mulut, tetapi harus tumpah karena senggolan Lucas. “Tapi, kayaknya apa yang lo bilang barusan emang bener sih, Cas. Gue juga ngerasanya gitu,” sahutnya setelah merasa tak kesal lagi.
Aydan yang dibicarakan Deon dan Lucas justru sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan kedua temannya itu. Ia memilih diam dan fokus dengan gawai yang ada dalam genggaman. Memang Aydan tak pernah merasa tertarik dengan pembahasan yang mengikutsertakan gadis yang sejak pertama kali ditemuinya saja sudah membuatnya kesal setengah mati. Sebenarnya, setelah pertemuan pertama dengan gadis itu. Mereka tak pernah lagi dilibatkan dengan masalah yang membuat geram. Namun, Aydan memang sudah terlampau kesal dengan sikap gadis itu. Karena, gadis itu memang satu-satunya manusia yang berani melemparnya.
“Coba lihat deh, De. Bahkan, kita sindir pun dia nggak respons apapun.” Lucas bingung dengan sikap Aydan yang seperti benar-benar tak peduli dengan sekitarnya. Namun, untuk perihal jika ada orang yang membutuhkan bantuan. Aydan memang menjadi orang pertama yang akan menolong. Seperti katanya, “Gue emang cuek. Tapi, jiwa prikemanusiaan gue masih jalan.”
Merasa kesal dengan tidak adanya respons dari Aydan membuat Deon menendang kaki lelaki itu.
Aydan meringis. “Sial! Kenapa lagi sih?” tanya Aydan dengan raut wajah kesal bercampur kesakitan. Bagaimana tidak? Tendangan Deon yang tak main-main tepat mengenai tulang keringnya.
“Gue sama Lucas lagi ngomongin lo, Dan? Lo nggak denger?”
Lelaki bersurai hitam itu mengembuskan napas panjang. Ia juga memutar bola matanya malas. “Telinga gue masih bisa berfungsi dengan baik dan normal. Jangankan suara lo berdua yang nggak guna itu pasti aja gue denger. Noh!” Aydan menunjuk sembarangan manusia-manusia yang duduk di meja kantin dengan dagunya. “Suara bisikan cewek-cewek di meja seberang aja masih bisa gue denger dengan jelas. Paham?”
“Terus kenapa lo diam aja dari tadi?” Deon masih tak menyerah menyerbu Aydan dengan pertanyaan.
“Harus banget gitu gue ikut nimbrung?” Aydan meletakkan ponselnya di atas meja. Juga dengan sepasang tangannya yang ia lipat rapi setelah menyingkirkan mangkok kotor dan gelas di sana. Ia menatap bergantian Lucas dan Deon yang juga tengah menatapnya seperti menunggu bibirnya mengucap apa saja. “Untuk pembahasan yang nggak ada manfaatnya kayak pembahasan kalian tadi. Maaf gue nggak bisa nimbrung. Waktu gue terlalu berharga untuk hal kayak gitu,” ucapnya serius. Kemudian, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Ia tersenyum tipis dengan tangan terlipat di depan dada.
Lucas yang tak mau kalah menirukan aksi Aydan dengan melipat tangan di atas meja. “Tapi, jujur nih. Demi apapun, ya, Dan. Gue bener-bener bingung, heran, bahkan lebih dari itu.” Ia memperbaiki duduknya dan menatap Aydan dengan lekat. “Kenapa cewek secantik Carla nggak bisa buat lo tertarik sedikit pun?” Kali ini Lucas bertanya serius.
“Gue cuma nggak mau teribat dengan urusan cewek. Ribet dan selalu bikin gue pusing,” jawab Aydan dengan santai. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan kosong. Bisa dipastikan aksinya itu sudah membuat para gadis yang tengah memperhatikannya histeris dan memujinya bagai dewa.
“Emangnya lo sudah pernah ngerasain gimana rasanya pacaran, Dan? Kok lo bisa tau kayak gitu sih?” Lucas dengan sangat polos melemparkan pertanyaan itu.
“Pernah tuh sama Si Citra. Anak kelas XII. Tapi, cuma empat hari doang sih. Setelah itu gue putusin deh.”
Mulut Deon dan Lucas terbuka lebar. Mereka tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Keduanya saling melempar tatap.
“Serius?” tanya dua manusia yang duduk berseberangan dengan Aydan. Sedang Aydan hanya menanggapi dengan anggukan saja pertanyaan mereka.
“Sumpah dah. Gue kira itu cuma gosip doang,” kata Deon masih tak percaya.
“Dasar lo, ya, Dan. Cewek cantik aja bisa-bisanya lo hempas dengan mudah kayak gitu,” sambung Lucas. Ia tak habis pikir kenapa Aydan dengan begitu mudahnya melepas gadis yang bahkan sudah jadi incaran siswa-siswa di sana.
Aydan hanya menanggapi dengan santai. Ia menyandarkan tubuh dan menyilangkan tangan di depan dada. “Gue kan sudah bilang. Gue nggak mau dibikin ribet sama perempuan.” Ia menjeda ucapan dengan meneguk minumannya di atas meja. “Kalau kalian mau, gue bisa kasih kontak Si Citra untuk kalian dengan cuma-cuma. Gratis! Tidak dipungut biaya sepeser pun. Gimana?”
Dua manusia yang duduk di seberang meja saling melempar pandangan sebelum akhirnya mereka sama-sama berseru, “No!”
Begitu cepat kata itu terlontar dari bibir Lucas dan Deon membuat Aydan tertawa kecil.
“Gue nggak mau makan bekas temen,” kata Deon dengan nada suara yang terdengar jijik.
“Yups! Gue setuju banget sama lo,” sambung Lucas membenarkan. “Lagian, masih ada tuh Carla dan Arabelle. Gimana, De?”
Deon mengacungkan jempol. “Of course! Pokoknya mereka jauh lebih segala-galanya daripada si Citra hand and body lotion itu.”
Deon dan Lucas tertawa keras. Mengundang perhatian lebih dari seisi kantin.
Aydan yang mulai sedikit risih dengan pandangan siswa lainnya hanya bisa mendengus kesal melihat kelakuan dua temannya itu. “Ribut banget sih kalian.”
Untuk tanggapan kedua temannya yang tanpa dosa membuat Aydan mengembuskan napas kasal. Kali ini ia sudah kepalang kesal dengan polah Deon dan Lucas. Diraihnya earphone di atas meja dan digunakannya untuk menutupi sepasang telinga agar suara bising yang ditimbulkan temannya itu tak mengganggu indera pendengaran.
Untuk sikap Aydan yang mulai terlihat tak peduli itu membuat Deon dan Lucas mengembalikan fokus mereka dengan santapan masing-masing. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Atensi mereka tersita oleh kedatangan dua manusia dengan seragam sama seperti yang mereka kenakan. Tatapan mereka tampak berbinar.
“Panjang umur memang Si Carla dan Arabelle,” celetuk Deon.
Lain halnya dengan Aydan. Suara Deon yang berhasil menyelinap masuk ke telinga bersamaan dengan suara musik yang ia dengarkan membuatnya spontan bangkit dan berlalu begitu saja. Tak ada kata permisi yang ia ucapkan pada kedua temannya.
“Lho, itu kenapa pergi?” tanya Lucas setelah tubuh Aydan beranjak.
Deon mengedikkan bahu. “Nggak tahu gue. Biarin aja lagi. Gue mau nemuin Carla dulu, ah.” Ia tak perlu menunggu lama untuk berlalu juga meninggalkan Lucas.
“Sial! Kenapa sih gue harus punya temen yang sukanya ninggalin tanpa permisi? Kayak mantan gue aja. Ninggalin pas lagi sayang-sayangnya.”
°°°°°
Ruang kelas itu sudah tampak sepi. Seperti suasana istirahat biasanya. Hanya menyisakan beberapa manusia yang jumlahnya masih bisa dihitung hanya dengan jemari tangan saja.
Di sana ada Carla. Gadis berparas ayu dengan rambut pirang panjang itu masih belum ingin beranjak keluar. Ia masih menyibukkan diri dengan sebuah novel tebal di tangan. Sedang Arabelle yang duduk di sampingnya begitu tak ia acuhkan sama sekali. Padahal, gadis itu sudah berusaha menahan wajah kesalnya.
“La, lo sebenarnya mau ke kantin atau nggak sih? Demi apapun, ya, La. Gue laper banget,” kesal Arabelle untuk ke sekian kalinya.
Carla menoleh. Hanya sebentar. “Bentar dulu, Bel. Sedikit lagi nih. Nanggung lho,” jawabnya dengan sangat santainya.
“Janji, ya, sebentar lagi?”
Gadis itu hanya menganggukkan kepala. Lalu, kembali memfokuskan diri dengan buku bacaan di tangannya.
“Tapi, jangan kayak kemarin, ya. Gue udah capek-capek nungguin. Eh, lo malah perginya sama Devan.”
Carla mengalihakan pandangan ke arah Arabelle. Alisnya terangkat sebelah setelah mendengar nama kekasihnya disebut. Setelah itu, ia tersenyum tipis. “Maafin gue, ya.” Ia menyentuh pundak Arabelle pelan.
“Sekarang mau kayak gitu lo sama gue? Nggak kasian?”
“Devan lagi ada kegiatan, Bel. Lagian nggak mungkin tiap hari juga dong dia nemuin gue. Ya lo tau sendiri kan kalau Devan itu salah satu manusia super sibuk yang Tuhan ciptakan di muka bumi ini.”
Carla meletakkan novelnya di atas meja. “Gue juga sebenarnya risih kalau jadi pusat perhatian murid di sini karena sama Devan. Gue nggak mau jadi bahan gunjingan mereka.”
Arabelle tak langsung menjawab. Ia hanya membalas dengan senyum tipisnya.
“Kalau menurut gue sih itu emang salah satu resiko terlahir dengan paras cantik, La. Ditambah lagi dengan lo pacaran sama cowok yang menjadi incaran cewek-cewek, cowok ganteng dan pintar. Belum lagi Devan anaknya baik banget sama siapa aja. Wajar dong kalau lo bakal jadi pusat perhatian mereka pada.”
“Terus, lo sendiri nggak iri sama gue, Bel?” tanya Carla menggoda.
“Buat apa gue iri sama lo? Nggak ada gunanya juga sih, ya. Tapi, gue iri kalau lo deketnya sama Aydan,” balas Arabelle dengan tampang polos seperti biasanya.
Mendengar jawaban Arabelle membuat Carla mendengus kesal. Kenapa temannya itu begitu memuja Aydan? Padahal, hampir semua orang yang ada di SMA Nusa tahu bagaimana sifat cuek Aydan.
Carla lagi-lagi mengembuskan napas kasar. “Huh! Ayo ke kantin! Mood gue beneran rusak denger nama cowok itu.”
“Lo jangan gitu banget deh, La. Benci, ya, benci aja. Sewajarnya. Jangan berlebihan kayak gitu. Nanti lo jatuh cinta lagi sama Aydan.”
Carla berdecih. “Nggak bakalan, ya, gue jatuh cinta sama dia,” balasnya cepat. “Gue nggak akan jatuh cinta sama manusia sok ganteng, cuek, sombong, dan menyebalkan kayak Aydan.”
“Aydan emang ganteng kan, La,” sahut Arabelle membela Aydan.
“Terserah lo, ya. Gue nggak peduli.”
Carla menutup buku bacaannya dan meletakkan di dalam kolong meja. “Lo mau jadi ke kantin, nggak? Kalau nggak gue tinggal nih.”
“Jadi dong, La.”
°°°°°
Sesampai di kantin yang begitu ramai. Langkah Carla tiba-tiba tercekat begitu saja saat sepasang netranya menangkap sesosok lelaki yang tadi dibahasnya dan membuat kesal dirinya sendiri.
“Ada apa, La? Gue udah nggak tahan lapar banget,” ucap Arabelle yang tak tahu sebab langkah Carla berhenti.
Carla tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Nggak apa-apa, Bel. Lo sendiri aja, ya. Gue mau balik aja ke kelas. Lagian gue juga nggak lapar.”
Arabelle menatap bingung Carla. Ia heran melihat sikap temannya itu. “Apaan deh, Carla? Gue nggak mau tahu, ya. Pokoknya lo harus ikut sama gue. Titik!” ucap Arabelle final.
“Tapi, Bel—”
Arabelle tak peduli. Ia menarik dengan paksa tangan Carla hingga mau tak mau gadis itu harus mengikuti langkah kakinya.
“Bel, gue nggak lapar. Beneran deh.”
“Ya lo temenin gue dong.”
“Bel, ayo dong gue mau balik aja,” bujuk Carla sambil berusaha menghentikan langkah kaki Arabelle yang semakin cepat.
Arabelle tak mempedulikan sama sekali Carla. Lagipula, mereka sudah sampai di kantin. Nanggung jika harus kembali lagi.
Untuk kemudian Carla hanya bisa mengembuskan napas pasrah.
Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah. Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas. “Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan. “Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nun
Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa. Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya. “Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko. Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka. “Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang ent
Carla menyentuh knop pintu dan membuka benda dari bahan kayu tebal itu. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan yang bisa tertangkap indera. Di rumah sebesar istana itu ia hanya menemukan sepi. Rumah itu seperti tak ada kehidupan yang berjalan di sana yang mengharuskannya untuk kembali menghela napas panjang. “Bibi!” pekiknya untuk mendeportasi sunyi. Tak lama setelah suara Carla yang melengking dan mengudara. Seorang wanita dengan setelan daster rumahan berlari kecil mendekat. “Iya, Non. Baru pulang sekolah, ya?” Carla menjawab dengan anggukan. Tangannya yang sejak tadi terlipat di depan dada terlepas untuk menggamit dan mencium tangan kasar dan keriput milik wanita yang sudah mengabdikan diri di keluarganya sebagai asisten rumah tangga itu. Lama menjadi pekerja di rumahnya membuat Carla terbiasa, bahkan bergantung pada wanita yang sering ia panggil Bi Aini. “Bi, aku pulang sama Devan. Boleh minta tolong buatkan minum buat Devan? Aku mau k
Carla menatap lurus ke depan. Menatap pintu kaca yang tertutup rapat di mana di dalamnya ada sang ibu yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas berulang kali setiap mengingat kondisi ibunya. Juga menahan rasa kesal bercampur kecewa pada sang ayah yang belum juga datang ke rumah sakit. Gadis itu menoleh ke samping. Melihat Devan yang sejak tadi hanya terdiam dengan tubuh yang bersandar sempurna dan kepala yang menengadah ke atas. Ia bingung pada lelaki itu yang lebih banyak diamnya sekarang. Apalagi melihat Devan dengan wajah yang pucat. Apakah Devan sakit, pikirnya. Terlebih lagi dengan Devan yang meletakkan tangan di dada dan mengusap pelan bagian tubuhnya yang satu itu. ia juga melihat dada lelaki itu naik turun sedikit tak beraturan. Carla menyentuh pundak Devan pelan membuat lelaki itu sedikit tersentak. “Dev, kamu kenapa?” tanya Carla sedikit khawatir melihat wajah pucat Devan. Ia tak tahu betul apa yang tengah terjadi pa
Asap yang mengepul dari mulut Aydan bercampur dengan udara sore. Juga dengan asap dari secangkir kopi di sampingnya. Untuk mencari tenang yang jarang, Aydan hanya bisa melakukan hal itu. Kendati ia tahu apa yang dilakukannya bukanlah hal yang tepat dan tentu saja tak baik untuk tubuhnya. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa melakukan hal itu untuk mencari sebuah ketenangan. Kakinya yang jenjang menjuntai di kolam, menikmati segar air jernih di sana. Sedang kepalanya menengadah ke atas. Menatap angkasa yang membiru dan sebentar lagi akan berubah hitam pekat. Ia tersenyum tiba-tiba. Tipis sekali. Saat teringat wajah yang ia pandang dengan jarak sangat dekat di dalam kepala. Untuk pertama kali. Sebuah bayangan bisa menyeret bibirnya agar melengkung ke atas. Ah, ada apa ini? Aydan menepis kembali bayangan itu. Untuk apa ia membayangkan manusia yang selalu membuat kesal dirinya? Tidak boleh ia membawa masuk lagi urusan perempuan ke dalam hidupnya yang pelik. Itu tidak boleh ter
"Dev, kamu yakin nggak mau ikut makan malam di luar?" Salmira duduk di bibir tempat tidur Devan. Ia mengelus lembut lengan Devan yang terbungkus sweater tebal yang digunakan untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya angin malam. Tubuh yang begitu rentan ambruk meski tak dipaksa melakukan aktivitas berat. Dan satu jam yang lalu pun lelaki itu sempat terserang sesak yang sangat hebat. Hingga memaksanya untuk berdiam diri dan terbaring di kamar. Devan hanya menggeleng pelan. Bagaimana bisa ia ikut keluar jika tenaganya saja masih belum kembali setelah tadi habis diserap rasa sesak. Ia tersenyum tipis dan menatap sayu Salmira. "Lain kali aja, ya, Ma. Kalau Devan ikut nanti malah ngerepotin Mama sama yang lain." Ia tertawa kecil. Namun, sarat dengan kepedihan. "Anak Mama nggak pernah ngerepotin kok. Jadi, jangan bilang kayak gitu lagi, ya, Sayang." Lelaki itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh punggung tangan Salmira. "Terima kasih udah jadi ibu hebat untuk Deva
Bel istirahat baru saja berdering teramat nyaring. Wajah-wajah bahagia terpancar nyata dari murid-murid SMA Nusa. Raut-raut tak sabar ingin segera memberikan nutrisi kepada cacing-cacing di perut mereka pun tak luput dari pandangan. Lain halnya dengan gadis blasteran dengan kulit putih dan berparas ayu itu. Ia hanya sibuk memainkan polpen di sela-sela jemarinya. Wajahnya yang cantik tampak murung seperti dilanda mendung. Matanya yang indah menatap tangannya yang bermain di atas meja dengan tatapan sayu. Otaknya yang sejak tadi dipaksa mencerna materi terasa sudah penuh. Bukan karena materi yang sejak pagi itu, melainkan otaknya penuh memikirkan kondisi Ilmi yang semakin hari terlihat semakin memburuk dan memprihatinkan. Sejak pagi ia memaksa diri untuk memfokuskan diri dengan apa yang dihadapkan waktu padanya. Namun, ia gagal dan tak bisa bekerjasama dengan otaknya. Ia melipat tangan di atas meja. Lantas menunduk dan menenggelamkan wajah di antara lipatan tangannya.
“Kalian duluan aja. Ntar gue nyusul,” ucap Aydan yang langsung dibalas anggukan oleh kedua lelaki yang selalu membersamainya itu—Lucas dan Deon. Ia membereskan beberapa alat tulis dan alat yang ia gunakan membuat sketsa di sebuah sketchbook bersampul Menara Eifel itu. Saat merasa bosan dengan materi yang disampaikan guru. Ia seringkali menghabiskan waktunya dengan membuat sketsa apa saja dibanding tidur di kelas saat pelajaran berlangsung. Aydan bangkit setelah membereskan barang-barangnya. Ia melangkah keluar kelas dan menyusuri koridor sekolah dengan santai melewati para siswa yang tak menghabiskan waktu istirahat di kantin. Seperti biasa, bisik-bisik penuh pujian dan kekaguman tak ayal menelusup masuk ke indera pendengaran. Ia hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecut. “Dasar cewek,” uacpnya berbisik setelah berhasil melewati koridor. Kakinya tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Tak sengaja ia menangkap sosok Devan di tengah lapangan basket sambil men
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Tubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu. Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian. Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Aydan kini sudah berada di perkiran. Ia berdiri di samping mobilnya. Rasanya enggan untuk ia pulang ke rumah di mana banyak kenangan di sana bersama Papa dan Mama. Namun, bukan itu alasan lelaki yang sebentar lagi menginjak umur tujuh belas tahun itu. Melainkan perlakuan sang Oma yang kerap kali membuatnya harus menelan pil pahit sendirian.Lalu, ke mana Aydan akan pergi jika tidak ke rumah itu? Bahkan, keluarga lainnya satupun tak berada satu kota dengannya.Aydan menghela napas panjang dan berat. Ia segera menyentuh pintu mobil untuk membukanya. Namun, tangan seseorang yang tampak hanya tinggal tulang saja mencekal tangannya seiring suara memelas itu terdengar di ceruk telinga."Bang, aku ikut pulang bersamamu, ya."Aydan tahu betul siapa manusia yang kini berada di belakangnya. Ia melepas cekalan tangan kurus itu. Kemudian, ia membalik badan. Seketika ngilu terasa ulu hatinya menatap wajah pucat Devan dengan seragam yang sudah tampak kebesaran. Ke mana tubuh k
Entah sudah berapa lama Carla masih setia berdiri di depan sebuah ruang kelas. Berharap pagi ini ia bisa menemukan sosok laki-laki yang sudah menghilang tanpa kabar yang jelas sejak empat hari yang lalu. Bahkan, Aydan pun sudah ia teror hampir setiap detiknya hanya sekadar mencari informasi tentang kekasihnya, Devan. Namun, sia-sia saja. Aydan sama sekali tidak bisa menjadi ladang informasi yang baik untuknya.Namun, sepertinya pagi ini Dewi Fortuna tengah berbaik hati pada gadis berambut pirang itu. Dari kejauhan ia bisa menangkap seonggok tubuh laki-laki yang sudah beberapa hari ini tak dilihat atensinya tengah berjalan di koridor sekolah. Seperti biasanya dengan tubuh yang terbungkus jaket. Hal itu kemudian membuat kedua sudut bibir Carla terangkat dan membentuk lengkungan tipis yang manis."Dev!" ucap Carla menyerukan nama Devan tanpa malu seraya melambaikan tangan ke arah laki-laki itu. Ya, untuk apa juga Carla harus merasa malu sekarang? Hubungan yang ia jalin dengan Devan sudah
Laki-laki bersurai hitam legam dengan sepasang manik warna serupa itu melajukan langkahnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah ruang yang sudah diberitahukan oleh Salmira dan Aji sebelumnya. Pahatan wajah dengan rahang tegas itu masih tampak sangat kacau dengan semburat garis kekhawatiran di sana yang tak bisa disembunyikan oleh tuannya. Satu hal yang memang Aydan sulit untuk pungkiri ketika sudah menyangkut kondisi Devan. Kendati sejauh ini ia lebih sering menunjukkan sikap tidak peduli pada sepupunya itu."Pa, Ma," panggil Aydan setelah membuka perlahan pintu ruang rawat itu. Seketika aroma antiseptik menyeruak menyapa indra penciuman. Ia segera melangkah mendekati sepasang suami istri yang duduk di dekat tempat tidur pasien tipis itu. Layaknya Aydan menghormati orang tua kandungnya, ia mencium punggung tangan Salmira dan Aji secara bergantian. Sekarang, perlahan ia sudah bisa membuka ruang untuk menganggap pasangan itu sebagai orang tuanya sendiri.Aydan beralih menatap seseorang yang
“Hm, Bang,” panggil Carla tanpa menoleh ke samping dan sukses memecah keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat Ilmi dengan sebuah panggilan yang masih terdengar sangat kaku dan canggung tentunya. Ya, wajar saja jika memang demikian. Carla masih belum terbiasa dengan panggilan barunya pada sosok laki-laki yang pada hari pertamanya masuk sekolah sudah memberikan kesan mengesalkan untuknya. Namun, kini laki-laki itu sudah tampak berbeda di pandangan Carla. Ada sisi lain yang sudah Carla temukan dari laki-laki yang kini duduk tepat di sampingnya itu. Laki-laki dengan rambut hitam pekat itu menoleh ke arah gadis yang memanggilnya untuk pertama kali dengan panggilan “Abang” itu. Ia menyibak rambutnya ke belekang yang sedikit menjuntai di depan kening. Andai saja ia melakukan hal itu di hadapan gadis-gadis berseragam putih abu-abu di sekolah. Sudah sangat bisa dipastikan hal itu akan sukses menarik perhatian mereka. Lalu, teriakan histeris akan terdengar dan pujian akan ketampanan Aydan
Aroma antiseptik menyeruak mengisi indera penciumannya. Kalau boleh jujur, Carla tak pernah ingin terjebak di gedung putih ini, karena tak menyukai aroma yang membuat perut terasa ingin mengeluarkan segala isinya. Namun, apalah daya seorang Carla Farzana, keadaan memaksa untuk menginjakkan kaki di tempat yang isinya orang-orang yang mengandalkan tenaga tim medis itu. Seperti saat ini. Ia harus kembali menjebak diri di ruangan di mana seorang wanita paruh baya yang telah mengorbankan banyak hal—untuknya dan Karel—tengah terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang tak ia tahu apa namanya menempel di tubuh ringkih dan kurus itu. Ia dengan setia menggenggam tangan kurus Ilmi seraya memainkan ibu jarinya di punggung tangan. Dalam hati ia menyesal telah berbuat hal yang mungkin membuat kecewa ibunya. Namun, Carla juga tak bisa berbohong bahwa tak mudah untuk menerima seseorang yang tiba-tiba hadir di tengah keluarganya. Apalagi dengan status sebagai istri kedua sang ayah.
Sepasang tungkai milik Aydan mengayuh lebar menuju toilet rumah sakit dengan niat menyusul Devan yang sejak pergi. Rasa khawatir yang merajalela dalam diri membuatnya kalang kabut. Sekali lagi Aydan tekankan pada siapapun juga. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Devan—adiknya. Ya Devan adiknya. Tangan kekarnya membuka pintu toilet dengan brutal hingga menyita para pengguna di sana. Aydan tak peduli. Persetan dengan tatapan tak suka mereka. “Dev, lo di mana?” pekiknya tanpa malu. Ia menyenggol tubuh seseorang tanpa sengaja. Namun, rasa khawatir yang begitu hebat tak justru membuatnya meminta maaf. Ia bahkan menatap tajam orang tersebut karena merasa sudah mengganggu jalannya. Ia berdecak kesal kemudian berlalu. Aydan membuka satu per satu bilik toilet rumah sakit. Namun, tak ia temukan seseorang yang dicarinya. Hingga tangannya menyentuh bilik toilet terakhir dan paling ujung yang terkunci dari dalam. Ia yakin di dalam sana ada Devan. “Dev, lo di dalam kan?” tanya
Sepasang netra milik Devan sudah bisa menangkap sosok gadis yang sejak tadi ia cari di taman rumah sakit. Sesosok gadis berambut pirang yang ia sebut kekasih tengah duduk di depan ruang ICU. Devan mempercepat langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Seakan lupa dengan rasa sakit yang menikam dadanya. Atau setelah ini ia akan merasakan sakit yang lebih parah lagi. Juga ia lupa bahwa ia datang bersama seseorang yang sejak tadi membantu menopang tubuhnya. Aydan."Hai, By," sapa Devan dengan lembut. Ia menyentuh pundak gadis yang tengah duduk tertunduk dalam itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh gadis itu karena berusaha menahan tangisnya agar tak tumoah begitu saja.Begitu Carla merasakan ada sentuhan lembut. Ia perlahan mengangkat kepala. Tampak jelas jehak air mata yang dengan bebas dan tanpa permisi lebih dulu menjelajahi wajah putih mulusnya hingga basah. Lantas, ia bngkit dan menghambur memeluk Devan hingga hampir saja tubuh lelkai itu limbung karena belum siap dengan aksi Carl