Tubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu.
Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan?
Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian.
Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Wajah-wajah lelah dan bosan sudah mulai terlihat. Apalagi terik hari ini terasa begitu menyiksa. Jarum jam juga terasa begitu lamban bergerak. Otak pun sudah mulai penuh dan seakan siap meledak oleh materi-materi berat sejak pagi tadi. Embusan napas panjang dari wajah-wajah penuh penantian itu terdengar. Dalam hati mereka sudah mengumpat berulang kali pada waktu. “Saya tau kalian sudah nggak sabar pengen pulang,” celetuk seorang wanita dengan kacamata bulat bertengger di hidungnya yang minimalis saat ia menangkap beberapa orang di depannya melirik arloji yang melingkar di tangan kiri mereka. Wanita dengan name tag Susi Wirahmani—seorang guru yang terkenal galak—berdiri tepat dengan senyum merekah di bibirnya yang tebal dengan polesan gincu merah menyala. “Sama saya juga,” lanjutnya dan sukses mengundang gelak tawa para murid di ruangan itu. Meskipun terkenal galak, Bu Susi memiliki sisi humoris yang tinggi. Untuk mencairkan suasana kelas yang kadang tegang. Ia menun
Seorang siswa—yang kerap kali disapa Aydan—dengan rambut hitam dan sedikit menjuntai di depan kening mengayunkan langkah dengan gagah. Ia tak berjalan sendiri. Melainkan dengan kedua temannya—Deon dan Lucas. Dengan ekspresi datar dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana membuat aura ketampanannya semakin menguar. Ketiga siswa itu berjalan menyusuri koridor menuju tempat parkir. Di sana mereka sudah mendapatkan tatapan memuja yang tentu saja sudah biasa bagi mereka. Bahkan, kalimat pujian pun tak luput mereka dengar. Namun, mereka tak pernah sama sekali menggubris itu. Sebagai most wanted di sekolah, hal itu sangat lazim. Bahkan, mereka dijuluki oleh para penggemar dengan sebutan “Trio G” atau “Trio Ganteng.” Aydan menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Pasalnya, kelasnya kosong pada jam terakhir dan itu ia manfaatkan bersama beberapa teman sekelasnya yang lain untuk bermain basket. Gerakan tangan Aydan itu justru membuat para siswi yang melihatn
Carla melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil berjalan setengah berlari. Ia menepuk keningnya dengan keras setelah melihat waktu yang ditunjukkan arlojinya. Dua menit lagi bel masuk akan berbunyi. “Sial! Jangan sampai gue telat di hari pertama masuk ini. Nggak mungkin dong siswa baru bakal telat, ‘kan? Oh, itu tidak boleh terjadi,” monolognya sambil mempercepat langkah. Tak peduli jika apa yang dilakukannya akan membuatnya berkeringat dan seragamnya akan basah. “Sedikit lagi, Carla!” Gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Larinya semakin dipercepat sekuat yang ia bisa. Salahnya di hari pertama masuk sebagai siswa baru ia memilih berangkat menggunakan taksi online daripada menerima tawaran Muti—ibu tirinya. Dan sialnya lagi taksi yang ia tumpangi justru mengalami masalah di tengah jalan. Sedikit beruntung jarak sekolah tak terlalu jauh. Alhasil, berakhirlah ia dengan berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah barun
Aydan memarkir motor sport-nya di depan rumah bercat putih itu. Ia melepas helm full face yang melindungi kepalanya saat dalam perjalanan. Untuk kemudian tas sekolahnya ia sampirkan pada sebelah pundak. Ia berjalan memasuki rumah tanpa suara. Saat pintu sudah terbuka. Ia tak menemukan siapapun di sana. Rumah itu mencerminkan tempat tak berpenghuni. Sepi dan sunyi.
Satu tempat dari bagian SMA Nusa yang menjadi sasaran para siswa setelah dering bel istirahat berbunyi adalah kantin. Saat ini tempat tersebut sudah dipadati oleh para siswa yang ingin memberikan asupan untuk cacing-cacing di perut mereka yang sudah meminta jatah sejak tadi. Di sana juga tak luput tiga siswa yang menjadi most wanted di sekolah. Tiada lain tiada bukan Aydan dan kedua temannya—Deon dan Lucas—yang kerapkali dijuluki dengan sebutan “Trio G” itu. Mereka asyik bercengkrama. Lebih tepatnya hanya Deon dan Lucas. Sedang Aydan hanya menjadi pendengar setia mereka dan sesekali hanya tersenyum tipis. Gelak tawa Deon dan Lucas sesekali melengking, bercampur dengan udara dan riuh pengunjung kantin lainnya. Dan seperti biasa, apapun yang mereka lakukan pasti akan berhasil menyita perhatian kaum hawa di sana. Bahkan setiap pergerakan yang mereka lakukan tak luput dari tatapan memuja. Tak hanya itu, bisik-bisik dengan kalimat pujian pun tak urung sampai di indera pe
Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah. Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas. “Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan. “Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nun
Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa. Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya. “Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko. Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka. “Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang ent
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Tubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu. Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian. Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Aydan kini sudah berada di perkiran. Ia berdiri di samping mobilnya. Rasanya enggan untuk ia pulang ke rumah di mana banyak kenangan di sana bersama Papa dan Mama. Namun, bukan itu alasan lelaki yang sebentar lagi menginjak umur tujuh belas tahun itu. Melainkan perlakuan sang Oma yang kerap kali membuatnya harus menelan pil pahit sendirian.Lalu, ke mana Aydan akan pergi jika tidak ke rumah itu? Bahkan, keluarga lainnya satupun tak berada satu kota dengannya.Aydan menghela napas panjang dan berat. Ia segera menyentuh pintu mobil untuk membukanya. Namun, tangan seseorang yang tampak hanya tinggal tulang saja mencekal tangannya seiring suara memelas itu terdengar di ceruk telinga."Bang, aku ikut pulang bersamamu, ya."Aydan tahu betul siapa manusia yang kini berada di belakangnya. Ia melepas cekalan tangan kurus itu. Kemudian, ia membalik badan. Seketika ngilu terasa ulu hatinya menatap wajah pucat Devan dengan seragam yang sudah tampak kebesaran. Ke mana tubuh k
Entah sudah berapa lama Carla masih setia berdiri di depan sebuah ruang kelas. Berharap pagi ini ia bisa menemukan sosok laki-laki yang sudah menghilang tanpa kabar yang jelas sejak empat hari yang lalu. Bahkan, Aydan pun sudah ia teror hampir setiap detiknya hanya sekadar mencari informasi tentang kekasihnya, Devan. Namun, sia-sia saja. Aydan sama sekali tidak bisa menjadi ladang informasi yang baik untuknya.Namun, sepertinya pagi ini Dewi Fortuna tengah berbaik hati pada gadis berambut pirang itu. Dari kejauhan ia bisa menangkap seonggok tubuh laki-laki yang sudah beberapa hari ini tak dilihat atensinya tengah berjalan di koridor sekolah. Seperti biasanya dengan tubuh yang terbungkus jaket. Hal itu kemudian membuat kedua sudut bibir Carla terangkat dan membentuk lengkungan tipis yang manis."Dev!" ucap Carla menyerukan nama Devan tanpa malu seraya melambaikan tangan ke arah laki-laki itu. Ya, untuk apa juga Carla harus merasa malu sekarang? Hubungan yang ia jalin dengan Devan sudah
Laki-laki bersurai hitam legam dengan sepasang manik warna serupa itu melajukan langkahnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah ruang yang sudah diberitahukan oleh Salmira dan Aji sebelumnya. Pahatan wajah dengan rahang tegas itu masih tampak sangat kacau dengan semburat garis kekhawatiran di sana yang tak bisa disembunyikan oleh tuannya. Satu hal yang memang Aydan sulit untuk pungkiri ketika sudah menyangkut kondisi Devan. Kendati sejauh ini ia lebih sering menunjukkan sikap tidak peduli pada sepupunya itu."Pa, Ma," panggil Aydan setelah membuka perlahan pintu ruang rawat itu. Seketika aroma antiseptik menyeruak menyapa indra penciuman. Ia segera melangkah mendekati sepasang suami istri yang duduk di dekat tempat tidur pasien tipis itu. Layaknya Aydan menghormati orang tua kandungnya, ia mencium punggung tangan Salmira dan Aji secara bergantian. Sekarang, perlahan ia sudah bisa membuka ruang untuk menganggap pasangan itu sebagai orang tuanya sendiri.Aydan beralih menatap seseorang yang
“Hm, Bang,” panggil Carla tanpa menoleh ke samping dan sukses memecah keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat Ilmi dengan sebuah panggilan yang masih terdengar sangat kaku dan canggung tentunya. Ya, wajar saja jika memang demikian. Carla masih belum terbiasa dengan panggilan barunya pada sosok laki-laki yang pada hari pertamanya masuk sekolah sudah memberikan kesan mengesalkan untuknya. Namun, kini laki-laki itu sudah tampak berbeda di pandangan Carla. Ada sisi lain yang sudah Carla temukan dari laki-laki yang kini duduk tepat di sampingnya itu. Laki-laki dengan rambut hitam pekat itu menoleh ke arah gadis yang memanggilnya untuk pertama kali dengan panggilan “Abang” itu. Ia menyibak rambutnya ke belekang yang sedikit menjuntai di depan kening. Andai saja ia melakukan hal itu di hadapan gadis-gadis berseragam putih abu-abu di sekolah. Sudah sangat bisa dipastikan hal itu akan sukses menarik perhatian mereka. Lalu, teriakan histeris akan terdengar dan pujian akan ketampanan Aydan
Aroma antiseptik menyeruak mengisi indera penciumannya. Kalau boleh jujur, Carla tak pernah ingin terjebak di gedung putih ini, karena tak menyukai aroma yang membuat perut terasa ingin mengeluarkan segala isinya. Namun, apalah daya seorang Carla Farzana, keadaan memaksa untuk menginjakkan kaki di tempat yang isinya orang-orang yang mengandalkan tenaga tim medis itu. Seperti saat ini. Ia harus kembali menjebak diri di ruangan di mana seorang wanita paruh baya yang telah mengorbankan banyak hal—untuknya dan Karel—tengah terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang tak ia tahu apa namanya menempel di tubuh ringkih dan kurus itu. Ia dengan setia menggenggam tangan kurus Ilmi seraya memainkan ibu jarinya di punggung tangan. Dalam hati ia menyesal telah berbuat hal yang mungkin membuat kecewa ibunya. Namun, Carla juga tak bisa berbohong bahwa tak mudah untuk menerima seseorang yang tiba-tiba hadir di tengah keluarganya. Apalagi dengan status sebagai istri kedua sang ayah.
Sepasang tungkai milik Aydan mengayuh lebar menuju toilet rumah sakit dengan niat menyusul Devan yang sejak pergi. Rasa khawatir yang merajalela dalam diri membuatnya kalang kabut. Sekali lagi Aydan tekankan pada siapapun juga. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Devan—adiknya. Ya Devan adiknya. Tangan kekarnya membuka pintu toilet dengan brutal hingga menyita para pengguna di sana. Aydan tak peduli. Persetan dengan tatapan tak suka mereka. “Dev, lo di mana?” pekiknya tanpa malu. Ia menyenggol tubuh seseorang tanpa sengaja. Namun, rasa khawatir yang begitu hebat tak justru membuatnya meminta maaf. Ia bahkan menatap tajam orang tersebut karena merasa sudah mengganggu jalannya. Ia berdecak kesal kemudian berlalu. Aydan membuka satu per satu bilik toilet rumah sakit. Namun, tak ia temukan seseorang yang dicarinya. Hingga tangannya menyentuh bilik toilet terakhir dan paling ujung yang terkunci dari dalam. Ia yakin di dalam sana ada Devan. “Dev, lo di dalam kan?” tanya
Sepasang netra milik Devan sudah bisa menangkap sosok gadis yang sejak tadi ia cari di taman rumah sakit. Sesosok gadis berambut pirang yang ia sebut kekasih tengah duduk di depan ruang ICU. Devan mempercepat langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Seakan lupa dengan rasa sakit yang menikam dadanya. Atau setelah ini ia akan merasakan sakit yang lebih parah lagi. Juga ia lupa bahwa ia datang bersama seseorang yang sejak tadi membantu menopang tubuhnya. Aydan."Hai, By," sapa Devan dengan lembut. Ia menyentuh pundak gadis yang tengah duduk tertunduk dalam itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh gadis itu karena berusaha menahan tangisnya agar tak tumoah begitu saja.Begitu Carla merasakan ada sentuhan lembut. Ia perlahan mengangkat kepala. Tampak jelas jehak air mata yang dengan bebas dan tanpa permisi lebih dulu menjelajahi wajah putih mulusnya hingga basah. Lantas, ia bngkit dan menghambur memeluk Devan hingga hampir saja tubuh lelkai itu limbung karena belum siap dengan aksi Carl