Wajah-wajah lelah dan bosan sudah mulai terlihat. Apalagi terik hari ini terasa begitu menyiksa. Jarum jam juga terasa begitu lamban bergerak. Otak pun sudah mulai penuh dan seakan siap meledak oleh materi-materi berat sejak pagi tadi. Embusan napas panjang dari wajah-wajah penuh penantian itu terdengar. Dalam hati mereka sudah mengumpat berulang kali pada waktu.
“Saya tau kalian sudah nggak sabar pengen pulang,” celetuk seorang wanita dengan kacamata bulat bertengger di hidungnya yang minimalis saat ia menangkap beberapa orang di depannya melirik arloji yang melingkar di tangan kiri mereka. Wanita dengan name tag Susi Wirahmani—seorang guru yang terkenal galak—berdiri tepat dengan senyum merekah di bibirnya yang tebal dengan polesan gincu merah menyala. “Sama saya juga,” lanjutnya dan sukses mengundang gelak tawa para murid di ruangan itu. Meskipun terkenal galak, Bu Susi memiliki sisi humoris yang tinggi. Untuk mencairkan suasana kelas yang kadang tegang. Ia menunjukkan sisi humorisnya itu.
Tak lama bel pulang berbunyi kepalang nyaring. Senyum-senyum merekah di antara mereka. Bu Susi yang juga tak kalah ingin segera keluar mengakhiri kelasnya hanya dengan berucap, “Akhirnya pulang juga.” Lantas, wanita itu tersenyum girang ke arah murid-muridnya.
Siswa siswi kelas XI IPA1 SMA Nusa mulai bergegas membereskan buku-buku pelajaran yang sudah mereka gunakan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran ke dalam tas. Riuh mulai terdengar.
Akan tetapi, hal itu tidak berlaku sama sekali pada seorang siswi dengan rambut pirang yang duduk di bangku paling depan yang berhadapan langsung dengan meja guru. Siswi dengan wajah blasteran itu justru dengan santainya menyandarkan tubuh pada sandaran kursi kayu yang tengah ia duduki. Ia merentangkan kedua tangan untuk meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Kemudian, ia menatap lurus ke depan menembus tembok putih ruang kelas. Tak lama setelahnya, sepasang bola mata bulatnya dengan iris cokelat yang jernih itu perlahan terpejam. Ia menghirup napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan dari mulut. Hal itu lakukan berulang kali untuk sedikit menenangkan pikiran yang sejak pagi diporsir bekerja.
Gadis dengan name tag “Carla Farzana Darmadja” yang terpasang di seragamnya itu terpaksa terbuka kembali saat tepukan pelan mendarat di pundaknya. Ia menoleh ke kanan, menatap sang pemilik tangan dengan alis terangkat. “Kenapa?”
“Lo nggak mau pulang, La?”
Suara itu terdengar mengalun lembut dan manja dari bibir teman sebangku Carla. Sekaligus sahabat yang ia temui sejak pertama kali menginjakkan kaki di SMA Nusa. Arabelle, gadis itu biasa dipanggil.
“Bentar lagi, ya, Bel. Otak gue butuh istirahat,” balas Carla dengan nada malas. Ia kembali memposisikan tubuhnya seperti semula dan memejamkam mata lagi. Namun, kali ini ia menutup wajahnya sepenuhnya dengan kedua tangan.
“Ya udah nggak apa-apa. Gue tungguin kok. Tapi, di parkiran, ya.”
Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya pelan untuk menimpali ucapan Arabelle. Lantas, kembali berfokus pada pikirannya sendiri. Niatnya untuk mengistirahatkan otak nyatanya gagal total. Justru, pusat dalam tubuhnya itu semakin liar bekerja dengan menyajikan kepingan-kepingan peristiwa tentang keluarganya di masa silam. Pada sebuah keadaan yang tentu saja siapapun menginginkannya.
Carla tersenyum teramat manis. Apa yang terlintas di dalam benaknya seperti tegah ia rasakan saat ini—di dalam dunia nyatanya. Bukan di dunia dalam kepala yang ia bangun sendiri. Ia begitu menikmati pelukan hangat yang penuh kasih sayang dari dua orang lelaki dan seorang wanita—ayah, kakak, dan ibunya.
“I really miss that moments,” ucap Carla pada diri sendiri dengan berbisik. Juga pada ruang kosong yang hanya terdengar detak jarum jam di dinding.
Tubuh Carla sudah duduk dengan tegak. Perlahan kelopak matanya terbuka. Menatap lurus ke depan. Apa yang dilakukannya tadi ternyata bukanlah hal yang tepat. Justru hanya menyiram kembali luka yang sedang ia coba keringkan sendiri. Ia hanya bisa mengembuskan napas kasar. “Huh! Harusnya lo sadar kalau itu sekarang hanya mimpi belaka, La,” ucap Carla seolah mempertegas diri tentang keadaan yang tengah ia jalani.
Pada benda bundar berukuran kecil yang melingkar menghiasi pergelangan tangan kiri pandangannya tertuju. Menatap jarumnya yang bergerak konstan ke kiri. Kemudian, ia merapikan beberapa alat tulisnya yang masih berserakan di atas meja dan memasukkan ke dalam tas.
Carla melangkah cepat dan lebar meninggalkan kelas yang sudah benar-benar sepi. Kendati di koridor masih ada beberapa siswa yang berlalu lalang. Sesekali ia melempar senyum pada siswa yang menyapa. Ya, begitulah Carla. Si gadis ceria dan ramah, tidak pernah pandang bulu untuk berteman.
Dengan sedikit berlari ia membawa tubuhnya bergerak maju menuju parkiran di mana Arabelle—sahabatnya—sudah menunggu sejak tadi. Jika lama-lama dapat ia pastikan teman sebangkunya itu akan murka dan mengomelinya tanpa ampun seperti ibu-ibu yang tengah mengomeli anak gadisnya.
“Sorry gue lama, Bel,” ucap Carla dengan napas tersengal-sengal. Ia berusaha menormalkan napas. Ia tertunduk dengan kedua tangan yang bertumpu pada kedua lututnya. “Sumpah capek benget gue,” keluhnya setelah napasnya yang satu-satu perlahan berembus normal. Ia menyeka keringat yang lolos di kening.
“Lo kenapa dah, La? Kayak dikejar setan aja,” kata Arabelle dengan mata yang menyipit menatap Carla. “Oh, atau jangan-jangan apa yang gue bilang barusan emang benar?” lanjutnya dengan cepat dan tampang polos.
“Bodoh!” umpat Carla smabil menoyor pelan kepala Arabelle dengan jari telunjuknya. “Lo pikir ada setan yang mau munculin batang hidungnya siang bolong kayak gini? Itu otak apa nggak bisa, ya, mikir lebih pintar sedikit aja dari biasanya?” kesalnya.
Tidak butuh waktu lama raut wajah kesal gadis berambut pirang itu berubah. Ia tersenyum jail ke arah Arabelle yang hanya bisa memanyunkan bibir mendengar ucaan Carla. Kendati demikian, Arabelle tak pernah benar-benar memasukkan ke hati kalimat-kalimat seperti yang diucapkan Carla tadi.
“Tapi, ya, setelah gue pikir-pikir. Setan di siang bolong itu memang benar adanya sih, Bel. Lo mau lihat nggak kayak apa bentuknya?”
Ya seperti biasanya Arabelle hanya menunjukkan tampangnya yang polos. Dan justru kali ini ia bahkan mengangguk dengan begitu antusias. “Memangnya kayak apa, La? Gue pengen dong lihat juga.”
“Lo bawa cermin, ‘kan?”
“Of course. Gue selalu bawa cermin di tas gue ke mana aja gue pergi. Yah, katakan ajalah cermin adalah benda yang nggak bisa jauh-jauh dari gue,” jawab Arabelle bangga yang membuat Carla memutar bola matanya dengan malas. Ia segera mengeluatkan cermin kecil yang seperti apa yang dikatakannya tak pernah ia tinggalkan itu. Lalu, cepat-cepat ia serahkan benda tersebut pada Carla.
Jelas saja Carla menolak. “Lo aja deh yang lihat sendiri. Gue sih nggak berani, ya. Lo tau ‘kan gue anaknya penakut banget,” ucapnya sambil menahan tawa.
“Maksud lo gimana sih, La?”
“Coba deh lo deketin cerminnya ke deket wajah lo. Terus lo lihat tuh bayangan di sana. nah, kayak gitulah rupa setan di siang bolong.”
Namun, dengan polosnya Arabelle melakukan apa yang sudah diajarkan Carla padanya. “Sial!” umpatnya kesal setelah itu. “Kenapa ish lo tega banget nyamain temen secantik gue dengan setan siang bolong? Emang, ya, lo teman yang nggak punya perasaan.”
Baik. Carla sudah tak bisa lagi menahan tawa. Ia tertawa begitu keras membuat beberapa siswa yang ada di parkiran refleks menatapnya.
“Ok. Ok. Lo emang cantik, Arabelle Alexandra. Gue akui sih itu, tapi kalo dilihat dari sedotan teh kotak.” Tawa gadis itu semakin keras keluar dan mengudara. Tak jarang hal itu ia lakukan pada Arabelle yang kerap kali menunjukkan tampang polosnya. Namun, Carla juga tak berbohong mengatakan temannya itu cantik. Arabelle yang terlahir blasteran yang tak jarang membuat siswa di sekolah tertarik padanya.
Arabelle menatap tajam ke arah Carla yang benar-benar membuatnya kesal. Namun, itu tak berlangsung lama. Tatapan elang itu berubah drastis menjadi tatapan berbinar. Sepasang netranya juga tak lagi menatap Carla, tetapi berpindah pada tiga orang lelaki dengan seragam yang sama dengannya tengah berjalan mendekat dari koridor ke arah parkiran. Tiga lelaki yang menjadi most wanted dan selalu menjadi sorotan tatapan memuja para kaum hawa di SMA Nusa.
Kecuali, Carla. Gadis itu justru tak memiliki ketertarikan sedikit pun pada tiga orang yang menjadi bahan pujian siswi yang lain.
“Huwa! Help me!” Arabelle memekik tertahan membuat Carla menatapnya jijik.
“Apaan sih lo? Malu-maluin banget. Sumpah. Dilihatin orang-orang tuh!” kesal Carla. Ya berada di dekat Arabelle memang selalu membuat suasana hatinya berubah-ubah dengan cepat. Tentu saja atas sikap Arabelle. Namun, meskipun begitu Carla sangat bersyukur memiliki teman sebaik Arabelle. Teman yang selalu ada saat dibutuhkan dan selalu menjadi pendengar setia keluh kesahnya.
“Udah deh, La. Terserah, ya, gue nggak peduli dengan tatapan orang-orang. Lagian, gue teriak juga pake mulut gue. Bukan mulut mereka,” jawab Arabelle tak peduli. Yang ia pedulikan kini hanya ia yang tidak ingin melewatkan pemandangan indah itu.
“Emangnya lo kenapa sih sampai kayak gitu banget?” tanya Carla. Kali ini benar-benar penasaran melihat tingkah Arabelle.
“Coba deh balik kanan, La. Di belakang lo ada cowok terganteng seantero SMA Nusa dan kawan-kawannya lagi jalan ke sini.”
Lagi-lagi Carla mendengus kesal. Meskipun Arabelle tidak menyabutkan nama orang yang dimaksud. Namun, Carla tahu betul siapa orang-orang tersebut. “Bisa nggak lo bersikap biasa aja, Bel? Buat gue, Devan jauh lebih ganteng dari cowok yang lo puja-puja itu.”
Seperti halnya Carla yang tak peduli akan tiga lelaki yang menjadi idola di SMA Nusa itu. Arabelle pun sama sekali tak acuh akan perkataan Carla. Tatapannya terusa saja menyorot ketiga lelaki yang tenagh berjalan dengan penuh kharisma itu. “Terserah lo aja, ya, La. Intinya, gue tuh terpikat bener sama cowok yang namanya Aydan itu. cowok terganteng yang pernah gue temui di muka bumi ini.” Ia kembali menunjukkan tatapan memujanya. “Ah, sumpah demi apapun gue pengen meluk Aydan.”
Carla benar-benar kewalahan kini. Ia menepuk pelan keningnya melihat kelakuan Arabelle. Detik berikutnya ia sudah bergidik ngeri. “Lo apaan dah, Bel? Lo tau, nggak? Jijik gue lihat lo kayak gitu.”
Tak mendapat respons dan benar-benar tak diacuhkan membuat Carla semakin kesal. “Ya udahlah. Gue pergi dulu. Males dah gue ketemu sama cowok menjengkelkan kayak cowok pujaan hati lo itu. Bye!” Carla melambaikan tangan tepat di depan wajah Arabelle. Lantas, ia menggerakkan sepasang tungkainya meninggalakn Arabelle yang masih diam terpaku menatap lelaki yang dipanggil Aydan dan dua temannya itu.
“Eh, La! Tungguin gue dong!” teriak Arabelle saat tersadar Carla sudah lebih dulu meninggalkannya. Harusnya ia juga sadar bahwa Carla tidak pernah suka dengan pembahasan apalagi sampai bertemu dengan Aydan. Bagi Carla, Aydan adalah manusia paling menyebalkan yang sukses membuat suasana hatinya rusak dalam sekejap.
“Jangan main tinggal-tinggal kayak gitu kenapa sih, La? Lo itu teman macam apa sih? Lo benar-benar nggak setia kawan tau.”
Dari kejauhan Carla masih dengan jelas menangkap gelagat kesal Arabelle. Ia hanya bisa tertawa melihat tingkah manusia yang satu itu. Lugu dan lucu. “Jangan ngedumel sendiri kayak orang gila, Bel. Mending buruan ke sini! Lari cepetan! Gue mau ngajakin lo ke tempat yang asyik buat nongkrong,” ucapnya panjang lebar dengan suara setengah berteriak. Ia kemudian memasuki kendaraan roda empat berwarna kuning—sebuah Honda Jazz pemberian Carlos—papanya—sebagai hadiah ulang tahun ke enam belas beberapa waktu lalu.
Setelah memasang seat belt untuk menjaga keamanan saat berkendara. Carla merogoh tas sekolahnya untuk mencari ponsel. Setelah menemukan benda segi empat itu, ia segera menggulir layar ponselnya untuk mencari sebuah kontak yang akan ia hubungi. Lalu mengirim pesan singkat ke nomor yang sudah ia temukan.
“Harry up, Arabelle Alexandra!” teriak Carla memperingati Arabelle yang kini hanya berjalan santai mendekat.
“Lo nggak lagi bohongin gue kayak kemarin ‘kan, La?” Arabelle menatap curiga pada Carla. Pasalnya, baru dua hari lalu ia dibohongi oleh gadis itu dengan dalih akan mengajaknya ke mall, tetapi justru ia dibawa ke sebuah tempat tongkrongan anak-anak muda. Ya, meskipun pada akhirnya Arabelle tetap saja menikmati suasananya.
“Nggak. Gue serius kali ini. Cepetan masuk.”
Tidak perlu lagi bertanya dan berlama-lama. Arabelle segera memasuki mobil. “Lo nggak mau ngajak Devan juga?” tanya gadis itu sambil memasang seat belt di tubuhnya.
Carla menggelengkan kepala, membuat poninya ikut bergerak. “Gue lagi pengen merileksasikan otak tanpa melibatkan hati. Lagian, lo juga tau sendiri gimana sibuknya Devan sama urusan sekolah.”
“Lo lagi ada masalah, La?”
Gadis itu tak langsung menjawab. Ia hanya mengembuskan napas panjang dan terdengar berat. Lalu, tertawa sumbang. “Gue kira sejak Papi menikah lagi dan Mas Karel pergi, hidup gue nggak pernah lepas dari masalah, Bel.”
Arabelle yang polos. Namun, ia bisa merasakan kepedihan Carla dari suaranya yang terdengar getir. Ia menyentuh lengan gadis itu dengan lembut. Lalu, tersenyum tipis. “Lo kalau punya masalah jangan pernah sekali pun ragu cerita sama gue, ya, La. Gue janji bakal jadi pendengar setia buat lo. Ya meskipun gue juga tau kadang gue nggak bisa kasih solusi atas masalah yang lo hadepin.”
Carla membalas senyuman Arabelle dengan senyum yang lebar, menampilkan deretan gigi putih dan gingsulnya. Ia sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan satu manusia yang begitu peduli padanya. Padahal, hubungan pertemanan mereka belum genap enam bulan. Namun, perlakuan Arabelle seperti seseorang yang begitu paham akan dirinya. “Thank you banget lho, Bel, sudah jadi temen yang baik buat gue selama ini.”
“Selama gue bisa. Gue nggak akan selalu buat lo, La.”
Kali ini Carla m]justru tertawa mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Arabelle. “Kok lo sweet banget sih, Bel.”
Keduanya lantas tertawa.
“Kalau pergi sekarang lo pasti pulang telat. Dan bokap lo bakal marah.”
“Nggak apa-apa. Gue sudah kasih tau Mami. Kalau Papi marah nanti Mami yang bakal siap ngelindungin gue.” Carla melirik Arabelle dan tersenyum manis. Ia menyalakan mesin mobil dan melajukan kereta besinya itu meninggalkan area sekolah.
Seorang siswa—yang kerap kali disapa Aydan—dengan rambut hitam dan sedikit menjuntai di depan kening mengayunkan langkah dengan gagah. Ia tak berjalan sendiri. Melainkan dengan kedua temannya—Deon dan Lucas. Dengan ekspresi datar dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana membuat aura ketampanannya semakin menguar. Ketiga siswa itu berjalan menyusuri koridor menuju tempat parkir. Di sana mereka sudah mendapatkan tatapan memuja yang tentu saja sudah biasa bagi mereka. Bahkan, kalimat pujian pun tak luput mereka dengar. Namun, mereka tak pernah sama sekali menggubris itu. Sebagai most wanted di sekolah, hal itu sangat lazim. Bahkan, mereka dijuluki oleh para penggemar dengan sebutan “Trio G” atau “Trio Ganteng.” Aydan menyeka keringat yang menetes di pelipisnya. Pasalnya, kelasnya kosong pada jam terakhir dan itu ia manfaatkan bersama beberapa teman sekelasnya yang lain untuk bermain basket. Gerakan tangan Aydan itu justru membuat para siswi yang melihatn
Carla melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil berjalan setengah berlari. Ia menepuk keningnya dengan keras setelah melihat waktu yang ditunjukkan arlojinya. Dua menit lagi bel masuk akan berbunyi. “Sial! Jangan sampai gue telat di hari pertama masuk ini. Nggak mungkin dong siswa baru bakal telat, ‘kan? Oh, itu tidak boleh terjadi,” monolognya sambil mempercepat langkah. Tak peduli jika apa yang dilakukannya akan membuatnya berkeringat dan seragamnya akan basah. “Sedikit lagi, Carla!” Gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Larinya semakin dipercepat sekuat yang ia bisa. Salahnya di hari pertama masuk sebagai siswa baru ia memilih berangkat menggunakan taksi online daripada menerima tawaran Muti—ibu tirinya. Dan sialnya lagi taksi yang ia tumpangi justru mengalami masalah di tengah jalan. Sedikit beruntung jarak sekolah tak terlalu jauh. Alhasil, berakhirlah ia dengan berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah barun
Aydan memarkir motor sport-nya di depan rumah bercat putih itu. Ia melepas helm full face yang melindungi kepalanya saat dalam perjalanan. Untuk kemudian tas sekolahnya ia sampirkan pada sebelah pundak. Ia berjalan memasuki rumah tanpa suara. Saat pintu sudah terbuka. Ia tak menemukan siapapun di sana. Rumah itu mencerminkan tempat tak berpenghuni. Sepi dan sunyi.
Satu tempat dari bagian SMA Nusa yang menjadi sasaran para siswa setelah dering bel istirahat berbunyi adalah kantin. Saat ini tempat tersebut sudah dipadati oleh para siswa yang ingin memberikan asupan untuk cacing-cacing di perut mereka yang sudah meminta jatah sejak tadi. Di sana juga tak luput tiga siswa yang menjadi most wanted di sekolah. Tiada lain tiada bukan Aydan dan kedua temannya—Deon dan Lucas—yang kerapkali dijuluki dengan sebutan “Trio G” itu. Mereka asyik bercengkrama. Lebih tepatnya hanya Deon dan Lucas. Sedang Aydan hanya menjadi pendengar setia mereka dan sesekali hanya tersenyum tipis. Gelak tawa Deon dan Lucas sesekali melengking, bercampur dengan udara dan riuh pengunjung kantin lainnya. Dan seperti biasa, apapun yang mereka lakukan pasti akan berhasil menyita perhatian kaum hawa di sana. Bahkan setiap pergerakan yang mereka lakukan tak luput dari tatapan memuja. Tak hanya itu, bisik-bisik dengan kalimat pujian pun tak urung sampai di indera pe
Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah. Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas. “Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan. “Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nun
Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa. Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya. “Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko. Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka. “Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang ent
Carla menyentuh knop pintu dan membuka benda dari bahan kayu tebal itu. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan yang bisa tertangkap indera. Di rumah sebesar istana itu ia hanya menemukan sepi. Rumah itu seperti tak ada kehidupan yang berjalan di sana yang mengharuskannya untuk kembali menghela napas panjang. “Bibi!” pekiknya untuk mendeportasi sunyi. Tak lama setelah suara Carla yang melengking dan mengudara. Seorang wanita dengan setelan daster rumahan berlari kecil mendekat. “Iya, Non. Baru pulang sekolah, ya?” Carla menjawab dengan anggukan. Tangannya yang sejak tadi terlipat di depan dada terlepas untuk menggamit dan mencium tangan kasar dan keriput milik wanita yang sudah mengabdikan diri di keluarganya sebagai asisten rumah tangga itu. Lama menjadi pekerja di rumahnya membuat Carla terbiasa, bahkan bergantung pada wanita yang sering ia panggil Bi Aini. “Bi, aku pulang sama Devan. Boleh minta tolong buatkan minum buat Devan? Aku mau k
Carla menatap lurus ke depan. Menatap pintu kaca yang tertutup rapat di mana di dalamnya ada sang ibu yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas berulang kali setiap mengingat kondisi ibunya. Juga menahan rasa kesal bercampur kecewa pada sang ayah yang belum juga datang ke rumah sakit. Gadis itu menoleh ke samping. Melihat Devan yang sejak tadi hanya terdiam dengan tubuh yang bersandar sempurna dan kepala yang menengadah ke atas. Ia bingung pada lelaki itu yang lebih banyak diamnya sekarang. Apalagi melihat Devan dengan wajah yang pucat. Apakah Devan sakit, pikirnya. Terlebih lagi dengan Devan yang meletakkan tangan di dada dan mengusap pelan bagian tubuhnya yang satu itu. ia juga melihat dada lelaki itu naik turun sedikit tak beraturan. Carla menyentuh pundak Devan pelan membuat lelaki itu sedikit tersentak. “Dev, kamu kenapa?” tanya Carla sedikit khawatir melihat wajah pucat Devan. Ia tak tahu betul apa yang tengah terjadi pa
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Tubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu. Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian. Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Aydan kini sudah berada di perkiran. Ia berdiri di samping mobilnya. Rasanya enggan untuk ia pulang ke rumah di mana banyak kenangan di sana bersama Papa dan Mama. Namun, bukan itu alasan lelaki yang sebentar lagi menginjak umur tujuh belas tahun itu. Melainkan perlakuan sang Oma yang kerap kali membuatnya harus menelan pil pahit sendirian.Lalu, ke mana Aydan akan pergi jika tidak ke rumah itu? Bahkan, keluarga lainnya satupun tak berada satu kota dengannya.Aydan menghela napas panjang dan berat. Ia segera menyentuh pintu mobil untuk membukanya. Namun, tangan seseorang yang tampak hanya tinggal tulang saja mencekal tangannya seiring suara memelas itu terdengar di ceruk telinga."Bang, aku ikut pulang bersamamu, ya."Aydan tahu betul siapa manusia yang kini berada di belakangnya. Ia melepas cekalan tangan kurus itu. Kemudian, ia membalik badan. Seketika ngilu terasa ulu hatinya menatap wajah pucat Devan dengan seragam yang sudah tampak kebesaran. Ke mana tubuh k
Entah sudah berapa lama Carla masih setia berdiri di depan sebuah ruang kelas. Berharap pagi ini ia bisa menemukan sosok laki-laki yang sudah menghilang tanpa kabar yang jelas sejak empat hari yang lalu. Bahkan, Aydan pun sudah ia teror hampir setiap detiknya hanya sekadar mencari informasi tentang kekasihnya, Devan. Namun, sia-sia saja. Aydan sama sekali tidak bisa menjadi ladang informasi yang baik untuknya.Namun, sepertinya pagi ini Dewi Fortuna tengah berbaik hati pada gadis berambut pirang itu. Dari kejauhan ia bisa menangkap seonggok tubuh laki-laki yang sudah beberapa hari ini tak dilihat atensinya tengah berjalan di koridor sekolah. Seperti biasanya dengan tubuh yang terbungkus jaket. Hal itu kemudian membuat kedua sudut bibir Carla terangkat dan membentuk lengkungan tipis yang manis."Dev!" ucap Carla menyerukan nama Devan tanpa malu seraya melambaikan tangan ke arah laki-laki itu. Ya, untuk apa juga Carla harus merasa malu sekarang? Hubungan yang ia jalin dengan Devan sudah
Laki-laki bersurai hitam legam dengan sepasang manik warna serupa itu melajukan langkahnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah ruang yang sudah diberitahukan oleh Salmira dan Aji sebelumnya. Pahatan wajah dengan rahang tegas itu masih tampak sangat kacau dengan semburat garis kekhawatiran di sana yang tak bisa disembunyikan oleh tuannya. Satu hal yang memang Aydan sulit untuk pungkiri ketika sudah menyangkut kondisi Devan. Kendati sejauh ini ia lebih sering menunjukkan sikap tidak peduli pada sepupunya itu."Pa, Ma," panggil Aydan setelah membuka perlahan pintu ruang rawat itu. Seketika aroma antiseptik menyeruak menyapa indra penciuman. Ia segera melangkah mendekati sepasang suami istri yang duduk di dekat tempat tidur pasien tipis itu. Layaknya Aydan menghormati orang tua kandungnya, ia mencium punggung tangan Salmira dan Aji secara bergantian. Sekarang, perlahan ia sudah bisa membuka ruang untuk menganggap pasangan itu sebagai orang tuanya sendiri.Aydan beralih menatap seseorang yang
“Hm, Bang,” panggil Carla tanpa menoleh ke samping dan sukses memecah keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat Ilmi dengan sebuah panggilan yang masih terdengar sangat kaku dan canggung tentunya. Ya, wajar saja jika memang demikian. Carla masih belum terbiasa dengan panggilan barunya pada sosok laki-laki yang pada hari pertamanya masuk sekolah sudah memberikan kesan mengesalkan untuknya. Namun, kini laki-laki itu sudah tampak berbeda di pandangan Carla. Ada sisi lain yang sudah Carla temukan dari laki-laki yang kini duduk tepat di sampingnya itu. Laki-laki dengan rambut hitam pekat itu menoleh ke arah gadis yang memanggilnya untuk pertama kali dengan panggilan “Abang” itu. Ia menyibak rambutnya ke belekang yang sedikit menjuntai di depan kening. Andai saja ia melakukan hal itu di hadapan gadis-gadis berseragam putih abu-abu di sekolah. Sudah sangat bisa dipastikan hal itu akan sukses menarik perhatian mereka. Lalu, teriakan histeris akan terdengar dan pujian akan ketampanan Aydan
Aroma antiseptik menyeruak mengisi indera penciumannya. Kalau boleh jujur, Carla tak pernah ingin terjebak di gedung putih ini, karena tak menyukai aroma yang membuat perut terasa ingin mengeluarkan segala isinya. Namun, apalah daya seorang Carla Farzana, keadaan memaksa untuk menginjakkan kaki di tempat yang isinya orang-orang yang mengandalkan tenaga tim medis itu. Seperti saat ini. Ia harus kembali menjebak diri di ruangan di mana seorang wanita paruh baya yang telah mengorbankan banyak hal—untuknya dan Karel—tengah terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang tak ia tahu apa namanya menempel di tubuh ringkih dan kurus itu. Ia dengan setia menggenggam tangan kurus Ilmi seraya memainkan ibu jarinya di punggung tangan. Dalam hati ia menyesal telah berbuat hal yang mungkin membuat kecewa ibunya. Namun, Carla juga tak bisa berbohong bahwa tak mudah untuk menerima seseorang yang tiba-tiba hadir di tengah keluarganya. Apalagi dengan status sebagai istri kedua sang ayah.
Sepasang tungkai milik Aydan mengayuh lebar menuju toilet rumah sakit dengan niat menyusul Devan yang sejak pergi. Rasa khawatir yang merajalela dalam diri membuatnya kalang kabut. Sekali lagi Aydan tekankan pada siapapun juga. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Devan—adiknya. Ya Devan adiknya. Tangan kekarnya membuka pintu toilet dengan brutal hingga menyita para pengguna di sana. Aydan tak peduli. Persetan dengan tatapan tak suka mereka. “Dev, lo di mana?” pekiknya tanpa malu. Ia menyenggol tubuh seseorang tanpa sengaja. Namun, rasa khawatir yang begitu hebat tak justru membuatnya meminta maaf. Ia bahkan menatap tajam orang tersebut karena merasa sudah mengganggu jalannya. Ia berdecak kesal kemudian berlalu. Aydan membuka satu per satu bilik toilet rumah sakit. Namun, tak ia temukan seseorang yang dicarinya. Hingga tangannya menyentuh bilik toilet terakhir dan paling ujung yang terkunci dari dalam. Ia yakin di dalam sana ada Devan. “Dev, lo di dalam kan?” tanya
Sepasang netra milik Devan sudah bisa menangkap sosok gadis yang sejak tadi ia cari di taman rumah sakit. Sesosok gadis berambut pirang yang ia sebut kekasih tengah duduk di depan ruang ICU. Devan mempercepat langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Seakan lupa dengan rasa sakit yang menikam dadanya. Atau setelah ini ia akan merasakan sakit yang lebih parah lagi. Juga ia lupa bahwa ia datang bersama seseorang yang sejak tadi membantu menopang tubuhnya. Aydan."Hai, By," sapa Devan dengan lembut. Ia menyentuh pundak gadis yang tengah duduk tertunduk dalam itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh gadis itu karena berusaha menahan tangisnya agar tak tumoah begitu saja.Begitu Carla merasakan ada sentuhan lembut. Ia perlahan mengangkat kepala. Tampak jelas jehak air mata yang dengan bebas dan tanpa permisi lebih dulu menjelajahi wajah putih mulusnya hingga basah. Lantas, ia bngkit dan menghambur memeluk Devan hingga hampir saja tubuh lelkai itu limbung karena belum siap dengan aksi Carl