Carla melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil berjalan setengah berlari. Ia menepuk keningnya dengan keras setelah melihat waktu yang ditunjukkan arlojinya. Dua menit lagi bel masuk akan berbunyi.
“Sial! Jangan sampai gue telat di hari pertama masuk ini. Nggak mungkin dong siswa baru bakal telat, ‘kan? Oh, itu tidak boleh terjadi,” monolognya sambil mempercepat langkah. Tak peduli jika apa yang dilakukannya akan membuatnya berkeringat dan seragamnya akan basah.
“Sedikit lagi, Carla!” Gadis itu menyemangati dirinya sendiri. Larinya semakin dipercepat sekuat yang ia bisa. Salahnya di hari pertama masuk sebagai siswa baru ia memilih berangkat menggunakan taksi online daripada menerima tawaran Muti—ibu tirinya. Dan sialnya lagi taksi yang ia tumpangi justru mengalami masalah di tengah jalan. Sedikit beruntung jarak sekolah tak terlalu jauh. Alhasil, berakhirlah ia dengan berjalan kaki untuk melanjutkan perjalanan menuju sekolah barunya.
“Stop!” teriak Carla dengan kencang. Sedangkan, kedua tangannya memegang gerbang besi yang berdiri kokoh di hadapannya yang sedikit lagi tertutup rapat. “Jangan tutup dulu, Pak. Bel masuk bunyi semenit lagi kok,” lanjutnya dengan protesan. Ia mengatur napasnya yang tak teratur. Menyeka keringat di kening yang mulai bercucuran.
Pria bertubuh gembul, kumis tebal yang menutupi bibir bagian atas dan rambut yang sebagiannya sudah memutih menatap Carla. Ia sapu gadis itu dengan tatapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sepasang matanya memicing melihat gadis yang masih asing di hadapannya itu. “Apa Neng siswa baru di sini?” tanya pria itu dengan ramah. Begitu kontras dengan wajahnya yang tampak garang.
Carla menggangguk cepat dan pasti. “Iya, Pak. Ini hari pertama saya masuk. Tolong, ya, Pak.” Ia menangkup kedua tangan di depan dada. Namun, detik berikutnya tangan kanannya ia ulurkan ke arah pria itu berseragam security itu. “Nama saya Carla, Pak,” ucapnya memperkenalkan diri dengan ramah dan menunjukkan senyum lebar. Hal itu membuat lesung pipi di pipi kirinya tampak jelas dan menambah aura kecantikannya.
Pria berkumis tebal tersebut menyambut tangan Carla. “Eneng bisa panggil saya Pak Umar saja.”
Gadis itu mengangguk cepat. Matanya menyipit sebab senyumnya yang lebar terbit menghiasi wajahnya yang sedikit basah bekas keringat. “Iya, Pak Umar. Tapi, saya bisa masuk kan, Pak?”
“Silakan masuk, Neng. Semoga betah dan cepat beradaptasi dengan lingkungan di sini, ya.”
“Terima kasih banyak, ya, Pak,” balas Carla tanpa menanggalkan senyumnya. Tepat saat kakinya sudah menginjak area SMA Nusa, bel masuk berbunyi teramat nyaring. Tanpa menunggu lagi ia berlari. Menyusuri koridor yang dipadati para siswa yang bersiap memasuki kelas masing-masing. Dan—
“Aw!” carla mengaduh kesakitan saat tubuhnya berhasil mendarat dengan sempurna di lantai koridor sekolah setelah menabrak benda keras tanpa sengaja. Tunggu! Yang ditabrak gadis itu bukanlah sebuah benda. Namun, seorang lelaki dengan seragam sama seperti yang lain. Ia mendongak dan mendapati lelaki itu menatapnya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya pandangan Carla beralih pada tulisan di seragam lelaki itu. “Aydan Atma Darmana,” bisiknya tanpa ada satu pun orang yang mendengar.
“Lo nggak bisa, ya, kalau jalan tuh lihat-lihat?” bentak Carla.
“Lo juga kalau lari pakai mata dong biar nggak nabrak orang. Udah salah, malah nyolot sendiri,” kesal siswa bernama Aydan itu. Ia menatap angkuh ke arah Carla yang masih terduduk di lantai.
Carla tertawa dengan sangat keras. “Ternyata lo bodoh banget, ya. Di mana-mana manusia itu jalan pakai kaki, bukan mata.” Ia melanjutkan tawanya kembali seraya bergerak bangkit. Kendati pergerakannya membuatnya sedikit meringis. Namun, ia tak peduli. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian siswa-siswa lainnya. Ya meskipun dari sebelumnya juga sudah diperhatikan. Apalagi ia baru kali pertama muncul di SMA Nusa.
Aydan mendengus kesal. “Lo udah salah, ngejek orang lagi. Dasar!”
“Dasar apa?” tanya Carla dengan nada menantang. Tak hanya terdengar dari suara saja. Caranya yang melipat tangan di depan dada dan mengikis jarak dengan Aydan benar-benar terkesan menantang lelaki itu.
“Terserah lo aja mau dasar apa.” Aydan menyerah. Sepertinya gadis yang ada di hadapannya itu memang keras kepala. Tidak ada gunanya merusak mood pagi-pagi hanya dengan meladeni seseorang yang baru kali ini muncul di hadapannya. Aydan berbalaik arah dan melangkah meninggalkan gadis itu dengan ekspresi kesalnya.
“Heh! Harusnya lo minta maaf dulu sama gue!” teriak Carla menyita perhatian orang-orang. Merasa tak ditanggapi, ia melempar Aydan dengan kertas yang ia ambil dari tas dan sudah diremasnya hingga berbentuk bulat.
Sesuai keinginan Carla dan tepat sasaran. Remasan kertas yang berbentuk bulat itu mendarat tepat di kepala bagian belakang Aydan. Hal itu tak urung membuat siswa dengan tubuh tinggi dan kulit putih itu menoleh ke belakang dengan tatapan elang. Di sorot matanya jelas terlihat nyala api amarah pada Carla.
“Sial! Kenapa lo lempar gue? Lo mau cari gara-gara sama gue, hah?!”
“Itu akibat karena lo nggak mau minta maaf sama gue,” balas Carla dengan congkak. Ia juga tersenyum penuh kemenangan.
Melihat perlakuan Carla yang tak terlihat takut sedikit pun membuat Aydan semakin jengkel. Ia berjalan mendekati gadis itu masih dengan tatapannya yang tajam. Rahangnya juga ikut mengeras menandakan ia benar-benar dikekang amarah yang siap-siap untuk dilampiaskan.
Carla yang tadinya tersenyum kini menggigit bibir bawahnya. Ia takut melihat Aydan yang menatapnya seperti harimau yang tengah bersiap menerkam mangsa. Perlahan ia mundur selangkah demi selangkah. Hingga tanpa sadar tubuhnya subah terbentur dengan pilar besar di koridor sekolah.
“Lo mau gue minta maaf sama lo, ‘kan?” tanya Aydan sangat pelan, tetapi penuh penekanan kuat pada setiap kata yang meluncur bebas dari bibirnya. Sedang tatapannya masih nyalang dan ekspresinya semakin menakutkan.
Carla yang tak menduga lelaki itu akan seperti ini hanya bisa mengangguk ragu dan takut.
Berbeda dengan Carla. Lelaki ber-name tag Aydan Atma Darmana itu tengah tertawa keras dan penuh kemenangan dalam hati melihat ekspresi Carla yang ketakutan. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah putih mulus itu. Tangan kanannya ia letakkan di tembok untuk menopang tubuh. Lantas ia kembali mendekatkan wajah hingga berjarak beberapa senti saja dengan Carla hingga gadis itu menunduk ketakutan. “Gue minta maaf sama lo? Itu nggak akan pernah gue lakuin!” tegas Aydan dengan berbisik di telinga Carla.
Aydan mundur tiga langkah, menciptakan jarak antara dirinya dengan Carla. Lalu, ia memasang senyum merdeka di hadapan gadis itu. Ia berbalik arah dan meninggalkan Carla yang masih terpaku bersandar pada pilar kokoh itu. Dengan bangga Aydan menoleh ke belakang, mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara dan melambaikannya ke arah Carla. Tentu saja ia kini sudah merasa menang telah membuat gadis itu benar-benar ketakutan.
Gadis blasteran dengan rambut pirang itu mengepalkan tangan hingga jemarinya memutih. Ia kesal bukan main. Ia teramat marah. Namun, aroma mint yang masih terasa dari tubuh lelaki itu dalam sekejap menghilang rasa kesal dan amarahnya. Ia tersenyum tipis.
Detik berikutnya Carla tersadar. Ia menggelengkan kepala kuat. “Dasar cowok nggak tau diri. Harusnya dia minta maaf sama gue. Bukan malah bikin gue takut,” umpat Carla dengan penuh kekesalan. Tangan kanannya terkepal dan meninju udara dengan keras. Seakan lelaki itu sekarang tengah ada di hadapannya.
“Kenapa di hari pertama aja gue udah dapat kesialan gini, ya? Hari pertama udah ada yang bikin gue kesel. Sial!” lanjut gadis itu menggerutu.
“Awas aja kalo nanti gue ketemu lo lagi. Bakal gue tinju tuh wajah tampan lo itu sampai babak belur.”
“Hah?” Mulut Carla terbuka. Keningnya mengkerut dalam tak percaya dengan apa yang diucapkannya tadi. “Tampan?” Alisnya terangkat sebelah. “Hm… memang iya sih tampan.” Lantas, ia terkekeh sendiri.
Melihat seseorang yang tengah memainkan bola di lapangan basket itu membuat Carla teringat akan sepenggal peristiwa awal pertemuannya dengan Aydan. Kepingan kisah itu berputar layaknya film layar lebar di kepala. Ia membuang napas kasar menatap lelaki dengan tubuh bersimbah peluh di tengah lapangan itu. Dalam hati ia memang membenarkan ucapan para siswi di sampingnya yang sangat memuja ketampanan Aydan. Karena, memang benar adanya. Siapa yang tak mengenal Aydan si Kapten basket yang dingin itu. Seorang siswa yang menjadi most wanted di SMA Nusa.
“Aydan tuh benar-benar tampan, ya, La?”
“Tampanan juga Devan ketimbang dia,” balas Carla dengan nada tak suka.
Arabelle menoleh ke arah Carla dengan kening berkerut. “Ya iyalah lo bakal bilang kayak gitu. Devan kan pacar lo,” ucapnya lalu kembali menatap ke arah lapangan. Memandang lelaki pujaannya yang tengah men-dribble bola.
“Nggak gitu juga. Tapi, gitu kenyataannya kok.
“Ya udah deh terserah lo aja.”
Carla kembali mengarahkan pandangan ke tengah lapangan basket. Namun, itu tak berlangsung lama. Karena, seseorang menepuk pelan pundaknya. Ia mengangkat kepala dan tersenyum lebar melihat pemilik tangan yang masih diam di pundaknya itu. “Hei!”
°°°°°
“Thanks, ya, Sarah udah bantu rampungin kerjaan gue.”
Gadis yang dipanggil Sarah itu tersenyum. Ia menepuk pelan pundak Devan. “Santai aja kali, Dev. Kayak sama siapa aja lo.”
Devan tertawa mendengar Sarah. Ia bersyukur bisa memiliki teman sebaik Sarah. Dari sekian banyak teman kelas dan organisasinya. Hanya Sarah dan Noval yang paham betul bagaimana dirinya. Mereka berdualah yang kerap kali meringankan pekerjaan Devan sebagai Ketua OSIS. Apalagi saat Devan tengah jatuh sakit. Merekalah yang akan menjadi garda terdepan untuk Devan.
“Sar, lo istirahat dulu gih. Nanti dilanjutin lagi,” kata Devan mengingatkan Sarah. Pasalnya teman yang satu itu pantang mundur sebelum pekerjaan selesai.
“Nanggung, Dev,” balas Sarah tanpa menoleh ke arah Devan. “Yang perlu istirahat itu lo kali, Dev. Gue perhatiin dari tadi lo udah nggak nyaman. Sesak lagi, nggak?” tanya Sarah. Kali ini melepaskan fokusnya dari jajaran huruf di layar laptop dan mengalihkannya pada Devan yang duduk di bangku seberangnya. Satu kelas dengan Devan dan bergelut di circle yang sama membuatnya tahu tentang lelaki itu.
“Nggak kok, Sar. Tapi, gue izin istirahat dulu boleh nggak, ya?” tanya Devan dengan ragu. Ia merasa tidak enak pada Sarah. Apalagi hari ini Noval sedang izin tidak masuk karena sakit. Jadi, tidak ada yang membantunya.
“Nggak apa-apa, Dev. Istirahat aja deh.”
“Benaran nih? Jangan ngambek nanti, ya,” canda Devan yang hanya dibalas dengan anggukan dan tawa renyah Sarah.
Devan meninggalkan Sarah di ruang OSIS sendiri dan bergegas menuju kelasnya. Benar memang apa yang dikatakan Sarah tadi. Ia sedikit merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Ada sedikit rasa sesak yang terasa. Namun, ia tidak lagi-lagi merepotkan Sarah. Karena, Sarah sudah terlampau kerepotan dengan pekerjaan organisasi.
Setelah merasa lega. Devan berlalu dan menuju kelas kekasihnya—Carla. Ia mengedarkan pandangan dari ambang pintu kelas Carla. Namun, yang dicarinya tak ada di sana. Mungkin lagi ke kantin, pikirnya.
“Mau cari Carla?” tanya seseorang dari belakang Devan.
Lelaki itu menoleh dan mendapati seorang siswi di belakangnya. “Iya. Lihat Carla di mana?”
“Lagi nonton basket sama Arabelle.”
“Oh, terima kasih, ya.”
Devan langsung menuju lapangan basket. Dan benar saja. Di pinggir lapangan ia bisa melihat Carla bersama Arabelle. Ia segera mendekat.
Pelan-pelan Devan menepuk pundak Carla. Ia melihat gadis itu menatapnya dengan tatapan berbinar dan senyum lebar.
“Hei!” sapa Carla dan bangkit.
“Bisa temenin aku sebentar, nggak?” tanya Devan.
Dengan cepat Carla menganggukkan kepala mengiyakan permintaan lelaki yang sudah menjalin hubungan dengannya selama lima bulan terakhir ini. “Of course,” jawab Carla dengan riang. Ya, memang dasarnya gadis itu memang seseorang yang ceria. Namun, siapa sangka jika ia mempunyai permasalahan yang pelik yang harus ia simpan sendiri.
Devan yang melihat keceriaan Carla merasa bahagia. Sejak kehadiran Carla membuat Devan bisa melupakan sejenak hal-hal yang membebani pikirannya. Apalagi jika melihat tawa gadis itu. Ia benar-benar merasa baik.
“Tapi, Dev. Sebentar deh.” Carla menyipitkan sepasang matanya. Ia menelisik setiap inci wajah Devan. “Are you okay, right?”
Lelaki tak langsung menjawab. Ia membuang pandang ke segala arah untuk menghilangkan kegugupannya.
“Devan.” Carla menyentuh lengan Devan.
“Iyalah aku baik-baik aja. Memangnya aku kenapa coba?” dusta Devan. Untuk mendukung aksi berbohongnya, ia berusaha menunjukkan senyum lebarnya. Kendati hal itu tak bisa menutupi wajahnya yang pucat.
“Tapi, mukamu pucat banget lho, Dev. Aku nggak yakin kamu baik-baik aja.”
Devan menarik tangan gadis itu dengan lembut. Kemudian, tersenyum lebar. “Trust me.”
Jika sudah seperti itu. Apalagi yang bisa dilakukan Carla selain mengikuti ke mana saja langkah Devan membawanya pergi. Apalah daya juga? Carla sudah terlanjur nyaman berada di dekat Devan. Kendati lelaki itu kadang lebih banyak menghabiskan waktu dengan organisasi yang ia pimpin dan kadang juga menghilang tiba-tiba tanpa kabar. Namun, Carla sejauh ini tak pernah mempermasalahkan hal itu. Ia selalu mencoba berpikr positif tentang Devan.
“Kita mau ke mana sih, Dev?” tanya Carla sambil mengikuti langkah kaki Devan yang beberapa langkah lebih dulu darinya.
“Ikut aja, La. Aku punya kejutan untuk kamu.”
“Tapi, ulang tahunku kan udah lewat, Dev. Lagian kemarin juga kamu udah kasih surprise dan hadiah untukku. Terus, ini surprise dalam rangka apa lagi?”
Devan tak menjawab. Ia terus saja melangkah dan berpijak pada tangga yang satu menuju tangga yang lain. Namun, ia memelankan gerakannya saat rasa lelah mulai hinggap. Ia mulai merasa aneh dengan kondisi tubuhnya. Akhir-akhir ini ia lebih cepat lelah dibanding sebelumnya. Dan juga intensitas sesaknya kambuh lebih tinggi. Apalagi kalau sudah tengah malam.
Sesampai di rooftop sekolah. Devan berdiri sambil menetralkan napasnya. Ia menyeka keringat yang mengucur di kening dengan lengannya. Lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. “Untukmu, By.” Ia menyodorkan benda tersebut ke arah Carla.
“Apa ini?”
“Buka saja.”
Carla yang tak sabar lantas dengan cepat membuka benda tersebut. Mulutnya terbuka melihat sebuah benda yang berkilauan di dalam kotak yang diberikan Devan padanya.
“Gimana? Kamu suka, nggak?”
Carla hanya bisa menganggukkan kepalanya pasti. Ia terharu. Devan selama ini selalu saja menyuguhkan hal-hal yang tak pernah ia duga. “Thank you, By,” ucap Carla dengan air mata yang sudah bergumul di kelopak matanya.
“Eh, jangan sedih gitu dong. Harus senyum, ya.”
“Aku Cuma terharu aja. Kamu selalu aja kasih aku kejutan yang bikin aku speechless.”
Devan tertawa kecil. “Aku akan melakukan apapun biar bisa lihat kamu tersenyum dan tertawa lebar, La. Aku juga akan berusaha untuk selalu ada untukmu. Karena, aku nggak tau sampai kapan aku bisa ada di sini, bersamamu.”
Sayangnya kalimat itu hanya bisa Devan ucapkan dalam hati. Ia tidak ingin merusak suasana hati Carla yang pasti sangat bahagia sekarang. Dan ia juga tidak ingin Carla terbeban jika tahu kondisi Devan yang sebenarnya.
“Anything for you, Carla Farzana Darmadja.”
Aydan memarkir motor sport-nya di depan rumah bercat putih itu. Ia melepas helm full face yang melindungi kepalanya saat dalam perjalanan. Untuk kemudian tas sekolahnya ia sampirkan pada sebelah pundak. Ia berjalan memasuki rumah tanpa suara. Saat pintu sudah terbuka. Ia tak menemukan siapapun di sana. Rumah itu mencerminkan tempat tak berpenghuni. Sepi dan sunyi.
Satu tempat dari bagian SMA Nusa yang menjadi sasaran para siswa setelah dering bel istirahat berbunyi adalah kantin. Saat ini tempat tersebut sudah dipadati oleh para siswa yang ingin memberikan asupan untuk cacing-cacing di perut mereka yang sudah meminta jatah sejak tadi. Di sana juga tak luput tiga siswa yang menjadi most wanted di sekolah. Tiada lain tiada bukan Aydan dan kedua temannya—Deon dan Lucas—yang kerapkali dijuluki dengan sebutan “Trio G” itu. Mereka asyik bercengkrama. Lebih tepatnya hanya Deon dan Lucas. Sedang Aydan hanya menjadi pendengar setia mereka dan sesekali hanya tersenyum tipis. Gelak tawa Deon dan Lucas sesekali melengking, bercampur dengan udara dan riuh pengunjung kantin lainnya. Dan seperti biasa, apapun yang mereka lakukan pasti akan berhasil menyita perhatian kaum hawa di sana. Bahkan setiap pergerakan yang mereka lakukan tak luput dari tatapan memuja. Tak hanya itu, bisik-bisik dengan kalimat pujian pun tak urung sampai di indera pe
Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah. Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas. “Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan. “Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nun
Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa. Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya. “Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko. Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka. “Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang ent
Carla menyentuh knop pintu dan membuka benda dari bahan kayu tebal itu. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan yang bisa tertangkap indera. Di rumah sebesar istana itu ia hanya menemukan sepi. Rumah itu seperti tak ada kehidupan yang berjalan di sana yang mengharuskannya untuk kembali menghela napas panjang. “Bibi!” pekiknya untuk mendeportasi sunyi. Tak lama setelah suara Carla yang melengking dan mengudara. Seorang wanita dengan setelan daster rumahan berlari kecil mendekat. “Iya, Non. Baru pulang sekolah, ya?” Carla menjawab dengan anggukan. Tangannya yang sejak tadi terlipat di depan dada terlepas untuk menggamit dan mencium tangan kasar dan keriput milik wanita yang sudah mengabdikan diri di keluarganya sebagai asisten rumah tangga itu. Lama menjadi pekerja di rumahnya membuat Carla terbiasa, bahkan bergantung pada wanita yang sering ia panggil Bi Aini. “Bi, aku pulang sama Devan. Boleh minta tolong buatkan minum buat Devan? Aku mau k
Carla menatap lurus ke depan. Menatap pintu kaca yang tertutup rapat di mana di dalamnya ada sang ibu yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas berulang kali setiap mengingat kondisi ibunya. Juga menahan rasa kesal bercampur kecewa pada sang ayah yang belum juga datang ke rumah sakit. Gadis itu menoleh ke samping. Melihat Devan yang sejak tadi hanya terdiam dengan tubuh yang bersandar sempurna dan kepala yang menengadah ke atas. Ia bingung pada lelaki itu yang lebih banyak diamnya sekarang. Apalagi melihat Devan dengan wajah yang pucat. Apakah Devan sakit, pikirnya. Terlebih lagi dengan Devan yang meletakkan tangan di dada dan mengusap pelan bagian tubuhnya yang satu itu. ia juga melihat dada lelaki itu naik turun sedikit tak beraturan. Carla menyentuh pundak Devan pelan membuat lelaki itu sedikit tersentak. “Dev, kamu kenapa?” tanya Carla sedikit khawatir melihat wajah pucat Devan. Ia tak tahu betul apa yang tengah terjadi pa
Asap yang mengepul dari mulut Aydan bercampur dengan udara sore. Juga dengan asap dari secangkir kopi di sampingnya. Untuk mencari tenang yang jarang, Aydan hanya bisa melakukan hal itu. Kendati ia tahu apa yang dilakukannya bukanlah hal yang tepat dan tentu saja tak baik untuk tubuhnya. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa melakukan hal itu untuk mencari sebuah ketenangan. Kakinya yang jenjang menjuntai di kolam, menikmati segar air jernih di sana. Sedang kepalanya menengadah ke atas. Menatap angkasa yang membiru dan sebentar lagi akan berubah hitam pekat. Ia tersenyum tiba-tiba. Tipis sekali. Saat teringat wajah yang ia pandang dengan jarak sangat dekat di dalam kepala. Untuk pertama kali. Sebuah bayangan bisa menyeret bibirnya agar melengkung ke atas. Ah, ada apa ini? Aydan menepis kembali bayangan itu. Untuk apa ia membayangkan manusia yang selalu membuat kesal dirinya? Tidak boleh ia membawa masuk lagi urusan perempuan ke dalam hidupnya yang pelik. Itu tidak boleh ter
"Dev, kamu yakin nggak mau ikut makan malam di luar?" Salmira duduk di bibir tempat tidur Devan. Ia mengelus lembut lengan Devan yang terbungkus sweater tebal yang digunakan untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya angin malam. Tubuh yang begitu rentan ambruk meski tak dipaksa melakukan aktivitas berat. Dan satu jam yang lalu pun lelaki itu sempat terserang sesak yang sangat hebat. Hingga memaksanya untuk berdiam diri dan terbaring di kamar. Devan hanya menggeleng pelan. Bagaimana bisa ia ikut keluar jika tenaganya saja masih belum kembali setelah tadi habis diserap rasa sesak. Ia tersenyum tipis dan menatap sayu Salmira. "Lain kali aja, ya, Ma. Kalau Devan ikut nanti malah ngerepotin Mama sama yang lain." Ia tertawa kecil. Namun, sarat dengan kepedihan. "Anak Mama nggak pernah ngerepotin kok. Jadi, jangan bilang kayak gitu lagi, ya, Sayang." Lelaki itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh punggung tangan Salmira. "Terima kasih udah jadi ibu hebat untuk Deva
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Tubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu. Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian. Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Aydan kini sudah berada di perkiran. Ia berdiri di samping mobilnya. Rasanya enggan untuk ia pulang ke rumah di mana banyak kenangan di sana bersama Papa dan Mama. Namun, bukan itu alasan lelaki yang sebentar lagi menginjak umur tujuh belas tahun itu. Melainkan perlakuan sang Oma yang kerap kali membuatnya harus menelan pil pahit sendirian.Lalu, ke mana Aydan akan pergi jika tidak ke rumah itu? Bahkan, keluarga lainnya satupun tak berada satu kota dengannya.Aydan menghela napas panjang dan berat. Ia segera menyentuh pintu mobil untuk membukanya. Namun, tangan seseorang yang tampak hanya tinggal tulang saja mencekal tangannya seiring suara memelas itu terdengar di ceruk telinga."Bang, aku ikut pulang bersamamu, ya."Aydan tahu betul siapa manusia yang kini berada di belakangnya. Ia melepas cekalan tangan kurus itu. Kemudian, ia membalik badan. Seketika ngilu terasa ulu hatinya menatap wajah pucat Devan dengan seragam yang sudah tampak kebesaran. Ke mana tubuh k
Entah sudah berapa lama Carla masih setia berdiri di depan sebuah ruang kelas. Berharap pagi ini ia bisa menemukan sosok laki-laki yang sudah menghilang tanpa kabar yang jelas sejak empat hari yang lalu. Bahkan, Aydan pun sudah ia teror hampir setiap detiknya hanya sekadar mencari informasi tentang kekasihnya, Devan. Namun, sia-sia saja. Aydan sama sekali tidak bisa menjadi ladang informasi yang baik untuknya.Namun, sepertinya pagi ini Dewi Fortuna tengah berbaik hati pada gadis berambut pirang itu. Dari kejauhan ia bisa menangkap seonggok tubuh laki-laki yang sudah beberapa hari ini tak dilihat atensinya tengah berjalan di koridor sekolah. Seperti biasanya dengan tubuh yang terbungkus jaket. Hal itu kemudian membuat kedua sudut bibir Carla terangkat dan membentuk lengkungan tipis yang manis."Dev!" ucap Carla menyerukan nama Devan tanpa malu seraya melambaikan tangan ke arah laki-laki itu. Ya, untuk apa juga Carla harus merasa malu sekarang? Hubungan yang ia jalin dengan Devan sudah
Laki-laki bersurai hitam legam dengan sepasang manik warna serupa itu melajukan langkahnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah ruang yang sudah diberitahukan oleh Salmira dan Aji sebelumnya. Pahatan wajah dengan rahang tegas itu masih tampak sangat kacau dengan semburat garis kekhawatiran di sana yang tak bisa disembunyikan oleh tuannya. Satu hal yang memang Aydan sulit untuk pungkiri ketika sudah menyangkut kondisi Devan. Kendati sejauh ini ia lebih sering menunjukkan sikap tidak peduli pada sepupunya itu."Pa, Ma," panggil Aydan setelah membuka perlahan pintu ruang rawat itu. Seketika aroma antiseptik menyeruak menyapa indra penciuman. Ia segera melangkah mendekati sepasang suami istri yang duduk di dekat tempat tidur pasien tipis itu. Layaknya Aydan menghormati orang tua kandungnya, ia mencium punggung tangan Salmira dan Aji secara bergantian. Sekarang, perlahan ia sudah bisa membuka ruang untuk menganggap pasangan itu sebagai orang tuanya sendiri.Aydan beralih menatap seseorang yang
“Hm, Bang,” panggil Carla tanpa menoleh ke samping dan sukses memecah keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat Ilmi dengan sebuah panggilan yang masih terdengar sangat kaku dan canggung tentunya. Ya, wajar saja jika memang demikian. Carla masih belum terbiasa dengan panggilan barunya pada sosok laki-laki yang pada hari pertamanya masuk sekolah sudah memberikan kesan mengesalkan untuknya. Namun, kini laki-laki itu sudah tampak berbeda di pandangan Carla. Ada sisi lain yang sudah Carla temukan dari laki-laki yang kini duduk tepat di sampingnya itu. Laki-laki dengan rambut hitam pekat itu menoleh ke arah gadis yang memanggilnya untuk pertama kali dengan panggilan “Abang” itu. Ia menyibak rambutnya ke belekang yang sedikit menjuntai di depan kening. Andai saja ia melakukan hal itu di hadapan gadis-gadis berseragam putih abu-abu di sekolah. Sudah sangat bisa dipastikan hal itu akan sukses menarik perhatian mereka. Lalu, teriakan histeris akan terdengar dan pujian akan ketampanan Aydan
Aroma antiseptik menyeruak mengisi indera penciumannya. Kalau boleh jujur, Carla tak pernah ingin terjebak di gedung putih ini, karena tak menyukai aroma yang membuat perut terasa ingin mengeluarkan segala isinya. Namun, apalah daya seorang Carla Farzana, keadaan memaksa untuk menginjakkan kaki di tempat yang isinya orang-orang yang mengandalkan tenaga tim medis itu. Seperti saat ini. Ia harus kembali menjebak diri di ruangan di mana seorang wanita paruh baya yang telah mengorbankan banyak hal—untuknya dan Karel—tengah terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang tak ia tahu apa namanya menempel di tubuh ringkih dan kurus itu. Ia dengan setia menggenggam tangan kurus Ilmi seraya memainkan ibu jarinya di punggung tangan. Dalam hati ia menyesal telah berbuat hal yang mungkin membuat kecewa ibunya. Namun, Carla juga tak bisa berbohong bahwa tak mudah untuk menerima seseorang yang tiba-tiba hadir di tengah keluarganya. Apalagi dengan status sebagai istri kedua sang ayah.
Sepasang tungkai milik Aydan mengayuh lebar menuju toilet rumah sakit dengan niat menyusul Devan yang sejak pergi. Rasa khawatir yang merajalela dalam diri membuatnya kalang kabut. Sekali lagi Aydan tekankan pada siapapun juga. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Devan—adiknya. Ya Devan adiknya. Tangan kekarnya membuka pintu toilet dengan brutal hingga menyita para pengguna di sana. Aydan tak peduli. Persetan dengan tatapan tak suka mereka. “Dev, lo di mana?” pekiknya tanpa malu. Ia menyenggol tubuh seseorang tanpa sengaja. Namun, rasa khawatir yang begitu hebat tak justru membuatnya meminta maaf. Ia bahkan menatap tajam orang tersebut karena merasa sudah mengganggu jalannya. Ia berdecak kesal kemudian berlalu. Aydan membuka satu per satu bilik toilet rumah sakit. Namun, tak ia temukan seseorang yang dicarinya. Hingga tangannya menyentuh bilik toilet terakhir dan paling ujung yang terkunci dari dalam. Ia yakin di dalam sana ada Devan. “Dev, lo di dalam kan?” tanya
Sepasang netra milik Devan sudah bisa menangkap sosok gadis yang sejak tadi ia cari di taman rumah sakit. Sesosok gadis berambut pirang yang ia sebut kekasih tengah duduk di depan ruang ICU. Devan mempercepat langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Seakan lupa dengan rasa sakit yang menikam dadanya. Atau setelah ini ia akan merasakan sakit yang lebih parah lagi. Juga ia lupa bahwa ia datang bersama seseorang yang sejak tadi membantu menopang tubuhnya. Aydan."Hai, By," sapa Devan dengan lembut. Ia menyentuh pundak gadis yang tengah duduk tertunduk dalam itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh gadis itu karena berusaha menahan tangisnya agar tak tumoah begitu saja.Begitu Carla merasakan ada sentuhan lembut. Ia perlahan mengangkat kepala. Tampak jelas jehak air mata yang dengan bebas dan tanpa permisi lebih dulu menjelajahi wajah putih mulusnya hingga basah. Lantas, ia bngkit dan menghambur memeluk Devan hingga hampir saja tubuh lelkai itu limbung karena belum siap dengan aksi Carl