Apalagi yang ditunggu-tunggu setiap siswa setelah matahari seakan bersinar tepat di atas kepala selain bel pulang yang berdering dengan nyaring. Wajah-wajah suntuk dan bosan itu berubah drastis menjadi berbinar. Setelah guru yang mengampu di mata pelajaran terakhir. Tangan-tangan yang terasa pegal itu bergerak cepat membereskan buku-buku mereka di atas meja dan memasukkan ke dalam tas sekolah.
Carla. Gadis berambut pirang itupun juga bergegas melakukan hal yang sama. Ia memasukkan dengan sembarang buku-buku pelajarannya yang berserakan ke dalam tas.
“Bel, gue balik duluan nggak apa-apa?” tanya Carla pada Arabelle yang masih membereskan alat tempurnya saat belajar tadi. Sedang yang ditanya hanya mengernyitkan hingga kerutan di kening tampak jelas. Ya, Carla jelas paham kenapa Arabelle seperti itu. Pasalnya, ia tak pernah tergesa-gesa saat pulang. Kecuali saat ada urusan penting yang tak bisa ia tinggalkan.
“Gue ada janji sama Devan. Sekarang dia pasti udah nungguin gue di parkiran,” jelasnya menjawab kebingungan yang ditunjukkan sahabatnya itu sambil memperlihatkan cengiran khasnya.
Arabelle tersenyum dan mengangguk. “Ya udah. Nggak apa-apa kok, La. Duluan aja.”
Carla berdiri. Namun, sebelum melangkahkan kaki. Ia merasakan tangannya ditarik. Ditatapnya sang pemilik tangan. “Kenapa, Bel?”
“Lo hati-hati di jalan, ya. Bilang sama Devan jangan ngebut kalau bawa mobil. Dia harus jaga baik-baik sahabat cantik gue ini,” ucap Arabelle. Ia memainkan jemarinya di lengan Carla dengan sangat lembut. Ia merasa teramat beruntung memiliki sahabat seperti Carla yang tak pernah sekalipun memandangnya karena ia adalah gadis yang terlahir dari keturunan keluarga kaya raya. Namun, Carla begitu menerimanya dengan apa adanya dirinya.
Dari kalimat itu Carla menemukan ketulusan dari gadis yang baru beberapa bulan ia temui itu. Tangannya bergerak meraih tangan Arabelle. Ia tersenyum sangat manis. “Lo sweet banget deh, Bel. Kalau lo cowok, gue pasti udah naksir sama lo,” kata Carla diiringi tawa renyahnya. Namun, jauh di lubuk hati yang paling dalam tentu saja ia merasa beruntung masih ada manusia sebaik Arabelle yang Tuhan kirimkan untuknya.
Arabelle hanya ikut tertawa membalas candaan Carla. Ya karena memang sahabatnya itu adalah tipekal orang yang ceria dan suka bercanda. Namun, tidak dengan sembarang orang. “Ya udah sana. Kasian Devan nunggu lo lama.”
Carla mengangkat tangan dan memposisikannya persis seperti orang yang tengah hormat. “Siap, Nona Alexandra!” Tak lupa ia menunjukkan cengiran khasnya.
Gadis berambut pirang yang dikepang satu itu segera beranjak meninggalkan ruang kelas dengan tergesa-gesa. Ia tak ingin terlambat menemui lelaki yang disebut kekasihnya itu menunggu lama di tempat yang sudah disepakati. Rasanya juga tak sabar ia untuk menemui lelaki yang selalu berbaik hati mendampinginya beberapa bulan terakhir ini. Kendati kadang Devan akan sibuk dan menghabiskan waktu dengan pekerjaannya sebagai seorang pimpinan organisasi. Namun, Carla tak pernah menuntut banyak hal pada Devan. Sebab, Carla paham dan tidak ingin membatasi kekasihnya itu. Lagipula, apa yang dilakukan Devan adalah hal yang positif.
Selain ceria ada lagi sifat Carla yang sudah sangat mendarah daging pada gadis itu. Ya, ia yang ceroboh. Ia yang tak bisa berhati-hati. Dan …
“Aw!”
Gadis berkulit pulit itu mengaduh kesakitan saat keningnya terasa berdenyut sakit bukan main karena sudah menabrak tubuh kekar dan keras. Ia menyentuh bagian anggota tubuhnya yang satu itu dengan pelan. Lantas, ia mendongakkan kepala dan menatap seseorang yang ditabraknya. Hal itu semakin membuat Carla murka.
“Kenapa sih lo lagi? Emang, ya, lo itu pembawa sial buat gue. Bahkan, di hari pertama gue masuk di sini aja lo juga yang nabrak gue.” Lelaki ber-name tag Aydan Atma Darmana itu geram luar biasa saat melihat siapa yang menabrak tubuhnya hingga terhuyung. Andai kata ia tak bisa menyeimbangkan tubuhnya, bisa ia pastikan akan mendarat dengan sempurna di ubin koridor.
“Kenapa lo nyalahin gue? Jelas-jelas lo yang salah. Lo yang nabrak gue duluan,” cecar Carla tanpa ampun. Ia benar-benar kesal. ditambah lagi dengan rasa sakit di kening yang membuat kepalanya berdenyut.
Aydan mendengus kesal. Seperti insiden yang terjadi saat pertemuan awalnya dengan gadis itu ia rasakan kesal yang luar biasa. Pasalnya, ia lagi-lagi melihat sikap keras kepala yang ditunjukkan gadis yang diagung-agungkan siswi SMA Nusa itu. Kecuali, dirinya. Ia mengusap wajahnya kasar. “Kenapa sih lo jadi cewek ngotot banget? Jelas-jelas lo yang salah juga.”
“Gue?” Jari telunjuk ia arah ke wajahnya. “Lo! Makanya kalau jalan tuh pakai mata. Nggak usah ngelamun.”
Entah stimulus dari mana hingga membuat tawa Aydan lepas dan mengudara begitu saja mendengar ucapan Carla. Terlalu lelah tertawa ia memegang perutnya yang terasa sakit. “Eh, lo udah mulai nggak waras, ya? Di mana-mana orang tuh jalan pakai kaki. Bukan pakai mata. Tuh kepala pakai yang bener. Jangan jadiin pajangan doang.” Ia kembali tertawa. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Kepingan peristiwa di mana gadis itu dengan penuh percaya diri mengucapkan kalimat yang sama seperti apa yang ia katakan tadi terngiang di kepala. Ia juga teringat kala itu harga dirinya merasa dijatuhkan oleh Carla. Lalu, kali ini ia bisa membalaskan hal serupa pada gadis itu.
Kening Carla mengkerut jelas. “Kayaknya gue pernah denger kalimat itu. Tapi, di mana, ya?” ucap Carla pada diri sendiri dengan suara kecil. Namun, masih bisa tertangkap indera pendengaran lelaki yang masih berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat di depan dada.
Aydan mempersempit jarak dengan gadis itu. Ia tersenyum miring. “Itu kalimat yang pernah lo ucapkan dulu sama gue, Bodoh!” ucapnya dengan pelan. Lantas, ia mendorong kepala gadis itu pelan dengan jari telunjuknya.
Carla menggeram tertahan. Namun, tidak dengan bibirnya. “Kok lo kurang ajar banget sih sama gue? Berani-beraninya lo ngedorong kepala gue kayak gitu.” Ia mencoba untuk membalas perlakuan Aydan padanya. Namun, hal itu diurungkan ketika rasa tak nyaman hinggap di bagian perutnya. Tangan yang sudah terangkat itu refleks turun dan memegang bagian tubuhnya yang tiba-tiba terasa sangat nyeri. Ia meringis tertahan dengan kepala tertunduk dalam.
Ringisan yang tiba-tiba lolos dari bibir gadis itu terdengar di telinga Aydan. Sejenak ia terdiam memperhatikan Carla. Ada apa dengan gadis itu? Namun, dalam sekejap ia berusaha untuk tak peduli. Ia berpikir bahwa gadis itu pasti tengah mencandainya. “Udah deh nggak usah lebay lo. Kayak jatuh dari lantai delapan aja. Ah, payah!” Ia mengibaskan tangan kanan di depan Caela.
Carla yang masih sibuk meredam rasa sakitnya sama sekali tak mempedulikan ucapan Aydan. Ia meringis dan terus menekan perutnya dengan kuat. Berharap rasa sakit itu segera menghilang.
Aydan membuang napas panjang. “Huh! Ya udahlah. Males juga sih gue lama-lama berdebat dengan manusia senyolot dan sengotot lo.” Setelahnya, ia melangkahkan kaki dan melewati tubuh Carla yang sudah berdiri dengan posisi sedikit membungkuk. Namun, langkah Aydan terhenti saat suara gadis itu kembali terdengar. Kali ini jauh dari biasanya.
“Tunggu, Aydan,” ucap Carla pelan.
Sang pemilik nama itu menoleh ke belakang dengan kening mengkerut. Mendapati Carla masih dalam posisi semula. “Kenapa lagi? Mau nyolot lagi depan gue?”
Kepala gadis itu menggeleng cepat. Ia menyeka keringat yang sudah membanjiri keningnya dengan sebelah tangan. “Bantu gue ke UKS. Perut gue bener-bener sakit, Dan.” Carla berusaha membalik badan, menunjukkan wajah memelas dan penuh kesakitan. Bibirnya yang ranum pun sudah berubah warna dan tanpa rona.
“Lo nggak usah pura-pura deh. Lo pikir gue bakal kasian sama lo? Nggak sama sekali.”
Benar kata orang. Apa yang terucap belum tentu sama dengan apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan. Begitulah yang dirasakan Aydan saat ini. Kendati kalimat yang diucapkan terdengar pedas. Namun, berbeda dengan apa yang dirasakan lelaki yang sebentar lagi menginjak usia tujuh belas tahun itu. Jauh di dalam hati justru ia merasa kasihan melihat raut wajah yang benar-benar tanpa rona milik gadis di hadapannya.
Atas dorongan nalurinya sebagai manusia Aydan bergerak maju perlahan. Hingga tubuh Carla terhuyung ke depan. Beruntung ia bergerak dengan sigap hingga tubuh gadis itu bisa ia tahan sebelum menyentuh lantai. “Eh, lo-lo beneran sakit?” Aydan panik. Jujur saja ia tak pernah dihadapkan dengan posisi seperti ini. Diguncangnya tubuh Carla yang sudah berada dalam dekapnya. Sialnya, manusia-manusia berseragam yang berjalan di sekitar koridor itu seakan tak acuh dengan keadaan. Mereka hanya menatap dan berlalu begitu saja dengan bisik-bisik tak karuan membuat Aydan jengkel.
Tatapan Aydan beralih ke arah perut Carla yang masih ditekan oleh gadis itu. Ringisan pun masih lolos dari bibir pucat Carla. Ia melihat kelopak mata Carla yang perlahan tertutup. Ia dilanda rasa panik berlebihan.
“Hei! Lo harus tetap sadar, Carla! Jangan tutup mata lo!” Aydan menepuk pelan pipi Carla yang sudah basah entah karena air mata atau keringat. Aydan tak pedulikan hal itu. Ia sudah kepalang panik melihat raut wajah kesakitan Carla. Dengan peluh yang juga membasahi sebagian tubuh gadis itu membuatnya tertegun.
“Lo nggak lagi becanda, kan?”
Bodoh! Aydan mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Dengan wajah yang tanpa rona dan ekspresi kesakitan ia masih sempat-sempatnya berpikiran bahwa Carla sedang mencandainya. Lagipula, untung apa juga gadis itu bercanda dengan hal seserius itu?
Untuk pertanyaan Aydan masih belum juga disahuti oleh Carla. Ia hanya sibuk meremat perutnya yang semakin terasa sakit, mencoba menghilangkan rasa yang sangat mengganggu itu.
“Lo masih punya mulut dan nggak bisu, kan? Jawab gue dong!”
Carla mencoba mengangkat wajahnya. Menabrakkan sepasang bola matanya yang sudah digenangi air hingga membuat tatapannya memburam sempurna dengan sepasang bola mata milik lelaki yang dibencinya itu. “Demi Tuhan. Perut gue beneran sakit. Dada gue juga sesak,” ucapnya dengan suara kecil. Nyaris tak terdengar.
Setelah kalimat yang diucapkan Carla. Aydan juga bisa dengan sangat jelas menangkap suara deru napas Carla yang memburu. Kini tatapan kesalnya berubah menjadi tatapan kasihan. Ia bisa menangkap bagaimana kesakitannya gadis itu. Hingga tanpa sadar tangannya lebih erat mendekap tubuh gadis itu.
Hal yang tak disukai Aydan itu kembali datang tanpa diminta. Kepalanya tiba-tiba berputar hebat menampilkan kejadian pada masa lalu. Kepingan kisah di mana ia dengan penuh ketakutan dan tubuh bergetar hanya bisa berdiri menatap seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya mengalami sesuatu yang menyakitkan. Sedangkan ia sendiri hanya terpaku tanpa bisa membantu apapun.
Kala itu, Aydan kecil menggandeng tangan mungil seorang anak yang seumuran dengannya. Membawa anak itu berlari beriringan di taman depan rumah. Tawa mereka terdengar renyah membuat orang-orang tua yang menyaksikan mereka tak bisa untuk tak tertawa.
“Aydan, larinya pelan-pelan saja, Sayang,” seru seorang wanita yang terlihat paling tua di antara orang-orang tersebut. Wanita yang tak lain adalah nenek dari dua anak lelaki itu takut jika cucu-cucunya akan terjatuh.
Dua anak kecil itu tak mempedulikan seruan sang nenek. Mereka masih saja berlari dan berkejar-kejaran. Hingga satu di antara mereka terjatuh.
“Devan!”
Langkah kaki Aydan kecil terhenti mendengar pekikan anggota keluarganya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Devan sudah tergeletak di atas rerumputan. Perlahan langkah kecilnya mendekati sang adik. Dengan jarak yang sangat dekat ia bisa melihat Devan dengan wajah yang pucat, napas yang tersengal. Tubuh Devan bergetar hebat.
“Ma—” Suaranya tercekat. Ia ketakutan melihat apa yang terjadi di hadapannya itu. Hingga sepasang tangan meraih tubuh dan mendekapnya. Namun, ia masih bisa melihat dengan jelas bagaimana adiknya yang terkapar dengan orang-orang yang sudah dilanda kekhawatiran.
“Devan, Ma—”
Salima—sang ibu—meletakkan jari telunjuknya di bibir Aydan. Ia duduk untuk memposisikan diri dengan tinggi sang anak. “Sstt! Devan pasti baik-baik saja. Aydan jangan takut, ya.”
Lelaki beralis tebal itu menepis kuat peristiwa yang masih memaksa untuk dipertontonkan di dalam kepala itu. Ia berusaha mengenyahkan apapun yang mengganggu dengan menggeleng kuat dan berulang kali.
“Lo kenapa?” tanya Carla yang masih mencoba mempertahankan kesadarannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan lelaki itu. Namun, ia bisa merasakan tubuh Aydan mulai basah dan sedikit bergetar.
Aydan tak menjawab. Ia menyeka bulir-bulir keringat yang di keningnya. Saat ia berniat untuk menghapus juga keringat gadis itu dengan tangannya. Tangan seseorang lebih dulu menepis tangannya dengan kasar.
“Apa yang lo lakukan?”
Sisa tawa Devan, Noval, dan Sarah masih terdengar mendengar lelucon yang diciptakan Riko. Salah seorang teman kelas yang tak pernah gagal membuat teman lainnya tertawa. Lelaki bermata sipit itu kembali mengenakan jaket yang sempat ia simpan di dalam mobil untuk menjaga kondisi tubuh lemahnya. “Siang-siang pakai jaket terus, Dev. Nggak gerah?” tanya Riko. Devan menoleh. Benar memang apa yang dikatakan Riko. Hari memang sedang terik. Namun, apalah daya bagi Devan yang hidup dengan tubuh yang tak normal. Ia tersenyum. “Gerah sih. Tapi, mau gimana? Tubuh gue nggak sekuat kalian,” balasnya santai sambil menaikkan resleting jaket yang membungkus tubuhnya. Bohong jika ia tak merasa iri pada orang-orang yang bisa melakukan apa saja dengan leluasa dan tanpa batas. Bermain sesuka hati mereka. “Elah, kayak orang penyakitan aja sih lo, Dev,” celetuk Riko dengan gamblang. Ya, memang Riko dasarnya adalah manusia yang tumbuh menjadi orang dengan gaya bahasa yang ent
Carla menyentuh knop pintu dan membuka benda dari bahan kayu tebal itu. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan yang bisa tertangkap indera. Di rumah sebesar istana itu ia hanya menemukan sepi. Rumah itu seperti tak ada kehidupan yang berjalan di sana yang mengharuskannya untuk kembali menghela napas panjang. “Bibi!” pekiknya untuk mendeportasi sunyi. Tak lama setelah suara Carla yang melengking dan mengudara. Seorang wanita dengan setelan daster rumahan berlari kecil mendekat. “Iya, Non. Baru pulang sekolah, ya?” Carla menjawab dengan anggukan. Tangannya yang sejak tadi terlipat di depan dada terlepas untuk menggamit dan mencium tangan kasar dan keriput milik wanita yang sudah mengabdikan diri di keluarganya sebagai asisten rumah tangga itu. Lama menjadi pekerja di rumahnya membuat Carla terbiasa, bahkan bergantung pada wanita yang sering ia panggil Bi Aini. “Bi, aku pulang sama Devan. Boleh minta tolong buatkan minum buat Devan? Aku mau k
Carla menatap lurus ke depan. Menatap pintu kaca yang tertutup rapat di mana di dalamnya ada sang ibu yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas berulang kali setiap mengingat kondisi ibunya. Juga menahan rasa kesal bercampur kecewa pada sang ayah yang belum juga datang ke rumah sakit. Gadis itu menoleh ke samping. Melihat Devan yang sejak tadi hanya terdiam dengan tubuh yang bersandar sempurna dan kepala yang menengadah ke atas. Ia bingung pada lelaki itu yang lebih banyak diamnya sekarang. Apalagi melihat Devan dengan wajah yang pucat. Apakah Devan sakit, pikirnya. Terlebih lagi dengan Devan yang meletakkan tangan di dada dan mengusap pelan bagian tubuhnya yang satu itu. ia juga melihat dada lelaki itu naik turun sedikit tak beraturan. Carla menyentuh pundak Devan pelan membuat lelaki itu sedikit tersentak. “Dev, kamu kenapa?” tanya Carla sedikit khawatir melihat wajah pucat Devan. Ia tak tahu betul apa yang tengah terjadi pa
Asap yang mengepul dari mulut Aydan bercampur dengan udara sore. Juga dengan asap dari secangkir kopi di sampingnya. Untuk mencari tenang yang jarang, Aydan hanya bisa melakukan hal itu. Kendati ia tahu apa yang dilakukannya bukanlah hal yang tepat dan tentu saja tak baik untuk tubuhnya. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa melakukan hal itu untuk mencari sebuah ketenangan. Kakinya yang jenjang menjuntai di kolam, menikmati segar air jernih di sana. Sedang kepalanya menengadah ke atas. Menatap angkasa yang membiru dan sebentar lagi akan berubah hitam pekat. Ia tersenyum tiba-tiba. Tipis sekali. Saat teringat wajah yang ia pandang dengan jarak sangat dekat di dalam kepala. Untuk pertama kali. Sebuah bayangan bisa menyeret bibirnya agar melengkung ke atas. Ah, ada apa ini? Aydan menepis kembali bayangan itu. Untuk apa ia membayangkan manusia yang selalu membuat kesal dirinya? Tidak boleh ia membawa masuk lagi urusan perempuan ke dalam hidupnya yang pelik. Itu tidak boleh ter
"Dev, kamu yakin nggak mau ikut makan malam di luar?" Salmira duduk di bibir tempat tidur Devan. Ia mengelus lembut lengan Devan yang terbungkus sweater tebal yang digunakan untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya angin malam. Tubuh yang begitu rentan ambruk meski tak dipaksa melakukan aktivitas berat. Dan satu jam yang lalu pun lelaki itu sempat terserang sesak yang sangat hebat. Hingga memaksanya untuk berdiam diri dan terbaring di kamar. Devan hanya menggeleng pelan. Bagaimana bisa ia ikut keluar jika tenaganya saja masih belum kembali setelah tadi habis diserap rasa sesak. Ia tersenyum tipis dan menatap sayu Salmira. "Lain kali aja, ya, Ma. Kalau Devan ikut nanti malah ngerepotin Mama sama yang lain." Ia tertawa kecil. Namun, sarat dengan kepedihan. "Anak Mama nggak pernah ngerepotin kok. Jadi, jangan bilang kayak gitu lagi, ya, Sayang." Lelaki itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh punggung tangan Salmira. "Terima kasih udah jadi ibu hebat untuk Deva
Bel istirahat baru saja berdering teramat nyaring. Wajah-wajah bahagia terpancar nyata dari murid-murid SMA Nusa. Raut-raut tak sabar ingin segera memberikan nutrisi kepada cacing-cacing di perut mereka pun tak luput dari pandangan. Lain halnya dengan gadis blasteran dengan kulit putih dan berparas ayu itu. Ia hanya sibuk memainkan polpen di sela-sela jemarinya. Wajahnya yang cantik tampak murung seperti dilanda mendung. Matanya yang indah menatap tangannya yang bermain di atas meja dengan tatapan sayu. Otaknya yang sejak tadi dipaksa mencerna materi terasa sudah penuh. Bukan karena materi yang sejak pagi itu, melainkan otaknya penuh memikirkan kondisi Ilmi yang semakin hari terlihat semakin memburuk dan memprihatinkan. Sejak pagi ia memaksa diri untuk memfokuskan diri dengan apa yang dihadapkan waktu padanya. Namun, ia gagal dan tak bisa bekerjasama dengan otaknya. Ia melipat tangan di atas meja. Lantas menunduk dan menenggelamkan wajah di antara lipatan tangannya.
“Kalian duluan aja. Ntar gue nyusul,” ucap Aydan yang langsung dibalas anggukan oleh kedua lelaki yang selalu membersamainya itu—Lucas dan Deon. Ia membereskan beberapa alat tulis dan alat yang ia gunakan membuat sketsa di sebuah sketchbook bersampul Menara Eifel itu. Saat merasa bosan dengan materi yang disampaikan guru. Ia seringkali menghabiskan waktunya dengan membuat sketsa apa saja dibanding tidur di kelas saat pelajaran berlangsung. Aydan bangkit setelah membereskan barang-barangnya. Ia melangkah keluar kelas dan menyusuri koridor sekolah dengan santai melewati para siswa yang tak menghabiskan waktu istirahat di kantin. Seperti biasa, bisik-bisik penuh pujian dan kekaguman tak ayal menelusup masuk ke indera pendengaran. Ia hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecut. “Dasar cewek,” uacpnya berbisik setelah berhasil melewati koridor. Kakinya tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Tak sengaja ia menangkap sosok Devan di tengah lapangan basket sambil men
Perpustakaan terlihat sepi. Hanya terdapat beberapa siswa di sana. Ya, tentu saja. Jam istirahat lebih banyak dihabiskan dengan memberikan gizi untuk cacing-cacing di perut atau men-charge tenaga untuk persiapan pelajaran selanjutnya. Carla melangkahkan sepasang tungkainya pasti memasuki ruangan tanpa sekat dengan rak-rak yang terisi buku berjejer rapi. Saat kakinya baru beberapa langkah menapaki ubin perpustakaan. Tanpa sengaja tatapannya bertubrukan dengan sepasang iris milik salah seorang pengunjung yang duduk di bangku sendirian. Hal itu berhasil menghipnotisnya untuk menghentikan langkah dengan tiba-tiba. Tatapan gadis berambut pirang itu kali ini terlihat berbeda dari sorot mata sebelumnya. Tak ada tersirat kekesalan, apalagi kebencian di sana. Begitu juga sorot mata seseorang itu. Hanya ada tatapan teduh yang pasti langka. “Kenapa berhenti, La?” Pertanyaan itu berhasil menarik paksa Carla untuk memutuskan lebih dulu drama saling tatapn
Laju waktu bergerak stabil. Membawa pekat malam dan hening menyelimuti gadis yang tengah duduk di samping ranjang pasien itu. Tangannya tak berhenti menggenggam sebelah tangan dengan urat yang menonjol jelas. Ibu jarinya bergerak lembut mengelus punggung tangan itu."Lekas membaik, Mom. Biar Mommy segera pulang ke rumah," keluhnya dengan wajah tertunduk, mata menatap nanar lantai putih rumah sakit. Tak sadar jika mata sayu perempuan lemah itu sudah perlahan terbuka."Iya, Sayang."Sontak kepala itu terangkat. Senyum bahagia jelas tercetak pada wajah cantik Carla."Ala tak punya teman di rumah," ucapnya dengan nada manja. Ia mengerucutkan bibirnya membuat Mommy merasa gemas sendiri.Tangan kurus Mommy mendarat pelan pada pipi mulus sang anak. Membelainya lembut penuh sayang. "Kamu lupa di rumah masih ada Mama Muti?"Lembut pertanyaan itu nyatanya tak ditanggapi lembut jua oleh Carla. Raut wajah cerianya seketika sirna, menguap bersama udara ruang b
Tubuh tinggi itu masih meringkuk di lantai dingin. Matanya sembab. Tatapannya sendu ke arah langit-langit kamar. Tersirat jelas kesedihan, kepedihan bahkan kesakitan luar biasa dari sorot iris hitam legam itu. Perlahan Aydan bangkit. Ia sandarkan tubuh pada tempat tidur miliknya dengan tangan memeluk lutut. Wajah kacau itu ia tenggelamkan di antara lipatan kaki jenjangnya. Kembali Aydan menumpahkan tangis pilu di sana tanpa malu. Lagipula, tak ada yang melihatnya, bukan? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah menerobos bebas dari kelopak matanya sejak ia memilih keluar dari kamar Devan siang tadi. Kini, bahkan matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Itu tandanya Aydan sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekedar menangis sendirian. Wajah tegas yang tampak kacau itu terangkat perlahan. Ia memutar kepala sembilan puluh derajat ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah potret berwarna dalam bingkai itu membuat kedua sudut bibir Aydan tera
Aydan kini sudah berada di perkiran. Ia berdiri di samping mobilnya. Rasanya enggan untuk ia pulang ke rumah di mana banyak kenangan di sana bersama Papa dan Mama. Namun, bukan itu alasan lelaki yang sebentar lagi menginjak umur tujuh belas tahun itu. Melainkan perlakuan sang Oma yang kerap kali membuatnya harus menelan pil pahit sendirian.Lalu, ke mana Aydan akan pergi jika tidak ke rumah itu? Bahkan, keluarga lainnya satupun tak berada satu kota dengannya.Aydan menghela napas panjang dan berat. Ia segera menyentuh pintu mobil untuk membukanya. Namun, tangan seseorang yang tampak hanya tinggal tulang saja mencekal tangannya seiring suara memelas itu terdengar di ceruk telinga."Bang, aku ikut pulang bersamamu, ya."Aydan tahu betul siapa manusia yang kini berada di belakangnya. Ia melepas cekalan tangan kurus itu. Kemudian, ia membalik badan. Seketika ngilu terasa ulu hatinya menatap wajah pucat Devan dengan seragam yang sudah tampak kebesaran. Ke mana tubuh k
Entah sudah berapa lama Carla masih setia berdiri di depan sebuah ruang kelas. Berharap pagi ini ia bisa menemukan sosok laki-laki yang sudah menghilang tanpa kabar yang jelas sejak empat hari yang lalu. Bahkan, Aydan pun sudah ia teror hampir setiap detiknya hanya sekadar mencari informasi tentang kekasihnya, Devan. Namun, sia-sia saja. Aydan sama sekali tidak bisa menjadi ladang informasi yang baik untuknya.Namun, sepertinya pagi ini Dewi Fortuna tengah berbaik hati pada gadis berambut pirang itu. Dari kejauhan ia bisa menangkap seonggok tubuh laki-laki yang sudah beberapa hari ini tak dilihat atensinya tengah berjalan di koridor sekolah. Seperti biasanya dengan tubuh yang terbungkus jaket. Hal itu kemudian membuat kedua sudut bibir Carla terangkat dan membentuk lengkungan tipis yang manis."Dev!" ucap Carla menyerukan nama Devan tanpa malu seraya melambaikan tangan ke arah laki-laki itu. Ya, untuk apa juga Carla harus merasa malu sekarang? Hubungan yang ia jalin dengan Devan sudah
Laki-laki bersurai hitam legam dengan sepasang manik warna serupa itu melajukan langkahnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah ruang yang sudah diberitahukan oleh Salmira dan Aji sebelumnya. Pahatan wajah dengan rahang tegas itu masih tampak sangat kacau dengan semburat garis kekhawatiran di sana yang tak bisa disembunyikan oleh tuannya. Satu hal yang memang Aydan sulit untuk pungkiri ketika sudah menyangkut kondisi Devan. Kendati sejauh ini ia lebih sering menunjukkan sikap tidak peduli pada sepupunya itu."Pa, Ma," panggil Aydan setelah membuka perlahan pintu ruang rawat itu. Seketika aroma antiseptik menyeruak menyapa indra penciuman. Ia segera melangkah mendekati sepasang suami istri yang duduk di dekat tempat tidur pasien tipis itu. Layaknya Aydan menghormati orang tua kandungnya, ia mencium punggung tangan Salmira dan Aji secara bergantian. Sekarang, perlahan ia sudah bisa membuka ruang untuk menganggap pasangan itu sebagai orang tuanya sendiri.Aydan beralih menatap seseorang yang
“Hm, Bang,” panggil Carla tanpa menoleh ke samping dan sukses memecah keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat Ilmi dengan sebuah panggilan yang masih terdengar sangat kaku dan canggung tentunya. Ya, wajar saja jika memang demikian. Carla masih belum terbiasa dengan panggilan barunya pada sosok laki-laki yang pada hari pertamanya masuk sekolah sudah memberikan kesan mengesalkan untuknya. Namun, kini laki-laki itu sudah tampak berbeda di pandangan Carla. Ada sisi lain yang sudah Carla temukan dari laki-laki yang kini duduk tepat di sampingnya itu. Laki-laki dengan rambut hitam pekat itu menoleh ke arah gadis yang memanggilnya untuk pertama kali dengan panggilan “Abang” itu. Ia menyibak rambutnya ke belekang yang sedikit menjuntai di depan kening. Andai saja ia melakukan hal itu di hadapan gadis-gadis berseragam putih abu-abu di sekolah. Sudah sangat bisa dipastikan hal itu akan sukses menarik perhatian mereka. Lalu, teriakan histeris akan terdengar dan pujian akan ketampanan Aydan
Aroma antiseptik menyeruak mengisi indera penciumannya. Kalau boleh jujur, Carla tak pernah ingin terjebak di gedung putih ini, karena tak menyukai aroma yang membuat perut terasa ingin mengeluarkan segala isinya. Namun, apalah daya seorang Carla Farzana, keadaan memaksa untuk menginjakkan kaki di tempat yang isinya orang-orang yang mengandalkan tenaga tim medis itu. Seperti saat ini. Ia harus kembali menjebak diri di ruangan di mana seorang wanita paruh baya yang telah mengorbankan banyak hal—untuknya dan Karel—tengah terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang tak ia tahu apa namanya menempel di tubuh ringkih dan kurus itu. Ia dengan setia menggenggam tangan kurus Ilmi seraya memainkan ibu jarinya di punggung tangan. Dalam hati ia menyesal telah berbuat hal yang mungkin membuat kecewa ibunya. Namun, Carla juga tak bisa berbohong bahwa tak mudah untuk menerima seseorang yang tiba-tiba hadir di tengah keluarganya. Apalagi dengan status sebagai istri kedua sang ayah.
Sepasang tungkai milik Aydan mengayuh lebar menuju toilet rumah sakit dengan niat menyusul Devan yang sejak pergi. Rasa khawatir yang merajalela dalam diri membuatnya kalang kabut. Sekali lagi Aydan tekankan pada siapapun juga. Ia tidak ingin terjadi hal buruk pada Devan—adiknya. Ya Devan adiknya. Tangan kekarnya membuka pintu toilet dengan brutal hingga menyita para pengguna di sana. Aydan tak peduli. Persetan dengan tatapan tak suka mereka. “Dev, lo di mana?” pekiknya tanpa malu. Ia menyenggol tubuh seseorang tanpa sengaja. Namun, rasa khawatir yang begitu hebat tak justru membuatnya meminta maaf. Ia bahkan menatap tajam orang tersebut karena merasa sudah mengganggu jalannya. Ia berdecak kesal kemudian berlalu. Aydan membuka satu per satu bilik toilet rumah sakit. Namun, tak ia temukan seseorang yang dicarinya. Hingga tangannya menyentuh bilik toilet terakhir dan paling ujung yang terkunci dari dalam. Ia yakin di dalam sana ada Devan. “Dev, lo di dalam kan?” tanya
Sepasang netra milik Devan sudah bisa menangkap sosok gadis yang sejak tadi ia cari di taman rumah sakit. Sesosok gadis berambut pirang yang ia sebut kekasih tengah duduk di depan ruang ICU. Devan mempercepat langkahnya mendekat ke arah gadis itu. Seakan lupa dengan rasa sakit yang menikam dadanya. Atau setelah ini ia akan merasakan sakit yang lebih parah lagi. Juga ia lupa bahwa ia datang bersama seseorang yang sejak tadi membantu menopang tubuhnya. Aydan."Hai, By," sapa Devan dengan lembut. Ia menyentuh pundak gadis yang tengah duduk tertunduk dalam itu. Ia bisa merasakan getaran tubuh gadis itu karena berusaha menahan tangisnya agar tak tumoah begitu saja.Begitu Carla merasakan ada sentuhan lembut. Ia perlahan mengangkat kepala. Tampak jelas jehak air mata yang dengan bebas dan tanpa permisi lebih dulu menjelajahi wajah putih mulusnya hingga basah. Lantas, ia bngkit dan menghambur memeluk Devan hingga hampir saja tubuh lelkai itu limbung karena belum siap dengan aksi Carl