Sambungan telepon diputus tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Dengan lunglai, tanganku yang memegang ponsel jatuh ke pangkuan.
"Kenapa?"Pertanyaan itu tidak diucapkan dengan keras, bahkan cenderung lembut untuk ukuran suara laki-laki. Namun, cukup membuatku terkejut. Aku menoleh ke arah pemilik suara. Reinhard sedang menatap dengan sorot mata yang berbeda sepanjang kami berinteraksi hari ini. Apakah ia tahu aku sedang mendapat cobaan bertubi-tubi?"Oh, i-ini telepon dari bos tempatku bekerja."Aku hampir tidak sanggup melanjutkan kata-kata. Pandangan mata mulai kabur dan panas. Tolong, jangan sekarang. Aku tidak ingin menangis lagi di depan lelaki ini."Masukkan alamat tempat kerjamu di sini," tunjuk Reinhard ke arah layar di dashboard. Aku menatapnya bingung."Aku butuh memasukkannya dalam peta untuk sampai ke sana," ujarnya lagi.Segera aku mengetik lokasi toko, kemudian mengalihkan pandangan ke tepi jalan. Tanpa bicara lagi, Reinhard melajukan mobil miliknya dengan kecepatan sedang.Ia sama sekali tidak bertanya ada masalah apa. Aku tidak terbebani untuk harus bercerita tentang keadaan saat ini. Kenyataan itu membuat rasa terima kasih membuncah di dada untuk Reinhard, yang mungkin akan kubalas di satu hari nanti.Setelah setengah jam, kami sampai di lokasi. Reinhard menghentikan kendaraannya persis di depan toko tempatku bekerja. Aku menatap ke arahnya."Ka-kamu ....""Kenapa?""Bagaimana kamu tahu tempatku bekerja?"Ia menunjuk layar di dashboard. "Petanya bilang kita sudah sampai tepat saat mobil mencapai titik ini.""Oh.""Perlu aku temani?""Nggak usah. Terima kasih untuk bantuanmu."Aku mengangguk dan berusaha mengulas senyum walau berat. Tepat saat hendak membuka pintu, Reinhard menarik tanganku."Aku akan tunggu di sini."Harusnya aku mengucap kata tidak. Sewajarnya aku mencegahnya melakukan itu. Namun, bibirku mengatup rapat. Pandangan mata ini tidak fokus. Perlahan kubuka pintu mobil dan menjejak kaki ke tepi jalan.Saat aku menutup pintu mobil, Ines terlihat berlari menyongsong. "Kamu ngapain aja sampai terlambat seperti ini, sih?""Habis buang sampah.""Hah? Buang sampah di mana sampai telat kerja berjam-jam? Kamu dipecat, El.""Udah tahu. Itu sebabnya aku ke sini."Kutinggalkan gadis itu, berlalu dengan langkah yang lebar. Pada jam seperti ini bos besar biasanya ada di lantai dua. Kantornya ruang pojok dekat jendela depan. Mungkin saja ia sedang mengawasiku sekarang.Terdengar suara langkah Ines yang berlari mengejarku. "Kamu mau apa, El? Ketemu Bos? Bukannya dia udah pecat kamu tadi via telepon?""Yah, setidaknya aku bisa minta pesangon. Sudah lama jadi karyawannya, masa bos nggak ada empati sama sekali?""Masih berani kamu minta pesangon?""Kenapa nggak?"Ines menghentikan langkahnya, sementara aku membiarkan ia seperti itu. Terus melangkah, aku masuk ke dalam toko. Beberapa karyawan yang sedang bertugas di lantai satu memberikan tatapan penuh rasa ingin tahu. Pastinya mereka sudah mendengar tentang pemecatanku hari ini.Saat beberapa meter lagi kakiku mencapai tangga, terdengar langkah berat dari atas. Pemilik toko dengan pakaian khasnya yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong, sedang melangkah turun. Ia menatapku dengan sorot pandang yang masih diliputi amarah.Aku membeku di tempat. Ia terus mendekat sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam saku. Saat jarak kami hanya tinggal dua langkah saja, ia mengulurkan sesuatu padaku."Ini untukmu. Jangan kembali lagi ke sini. Aku tidak menerima pegawai malas."Sebuah amplop putih terulur di depanku. Apakah itu pesangon? Sejenak aku mengangguk hormat sambil menangkupkan dua tangan di depan dada."Maafkan saya, Pak. Ini benar-benar bukan kesengajaan. Saya hanya berniat menyelesaikan satu keperluan penting tadi, lalu hendak langsung ke sini. Ternyata di jalan ada halangan yang bikin terlambat. Tolong jangan pecat saya, Pak."Lelaki bertubuh gempal dengan mata sipit itu mengibaskan tangan kirinya. "Keputusanku sudah bulat. Kamu selama ini terlalu sering terlambat dengan alasan yang entah benar atau tidak. Setiap bulan juga selalu kasbon jauh sebelum tanggal gajian. Masih untung kamu kuberi pesangon ini."Kali ini ia meraih tangan kananku dan menjejalkan amplop putih itu di sana. Mau tidak mau aku menerimanya."Terima kasih, Pak."Tanpa bicara lagi, aku meninggalkan toko sebelum rasa panas di kedua mata semakin kuat. Aku sudah banyak menangis hari ini. Jangan sampai air mata tumpah lagi di wajah."El," sapa Ines yang ternyata sudah berdiri jarak beberapa langkah saja di depanku. "Kamu mau pulang?""Mungkin," jawabku lirih."Kayaknya kamu ditungguin.""Hah? Sama siapa?"Ines memberi kode dengan gerakan dagu ke arah seseorang yang dia maksud. Lebih tepatnya mobil yang tadi mengantarku. Kenapa lelaki itu belum juga pergi?"Dia siapa, El?""Eh, i-itu ...." Bergegas aku menggeleng. "Nanti aku ceritain."Aku berjalan hendak menjauh dari posisi mobil Reinhard diparkir. Namun, lelaki itu tiba-tiba membuka pintu dan berjalan mendekat."Tunggu, Ri!" Setengah berlari ia memperpendek jarak di antara kami. "Biar aku antar. Kamu mau pulang, kan?"Tanpa sadar aku mengangguk. Dari sudut mata bisa kulihat Ines menatap heran ke arah kami."Ayo," ujar Reinhard sambil menggenggam tanganku. Seperti kerbau dicucuk hidung, aku mengikuti langkahnya ke arah mobil hitam.Dengan elegan tangan Reinhard membukakan pintu mobil. Ia baru menutupnya lagi setelah memastikan aku duduk dengan aman, lalu berjalan memutar dan masuk dari pintu di sisi kemudi."Ke-kenapa?" tanyaku setelah ia duduk tetapi hanya memandangiku."Alamatmu," ujarnya sambil menunjuk layar. Kali ini aku hanya menyebutkan nama jalan dan daerah tempatku tinggal. Masih jelas dalam ingatan, saat tadi aku mengetik alamat toko di layar itu, jarak di antara kami menjadi sangat dekat hingga menimbulkan debar aneh di dada.Tanpa bicara, Reinhard melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebuah pesan masuk ke ponselku. Saat kuambil benda berwarna hitam itu, terlihat nama Nia di notifikasi layar atas. Aku tidak bisa membaca selengkapnya jika dari posisi itu saja. Hanya ucapan salam dan sapaan yang terlihat. Namun, aku bisa menebak apa permintaan gadis itu di tanggal seperti ini.Menarik napas berat, aku beralih ke jendela setelah membalik posisi handphone di pangkuan. Tentu saja dengan tujuan agar lelaki di sampingku tidak bisa melihat tulisan yang tertera di sana. Namun, bukan Nia namanya jika tidak menelepon saat pesannya belum dibalas. Dering itu pun kuabaikan dan memilih menekan tombol volume agar nadanya tidak lagi terdengar."Kenapa nggak diangkat?"Aku menoleh dan menatap wajah Reinhard. "Biar aja. Bukan hal penting."Namun, getar dari ponsel usang itu tidak sejalan dengan ucapanku. Nia ternyata memang segigih itu. Ia akan terus mengejar sampai keinginannya tercapai."Angkat dulu aja, Ri. Barangkali itu mendesak. Apa perlu kita menepi sejenak?"Aku tidak menjawab pertanyaan lelaki dengan dagu yang berjanggut tipis itu. Ia benar-benar menepikan mobil dan mematikan mesin.Aku tersenyum dan menatapnya sejenak. Reinhard membalas senyumku lalu menatap ke arah ponsel. Ada kilat keterkejutan di matanya saat aku bukan menggeser icon warna hijau, melainkan menekan tombol power."Kenapa dimatiin, Ri? Kasihan yang nelepon."Kutarik napas panjang sambil memejamkan mata sejenak. "Ada yang ingin aku tanyakan."Reinhard terdiam. Ia seperti seorang detektif yang sedang mengamati gestur tersangka. "Tentang apa?""Maukah kau menikah denganku?"***"What?" Reinhard kemudian terbahak sambil menutup mulutnya. "Kenapa kamu jadi mencuri kata-kataku? Pertanyaannya nggak salah, nih? Seingatku, hampir satu jam yang lalu tawaran itu ditolak mentah-mentah."Aku melempar kepala ke sandaran kursi sambil mengeluarkan karbondioksida hasil pernapasan dari mulut. Seolah dengan itu aku bisa menghempas semua yang menekan dalam hidup. Kunyalakan ponsel kembali dan membuka pesan dari Nia. Baris-baris kalimat itu kuperlihatkan pada Reinhard yang masih memberikan tatapan tidak percaya. "Kamu baca ini."Lelaki itu mengambil handphone dari tanganku. Tidak disangka ia membaca redaksinya dengan suara keras. "Kenapa belum kirim uang, Mbak? Aku ujian minggu depan.""Baca atasnya lagi.""Mbak, kapan mau transfer? Ibu marah-marah terus karena beras habis."Aku diam kini. Tangan Reinhard terus menggeser layar ponsel. "Nia ini siapa?""Adikku. Tidak, lebih tepatnya ibu kami sama, tapi dengan ayah yang berbeda.""Kamu yang biayai sekolahnya?"Sekali lagi ku
Tangan lelaki itu dengan cepat menarik lenganku dan memaksa untuk masuk. Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tenaganya jauh lebih kuat. Kantong di tanganku terlepas. Beberapa croissant di dalamnya berhamburan ke lantai. "Lepaskan! Aku bukan anak kecil yang bisa kamu perdaya seperti dulu!""Coba saja kalau bisa! Kali ini aku pasti bisa mendapatkan tubuhmu, El!"Seketika bayangan mengerikan berkelebat di kepalaku. Tidak ada cara lain, aku harus berteriak untuk mendapatkan bantuan. "Tolong! Tolong aku!" Sambil berteriak, aku terus meronta. Saat lelaki itu berhasil menarik tubuhku dalam cekalan yang lebih kuat, sebuah ide melintas begitu saja. Aku arahkan lutut dengan sekuat tenaga ke bagian vitalnya. Ia berteriak, saat itulah tangannya melemah. Aku meronta sekuat tenaga dan berhasil melepaskan diri. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menyusuri lorong dengan napas terengah dan berusaha mencapai tangga. "Hei! Jangan lari! Anak kurang ajar!"Kupercepat langkah. Ketika berhasil mencapa
Reinhard bergegas berdiri. Ekspresi di wajahnya bercampur antara terkejut, kesal, dan entah apa lagi."Ka-kakek? Kenapa Kakek ke sini?""Lho, memangnya ada yang melarang Kakek datang ke tempat tinggal cucu sendiri? Lalu, sejak kapan kamu senang membawa lawan jenis masuk ke sini? Memangnya Kakek mengajarimu berperilaku melanggar norma?""Oh, i-ini .... Ini Rihana, Kek. Di-dia ...." Reinhard sejenak menatap ke mataku seolah meminta persetujuan. Aku tidak tahu harus berbicara apa. "Di-dia is-istriku, Kek," ujarnya lagi dengan ragu. Tentu saja bukan hanya si kakek yang terpana. Aku juga tidak menyangka ia akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Tidak disangka, lelaki yang usianya mungkin sudah enam puluh tahun itu langsung berteriak dan menyerang Reinhard dengan pukulan tangan bertubi-tubi. "Kurang ajar! Anak nggak beradab! Sejak kapan kamu menikah? Kapan? Di mana, hah? Jawab kakekmu ini!"Reinhard berlari menghindar, sementara sang kakek terus mengejarnya. Beberapa kali pukulan yang
Kakek berjalan sambil terus menggumamkan kalimat yang tidak jelas terdengar. Aku dan Re memerhatikannya sampai ia membuka pintu. "Re, bagaimana ini?" Saat itu Kakek telah menutup pintunya dari luar. Reinhard meletakkan telunjuknya di depan mulut pertanda aku harus diam. Ia mengambil ponsel dari dalam saku dan menelepon seseorang."Kakek sedang berjalan ke tempatmu. Masih ingat skenario yang pernah aku perlihatkan?"Ia diam sejenak, sepertinya sedang mendengarkan jawaban dari lawan bicaranya."Ya, tentang pernikahan. Semua sama, tapi ada satu detail tambahan."Hening lagi. "Istriku beda keyakinan. Alasan itu membuat kami menikah di Kanada bulan kemarin."Bicaranya kembali terjeda beberapa detik, hingga ia mengakhiri pembicaraan."Ok. Thanks, Fer."Reinhard menghela napas panjang. Ia kemudian menatapku sambil memberikan senyum lebar, membuat eye smile miliknya semakin terlihat jelas. Kedua mata itu benar-benar membentuk bulan sabit yang khas. "Aman.""Hm, jadi kamu memang sudah mere
"Bu, sebenarnya ....""Kenapa?""A-aku dipecat dari tempat kerja. Jadi ....""Hah? Jadi itu uang pesangonmu?"Aku mungkin bukan orang baik, tapi benci dengan perbuatan dusta. Namun, hidup kadang memaksaku menciptakan kebohongan yang tidak hanya satu. "Iya." Kata itu meluncur menggenapi kebohonganku dan juga Reinhard hati ini. Lelaki itu membeku di sofa dan memberikan tatapan yang entah apa maknanya. "Setelah ini berarti kamu nggak bisa kirim uang lagi?"Kupikir ia akan bertanya, kenapa dikirim semua. Ternyata aku terlalu berharap telur yang segera menetas jadi ayam, tanpa pernah menduga ia akan membusuk. "Aku nggak tahu, Bu.""Ya, sudah kalau gitu. Asal jangan sampai kamu melakukan pekerjaan haram.""Iya, Bu."Sambungan telepon diputus begitu saja tanpa ia bertanya bagaimana keadaanku setelah kehilangan pekerjaan. Aku memejam sejenak dan menarik napas dalam-dalam. "Maaf," ujar Reinhard lembut. "Untuk?""Maaf karena aku nggak bilang soal uang itu. Kupikir itu akan membantu di ten
"Ma-maaf, Di. Jangan gini." Reinhard berusaha melepaskan dirinya dari pelukan wanita itu. "Kenapa? Kamu benci sama aku? Kenapa sih, kamu nggak bisa terima aja cintaku, Re? Kalau iya, harusnya kita bisa lebih dulu nikah dibanding Alden."Reinhard menoleh ke arahku tepat setelah nama itu disebut. Seketika wanita berkulit putih bak pualam itu menyadari kehadiran orang lain selain mereka berdua di kamar ini. "Re, siapa dia?"Reinhard mengembuskan napas seolah lega karena terlepas dari pelukan perempuan itu. Ia langsung pindah berdiri di sampingku. Tangan kanannya ia lingkarkan di pinggangku. "Kenalkan, ini Rihana. Dia istriku. Sayang, ini Diandra, sepupuku dari garis Ibu."Sadarkah Reinhard, bahwa saat ini sepertinya ada dua perempuan yang kakinya mendadak lemas seolah tak bertulang? Aku yang terkejut dengan panggilan sayangnya, dan Diandra karena tidak menduga Reinhard sudah menikah. Sepupu Reinhard itu mundur beberapa langkah."Nggak. I-ini pasti salah. Kamu nggak mungkin nikah sama
Aku membeku hingga Diandra berlalu. Ia telah bergabung lagi dalam percakapan di meja makan."Fery sudah menunjuk event organizer yang akan mengurus pernikahanmu, Re. Nanti dia akan kasih tahu kapan kalian harus fitting baju pengantin.""Kek, apa harus secepat itu? Seminggu terlalu pendek waktunya buat kami berdua.""Memangnya mau nunggu apa lagi? Butuh persiapan apa selain semua yang akan disiapkan Fery? Toh, kalian berdua sudah menikah dua bulan yang lalu. Ah, iya. Rihana, cepat sini. Kamu kenapa hanya mematung di situ?"Saat aku berbalik, semua orang sedang memberi tatapan tajam. Ada sorot khawatir di mata Reinhard. Kakek dan Fery lebih pada pandangan penuh tanya, sementara mata Diandra seirama dengan senyum sinis di bibirnya. "Oh, i-iya, Kek.""Kamu nanti bilang saja sama Fery mau ngundang berapa orang. Satu lagi, apakah keluargamu akan datang?""Sa-saya belum tahu, Kek. Mereka belum dikabari juga kalau akan ada rese
"Ayah bilang Ibu nista, tapi malah mau nikah sama perek!" teriak Daffa sebelum ia menghambur berlari keluar. Malam itu adikku bahkan tidak pulang. Ayah kalang kabut mencari ke banyak tempat. Semua rumah teman Daffa yang kami tahu, telah disambanginya. Namun, bocah dua belas tahun itu tidak juga ditemukan. Setelah satu pekan, adikku pulang dan mengemas pakaiannya. Ada beberapa lebam di wajah, dan tangannya pun terluka. "Kamu ke mana aja, Daf?" tanya Ayah dengan nada suara yang sedikit ditahan."Ke mana aja, asal nggak lihat perempuan itu dan Ayah."Hampir saja Ayah melayangkan tamparan andai aku tidak segera menahannya. Daffa berlalu masuk ke kamar. Saat keluar, ia menenteng tas travel besar."Aku mau tinggal sama Nenek di Kuningan," ujarnya yang ditujukan entah padaku atau Ayah.Hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Tanpa berpamitan, sekali lagi Daffa keluar dari rumah orang tuanya. Memisahkan diri dari kami, keluarganya