Kakek berjalan sambil terus menggumamkan kalimat yang tidak jelas terdengar. Aku dan Re memerhatikannya sampai ia membuka pintu. "Re, bagaimana ini?" Saat itu Kakek telah menutup pintunya dari luar. Reinhard meletakkan telunjuknya di depan mulut pertanda aku harus diam. Ia mengambil ponsel dari dalam saku dan menelepon seseorang."Kakek sedang berjalan ke tempatmu. Masih ingat skenario yang pernah aku perlihatkan?"Ia diam sejenak, sepertinya sedang mendengarkan jawaban dari lawan bicaranya."Ya, tentang pernikahan. Semua sama, tapi ada satu detail tambahan."Hening lagi. "Istriku beda keyakinan. Alasan itu membuat kami menikah di Kanada bulan kemarin."Bicaranya kembali terjeda beberapa detik, hingga ia mengakhiri pembicaraan."Ok. Thanks, Fer."Reinhard menghela napas panjang. Ia kemudian menatapku sambil memberikan senyum lebar, membuat eye smile miliknya semakin terlihat jelas. Kedua mata itu benar-benar membentuk bulan sabit yang khas. "Aman.""Hm, jadi kamu memang sudah mere
"Bu, sebenarnya ....""Kenapa?""A-aku dipecat dari tempat kerja. Jadi ....""Hah? Jadi itu uang pesangonmu?"Aku mungkin bukan orang baik, tapi benci dengan perbuatan dusta. Namun, hidup kadang memaksaku menciptakan kebohongan yang tidak hanya satu. "Iya." Kata itu meluncur menggenapi kebohonganku dan juga Reinhard hati ini. Lelaki itu membeku di sofa dan memberikan tatapan yang entah apa maknanya. "Setelah ini berarti kamu nggak bisa kirim uang lagi?"Kupikir ia akan bertanya, kenapa dikirim semua. Ternyata aku terlalu berharap telur yang segera menetas jadi ayam, tanpa pernah menduga ia akan membusuk. "Aku nggak tahu, Bu.""Ya, sudah kalau gitu. Asal jangan sampai kamu melakukan pekerjaan haram.""Iya, Bu."Sambungan telepon diputus begitu saja tanpa ia bertanya bagaimana keadaanku setelah kehilangan pekerjaan. Aku memejam sejenak dan menarik napas dalam-dalam. "Maaf," ujar Reinhard lembut. "Untuk?""Maaf karena aku nggak bilang soal uang itu. Kupikir itu akan membantu di ten
"Ma-maaf, Di. Jangan gini." Reinhard berusaha melepaskan dirinya dari pelukan wanita itu. "Kenapa? Kamu benci sama aku? Kenapa sih, kamu nggak bisa terima aja cintaku, Re? Kalau iya, harusnya kita bisa lebih dulu nikah dibanding Alden."Reinhard menoleh ke arahku tepat setelah nama itu disebut. Seketika wanita berkulit putih bak pualam itu menyadari kehadiran orang lain selain mereka berdua di kamar ini. "Re, siapa dia?"Reinhard mengembuskan napas seolah lega karena terlepas dari pelukan perempuan itu. Ia langsung pindah berdiri di sampingku. Tangan kanannya ia lingkarkan di pinggangku. "Kenalkan, ini Rihana. Dia istriku. Sayang, ini Diandra, sepupuku dari garis Ibu."Sadarkah Reinhard, bahwa saat ini sepertinya ada dua perempuan yang kakinya mendadak lemas seolah tak bertulang? Aku yang terkejut dengan panggilan sayangnya, dan Diandra karena tidak menduga Reinhard sudah menikah. Sepupu Reinhard itu mundur beberapa langkah."Nggak. I-ini pasti salah. Kamu nggak mungkin nikah sama
Aku membeku hingga Diandra berlalu. Ia telah bergabung lagi dalam percakapan di meja makan."Fery sudah menunjuk event organizer yang akan mengurus pernikahanmu, Re. Nanti dia akan kasih tahu kapan kalian harus fitting baju pengantin.""Kek, apa harus secepat itu? Seminggu terlalu pendek waktunya buat kami berdua.""Memangnya mau nunggu apa lagi? Butuh persiapan apa selain semua yang akan disiapkan Fery? Toh, kalian berdua sudah menikah dua bulan yang lalu. Ah, iya. Rihana, cepat sini. Kamu kenapa hanya mematung di situ?"Saat aku berbalik, semua orang sedang memberi tatapan tajam. Ada sorot khawatir di mata Reinhard. Kakek dan Fery lebih pada pandangan penuh tanya, sementara mata Diandra seirama dengan senyum sinis di bibirnya. "Oh, i-iya, Kek.""Kamu nanti bilang saja sama Fery mau ngundang berapa orang. Satu lagi, apakah keluargamu akan datang?""Sa-saya belum tahu, Kek. Mereka belum dikabari juga kalau akan ada rese
"Ayah bilang Ibu nista, tapi malah mau nikah sama perek!" teriak Daffa sebelum ia menghambur berlari keluar. Malam itu adikku bahkan tidak pulang. Ayah kalang kabut mencari ke banyak tempat. Semua rumah teman Daffa yang kami tahu, telah disambanginya. Namun, bocah dua belas tahun itu tidak juga ditemukan. Setelah satu pekan, adikku pulang dan mengemas pakaiannya. Ada beberapa lebam di wajah, dan tangannya pun terluka. "Kamu ke mana aja, Daf?" tanya Ayah dengan nada suara yang sedikit ditahan."Ke mana aja, asal nggak lihat perempuan itu dan Ayah."Hampir saja Ayah melayangkan tamparan andai aku tidak segera menahannya. Daffa berlalu masuk ke kamar. Saat keluar, ia menenteng tas travel besar."Aku mau tinggal sama Nenek di Kuningan," ujarnya yang ditujukan entah padaku atau Ayah.Hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Tanpa berpamitan, sekali lagi Daffa keluar dari rumah orang tuanya. Memisahkan diri dari kami, keluarganya
"Kamu kebanyakan nonton drama Korea, ya?"Bibirku mengerucut. "Bukannya orang kaya memang seperti itu? Bisa melakukan apa saja, termasuk menghapus berita yang tidak menguntungkan bagi mereka."Reinhard menepuk sofa di sisi sebelah tempat ia duduk. Aku baru menyadari lelaki itu telah berganti pakaian. Ia mengenakan kaos putih panjang dengan kerah tinggi yang dipadu dengan celana jeans hitam."Kenapa berdiri aja? Duduklah."Aku mengikuti ajakannya, tapi duduk dengan menyisakan jarak yang cukup lebar di antara kami berdua. Berdekatan dengan lelaki itu sepertinya tidak aman untuk jantung. "Ri, walau semuanya pura-pura, tapi selama kita ada dalam kesepakatan ini, aku akan jagain kamu dari hal-hal seperti itu. Selain supaya skenario ini berjalan sempurna, aku juga ingin kamu tetap aman.""Lalu, apa saja yang sudah kamu tahu tentang aku?"Senyum lebar terlukis di wajah Re. "Mungkin hampir semua, tapi tentu saja itu bukan dari versi kamu. Kapan-kapan aja kamu cerita kalau memang berkenan."A
Pernikahan bagi umumnya pasangan adalah merupakan gerbang kebahagiaan yang baru saja terbuka. Ia menjadi pintu untuk masuk pada kehidupan dengan bahtera baru. Tentu saja karena semuanya nyata. Baik janji yang terucap, atau pesta resepsi yang digelar. Namun, tidak bagiku. Pesta ini hanya kebohongan berikutnya setelah perjanjian yang kusepakati bersama Reinhard. Lelaki yang kehadirannya dalam hidupku bahkan baru berbilang hari. Lalu, jika hari ini ada huru hara seiring datangnya ayah tiriku, apakah itu karena dosa-dosa kami?Deret kursi mulai dipenuhi tamu undangan saat suara lelaki itu menggelegar. Aku dan Reinhard saling pandang beberapa detik. Ia kemudian menggenggam tanganku. "Kamu di sini aja. Apa pun yang terjadi, jangan ke mana-mana. Tenang, aku akan atasi."Reinhard berjalan melintasi Kakek yang memandang kami berdua, sambil memberikan sentuhan di lengan lelaki berambut perak itu. Seperti Re yang pasti sudah melakukan pencarian latar belak
Reinhard beralih padaku. Ada sorot ngeri di matanya. "Ri, bukan aku yang mengundangnya. Walau terbersit keinginan untuk membalaskan dendammu dengan cara itu, tapi aku nggak akan melewati batas. Aku pasti akan minta persetujuanmu lebih dulu."Aku diam. Barisan itu terus bergerak. Langkah Alden semakin dekat. Lelaki itu berjalan sambil memberikan tatapan asing padaku. Re melirik seolah curiga Kakek yang mengundang Alden ke sini. Namun, sebelum cucunya memberikan tuduhan, Kakek lebih dulu menggelengkan kepala. Lelaki paling berarti dalam hidup Reinhard itu sepertinya melihat kegelisahan di mata cucu kesayangan. Aku benar-benar membeku saat Alden sudah berdiri di hadapan Reinhard. "Ternyata benar yang dibicarakan orang-orang kalau kamu menikahi dia, Re.""Sepertinya kami tidak mengundang anda," ujar Re. Sebelah alisnya terangkat saat menatap Alden dengan tajam. Lelaki itu mengangkat undangan yang bertulis Ri dan Re deng
"Sepertinya Pak Fery tidak akan membiarkan hal itu terjadi."Aku melirik Agus yang telah duduk di belakang kemudi. "Lalu kemana dia sekarang? Kenapa sama sekali tidak menampakkan diri di depanku.""Anda pasti tidak menduga apa yang dilakukan Tuan Nehrin saat mengetahui semuanya. Bahkan Pak Fery tidak berkutik, sampai akhirnya ia juga harus patuh saat ditugaskan menangani kantor kita di Jepang.""Oke. Stop bicara pekerjaan. Kepalaku masih terasa pusing. Kamu jelaskan nanti saat kita sampai di rumah dan aku sudah punya cukup tenaga."Agus mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Tekadku amat besar untuk menyelesaikan semua kekacauan ini, tetapi tubuh ternyata tidak mau kompromi. Sampai di rumah tentu saja hanya keheningan yang kutemui. Bahkan tidak ada tanda-tanda Rihana pernah tinggal di rumah ini. Pak Muji bahkan sudah tidak lagi bertugas. Satpam baru sengaja ditempatkan kakek di sini. Sejak awal aku tahu semua tidak akan pernah mudah. Namun, tidak kusangka lelaki satu-satunya y
Siapa yang paling ingin kamu jumpai saat bangun dari koma? Siapa yang ingin kau lihat berekspresi paling bahagia setelah tidur yang panjang? Tentu saja dia. Sosok yang paling dicintai dalam hidup. Yang dengannya kamu ingin berbagi. Namun, faktanya aku tidak bisa melihat wajah cantik itu saat membuka mata. Tidak terdengar suaranya saat aku benar-benar terjaga di ruangan VVIP rumah sakit ini. Koma selama tiga bulan tidak membuat ingatanku lupa dengan wajahnya yang berlesung pipi saat tersenyum. "Dia sedang pulang ke rumah dulu," ujar Kakek setiap aku bertanya tentangnya. Namun, mata lelaki tua itu sepertinya menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia katakan.Fery? Dia pun seperti ditelan bumi tak terdeteksi ke mana rimbanya. Panggilanku ke ponselnya hanya masuk ke kotak suara. Beberapa orang kepercayaan Kakek hanya menggeleng saat ditanya tentang asistenku itu. Ini hari kedua sejak aku bangun dari koma. Atmosfer kamar rumah sakit benar-benar membosankan. Tak ada selarik senyum hangat mil
"Jadi, kamu nggak tahu kalau aku kekasihnya Reinhard?"Eliana mendekati Kenzie dengan langkah gemulainya. Perempuan itu melirikku. "Ah, rupanya kamu nggak ngasih tahu dia kalau Reinhard sudah punya kekasih," ujarnya lagi. "Kamu nggak mau dianggap mendua dan sedang memilih mana yang lebih menguntungkan. Bukan begitu, Rihana?"Kenzie memindahkan dua tangannya hingga posisinya kini berkacak pinggang. Ia memindai wanita yang sedang melangkah semakin dekat itu. "Kenalkan, aku Eliana. Kekasihnya Reinhard."Bukan membalas salam perkenalan itu, Kenzie justru tergelak. "Ternyata selera dia dulu hanya seperti ini. Kenapa tiba-tiba naik kelas jadi yang kayak kamu, Elisha Rihana?"Ken menatapku sejenak. Kenapa ia menyebut nama lengkapku? Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, Kenzie tersenyum."Karena sekarang aku paham kenapa kamu dipanggil Rihana di rumah itu."Aku diam dan menunggu kalimatnya lagi.
Jika ini tentang kehilangan, biarlah aku saja yang merasakannya. Saat Reinhard terbangun nanti, semoga Tuhan membuatnya lupa tentang seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya karena kontrak. Sebuah perjanjian yang bermutasi menjadi cinta penuh harap. Aku mengucapkan terima kasih pada driver taksi setelah memberikan ongkos. Tidak lupa menambahkan tip. Ayah pernah bilang, uang itu tidak akan membuat kita jatuh miskin. Ia juga tidak akan membuat si penerima serta merta jadi kaya raya. Namun, nilai pahalanya bisa membuat si pemberi terhindar bala. Dengan langkah yang satu-satu, aku menuju ke tempat cetak tiket. Sebuah tas ransel menggantung di punggung. Itu satu-satunya benda pemberian Reinhard yang kubawa. Isinya hanya pakaian yang kubeli sendiri sebelum datang ke rumah besar itu. Selesai mencetak tiket, aku menuju mini market. Perjalanan dengan kereta memang hanya tiga jam untuk sampai di Stasiun Kejaksan Cirebon. Namun, aku tetap butuh bekal walau hanya
"Ken, kalau aku tidak jadi buka usaha bisakah pembelian toko milikmu dibatalkan?""Ada apa, El? Kenapa tiba-tiba?"Aku mengganjur napas berat. Tidak mungkin menjelaskan semua permasalahan pada lelaki itu. Ken pasti akan melangkah lebih jauh jika tahu perkara yang sebenarnya. "Nggak ada apa-apa, Ken. Aku hanya berubah pikiran. "Nggak mungkin. Suaramu menyiratkan sebaliknya. Aku nggak masalah kalau kamu ingin membatalkan pembelian ruko itu, tapi tolong kasih tahu alasannya, El.""Karena aku nggak jadi buka usaha, Ken.""Kenapa? Kamu bilang mau lepas dari lelaki itu, kan?"Aku tidak menjawab pertanyaan Kenzie dan mengalihkan pandang ke luar jendela. Patung Pahlawan yang sering disebut Tugu Tani masih berdiri tegar seperti saat aku kecil. Figur satu orang pria bercaping dan seorang wanita itu konon dibuat oleh dua pematung Rusia kenamaan sebagai hadiah untuk Indonesia.Lalu lintas di sekitar Tugu Tani cukup padat
Walau tidak menoleh ke belakang, aku tahu pandangan mata Reinhard masih terus mengawasi. Mobilnya baru meninggalkan halaman saat aku telah menghidupkan lampu kamar. Lelaki itu sempat berbicara dengan Pak Muji, mungkin berpesan ini dan itu. Belum ada satu menit ia meninggalkan rumah ini, kesunyian terasa melilit. Sekali lagi aku mengukur dalamnya rasa. Benarkah ini cinta? Kalau iya, apakah kami akan mampu melewati setiap aral yang akan tumbuh di sepanjang jalan? Ingin aku menolaknya, tapi kegigihan Reinhard membuat hati benar-benar hangat.Lelaki itu dengan semua kejutan-kejutannya setiap hari, membuatku seperti menaiki roller coaster. Seperti sore tadi saat ia tiba-tiba muncul. Tentu saja bukan hanya aku yang terbelalak, melainkan Kenzie juga. Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa pun dari Reinhard. Namun, kehadiran Kenzie di ruko juga bukan kehendakku. Ia ternyata adalah pemilik lahan dan banyak bangunan di wilayah itu. Termasuk yang aku beli.
"Re, ka-kamu kenapa?""Aku lagi melamar kamu?"Rihana menggelengkan kepalanya lambat-lambat. "Nggak. Kamu pasti lagi bercanda, kan?""Buat apa bercanda, Ri? Asal kamu tahu, aku jatuh cinta sama kamu sejak pandangan pertama. Di lampu merah yang panas siang hari, ada gadis manis yang lagi bawa kardus mi instan dan air mineral gelas banyak banget. Ingat?"Dahi gadis itu berkerut. Wajahnya terkena bias dari lampu taman yang tidak terlalu terang. Namun, itu justru menimbulkan siluet yang memikat. Jika tidak sedang berada di momen lamaran, ingin aku menyentuh pipinya yang merona."Bukannya kita ketemu pertama setelah pernikahan ....""Alden? Itu pertemuan kedua, Ri. Kita sempat bicara di lampu merah beberapa minggu sebelumnya. Aku menyuruhmu untuk hati-hati."Rihana menarik napas perlahan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali. "Ya, sudah. Anggap aku ingat momen itu, lalu kamu jatuh cinta, tapi ...""Kenapa tapi? Ka
Tanganku mengepal. "Pulang jam berapa?"Hening sejenak. Aku lihat Rihana menutup ponsel dengan telapak tangannya. Ia berbicara dengan lelaki yang wajahnya tidak terlalu jelas dari sini. "Aku belum tahu, Re. Kerjaan kami belum selesai.""Kamu ada proyek apa sama dia?"Dia yang kumaksud bukanlah Ines, melainkan lelaki yang memandang Rihana saat ini. "Hanya bisnis kecil-kecilan, Re.""Sekecil apa sampai menguras tabunganmu?"Hening lagi. Rihana sepertinya sedang berpikir. Lelaki di depannya bergeming. Karena tidak kunjung mendengar jawaban gadis itu, aku bicara lagi."Aku udah transfer lagi untuk bulan berikutnya. Cek aja.""Lho, tapi ini kan baru ...."Kalimatnya terputus karena aku telah menutup telepon. Kakiku bergegas melangkah ke arah pintu masuk toko yang tidak terkunci. Bangunan ini sangat besar, sesuai dengan harga jualnya seperti yang diinfokan Fery. Sangat tidak cocok untuk dijadikan b
Aku tidak bisa membohongi Pak Dede. Namun, bicara keadaan yang sebenarnya tidaklah mudah. "Nanti saya akan bicara lagi dengannya, Pak."Kalimat itu ternyata membuat Pak Dede tidak lagi bertanya. Setelah sepakat untuk bertemu esok hari, aku pamit dan meninggalkan masjid itu. Bukan ke rumah, melainkan apartemen Fery. Lelaki itu tidak terlalu terkejut saat aku muncul di depan unitnya. Ia mempersilakan aku masuk dan membuatkan jahe hangat yang ditambah madu. "Dari mana lu?""Masjid."Tangan Fery yang hendak mengangkat gelas untuk diikutkannya padaku seketika membeku. Ia menatapku dengan pandangan menyelidik. "Ngapain ke masjid?""Belajar.""Lu serius, Re?"Aku mengangguk. Fery kemudian melangkah mendekat. Dua cangkir berisi minuman jahe diletakkannya di meja. "Karena Rihana?""Bisa ya, bisa juga nggak.""Kalau karena Rihana, tolong hentikan."Aku menegakkan