Aku membeku hingga Diandra berlalu. Ia telah bergabung lagi dalam percakapan di meja makan."Fery sudah menunjuk event organizer yang akan mengurus pernikahanmu, Re. Nanti dia akan kasih tahu kapan kalian harus fitting baju pengantin.""Kek, apa harus secepat itu? Seminggu terlalu pendek waktunya buat kami berdua.""Memangnya mau nunggu apa lagi? Butuh persiapan apa selain semua yang akan disiapkan Fery? Toh, kalian berdua sudah menikah dua bulan yang lalu. Ah, iya. Rihana, cepat sini. Kamu kenapa hanya mematung di situ?"Saat aku berbalik, semua orang sedang memberi tatapan tajam. Ada sorot khawatir di mata Reinhard. Kakek dan Fery lebih pada pandangan penuh tanya, sementara mata Diandra seirama dengan senyum sinis di bibirnya. "Oh, i-iya, Kek.""Kamu nanti bilang saja sama Fery mau ngundang berapa orang. Satu lagi, apakah keluargamu akan datang?""Sa-saya belum tahu, Kek. Mereka belum dikabari juga kalau akan ada rese
"Ayah bilang Ibu nista, tapi malah mau nikah sama perek!" teriak Daffa sebelum ia menghambur berlari keluar. Malam itu adikku bahkan tidak pulang. Ayah kalang kabut mencari ke banyak tempat. Semua rumah teman Daffa yang kami tahu, telah disambanginya. Namun, bocah dua belas tahun itu tidak juga ditemukan. Setelah satu pekan, adikku pulang dan mengemas pakaiannya. Ada beberapa lebam di wajah, dan tangannya pun terluka. "Kamu ke mana aja, Daf?" tanya Ayah dengan nada suara yang sedikit ditahan."Ke mana aja, asal nggak lihat perempuan itu dan Ayah."Hampir saja Ayah melayangkan tamparan andai aku tidak segera menahannya. Daffa berlalu masuk ke kamar. Saat keluar, ia menenteng tas travel besar."Aku mau tinggal sama Nenek di Kuningan," ujarnya yang ditujukan entah padaku atau Ayah.Hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Tanpa berpamitan, sekali lagi Daffa keluar dari rumah orang tuanya. Memisahkan diri dari kami, keluarganya
"Kamu kebanyakan nonton drama Korea, ya?"Bibirku mengerucut. "Bukannya orang kaya memang seperti itu? Bisa melakukan apa saja, termasuk menghapus berita yang tidak menguntungkan bagi mereka."Reinhard menepuk sofa di sisi sebelah tempat ia duduk. Aku baru menyadari lelaki itu telah berganti pakaian. Ia mengenakan kaos putih panjang dengan kerah tinggi yang dipadu dengan celana jeans hitam."Kenapa berdiri aja? Duduklah."Aku mengikuti ajakannya, tapi duduk dengan menyisakan jarak yang cukup lebar di antara kami berdua. Berdekatan dengan lelaki itu sepertinya tidak aman untuk jantung. "Ri, walau semuanya pura-pura, tapi selama kita ada dalam kesepakatan ini, aku akan jagain kamu dari hal-hal seperti itu. Selain supaya skenario ini berjalan sempurna, aku juga ingin kamu tetap aman.""Lalu, apa saja yang sudah kamu tahu tentang aku?"Senyum lebar terlukis di wajah Re. "Mungkin hampir semua, tapi tentu saja itu bukan dari versi kamu. Kapan-kapan aja kamu cerita kalau memang berkenan."A
Pernikahan bagi umumnya pasangan adalah merupakan gerbang kebahagiaan yang baru saja terbuka. Ia menjadi pintu untuk masuk pada kehidupan dengan bahtera baru. Tentu saja karena semuanya nyata. Baik janji yang terucap, atau pesta resepsi yang digelar. Namun, tidak bagiku. Pesta ini hanya kebohongan berikutnya setelah perjanjian yang kusepakati bersama Reinhard. Lelaki yang kehadirannya dalam hidupku bahkan baru berbilang hari. Lalu, jika hari ini ada huru hara seiring datangnya ayah tiriku, apakah itu karena dosa-dosa kami?Deret kursi mulai dipenuhi tamu undangan saat suara lelaki itu menggelegar. Aku dan Reinhard saling pandang beberapa detik. Ia kemudian menggenggam tanganku. "Kamu di sini aja. Apa pun yang terjadi, jangan ke mana-mana. Tenang, aku akan atasi."Reinhard berjalan melintasi Kakek yang memandang kami berdua, sambil memberikan sentuhan di lengan lelaki berambut perak itu. Seperti Re yang pasti sudah melakukan pencarian latar belak
Reinhard beralih padaku. Ada sorot ngeri di matanya. "Ri, bukan aku yang mengundangnya. Walau terbersit keinginan untuk membalaskan dendammu dengan cara itu, tapi aku nggak akan melewati batas. Aku pasti akan minta persetujuanmu lebih dulu."Aku diam. Barisan itu terus bergerak. Langkah Alden semakin dekat. Lelaki itu berjalan sambil memberikan tatapan asing padaku. Re melirik seolah curiga Kakek yang mengundang Alden ke sini. Namun, sebelum cucunya memberikan tuduhan, Kakek lebih dulu menggelengkan kepala. Lelaki paling berarti dalam hidup Reinhard itu sepertinya melihat kegelisahan di mata cucu kesayangan. Aku benar-benar membeku saat Alden sudah berdiri di hadapan Reinhard. "Ternyata benar yang dibicarakan orang-orang kalau kamu menikahi dia, Re.""Sepertinya kami tidak mengundang anda," ujar Re. Sebelah alisnya terangkat saat menatap Alden dengan tajam. Lelaki itu mengangkat undangan yang bertulis Ri dan Re deng
"Kamu yakin nggak apa?""Aman, Re. Kenzie anak baik. Dia yang justru melindungi aku saat semua orang merundung."Reinhard menggigit sudut bibirnya sendiri. Apakah ia cemburu? Ah, tidak mungkin. Apa yang aku harapkan dari sebuah hubungan rekayasa seperti ini?Saat aku turun, Re juga membuka pintunya. Ia bahkan melangkah mendahului aku. Kenzie hanya sejenak memerhatikan sosoknya, untuk kemudian fokus padaku. "El, apa kabar?""Harusnya aku yang bertanya, Ken. Kamu ke mana aja selama ini?"Kenzie mendekat. Ia melangkah sambil memasukkan dua tangannya dalam saku. "Maaf, El. Perusahaan keluargaku gulung tikar. Kami pindah karena Papa sudah tidak punya aset dan harus memikirkan pekerjaan yang baru. Maaf nggak sempat pamit sama kamu."Aku mengulas senyum, sementara Kenzie memberikan tatapan yang bergerak dari atas ke bawah. Lebih tepatnya ia mengamati pakaianku. "Kamu beneran nikah sama dia?""Bener
Langkah kaki Re terdengar mendekat saat layar ponselnya menggelap. Ia membawa nampan porselen dengan dua cangkir di atasnya."Aku buatin teh hijau, Ri. Katanya ini mengandung L-theanine yang menaikkan senyawa dopamin yang dapat meningkatkan suasana hati. Setelah apa yang kita lalui hari ini, kayaknya perlu minum teh ini."Aku tersenyum mendengar penjelasannya. "Sebenarnya kamu ini pengusaha atau dokter?"Re tertawa. "Saya cuma senang membaca. Buku apa saja saya baca selama itu untuk kebaikan."Tanpa disengaja kami mengangkat cangkir dan menyesap teh hangat di dalamnya. "Kita makan malam sekarang?""Kayaknya aku mau ganti pakaian dulu, Re. Ini nggak nyaman untuk makan."Re memerhatikan gaunku, lalu mengangguk. "Pakaian kamu sudah ada di lemari. Kamarnya di lantai dua. Masuk aja." Lelaki itu menunjukkan arah, lalu mengambil ponsel. Dahi Re berkerut saat layar di depannya terbuka. Tanpa bicara, aku berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua. Jika kami adalah pengantin sesungguhnya,
"Benar kata Diandra, rumah ini jauh lebih besar dari yang dia siapkan untukku," gumam wanita dengan lipstik ungu itu. Ia berbicara seolah aku tidak ada. Matanya bergerak menyusuri sudut-sudut ruang tamu dari tempatnya berdiri. "Maaf, ada perlu apa anda ke sini?""Oh, tenang aja. Aku cuma mau ngasih ini, kok."Tangannya membuka tas branded yang ia sandang. Sebuah kotak kecil diulurkannya padaku. "Hadiah dariku untuk pernikahan kalian. Semoga dengan melihat ini, Re ingat janji yang dia ingkari.""Maaf, mungkin sebaiknya anda berikan hadiah ini langsung saja pada Re. Dia sedang mandi, tapi sebentar lagi mungkin selesai."Mata yang mengenakan lensa kotak warna abu-abu itu berkedip beberapa kali. Tangan kiri dengan kuku-kuku yang berwarna-warni ia gerakkan di depan wajahku. "Nggak usah. Aku tidak ingin mengganggu malam pertama kalian." Ia diam sejenak untuk kemudian berkata lagi, "Eh, tapi Diandra bilang kalian udah nikah dua bulan yang lalu di Kanada, ya? Berarti kamu udah tahu kehebat