Pernikahan bagi umumnya pasangan adalah merupakan gerbang kebahagiaan yang baru saja terbuka. Ia menjadi pintu untuk masuk pada kehidupan dengan bahtera baru. Tentu saja karena semuanya nyata. Baik janji yang terucap, atau pesta resepsi yang digelar.
Namun, tidak bagiku. Pesta ini hanya kebohongan berikutnya setelah perjanjian yang kusepakati bersama Reinhard. Lelaki yang kehadirannya dalam hidupku bahkan baru berbilang hari. Lalu, jika hari ini ada huru hara seiring datangnya ayah tiriku, apakah itu karena dosa-dosa kami?Deret kursi mulai dipenuhi tamu undangan saat suara lelaki itu menggelegar. Aku dan Reinhard saling pandang beberapa detik. Ia kemudian menggenggam tanganku."Kamu di sini aja. Apa pun yang terjadi, jangan ke mana-mana. Tenang, aku akan atasi."Reinhard berjalan melintasi Kakek yang memandang kami berdua, sambil memberikan sentuhan di lengan lelaki berambut perak itu. Seperti Re yang pasti sudah melakukan pencarian latar belakReinhard beralih padaku. Ada sorot ngeri di matanya. "Ri, bukan aku yang mengundangnya. Walau terbersit keinginan untuk membalaskan dendammu dengan cara itu, tapi aku nggak akan melewati batas. Aku pasti akan minta persetujuanmu lebih dulu."Aku diam. Barisan itu terus bergerak. Langkah Alden semakin dekat. Lelaki itu berjalan sambil memberikan tatapan asing padaku. Re melirik seolah curiga Kakek yang mengundang Alden ke sini. Namun, sebelum cucunya memberikan tuduhan, Kakek lebih dulu menggelengkan kepala. Lelaki paling berarti dalam hidup Reinhard itu sepertinya melihat kegelisahan di mata cucu kesayangan. Aku benar-benar membeku saat Alden sudah berdiri di hadapan Reinhard. "Ternyata benar yang dibicarakan orang-orang kalau kamu menikahi dia, Re.""Sepertinya kami tidak mengundang anda," ujar Re. Sebelah alisnya terangkat saat menatap Alden dengan tajam. Lelaki itu mengangkat undangan yang bertulis Ri dan Re deng
"Kamu yakin nggak apa?""Aman, Re. Kenzie anak baik. Dia yang justru melindungi aku saat semua orang merundung."Reinhard menggigit sudut bibirnya sendiri. Apakah ia cemburu? Ah, tidak mungkin. Apa yang aku harapkan dari sebuah hubungan rekayasa seperti ini?Saat aku turun, Re juga membuka pintunya. Ia bahkan melangkah mendahului aku. Kenzie hanya sejenak memerhatikan sosoknya, untuk kemudian fokus padaku. "El, apa kabar?""Harusnya aku yang bertanya, Ken. Kamu ke mana aja selama ini?"Kenzie mendekat. Ia melangkah sambil memasukkan dua tangannya dalam saku. "Maaf, El. Perusahaan keluargaku gulung tikar. Kami pindah karena Papa sudah tidak punya aset dan harus memikirkan pekerjaan yang baru. Maaf nggak sempat pamit sama kamu."Aku mengulas senyum, sementara Kenzie memberikan tatapan yang bergerak dari atas ke bawah. Lebih tepatnya ia mengamati pakaianku. "Kamu beneran nikah sama dia?""Bener
Langkah kaki Re terdengar mendekat saat layar ponselnya menggelap. Ia membawa nampan porselen dengan dua cangkir di atasnya."Aku buatin teh hijau, Ri. Katanya ini mengandung L-theanine yang menaikkan senyawa dopamin yang dapat meningkatkan suasana hati. Setelah apa yang kita lalui hari ini, kayaknya perlu minum teh ini."Aku tersenyum mendengar penjelasannya. "Sebenarnya kamu ini pengusaha atau dokter?"Re tertawa. "Saya cuma senang membaca. Buku apa saja saya baca selama itu untuk kebaikan."Tanpa disengaja kami mengangkat cangkir dan menyesap teh hangat di dalamnya. "Kita makan malam sekarang?""Kayaknya aku mau ganti pakaian dulu, Re. Ini nggak nyaman untuk makan."Re memerhatikan gaunku, lalu mengangguk. "Pakaian kamu sudah ada di lemari. Kamarnya di lantai dua. Masuk aja." Lelaki itu menunjukkan arah, lalu mengambil ponsel. Dahi Re berkerut saat layar di depannya terbuka. Tanpa bicara, aku berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua. Jika kami adalah pengantin sesungguhnya,
"Benar kata Diandra, rumah ini jauh lebih besar dari yang dia siapkan untukku," gumam wanita dengan lipstik ungu itu. Ia berbicara seolah aku tidak ada. Matanya bergerak menyusuri sudut-sudut ruang tamu dari tempatnya berdiri. "Maaf, ada perlu apa anda ke sini?""Oh, tenang aja. Aku cuma mau ngasih ini, kok."Tangannya membuka tas branded yang ia sandang. Sebuah kotak kecil diulurkannya padaku. "Hadiah dariku untuk pernikahan kalian. Semoga dengan melihat ini, Re ingat janji yang dia ingkari.""Maaf, mungkin sebaiknya anda berikan hadiah ini langsung saja pada Re. Dia sedang mandi, tapi sebentar lagi mungkin selesai."Mata yang mengenakan lensa kotak warna abu-abu itu berkedip beberapa kali. Tangan kiri dengan kuku-kuku yang berwarna-warni ia gerakkan di depan wajahku. "Nggak usah. Aku tidak ingin mengganggu malam pertama kalian." Ia diam sejenak untuk kemudian berkata lagi, "Eh, tapi Diandra bilang kalian udah nikah dua bulan yang lalu di Kanada, ya? Berarti kamu udah tahu kehebat
"Kenapa, Ri?""I-Ibu, Re.""Ada apa dengan ibumu? Dia sakit?""Gawat, Re. Aku harus gimana?"Re bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahku. Kedua tangannya ditempelkan ke bahuku, lalu membimbing untuk duduk. "Tenang. Kamu bicaranya pelan-pelan, ya?""Ibu mau ke sini, Re.""Ya, nggak apa, kan? Bukankah kalian sudah bertahun-tahun nggak ketemu?"Aku melemparkan tatapan tajam pada lelaki itu. "Nggak apa gimana? Ibu nggak boleh tahu tentang kita, Re."Re menarik kursi di sampingku, lalu duduk dengan agak mencondongkan tubuh. Jarak wajah kami menjadi sangat dekat kini. "Gimana kalau Ibu diajak ke apartemen aja? Sebagian pakaian kamu masih ada di sana. Nanti aku suruh orang buat ambil barang-barangku biar nggak ada jejak."Aku menggeleng cepat. "Tetap aja itu terlalu mencurigakan, Re. Ibu tahunya aku kost di tempat biasa."Re menegakkan tubuhnya. Ia terlihat berpikir sejena
Kalau aku ditanya, tentu belum bisa memberi jawaban apakah mencintai Rihana atau tidak. Aku baru pulang dari Kanada saat pertama kali melihat gadis itu. Jalan yang macet dan udara panas, membuat aku tercekik rasa bosan dalam mobil. "Wah, keren tuh cewek," ujar Fery saat mobil kami berhenti di lampu merah. Aku mengikuti arah pandangnya. Sebuah motor matic yang sarat muatan berhenti tepat di samping jendelaku. Pengendaranya seorang perempuan berambut panjang. Ia mengenakan jaket dan celana denim. Sepatu ketsnya tampak sudah tidak layak untuk digunakan. Aku yakin lapisan bawahnya sudah sangat tipis dan tidak mampu menahan aliran panas dari aspal yang dicintainya. Ia membawa sangat banyak kardus air mineral gelas dan juga mi instan yang diikat di bagian belakang. Ada sepuluh karton yang terlihat olehku. Mungkin jumlah sebenarnya lebih. Di bagian depan dekat kaki masih ada satu karung besar yang entah apa isinya. "Lu mau ngapain, Re?" tanya Fery sa
"Sepertinya gue nggak harus ngotorin tangan sendiri cuma buat mites lalat sampah macam Alden.""Maksud lu? Jangan bilang lu mau manfaatin cewek itu buat balas dendam ke Alden. Hidup dia sendiri aja kayaknya udah rumit, Re."Dalam hati aku membenarkan ucapan Fery. Pengkhianatan Alden padanya yang ternyata telah berlangsung cukup lama, pasti sangat melukai gadis itu.Saat aku menyilangkan dua tangan di depan dada, Fery kembali berbisik, "Butuh pencarian latar belakang?"Aku tidak memberi jawaban, tetapi mengulurkan telapak tangan ke depan wajah Fery. Sahabat sekaligus orang kepercayaanku itu mengerutkan dahi. "Kunci. Kayaknya habis ini gue butuh mobil. Lu cari semua info tentang dia, jangan sampai ada yang kelewat."Fery mengambil kunci mobil dari saku dan meletakkannya di telapak tanganku, lalu berbalik. Tubuhnya hilang di antara kerumunan tamu undangan yang sedang menyaksikan kegaduhan di depan pelaminan. Aku masih mem
Cukup lama aku merenung setelah menerima telepon dari Eliana. Salahkah aku jika membawa Rihana dalam kondisi ini? Apakah ia jauh lebih berbahagia saat belum bertemu denganku? Untuk memastikannya, aku berjalan menuju unit Fery. Biasanya ia belum tidur di jam seperti ini. Saat aku masuk, lelaki yang sebaya denganku itu baru saja menutup Al Qur'an yang dibacanya. Ya, Fery penganut muslim yang taat. Walau ia sudah dianggap Kakek sebagai cucunya sendiri, tetapi kami tidak pernah mengusik keyakinannya. Bahkan, aku dan Kakek sangat menghargai kebebasannya untuk melakukan ibadah sesuai ajaran agamanya."Eliana balik ke sini."Fery tidak menanggapi ucapanku. Ia bangkit dan memindahkan kitab suci dari tangannya ke deret paling atas rak buku. Lelaki itu kemudian berjalan menuju meja makan dan membuatkan aku secangkir teh hangat. "Lu beneran bakal jalanin skenario yang seperti disampein ke Kakek tadi?"Dengan ragu aku mengangguk dan mener