Cukup lama aku merenung setelah menerima telepon dari Eliana. Salahkah aku jika membawa Rihana dalam kondisi ini? Apakah ia jauh lebih berbahagia saat belum bertemu denganku?
Untuk memastikannya, aku berjalan menuju unit Fery. Biasanya ia belum tidur di jam seperti ini. Saat aku masuk, lelaki yang sebaya denganku itu baru saja menutup Al Qur'an yang dibacanya.Ya, Fery penganut muslim yang taat. Walau ia sudah dianggap Kakek sebagai cucunya sendiri, tetapi kami tidak pernah mengusik keyakinannya. Bahkan, aku dan Kakek sangat menghargai kebebasannya untuk melakukan ibadah sesuai ajaran agamanya."Eliana balik ke sini."Fery tidak menanggapi ucapanku. Ia bangkit dan memindahkan kitab suci dari tangannya ke deret paling atas rak buku. Lelaki itu kemudian berjalan menuju meja makan dan membuatkan aku secangkir teh hangat."Lu beneran bakal jalanin skenario yang seperti disampein ke Kakek tadi?"Dengan ragu aku mengangguk dan mener"Maaf, aku harus membekap mulutmu tadi. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan."Ines tersenyum sinis. Kami duduk berhadapan di resto hotel dengan Eliana di sisi lain yang cukup jauh. Ia melihat ke arah kami, tetapi aku bisa pastikan tidak bisa mendengar pembicaraan ini."Dia siapa?" tanya Ines sambil melirik ke arah Eliana. Dengan hati-hati aku menjelaskan posisi Eliana dulu dan sekarang, serta apa yang telah dilakukannya hari ini. Karena kedekatan Ines dan Rihana, aku tidak ingin ada kesalahpahaman. Ines menegakkan tubuhnya saat aku selesai bicara. "Aku tahu kalian hanya menikah pura-pura, tapi sebaiknya kamu jujur sama Elisha, Re. Walau dibayar, pengorbanan dia terlalu besar dengan melakukan skenario yang kamu susun ini.""Aku tahu. Itu sebabnya aku ke sini untuk membuat Eliana berhenti mengganggu kami.""Yakin dia akan berhenti? Bagaimana kalau justru semakin menempatkan Elisha pada posisi berbahaya?""Aku
"Gue nggak ada urusan sama lu.""Semua yang menyangkut Rihana, sudah mulai jadi urusan saya sejak kami bertemu."Tiba-tiba Alden menarik bajuku di bagian dekat kerah sambil menggeram. "Gue belum selesai sama Elisha."Tawa yang dibuat-buat meluncur dari mulutku. "Kapan mau diselesaikan?""Lu nggak tahu kayak gimana Elisha yang sebenarnya. Jangan sampai nyesel kalau dia nanti ternyata cuma manfaatin lu aja.""Gue lebih percaya istri sendiri, dibanding lelaki yang lahir dari perempuan pemecah belah keluarga orang lain."Terlihat jelas wajah Alden menjadi pucat. Ia tahu dengan pasti apa yang aku maksud. Pertemuan kami pertama kali adalah cara berkenalan yang terburuk dan paling tragis di dunia.Satu tahun setelah Ibu pergi, Ayah membunuh dirinya sendiri. Saat aku menangis di pusaranya, seorang perempuan tiba-tiba menjatuhkan diri di tanah yang masih basah sambil tergugu. Di sampingnya ada seorang anak lelaki dengan tubuh yan
Apakah aku melukainya? Kalimat mana yang membuatnya tersinggung? Sejak kapan ia berdiri di sana?Aku bisa melihat luka yang Kembali basah dari tatapan gadis itu. Bergegas aku menghampirinya. Namun, Elisha Rihana berbalik dan hendak melangkah kembali ke dalam resto. Aku bergerak lebih cepat dan menarik tangannya dengan keras. Tubuh gadis itu berputar karena tarikanku. Tubuh kami kini berhadapan. Aku segera menariknya dalam pelukan. "Kamu nggak bisa sembarangan menyentuh dia, Re. Islam sangat menghargai wanita. Mereka hanya boleh disentuh setelah terikat pernikahan sah."Tidak peduli aku pernah mendengar larangan itu dari Fery. Kupeluk Rihana dengan erat dan berucap maaf. Tangisnya kembali pecah di dadaku walau tidak terdengar. Aku bisa merasakan ia tergugu di sana. "Maaf." Aku mengucap kata itu sekali lagi. "Aku nggak pernah melakukan itu sama dia," lirihnya diiringi isak. "Aku percaya, Ri. Aku tahu kamu gadis baik d
Aku terduduk di lantai saat Rihana melongokkan kepalanya."Jahat kamu, Ri. Masa, suami sendiri ditendang sampai jatuh begini?""Kamu bukan suamiku," cetusnya dengan bersungut-sungut."Tetap saja, semua orang sudah menganggap aku suami kamu. Bahkan menilai aku suami yang baik dan penuh perhatian. Sudah mirip belum sama Suga BTS? Kamu bukan stand Yoongi Marry Me, kan?"Sebuah bantal melayang ke arahku. Untung saja tanganku lebih gesit dan menangkapnya."Jangan bercanda. Kenapa aku bisa pindah ke tempat tidur? Semalam aku diapain sama kamu sampai kita satu ranjang?""Kamu bisa memastikannya sendiri dengan membuka selimut itu," jawabku sambil melirik sekilas ke arah tubuhnya.Dengan menahan tawa, aku melangkah ke kamar mandi. Hawa panas yang tiba-tiba muncul karena interaksi tubuhku dan Rihana harus segera didinginkan. Setelah mandi, jantungku tidak lagi berdebar kencang. Ketika membuka pintu, aku berharap Rihana a
Aku tidak bisa membohongi Pak Dede. Namun, bicara keadaan yang sebenarnya tidaklah mudah. "Nanti saya akan bicara lagi dengannya, Pak."Kalimat itu ternyata membuat Pak Dede tidak lagi bertanya. Setelah sepakat untuk bertemu esok hari, aku pamit dan meninggalkan masjid itu. Bukan ke rumah, melainkan apartemen Fery. Lelaki itu tidak terlalu terkejut saat aku muncul di depan unitnya. Ia mempersilakan aku masuk dan membuatkan jahe hangat yang ditambah madu. "Dari mana lu?""Masjid."Tangan Fery yang hendak mengangkat gelas untuk diikutkannya padaku seketika membeku. Ia menatapku dengan pandangan menyelidik. "Ngapain ke masjid?""Belajar.""Lu serius, Re?"Aku mengangguk. Fery kemudian melangkah mendekat. Dua cangkir berisi minuman jahe diletakkannya di meja. "Karena Rihana?""Bisa ya, bisa juga nggak.""Kalau karena Rihana, tolong hentikan."Aku menegakkan
Tanganku mengepal. "Pulang jam berapa?"Hening sejenak. Aku lihat Rihana menutup ponsel dengan telapak tangannya. Ia berbicara dengan lelaki yang wajahnya tidak terlalu jelas dari sini. "Aku belum tahu, Re. Kerjaan kami belum selesai.""Kamu ada proyek apa sama dia?"Dia yang kumaksud bukanlah Ines, melainkan lelaki yang memandang Rihana saat ini. "Hanya bisnis kecil-kecilan, Re.""Sekecil apa sampai menguras tabunganmu?"Hening lagi. Rihana sepertinya sedang berpikir. Lelaki di depannya bergeming. Karena tidak kunjung mendengar jawaban gadis itu, aku bicara lagi."Aku udah transfer lagi untuk bulan berikutnya. Cek aja.""Lho, tapi ini kan baru ...."Kalimatnya terputus karena aku telah menutup telepon. Kakiku bergegas melangkah ke arah pintu masuk toko yang tidak terkunci. Bangunan ini sangat besar, sesuai dengan harga jualnya seperti yang diinfokan Fery. Sangat tidak cocok untuk dijadikan b
"Re, ka-kamu kenapa?""Aku lagi melamar kamu?"Rihana menggelengkan kepalanya lambat-lambat. "Nggak. Kamu pasti lagi bercanda, kan?""Buat apa bercanda, Ri? Asal kamu tahu, aku jatuh cinta sama kamu sejak pandangan pertama. Di lampu merah yang panas siang hari, ada gadis manis yang lagi bawa kardus mi instan dan air mineral gelas banyak banget. Ingat?"Dahi gadis itu berkerut. Wajahnya terkena bias dari lampu taman yang tidak terlalu terang. Namun, itu justru menimbulkan siluet yang memikat. Jika tidak sedang berada di momen lamaran, ingin aku menyentuh pipinya yang merona."Bukannya kita ketemu pertama setelah pernikahan ....""Alden? Itu pertemuan kedua, Ri. Kita sempat bicara di lampu merah beberapa minggu sebelumnya. Aku menyuruhmu untuk hati-hati."Rihana menarik napas perlahan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali. "Ya, sudah. Anggap aku ingat momen itu, lalu kamu jatuh cinta, tapi ...""Kenapa tapi? Ka
Walau tidak menoleh ke belakang, aku tahu pandangan mata Reinhard masih terus mengawasi. Mobilnya baru meninggalkan halaman saat aku telah menghidupkan lampu kamar. Lelaki itu sempat berbicara dengan Pak Muji, mungkin berpesan ini dan itu. Belum ada satu menit ia meninggalkan rumah ini, kesunyian terasa melilit. Sekali lagi aku mengukur dalamnya rasa. Benarkah ini cinta? Kalau iya, apakah kami akan mampu melewati setiap aral yang akan tumbuh di sepanjang jalan? Ingin aku menolaknya, tapi kegigihan Reinhard membuat hati benar-benar hangat.Lelaki itu dengan semua kejutan-kejutannya setiap hari, membuatku seperti menaiki roller coaster. Seperti sore tadi saat ia tiba-tiba muncul. Tentu saja bukan hanya aku yang terbelalak, melainkan Kenzie juga. Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa pun dari Reinhard. Namun, kehadiran Kenzie di ruko juga bukan kehendakku. Ia ternyata adalah pemilik lahan dan banyak bangunan di wilayah itu. Termasuk yang aku beli.
"Sepertinya Pak Fery tidak akan membiarkan hal itu terjadi."Aku melirik Agus yang telah duduk di belakang kemudi. "Lalu kemana dia sekarang? Kenapa sama sekali tidak menampakkan diri di depanku.""Anda pasti tidak menduga apa yang dilakukan Tuan Nehrin saat mengetahui semuanya. Bahkan Pak Fery tidak berkutik, sampai akhirnya ia juga harus patuh saat ditugaskan menangani kantor kita di Jepang.""Oke. Stop bicara pekerjaan. Kepalaku masih terasa pusing. Kamu jelaskan nanti saat kita sampai di rumah dan aku sudah punya cukup tenaga."Agus mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Tekadku amat besar untuk menyelesaikan semua kekacauan ini, tetapi tubuh ternyata tidak mau kompromi. Sampai di rumah tentu saja hanya keheningan yang kutemui. Bahkan tidak ada tanda-tanda Rihana pernah tinggal di rumah ini. Pak Muji bahkan sudah tidak lagi bertugas. Satpam baru sengaja ditempatkan kakek di sini. Sejak awal aku tahu semua tidak akan pernah mudah. Namun, tidak kusangka lelaki satu-satunya y
Siapa yang paling ingin kamu jumpai saat bangun dari koma? Siapa yang ingin kau lihat berekspresi paling bahagia setelah tidur yang panjang? Tentu saja dia. Sosok yang paling dicintai dalam hidup. Yang dengannya kamu ingin berbagi. Namun, faktanya aku tidak bisa melihat wajah cantik itu saat membuka mata. Tidak terdengar suaranya saat aku benar-benar terjaga di ruangan VVIP rumah sakit ini. Koma selama tiga bulan tidak membuat ingatanku lupa dengan wajahnya yang berlesung pipi saat tersenyum. "Dia sedang pulang ke rumah dulu," ujar Kakek setiap aku bertanya tentangnya. Namun, mata lelaki tua itu sepertinya menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia katakan.Fery? Dia pun seperti ditelan bumi tak terdeteksi ke mana rimbanya. Panggilanku ke ponselnya hanya masuk ke kotak suara. Beberapa orang kepercayaan Kakek hanya menggeleng saat ditanya tentang asistenku itu. Ini hari kedua sejak aku bangun dari koma. Atmosfer kamar rumah sakit benar-benar membosankan. Tak ada selarik senyum hangat mil
"Jadi, kamu nggak tahu kalau aku kekasihnya Reinhard?"Eliana mendekati Kenzie dengan langkah gemulainya. Perempuan itu melirikku. "Ah, rupanya kamu nggak ngasih tahu dia kalau Reinhard sudah punya kekasih," ujarnya lagi. "Kamu nggak mau dianggap mendua dan sedang memilih mana yang lebih menguntungkan. Bukan begitu, Rihana?"Kenzie memindahkan dua tangannya hingga posisinya kini berkacak pinggang. Ia memindai wanita yang sedang melangkah semakin dekat itu. "Kenalkan, aku Eliana. Kekasihnya Reinhard."Bukan membalas salam perkenalan itu, Kenzie justru tergelak. "Ternyata selera dia dulu hanya seperti ini. Kenapa tiba-tiba naik kelas jadi yang kayak kamu, Elisha Rihana?"Ken menatapku sejenak. Kenapa ia menyebut nama lengkapku? Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, Kenzie tersenyum."Karena sekarang aku paham kenapa kamu dipanggil Rihana di rumah itu."Aku diam dan menunggu kalimatnya lagi.
Jika ini tentang kehilangan, biarlah aku saja yang merasakannya. Saat Reinhard terbangun nanti, semoga Tuhan membuatnya lupa tentang seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya karena kontrak. Sebuah perjanjian yang bermutasi menjadi cinta penuh harap. Aku mengucapkan terima kasih pada driver taksi setelah memberikan ongkos. Tidak lupa menambahkan tip. Ayah pernah bilang, uang itu tidak akan membuat kita jatuh miskin. Ia juga tidak akan membuat si penerima serta merta jadi kaya raya. Namun, nilai pahalanya bisa membuat si pemberi terhindar bala. Dengan langkah yang satu-satu, aku menuju ke tempat cetak tiket. Sebuah tas ransel menggantung di punggung. Itu satu-satunya benda pemberian Reinhard yang kubawa. Isinya hanya pakaian yang kubeli sendiri sebelum datang ke rumah besar itu. Selesai mencetak tiket, aku menuju mini market. Perjalanan dengan kereta memang hanya tiga jam untuk sampai di Stasiun Kejaksan Cirebon. Namun, aku tetap butuh bekal walau hanya
"Ken, kalau aku tidak jadi buka usaha bisakah pembelian toko milikmu dibatalkan?""Ada apa, El? Kenapa tiba-tiba?"Aku mengganjur napas berat. Tidak mungkin menjelaskan semua permasalahan pada lelaki itu. Ken pasti akan melangkah lebih jauh jika tahu perkara yang sebenarnya. "Nggak ada apa-apa, Ken. Aku hanya berubah pikiran. "Nggak mungkin. Suaramu menyiratkan sebaliknya. Aku nggak masalah kalau kamu ingin membatalkan pembelian ruko itu, tapi tolong kasih tahu alasannya, El.""Karena aku nggak jadi buka usaha, Ken.""Kenapa? Kamu bilang mau lepas dari lelaki itu, kan?"Aku tidak menjawab pertanyaan Kenzie dan mengalihkan pandang ke luar jendela. Patung Pahlawan yang sering disebut Tugu Tani masih berdiri tegar seperti saat aku kecil. Figur satu orang pria bercaping dan seorang wanita itu konon dibuat oleh dua pematung Rusia kenamaan sebagai hadiah untuk Indonesia.Lalu lintas di sekitar Tugu Tani cukup padat
Walau tidak menoleh ke belakang, aku tahu pandangan mata Reinhard masih terus mengawasi. Mobilnya baru meninggalkan halaman saat aku telah menghidupkan lampu kamar. Lelaki itu sempat berbicara dengan Pak Muji, mungkin berpesan ini dan itu. Belum ada satu menit ia meninggalkan rumah ini, kesunyian terasa melilit. Sekali lagi aku mengukur dalamnya rasa. Benarkah ini cinta? Kalau iya, apakah kami akan mampu melewati setiap aral yang akan tumbuh di sepanjang jalan? Ingin aku menolaknya, tapi kegigihan Reinhard membuat hati benar-benar hangat.Lelaki itu dengan semua kejutan-kejutannya setiap hari, membuatku seperti menaiki roller coaster. Seperti sore tadi saat ia tiba-tiba muncul. Tentu saja bukan hanya aku yang terbelalak, melainkan Kenzie juga. Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa pun dari Reinhard. Namun, kehadiran Kenzie di ruko juga bukan kehendakku. Ia ternyata adalah pemilik lahan dan banyak bangunan di wilayah itu. Termasuk yang aku beli.
"Re, ka-kamu kenapa?""Aku lagi melamar kamu?"Rihana menggelengkan kepalanya lambat-lambat. "Nggak. Kamu pasti lagi bercanda, kan?""Buat apa bercanda, Ri? Asal kamu tahu, aku jatuh cinta sama kamu sejak pandangan pertama. Di lampu merah yang panas siang hari, ada gadis manis yang lagi bawa kardus mi instan dan air mineral gelas banyak banget. Ingat?"Dahi gadis itu berkerut. Wajahnya terkena bias dari lampu taman yang tidak terlalu terang. Namun, itu justru menimbulkan siluet yang memikat. Jika tidak sedang berada di momen lamaran, ingin aku menyentuh pipinya yang merona."Bukannya kita ketemu pertama setelah pernikahan ....""Alden? Itu pertemuan kedua, Ri. Kita sempat bicara di lampu merah beberapa minggu sebelumnya. Aku menyuruhmu untuk hati-hati."Rihana menarik napas perlahan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali. "Ya, sudah. Anggap aku ingat momen itu, lalu kamu jatuh cinta, tapi ...""Kenapa tapi? Ka
Tanganku mengepal. "Pulang jam berapa?"Hening sejenak. Aku lihat Rihana menutup ponsel dengan telapak tangannya. Ia berbicara dengan lelaki yang wajahnya tidak terlalu jelas dari sini. "Aku belum tahu, Re. Kerjaan kami belum selesai.""Kamu ada proyek apa sama dia?"Dia yang kumaksud bukanlah Ines, melainkan lelaki yang memandang Rihana saat ini. "Hanya bisnis kecil-kecilan, Re.""Sekecil apa sampai menguras tabunganmu?"Hening lagi. Rihana sepertinya sedang berpikir. Lelaki di depannya bergeming. Karena tidak kunjung mendengar jawaban gadis itu, aku bicara lagi."Aku udah transfer lagi untuk bulan berikutnya. Cek aja.""Lho, tapi ini kan baru ...."Kalimatnya terputus karena aku telah menutup telepon. Kakiku bergegas melangkah ke arah pintu masuk toko yang tidak terkunci. Bangunan ini sangat besar, sesuai dengan harga jualnya seperti yang diinfokan Fery. Sangat tidak cocok untuk dijadikan b
Aku tidak bisa membohongi Pak Dede. Namun, bicara keadaan yang sebenarnya tidaklah mudah. "Nanti saya akan bicara lagi dengannya, Pak."Kalimat itu ternyata membuat Pak Dede tidak lagi bertanya. Setelah sepakat untuk bertemu esok hari, aku pamit dan meninggalkan masjid itu. Bukan ke rumah, melainkan apartemen Fery. Lelaki itu tidak terlalu terkejut saat aku muncul di depan unitnya. Ia mempersilakan aku masuk dan membuatkan jahe hangat yang ditambah madu. "Dari mana lu?""Masjid."Tangan Fery yang hendak mengangkat gelas untuk diikutkannya padaku seketika membeku. Ia menatapku dengan pandangan menyelidik. "Ngapain ke masjid?""Belajar.""Lu serius, Re?"Aku mengangguk. Fery kemudian melangkah mendekat. Dua cangkir berisi minuman jahe diletakkannya di meja. "Karena Rihana?""Bisa ya, bisa juga nggak.""Kalau karena Rihana, tolong hentikan."Aku menegakkan