"Sepertinya Pak Fery tidak akan membiarkan hal itu terjadi."Aku melirik Agus yang telah duduk di belakang kemudi. "Lalu kemana dia sekarang? Kenapa sama sekali tidak menampakkan diri di depanku.""Anda pasti tidak menduga apa yang dilakukan Tuan Nehrin saat mengetahui semuanya. Bahkan Pak Fery tidak berkutik, sampai akhirnya ia juga harus patuh saat ditugaskan menangani kantor kita di Jepang.""Oke. Stop bicara pekerjaan. Kepalaku masih terasa pusing. Kamu jelaskan nanti saat kita sampai di rumah dan aku sudah punya cukup tenaga."Agus mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Tekadku amat besar untuk menyelesaikan semua kekacauan ini, tetapi tubuh ternyata tidak mau kompromi. Sampai di rumah tentu saja hanya keheningan yang kutemui. Bahkan tidak ada tanda-tanda Rihana pernah tinggal di rumah ini. Pak Muji bahkan sudah tidak lagi bertugas. Satpam baru sengaja ditempatkan kakek di sini. Sejak awal aku tahu semua tidak akan pernah mudah. Namun, tidak kusangka lelaki satu-satunya y
"Jadi, calon suami yang selama ini kamu sembunyikan adalah tunanganku, Nay?"Perempuan dengan make up tebal itu hanya menunduk. Laki-laki di sampingnya menggerakkan tangan dengan kikuk. Ia seolah ingin meminta maaf padaku, tetapi tidak satu kata pun terucap. Aku mengarahkan jari telunjuk sangat dekat ke wajahnya. "Nggak kusangka kamu akan setega ini, Al. Bukankah sejak awal kita bertunangan, aku menyampaikan harapan untuk bisa tinggal di rumah ini? Kenapa justru kamu beli buat dia, hah?"Ruang tamu yang disulap menjadi tempat resepsi itu seketika hening. Semua undangan yang semula sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, kini menatap ke arah kami bertiga.Kulayangkan tamparan ke wajah lelaki yang berdiri di samping mempelai wanita itu. "Ini untuk pengkhianatanmu, Al!"Pipi kanan Alden yang putih langsung berwarna kemerahan. Ia hendak mengusapnya, tetapi aku telah lebih dulu menampar sekali lagi. "Ini karena kau membuat sahabatku juga berkhianat."Aku beralih pada Naya. Wanita dengan
Setelah beberapa menit, sebuah video masuk ke aplikasi WhatsApp. Ternyata itu undangan pernikahan Naya. Namanya tertulis indah di samping lima huruf yang sangat aku kenal. Alden. Lelaki yang telah hampir satu tahun bertunangan denganku. Gadis yang telah aku anggap seperti saudara kandung kini justru menggunting dalam lipatan. Sebuah pesan teks kembali masuk saat dadaku masih bergemuruh dan kedua mata berkaca-kaca. "Kamu pasti terkejut dan tidak menyangka kalau aku kirim bukti lainnya."Nomor asing itu mengirim foto Alden dan Naya yang sedang mendatangi klinik dokter kandungan. Setelahnya, sebuah dokumen berisi fakta bahwa Naya telah mengandung juga dikirim melalui WhatsApp. Pesan-pesan itulah yang membawa langkahku ke tempat ini. Sekarang, di depanku Naya sedang melayangkan tatapan tajam pada Alden. Lelaki itu bergegas mendekati pengantinnya. "Aku bisa jelaskan, Nay.""Jelaskan apa? Bahwa kamu nggak bisa mutusin dia sebelum pernikahan ini? Bahwa kamu masih mencintainya? Bahwa kamu
Tidak hanya aku yang terpana, Alden dan kedua orang tua Naya juga. Mereka adalah orang-orang yang sudah sangat dekat denganku dan tahu kenyataan itu.Kalau pun itu sebuah fakta, haruskah Naya membeberkannya di tempat ini? Ia bahkan pernah berjanji tidak akan bicara tentang wanita yang melahirkanku. Lalu, tadi itu apa? "Nay," tegur Alden lirih sambil menarik tangan sahabatku. Naya bergeming. Ia masih memberikan tatapan nanar. "Kenapa? Perempuan ini sudah mempermalukan kita. Wajar kalau aku juga bikin dia malu, Al."Beberapa orang terlihat menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut. Begitu pula dengan ayah dan ibu Naya. Ada sorot iba di mata mereka, tetapi keduanya tetap membeku. Perlahan kutarik napas dengan harapan bisa menguapkan getar kemarahan dari sekujur badan. Aku tahu, banyak yang sedang merekam kejadian ini. Pesta Naya mungkin sebentar lagi viral di jagat maya. Media sosialku bisa saja diserbu banyak akun. Apapun tindakan dan ucapan setelah ini, pasti akan menentukan pa
Seperti tahu jalan pikiranku, sosok yang mengenakan setelan jas mahal itu kini mengangguk. "Ya. Aku lihat dari awal kamu datang ke pesta itu dan melabrak pengantin."Aku menarik napas berat, menghembuskannya perlahan seakan ingin mengosongkan paru-paru, lalu tersenyum getir. "Menurutmu, apakah kejadian tadi akan viral?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke jalan raya yang tidak terlalu ramai. "Sudah.""Se-serius?""Buka saja ponselmu. Walau bukan nomor satu, kamu masuk trending Twitter sekarang. Facebook juga sudah ramai sepertinya."Bergegas aku mengambil ponsel di dalam tas. Benar saja, video resepsi Naya dan Alden sudah bertebaran di dunia maya. Kami bertiga menjadi tokoh utamanya. Walau wajahku hanya terpampang beberapa detik karena lebih banyak yang merekam dari belakang, tetap saja itu memalukan. Aku menjerit dan kembali menutupi wajah dengan dua tangan. Bagaimana aku harus menghadapi dunia setelah ini? "Kamu nggak salah, kok."Sesaat aku tidak percaya dengan kalimat yang
Wajah-wajah yang sedang melintas di kepalaku seketika menghilang karena pertanyaan konyol lelaki itu. Memangnya kenapa kalau dia tampan? Hanya karena wajah rupawan, bukan berarti aku harus menerima lamaran dadakannya, kan?"Hei, Bung! Pernikahan itu bukan seperti kamu beli tiket bus. Sekarang beli lalu bisa langsung berangkat. Memangnya, kehidupan apa yang bisa dijanjikan dari pernikahan dengan orang asing?""Banyak. Aku bisa memberikan apa saja yang kamu mau setelah kita menikah. Lagi pula, ini bukan pernikahan yang sesungguhnya."Entah mimpi apa semalam hingga kejutan terus menerus datang, bahkan dari orang yang baru menerobos masuk dalam kehidupanku ini. "Apa maksudnya bukan pernikahan yang sesungguhnya?""Begini," ujar lelaki itu dengan sangat bersemangat. Ia menjatuhkan tubuhnya di sampingku. Duduknya teramat dekat kali ini hingga bahu kami hampir saling bersentuhan. "Kita hanya melakukan resepsi seperti orang pada umumnya, tapi tanpa janji suci."Ya, Tuhan. Kenapa Kau hadirkan
Sambungan telepon diputus tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Dengan lunglai, tanganku yang memegang ponsel jatuh ke pangkuan. "Kenapa?"Pertanyaan itu tidak diucapkan dengan keras, bahkan cenderung lembut untuk ukuran suara laki-laki. Namun, cukup membuatku terkejut. Aku menoleh ke arah pemilik suara. Reinhard sedang menatap dengan sorot mata yang berbeda sepanjang kami berinteraksi hari ini. Apakah ia tahu aku sedang mendapat cobaan bertubi-tubi?"Oh, i-ini telepon dari bos tempatku bekerja."Aku hampir tidak sanggup melanjutkan kata-kata. Pandangan mata mulai kabur dan panas. Tolong, jangan sekarang. Aku tidak ingin menangis lagi di depan lelaki ini. "Masukkan alamat tempat kerjamu di sini," tunjuk Reinhard ke arah layar di dashboard. Aku menatapnya bingung. "Aku butuh memasukkannya dalam peta untuk sampai ke sana," ujarnya lagi.Segera aku mengetik lokasi toko, kemudian mengalihkan pandangan ke tepi jalan. Tanpa bicara lagi, Reinhard melajukan mobil miliknya dengan kecepatan se
"What?" Reinhard kemudian terbahak sambil menutup mulutnya. "Kenapa kamu jadi mencuri kata-kataku? Pertanyaannya nggak salah, nih? Seingatku, hampir satu jam yang lalu tawaran itu ditolak mentah-mentah."Aku melempar kepala ke sandaran kursi sambil mengeluarkan karbondioksida hasil pernapasan dari mulut. Seolah dengan itu aku bisa menghempas semua yang menekan dalam hidup. Kunyalakan ponsel kembali dan membuka pesan dari Nia. Baris-baris kalimat itu kuperlihatkan pada Reinhard yang masih memberikan tatapan tidak percaya. "Kamu baca ini."Lelaki itu mengambil handphone dari tanganku. Tidak disangka ia membaca redaksinya dengan suara keras. "Kenapa belum kirim uang, Mbak? Aku ujian minggu depan.""Baca atasnya lagi.""Mbak, kapan mau transfer? Ibu marah-marah terus karena beras habis."Aku diam kini. Tangan Reinhard terus menggeser layar ponsel. "Nia ini siapa?""Adikku. Tidak, lebih tepatnya ibu kami sama, tapi dengan ayah yang berbeda.""Kamu yang biayai sekolahnya?"Sekali lagi ku