"What?" Reinhard kemudian terbahak sambil menutup mulutnya. "Kenapa kamu jadi mencuri kata-kataku? Pertanyaannya nggak salah, nih? Seingatku, hampir satu jam yang lalu tawaran itu ditolak mentah-mentah."
Aku melempar kepala ke sandaran kursi sambil mengeluarkan karbondioksida hasil pernapasan dari mulut. Seolah dengan itu aku bisa menghempas semua yang menekan dalam hidup.Kunyalakan ponsel kembali dan membuka pesan dari Nia. Baris-baris kalimat itu kuperlihatkan pada Reinhard yang masih memberikan tatapan tidak percaya. "Kamu baca ini."Lelaki itu mengambil handphone dari tanganku. Tidak disangka ia membaca redaksinya dengan suara keras."Kenapa belum kirim uang, Mbak? Aku ujian minggu depan.""Baca atasnya lagi.""Mbak, kapan mau transfer? Ibu marah-marah terus karena beras habis."Aku diam kini. Tangan Reinhard terus menggeser layar ponsel."Nia ini siapa?""Adikku. Tidak, lebih tepatnya ibu kami sama, tapi dengan ayah yang berbeda.""Kamu yang biayai sekolahnya?"Sekali lagi kuganjur napas berat dan mengalihkan pandang lurus ke depan. Sinar matahari sedang memanggang jalan raya, tetapi di dalam mobil milik Reinhard terasa sangat nyaman. Ya, lelaki di sampingku ini pastinya tidak pernah mengalami kesulitan hidup bernama ekonomi. Terlihat dari semua barang mewah yang ia kenakan."Aku membiayai hidup empat orang. Ibu, suaminya, dan dua adik. Gaji di toko nggak sampai dua juta. Jauh dari cukup untuk pengeluaranku dan mereka.""Bagaimana kamu memenuhi semua kebutuhan itu dan untuk diri sendiri?""Setelah bekerja di toko, aku lanjut ke pekerjaan lainnya di kafe dan pulang hampir pagi. Itu sebabnya aku sering terlambat datang ke toko. Bahkan seberapa lama dan kerasnya aku kerja, uang yang didapat tetap tidak cukup, tapi setidaknya masih ada harapan setiap akhir bulan. Lalu, hari ini semuanya berantakan gara-gara pengkhianat Alden dan Naya. Kalau bukan karena mereka, aku masih punya pekerjaan."Dua mata Reinhard yang sejernih embun menatap tajam ke arahku. Walau demikian, aku tidak merasa terintimidasi. Ada sentuhan empati yang kurasakan dari tatapan itu.Lelaki itu kemudian memandang ke tepi jalan. Saat matanya tertuju ke satu titik, ia menjentikkan jari. "Tunggu sebentar, ya?"Dengan cepat ia membuka pintu di sampingnya."Re, kamu mau ke mana?"Lelaki itu menunjukkan dua ibu jari padaku setelah menutup pintu mobil. Detik berikutnya ia berlari ke pinggir jalan dan menyusuri trotoar. Aku terus memperhatikan tubuh tegap dan bahu lebarnya yang menjauh, hingga kemudian menghilang tertutup pohon-pohon.Setelah sepuluh menit, lelaki itu kembali dan membawa dua es krim, air mineral, serta beberapa croissant dengan aneka rasa. Ia tersenyum sambil duduk di balik kemudi."Kamu pilih cokelat atau vanila?""Setelah mendengar ceritaku yang nggak banget, kamu malah pergi untuk beliin ini semua?"Reinhard kembali melukis senyum di wajahnya. Kali ini aku baru menyadari kalau ia memiliki eye smile. Saat tersenyum, dua mata lelaki itu menyerupai bentuk bulan sabit."Kata orang, cokelat bisa menenangkan. Ditambah lagi sejak pertama aku melihatmu, belum ada satu pun makanan atau minuman yang kau masukkan ke dalam perut."Saat ia selesai mengucapkan kalimat itu, entah kenapa perutku seketika terasa lapar. Segera aku raih es krim cokelat dari tangannya."Terima kasih," ujarku lirih."Sama-sama."Kami menikmati es krim dalam diam. Reinhard menyodorkan sebotol air mineral dan juga kantong berisi croissant."Kamu harus makan yang banyak agar bisa berpikir jernih."Aku menoleh ke arahnya. "Apakah maksudnya tawaranmu di halte tadi sudah tidak berlaku lagi?""Oh, no! Bukan begitu. Kita akan membicarakan ini nanti setelah suasana hatimu menjadi lebih baik. Aku nggak mau dianggap memanfaatkan penderitaan orang lain untuk kepentingan diri sendiri.""Sepertinya aku nggak akan menganggapmu seperti itu."Bukan senyum yang diulas Reinhard kali ini. Ia benar-benar tertawa sekarang. Tentu saja itu membuat eye smile di wajahnya semakin terlihat. Kedua mata lelaki itu benar-benar menyipit membentuk garis lengkung serupa bulan sabit."Kamu bicara begitu karena belum menyesal. Nanti, siapa yang tahu? Sudah, makan saja dulu dan aku akan mengantarmu sampai rumah. Besok kita bicarakan panjang lebar detailnya."Aku hanya mengangguk dan meminum air mineral setelah es krim di tangan habis. Croissant di pangkuan aku masukkan kembali ke dalam kantong."Sini," ujar Reinhard mengambil benda itu dari tanganku dan meletakkannya di kursi belakang. "Biar dudukmu leluasa."Lelaki itu mulai melajukan mobilnya. Kali ini ia benar-benar diam sepanjang perjalanan. Apakah Reinhard menyesali tawarannya padaku? Entahlah.Lima belas menit terasa cukup lama hingga mobil sampai di dekat tempat tinggalku. Reinhard masih bungkam seribu bahasa."Tolong berhenti di sini saja," ujarku tepat saat mobil hanya beberapa meter lagi jaraknya dari gang arah ke tempat kos."Lho, rumahmu yang mana?" Reinhard bertanya sambil memandang ke sekeliling jalan yang hanya dipenuhi toko-toko. Kakinya menginjak rem."Di sana." Aku menunjuk ke arah gang kecil dengan tiang listrik di sampingnya.Reinhard menjulurkan kepalanya seolah hendak memastikan ada rumah di sana. "Serius, nggak mau aku antar sampai ke dalam?""Itu gang kecil, Re. Mobil besar kamu ini nggak akan muat. Dua motor aja kalau berpapasan harus berhenti salah satu."Lelaki di sebelahku menganggukkan kepala ragu-ragu. "Oke. Kita bicarakan semuanya besok. Aku jemput jam delapan di sini?"Aku mengangguk. "Terima kasih banyak sudah mau jadi pendengar sekaligus penolong hari ini. Maaf karena membuat kamu harus mendengar kisah yang tidak seharusnya.""Justru kamulah yang akan menolongku."Aku tidak mengerti maksud kalimatnya. Namun, karena badan dan pikiran yang letih, kupilih untuk menganggukkan kepala dan membuka pintu mobil. Saat hendak menutupnya, Reinhard mengulurkan kantong berisi croissant."Bawa ini.""Nggak usah, Re. Aku udah kenyang.""Kamu baru makan es krim. Roti ini bisa dimakan nanti sore atau malam."Karena enggan berdebat lebih lama, aku menerimanya dan kembali mengucap terima kasih. Saat menutup pintu mobil, kulihat Reinhard melambaikan tangan. Aku hanya membalasnya dengan senyum.Berbalik, aku bergegas melangkah masuk ke dalam gang yang menuju ke arah tempat kos. Setelah melangkah hampir tiga ratus meter, aku sampai di depan bangunan dua lantai itu. Seorang perempuan paruh baya mengulas senyum hangatnya. Ia adalah istri pemilik tempat ini."Eh, Mbak Elisha tumben udah pulang jam segini?""I-iya, Bu. Agak kurang enak badan.""Duuh. Segera istirahat aja kalau gitu, Mbak."Aku mengangguk cepat demi tidak ingin mendapat pertanyaan yang lebih panjang lagi. "Saya permisi dulu, Bu."Tanpa menunggu wanita itu mempersilakan, aku beranjak menuju tangga yang terhubung ke lantai dua. Ingin rasanya segera merebahkan tubuh ke tempat tidur.Sunyi menyambut di ujung tangga. Ada delapan kamar di atas sini dan seluruh pintunya tertutup. Penghuni kos lantai dua semuanya wanita bekerja. Di jam seperti ini, mereka masih bergelut dengan rutinitasnya mengais rupiah.Kamar sewaku berada di ujung lorong. Perlahan kumasukkan kunci untuk membukanya, tetapi gagal. Aneh. Sepertinya tidak ada yang salah dengan pintu ini atau kuncinya pagi tadi. Kucoba sekali lagi. Kunci itu tidak bergerak dari lubangnya seakan ada yang mengganjal dari dalam.Baru saja aku hendak mencobanya sekali lagi, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam. Seorang lelaki seusia ibuku tersenyum lebar. Ia hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek."Ka-kamu .... Bagaimana bisa masuk ke kamarku?"Ia terbahak kini. "Ibu kosmu ternyata baik hati. Saat bilang kalau aku ayahmu, dia memberi kunci cadangan ini."Tangan kanannya mencabut kunci dari sisi dalam pintu dan menggoyangkannya tepat di wajahku."Ternyata tempat kosmu nyaman, El. Pantas saja kamu nggak pernah pulang sekarang.""Aku pulang atau tidak, itu bukan urusanmu. Benahi saja hidupmu dan cobalah bertanggung jawab!"Raut lelaki itu berubah. Senyum dan tawa pudar dari wajahnya. "Hah! Anak kemarin sore kayak kamu nggak usah ngajari aku tanggung jawab! Lebih baik masuk sekarang! Kamulah yang harus bertanggung jawab karena telah membangkitkan saraf-saraf lelaki di tubuhku!"Tangan lelaki itu dengan cepat menarik lenganku dan memaksa untuk masuk. Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tenaganya jauh lebih kuat. Kantong di tanganku terlepas. Beberapa croissant di dalamnya berhamburan ke lantai. "Lepaskan! Aku bukan anak kecil yang bisa kamu perdaya seperti dulu!""Coba saja kalau bisa! Kali ini aku pasti bisa mendapatkan tubuhmu, El!"Seketika bayangan mengerikan berkelebat di kepalaku. Tidak ada cara lain, aku harus berteriak untuk mendapatkan bantuan. "Tolong! Tolong aku!" Sambil berteriak, aku terus meronta. Saat lelaki itu berhasil menarik tubuhku dalam cekalan yang lebih kuat, sebuah ide melintas begitu saja. Aku arahkan lutut dengan sekuat tenaga ke bagian vitalnya. Ia berteriak, saat itulah tangannya melemah. Aku meronta sekuat tenaga dan berhasil melepaskan diri. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menyusuri lorong dengan napas terengah dan berusaha mencapai tangga. "Hei! Jangan lari! Anak kurang ajar!"Kupercepat langkah. Ketika berhasil mencapa
Reinhard bergegas berdiri. Ekspresi di wajahnya bercampur antara terkejut, kesal, dan entah apa lagi."Ka-kakek? Kenapa Kakek ke sini?""Lho, memangnya ada yang melarang Kakek datang ke tempat tinggal cucu sendiri? Lalu, sejak kapan kamu senang membawa lawan jenis masuk ke sini? Memangnya Kakek mengajarimu berperilaku melanggar norma?""Oh, i-ini .... Ini Rihana, Kek. Di-dia ...." Reinhard sejenak menatap ke mataku seolah meminta persetujuan. Aku tidak tahu harus berbicara apa. "Di-dia is-istriku, Kek," ujarnya lagi dengan ragu. Tentu saja bukan hanya si kakek yang terpana. Aku juga tidak menyangka ia akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Tidak disangka, lelaki yang usianya mungkin sudah enam puluh tahun itu langsung berteriak dan menyerang Reinhard dengan pukulan tangan bertubi-tubi. "Kurang ajar! Anak nggak beradab! Sejak kapan kamu menikah? Kapan? Di mana, hah? Jawab kakekmu ini!"Reinhard berlari menghindar, sementara sang kakek terus mengejarnya. Beberapa kali pukulan yang
Kakek berjalan sambil terus menggumamkan kalimat yang tidak jelas terdengar. Aku dan Re memerhatikannya sampai ia membuka pintu. "Re, bagaimana ini?" Saat itu Kakek telah menutup pintunya dari luar. Reinhard meletakkan telunjuknya di depan mulut pertanda aku harus diam. Ia mengambil ponsel dari dalam saku dan menelepon seseorang."Kakek sedang berjalan ke tempatmu. Masih ingat skenario yang pernah aku perlihatkan?"Ia diam sejenak, sepertinya sedang mendengarkan jawaban dari lawan bicaranya."Ya, tentang pernikahan. Semua sama, tapi ada satu detail tambahan."Hening lagi. "Istriku beda keyakinan. Alasan itu membuat kami menikah di Kanada bulan kemarin."Bicaranya kembali terjeda beberapa detik, hingga ia mengakhiri pembicaraan."Ok. Thanks, Fer."Reinhard menghela napas panjang. Ia kemudian menatapku sambil memberikan senyum lebar, membuat eye smile miliknya semakin terlihat jelas. Kedua mata itu benar-benar membentuk bulan sabit yang khas. "Aman.""Hm, jadi kamu memang sudah mere
"Bu, sebenarnya ....""Kenapa?""A-aku dipecat dari tempat kerja. Jadi ....""Hah? Jadi itu uang pesangonmu?"Aku mungkin bukan orang baik, tapi benci dengan perbuatan dusta. Namun, hidup kadang memaksaku menciptakan kebohongan yang tidak hanya satu. "Iya." Kata itu meluncur menggenapi kebohonganku dan juga Reinhard hati ini. Lelaki itu membeku di sofa dan memberikan tatapan yang entah apa maknanya. "Setelah ini berarti kamu nggak bisa kirim uang lagi?"Kupikir ia akan bertanya, kenapa dikirim semua. Ternyata aku terlalu berharap telur yang segera menetas jadi ayam, tanpa pernah menduga ia akan membusuk. "Aku nggak tahu, Bu.""Ya, sudah kalau gitu. Asal jangan sampai kamu melakukan pekerjaan haram.""Iya, Bu."Sambungan telepon diputus begitu saja tanpa ia bertanya bagaimana keadaanku setelah kehilangan pekerjaan. Aku memejam sejenak dan menarik napas dalam-dalam. "Maaf," ujar Reinhard lembut. "Untuk?""Maaf karena aku nggak bilang soal uang itu. Kupikir itu akan membantu di ten
"Ma-maaf, Di. Jangan gini." Reinhard berusaha melepaskan dirinya dari pelukan wanita itu. "Kenapa? Kamu benci sama aku? Kenapa sih, kamu nggak bisa terima aja cintaku, Re? Kalau iya, harusnya kita bisa lebih dulu nikah dibanding Alden."Reinhard menoleh ke arahku tepat setelah nama itu disebut. Seketika wanita berkulit putih bak pualam itu menyadari kehadiran orang lain selain mereka berdua di kamar ini. "Re, siapa dia?"Reinhard mengembuskan napas seolah lega karena terlepas dari pelukan perempuan itu. Ia langsung pindah berdiri di sampingku. Tangan kanannya ia lingkarkan di pinggangku. "Kenalkan, ini Rihana. Dia istriku. Sayang, ini Diandra, sepupuku dari garis Ibu."Sadarkah Reinhard, bahwa saat ini sepertinya ada dua perempuan yang kakinya mendadak lemas seolah tak bertulang? Aku yang terkejut dengan panggilan sayangnya, dan Diandra karena tidak menduga Reinhard sudah menikah. Sepupu Reinhard itu mundur beberapa langkah."Nggak. I-ini pasti salah. Kamu nggak mungkin nikah sama
Aku membeku hingga Diandra berlalu. Ia telah bergabung lagi dalam percakapan di meja makan."Fery sudah menunjuk event organizer yang akan mengurus pernikahanmu, Re. Nanti dia akan kasih tahu kapan kalian harus fitting baju pengantin.""Kek, apa harus secepat itu? Seminggu terlalu pendek waktunya buat kami berdua.""Memangnya mau nunggu apa lagi? Butuh persiapan apa selain semua yang akan disiapkan Fery? Toh, kalian berdua sudah menikah dua bulan yang lalu. Ah, iya. Rihana, cepat sini. Kamu kenapa hanya mematung di situ?"Saat aku berbalik, semua orang sedang memberi tatapan tajam. Ada sorot khawatir di mata Reinhard. Kakek dan Fery lebih pada pandangan penuh tanya, sementara mata Diandra seirama dengan senyum sinis di bibirnya. "Oh, i-iya, Kek.""Kamu nanti bilang saja sama Fery mau ngundang berapa orang. Satu lagi, apakah keluargamu akan datang?""Sa-saya belum tahu, Kek. Mereka belum dikabari juga kalau akan ada rese
"Ayah bilang Ibu nista, tapi malah mau nikah sama perek!" teriak Daffa sebelum ia menghambur berlari keluar. Malam itu adikku bahkan tidak pulang. Ayah kalang kabut mencari ke banyak tempat. Semua rumah teman Daffa yang kami tahu, telah disambanginya. Namun, bocah dua belas tahun itu tidak juga ditemukan. Setelah satu pekan, adikku pulang dan mengemas pakaiannya. Ada beberapa lebam di wajah, dan tangannya pun terluka. "Kamu ke mana aja, Daf?" tanya Ayah dengan nada suara yang sedikit ditahan."Ke mana aja, asal nggak lihat perempuan itu dan Ayah."Hampir saja Ayah melayangkan tamparan andai aku tidak segera menahannya. Daffa berlalu masuk ke kamar. Saat keluar, ia menenteng tas travel besar."Aku mau tinggal sama Nenek di Kuningan," ujarnya yang ditujukan entah padaku atau Ayah.Hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Tanpa berpamitan, sekali lagi Daffa keluar dari rumah orang tuanya. Memisahkan diri dari kami, keluarganya
"Kamu kebanyakan nonton drama Korea, ya?"Bibirku mengerucut. "Bukannya orang kaya memang seperti itu? Bisa melakukan apa saja, termasuk menghapus berita yang tidak menguntungkan bagi mereka."Reinhard menepuk sofa di sisi sebelah tempat ia duduk. Aku baru menyadari lelaki itu telah berganti pakaian. Ia mengenakan kaos putih panjang dengan kerah tinggi yang dipadu dengan celana jeans hitam."Kenapa berdiri aja? Duduklah."Aku mengikuti ajakannya, tapi duduk dengan menyisakan jarak yang cukup lebar di antara kami berdua. Berdekatan dengan lelaki itu sepertinya tidak aman untuk jantung. "Ri, walau semuanya pura-pura, tapi selama kita ada dalam kesepakatan ini, aku akan jagain kamu dari hal-hal seperti itu. Selain supaya skenario ini berjalan sempurna, aku juga ingin kamu tetap aman.""Lalu, apa saja yang sudah kamu tahu tentang aku?"Senyum lebar terlukis di wajah Re. "Mungkin hampir semua, tapi tentu saja itu bukan dari versi kamu. Kapan-kapan aja kamu cerita kalau memang berkenan."A