"Ayah bilang Ibu nista, tapi malah mau nikah sama perek!" teriak Daffa sebelum ia menghambur berlari keluar.
Malam itu adikku bahkan tidak pulang. Ayah kalang kabut mencari ke banyak tempat. Semua rumah teman Daffa yang kami tahu, telah disambanginya. Namun, bocah dua belas tahun itu tidak juga ditemukan.Setelah satu pekan, adikku pulang dan mengemas pakaiannya. Ada beberapa lebam di wajah, dan tangannya pun terluka."Kamu ke mana aja, Daf?" tanya Ayah dengan nada suara yang sedikit ditahan."Ke mana aja, asal nggak lihat perempuan itu dan Ayah."Hampir saja Ayah melayangkan tamparan andai aku tidak segera menahannya. Daffa berlalu masuk ke kamar. Saat keluar, ia menenteng tas travel besar."Aku mau tinggal sama Nenek di Kuningan," ujarnya yang ditujukan entah padaku atau Ayah.Hanya kalimat itu yang ia ucapkan. Tanpa berpamitan, sekali lagi Daffa keluar dari rumah orang tuanya. Memisahkan diri dari kami, keluarganya"Kamu kebanyakan nonton drama Korea, ya?"Bibirku mengerucut. "Bukannya orang kaya memang seperti itu? Bisa melakukan apa saja, termasuk menghapus berita yang tidak menguntungkan bagi mereka."Reinhard menepuk sofa di sisi sebelah tempat ia duduk. Aku baru menyadari lelaki itu telah berganti pakaian. Ia mengenakan kaos putih panjang dengan kerah tinggi yang dipadu dengan celana jeans hitam."Kenapa berdiri aja? Duduklah."Aku mengikuti ajakannya, tapi duduk dengan menyisakan jarak yang cukup lebar di antara kami berdua. Berdekatan dengan lelaki itu sepertinya tidak aman untuk jantung. "Ri, walau semuanya pura-pura, tapi selama kita ada dalam kesepakatan ini, aku akan jagain kamu dari hal-hal seperti itu. Selain supaya skenario ini berjalan sempurna, aku juga ingin kamu tetap aman.""Lalu, apa saja yang sudah kamu tahu tentang aku?"Senyum lebar terlukis di wajah Re. "Mungkin hampir semua, tapi tentu saja itu bukan dari versi kamu. Kapan-kapan aja kamu cerita kalau memang berkenan."A
Pernikahan bagi umumnya pasangan adalah merupakan gerbang kebahagiaan yang baru saja terbuka. Ia menjadi pintu untuk masuk pada kehidupan dengan bahtera baru. Tentu saja karena semuanya nyata. Baik janji yang terucap, atau pesta resepsi yang digelar. Namun, tidak bagiku. Pesta ini hanya kebohongan berikutnya setelah perjanjian yang kusepakati bersama Reinhard. Lelaki yang kehadirannya dalam hidupku bahkan baru berbilang hari. Lalu, jika hari ini ada huru hara seiring datangnya ayah tiriku, apakah itu karena dosa-dosa kami?Deret kursi mulai dipenuhi tamu undangan saat suara lelaki itu menggelegar. Aku dan Reinhard saling pandang beberapa detik. Ia kemudian menggenggam tanganku. "Kamu di sini aja. Apa pun yang terjadi, jangan ke mana-mana. Tenang, aku akan atasi."Reinhard berjalan melintasi Kakek yang memandang kami berdua, sambil memberikan sentuhan di lengan lelaki berambut perak itu. Seperti Re yang pasti sudah melakukan pencarian latar belak
Reinhard beralih padaku. Ada sorot ngeri di matanya. "Ri, bukan aku yang mengundangnya. Walau terbersit keinginan untuk membalaskan dendammu dengan cara itu, tapi aku nggak akan melewati batas. Aku pasti akan minta persetujuanmu lebih dulu."Aku diam. Barisan itu terus bergerak. Langkah Alden semakin dekat. Lelaki itu berjalan sambil memberikan tatapan asing padaku. Re melirik seolah curiga Kakek yang mengundang Alden ke sini. Namun, sebelum cucunya memberikan tuduhan, Kakek lebih dulu menggelengkan kepala. Lelaki paling berarti dalam hidup Reinhard itu sepertinya melihat kegelisahan di mata cucu kesayangan. Aku benar-benar membeku saat Alden sudah berdiri di hadapan Reinhard. "Ternyata benar yang dibicarakan orang-orang kalau kamu menikahi dia, Re.""Sepertinya kami tidak mengundang anda," ujar Re. Sebelah alisnya terangkat saat menatap Alden dengan tajam. Lelaki itu mengangkat undangan yang bertulis Ri dan Re deng
"Kamu yakin nggak apa?""Aman, Re. Kenzie anak baik. Dia yang justru melindungi aku saat semua orang merundung."Reinhard menggigit sudut bibirnya sendiri. Apakah ia cemburu? Ah, tidak mungkin. Apa yang aku harapkan dari sebuah hubungan rekayasa seperti ini?Saat aku turun, Re juga membuka pintunya. Ia bahkan melangkah mendahului aku. Kenzie hanya sejenak memerhatikan sosoknya, untuk kemudian fokus padaku. "El, apa kabar?""Harusnya aku yang bertanya, Ken. Kamu ke mana aja selama ini?"Kenzie mendekat. Ia melangkah sambil memasukkan dua tangannya dalam saku. "Maaf, El. Perusahaan keluargaku gulung tikar. Kami pindah karena Papa sudah tidak punya aset dan harus memikirkan pekerjaan yang baru. Maaf nggak sempat pamit sama kamu."Aku mengulas senyum, sementara Kenzie memberikan tatapan yang bergerak dari atas ke bawah. Lebih tepatnya ia mengamati pakaianku. "Kamu beneran nikah sama dia?""Bener
Langkah kaki Re terdengar mendekat saat layar ponselnya menggelap. Ia membawa nampan porselen dengan dua cangkir di atasnya."Aku buatin teh hijau, Ri. Katanya ini mengandung L-theanine yang menaikkan senyawa dopamin yang dapat meningkatkan suasana hati. Setelah apa yang kita lalui hari ini, kayaknya perlu minum teh ini."Aku tersenyum mendengar penjelasannya. "Sebenarnya kamu ini pengusaha atau dokter?"Re tertawa. "Saya cuma senang membaca. Buku apa saja saya baca selama itu untuk kebaikan."Tanpa disengaja kami mengangkat cangkir dan menyesap teh hangat di dalamnya. "Kita makan malam sekarang?""Kayaknya aku mau ganti pakaian dulu, Re. Ini nggak nyaman untuk makan."Re memerhatikan gaunku, lalu mengangguk. "Pakaian kamu sudah ada di lemari. Kamarnya di lantai dua. Masuk aja." Lelaki itu menunjukkan arah, lalu mengambil ponsel. Dahi Re berkerut saat layar di depannya terbuka. Tanpa bicara, aku berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua. Jika kami adalah pengantin sesungguhnya,
"Benar kata Diandra, rumah ini jauh lebih besar dari yang dia siapkan untukku," gumam wanita dengan lipstik ungu itu. Ia berbicara seolah aku tidak ada. Matanya bergerak menyusuri sudut-sudut ruang tamu dari tempatnya berdiri. "Maaf, ada perlu apa anda ke sini?""Oh, tenang aja. Aku cuma mau ngasih ini, kok."Tangannya membuka tas branded yang ia sandang. Sebuah kotak kecil diulurkannya padaku. "Hadiah dariku untuk pernikahan kalian. Semoga dengan melihat ini, Re ingat janji yang dia ingkari.""Maaf, mungkin sebaiknya anda berikan hadiah ini langsung saja pada Re. Dia sedang mandi, tapi sebentar lagi mungkin selesai."Mata yang mengenakan lensa kotak warna abu-abu itu berkedip beberapa kali. Tangan kiri dengan kuku-kuku yang berwarna-warni ia gerakkan di depan wajahku. "Nggak usah. Aku tidak ingin mengganggu malam pertama kalian." Ia diam sejenak untuk kemudian berkata lagi, "Eh, tapi Diandra bilang kalian udah nikah dua bulan yang lalu di Kanada, ya? Berarti kamu udah tahu kehebat
"Kenapa, Ri?""I-Ibu, Re.""Ada apa dengan ibumu? Dia sakit?""Gawat, Re. Aku harus gimana?"Re bangkit dari duduknya dan mendekat ke arahku. Kedua tangannya ditempelkan ke bahuku, lalu membimbing untuk duduk. "Tenang. Kamu bicaranya pelan-pelan, ya?""Ibu mau ke sini, Re.""Ya, nggak apa, kan? Bukankah kalian sudah bertahun-tahun nggak ketemu?"Aku melemparkan tatapan tajam pada lelaki itu. "Nggak apa gimana? Ibu nggak boleh tahu tentang kita, Re."Re menarik kursi di sampingku, lalu duduk dengan agak mencondongkan tubuh. Jarak wajah kami menjadi sangat dekat kini. "Gimana kalau Ibu diajak ke apartemen aja? Sebagian pakaian kamu masih ada di sana. Nanti aku suruh orang buat ambil barang-barangku biar nggak ada jejak."Aku menggeleng cepat. "Tetap aja itu terlalu mencurigakan, Re. Ibu tahunya aku kost di tempat biasa."Re menegakkan tubuhnya. Ia terlihat berpikir sejena
Kalau aku ditanya, tentu belum bisa memberi jawaban apakah mencintai Rihana atau tidak. Aku baru pulang dari Kanada saat pertama kali melihat gadis itu. Jalan yang macet dan udara panas, membuat aku tercekik rasa bosan dalam mobil. "Wah, keren tuh cewek," ujar Fery saat mobil kami berhenti di lampu merah. Aku mengikuti arah pandangnya. Sebuah motor matic yang sarat muatan berhenti tepat di samping jendelaku. Pengendaranya seorang perempuan berambut panjang. Ia mengenakan jaket dan celana denim. Sepatu ketsnya tampak sudah tidak layak untuk digunakan. Aku yakin lapisan bawahnya sudah sangat tipis dan tidak mampu menahan aliran panas dari aspal yang dicintainya. Ia membawa sangat banyak kardus air mineral gelas dan juga mi instan yang diikat di bagian belakang. Ada sepuluh karton yang terlihat olehku. Mungkin jumlah sebenarnya lebih. Di bagian depan dekat kaki masih ada satu karung besar yang entah apa isinya. "Lu mau ngapain, Re?" tanya Fery sa
"Sepertinya Pak Fery tidak akan membiarkan hal itu terjadi."Aku melirik Agus yang telah duduk di belakang kemudi. "Lalu kemana dia sekarang? Kenapa sama sekali tidak menampakkan diri di depanku.""Anda pasti tidak menduga apa yang dilakukan Tuan Nehrin saat mengetahui semuanya. Bahkan Pak Fery tidak berkutik, sampai akhirnya ia juga harus patuh saat ditugaskan menangani kantor kita di Jepang.""Oke. Stop bicara pekerjaan. Kepalaku masih terasa pusing. Kamu jelaskan nanti saat kita sampai di rumah dan aku sudah punya cukup tenaga."Agus mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Tekadku amat besar untuk menyelesaikan semua kekacauan ini, tetapi tubuh ternyata tidak mau kompromi. Sampai di rumah tentu saja hanya keheningan yang kutemui. Bahkan tidak ada tanda-tanda Rihana pernah tinggal di rumah ini. Pak Muji bahkan sudah tidak lagi bertugas. Satpam baru sengaja ditempatkan kakek di sini. Sejak awal aku tahu semua tidak akan pernah mudah. Namun, tidak kusangka lelaki satu-satunya y
Siapa yang paling ingin kamu jumpai saat bangun dari koma? Siapa yang ingin kau lihat berekspresi paling bahagia setelah tidur yang panjang? Tentu saja dia. Sosok yang paling dicintai dalam hidup. Yang dengannya kamu ingin berbagi. Namun, faktanya aku tidak bisa melihat wajah cantik itu saat membuka mata. Tidak terdengar suaranya saat aku benar-benar terjaga di ruangan VVIP rumah sakit ini. Koma selama tiga bulan tidak membuat ingatanku lupa dengan wajahnya yang berlesung pipi saat tersenyum. "Dia sedang pulang ke rumah dulu," ujar Kakek setiap aku bertanya tentangnya. Namun, mata lelaki tua itu sepertinya menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia katakan.Fery? Dia pun seperti ditelan bumi tak terdeteksi ke mana rimbanya. Panggilanku ke ponselnya hanya masuk ke kotak suara. Beberapa orang kepercayaan Kakek hanya menggeleng saat ditanya tentang asistenku itu. Ini hari kedua sejak aku bangun dari koma. Atmosfer kamar rumah sakit benar-benar membosankan. Tak ada selarik senyum hangat mil
"Jadi, kamu nggak tahu kalau aku kekasihnya Reinhard?"Eliana mendekati Kenzie dengan langkah gemulainya. Perempuan itu melirikku. "Ah, rupanya kamu nggak ngasih tahu dia kalau Reinhard sudah punya kekasih," ujarnya lagi. "Kamu nggak mau dianggap mendua dan sedang memilih mana yang lebih menguntungkan. Bukan begitu, Rihana?"Kenzie memindahkan dua tangannya hingga posisinya kini berkacak pinggang. Ia memindai wanita yang sedang melangkah semakin dekat itu. "Kenalkan, aku Eliana. Kekasihnya Reinhard."Bukan membalas salam perkenalan itu, Kenzie justru tergelak. "Ternyata selera dia dulu hanya seperti ini. Kenapa tiba-tiba naik kelas jadi yang kayak kamu, Elisha Rihana?"Ken menatapku sejenak. Kenapa ia menyebut nama lengkapku? Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, Kenzie tersenyum."Karena sekarang aku paham kenapa kamu dipanggil Rihana di rumah itu."Aku diam dan menunggu kalimatnya lagi.
Jika ini tentang kehilangan, biarlah aku saja yang merasakannya. Saat Reinhard terbangun nanti, semoga Tuhan membuatnya lupa tentang seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya karena kontrak. Sebuah perjanjian yang bermutasi menjadi cinta penuh harap. Aku mengucapkan terima kasih pada driver taksi setelah memberikan ongkos. Tidak lupa menambahkan tip. Ayah pernah bilang, uang itu tidak akan membuat kita jatuh miskin. Ia juga tidak akan membuat si penerima serta merta jadi kaya raya. Namun, nilai pahalanya bisa membuat si pemberi terhindar bala. Dengan langkah yang satu-satu, aku menuju ke tempat cetak tiket. Sebuah tas ransel menggantung di punggung. Itu satu-satunya benda pemberian Reinhard yang kubawa. Isinya hanya pakaian yang kubeli sendiri sebelum datang ke rumah besar itu. Selesai mencetak tiket, aku menuju mini market. Perjalanan dengan kereta memang hanya tiga jam untuk sampai di Stasiun Kejaksan Cirebon. Namun, aku tetap butuh bekal walau hanya
"Ken, kalau aku tidak jadi buka usaha bisakah pembelian toko milikmu dibatalkan?""Ada apa, El? Kenapa tiba-tiba?"Aku mengganjur napas berat. Tidak mungkin menjelaskan semua permasalahan pada lelaki itu. Ken pasti akan melangkah lebih jauh jika tahu perkara yang sebenarnya. "Nggak ada apa-apa, Ken. Aku hanya berubah pikiran. "Nggak mungkin. Suaramu menyiratkan sebaliknya. Aku nggak masalah kalau kamu ingin membatalkan pembelian ruko itu, tapi tolong kasih tahu alasannya, El.""Karena aku nggak jadi buka usaha, Ken.""Kenapa? Kamu bilang mau lepas dari lelaki itu, kan?"Aku tidak menjawab pertanyaan Kenzie dan mengalihkan pandang ke luar jendela. Patung Pahlawan yang sering disebut Tugu Tani masih berdiri tegar seperti saat aku kecil. Figur satu orang pria bercaping dan seorang wanita itu konon dibuat oleh dua pematung Rusia kenamaan sebagai hadiah untuk Indonesia.Lalu lintas di sekitar Tugu Tani cukup padat
Walau tidak menoleh ke belakang, aku tahu pandangan mata Reinhard masih terus mengawasi. Mobilnya baru meninggalkan halaman saat aku telah menghidupkan lampu kamar. Lelaki itu sempat berbicara dengan Pak Muji, mungkin berpesan ini dan itu. Belum ada satu menit ia meninggalkan rumah ini, kesunyian terasa melilit. Sekali lagi aku mengukur dalamnya rasa. Benarkah ini cinta? Kalau iya, apakah kami akan mampu melewati setiap aral yang akan tumbuh di sepanjang jalan? Ingin aku menolaknya, tapi kegigihan Reinhard membuat hati benar-benar hangat.Lelaki itu dengan semua kejutan-kejutannya setiap hari, membuatku seperti menaiki roller coaster. Seperti sore tadi saat ia tiba-tiba muncul. Tentu saja bukan hanya aku yang terbelalak, melainkan Kenzie juga. Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa pun dari Reinhard. Namun, kehadiran Kenzie di ruko juga bukan kehendakku. Ia ternyata adalah pemilik lahan dan banyak bangunan di wilayah itu. Termasuk yang aku beli.
"Re, ka-kamu kenapa?""Aku lagi melamar kamu?"Rihana menggelengkan kepalanya lambat-lambat. "Nggak. Kamu pasti lagi bercanda, kan?""Buat apa bercanda, Ri? Asal kamu tahu, aku jatuh cinta sama kamu sejak pandangan pertama. Di lampu merah yang panas siang hari, ada gadis manis yang lagi bawa kardus mi instan dan air mineral gelas banyak banget. Ingat?"Dahi gadis itu berkerut. Wajahnya terkena bias dari lampu taman yang tidak terlalu terang. Namun, itu justru menimbulkan siluet yang memikat. Jika tidak sedang berada di momen lamaran, ingin aku menyentuh pipinya yang merona."Bukannya kita ketemu pertama setelah pernikahan ....""Alden? Itu pertemuan kedua, Ri. Kita sempat bicara di lampu merah beberapa minggu sebelumnya. Aku menyuruhmu untuk hati-hati."Rihana menarik napas perlahan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali. "Ya, sudah. Anggap aku ingat momen itu, lalu kamu jatuh cinta, tapi ...""Kenapa tapi? Ka
Tanganku mengepal. "Pulang jam berapa?"Hening sejenak. Aku lihat Rihana menutup ponsel dengan telapak tangannya. Ia berbicara dengan lelaki yang wajahnya tidak terlalu jelas dari sini. "Aku belum tahu, Re. Kerjaan kami belum selesai.""Kamu ada proyek apa sama dia?"Dia yang kumaksud bukanlah Ines, melainkan lelaki yang memandang Rihana saat ini. "Hanya bisnis kecil-kecilan, Re.""Sekecil apa sampai menguras tabunganmu?"Hening lagi. Rihana sepertinya sedang berpikir. Lelaki di depannya bergeming. Karena tidak kunjung mendengar jawaban gadis itu, aku bicara lagi."Aku udah transfer lagi untuk bulan berikutnya. Cek aja.""Lho, tapi ini kan baru ...."Kalimatnya terputus karena aku telah menutup telepon. Kakiku bergegas melangkah ke arah pintu masuk toko yang tidak terkunci. Bangunan ini sangat besar, sesuai dengan harga jualnya seperti yang diinfokan Fery. Sangat tidak cocok untuk dijadikan b
Aku tidak bisa membohongi Pak Dede. Namun, bicara keadaan yang sebenarnya tidaklah mudah. "Nanti saya akan bicara lagi dengannya, Pak."Kalimat itu ternyata membuat Pak Dede tidak lagi bertanya. Setelah sepakat untuk bertemu esok hari, aku pamit dan meninggalkan masjid itu. Bukan ke rumah, melainkan apartemen Fery. Lelaki itu tidak terlalu terkejut saat aku muncul di depan unitnya. Ia mempersilakan aku masuk dan membuatkan jahe hangat yang ditambah madu. "Dari mana lu?""Masjid."Tangan Fery yang hendak mengangkat gelas untuk diikutkannya padaku seketika membeku. Ia menatapku dengan pandangan menyelidik. "Ngapain ke masjid?""Belajar.""Lu serius, Re?"Aku mengangguk. Fery kemudian melangkah mendekat. Dua cangkir berisi minuman jahe diletakkannya di meja. "Karena Rihana?""Bisa ya, bisa juga nggak.""Kalau karena Rihana, tolong hentikan."Aku menegakkan