Wajah-wajah yang sedang melintas di kepalaku seketika menghilang karena pertanyaan konyol lelaki itu. Memangnya kenapa kalau dia tampan? Hanya karena wajah rupawan, bukan berarti aku harus menerima lamaran dadakannya, kan?
"Hei, Bung! Pernikahan itu bukan seperti kamu beli tiket bus. Sekarang beli lalu bisa langsung berangkat. Memangnya, kehidupan apa yang bisa dijanjikan dari pernikahan dengan orang asing?""Banyak. Aku bisa memberikan apa saja yang kamu mau setelah kita menikah. Lagi pula, ini bukan pernikahan yang sesungguhnya."Entah mimpi apa semalam hingga kejutan terus menerus datang, bahkan dari orang yang baru menerobos masuk dalam kehidupanku ini. "Apa maksudnya bukan pernikahan yang sesungguhnya?""Begini," ujar lelaki itu dengan sangat bersemangat. Ia menjatuhkan tubuhnya di sampingku. Duduknya teramat dekat kali ini hingga bahu kami hampir saling bersentuhan. "Kita hanya melakukan resepsi seperti orang pada umumnya, tapi tanpa janji suci."Ya, Tuhan. Kenapa Kau hadirkan orang yang sepertinya kurang waras ini di hadapanku?"Tanpa janji suci itu maksudnya apa lagi? Nggak pakai akad nikah?""Ah, iya. Dalam agamamu disebutnya seperti itu."Mataku menyipit. Apa lagi ini? Ia memiliki keyakinan berbeda denganku, atau seorang atheis? Lalu, kenapa menawarkan pernikahan?"Tenang, aku bukan orang jahat. Aku tahu kamu beragama Islam. Secara teknis kita tidak bisa menikah di negara ini, tapi di luar negeri bisa."Aku menggeser duduk beberapa jengkal agar lebih jauh darinya, lalu memberi tatapan garang. "Maaf, Pak. Saya belum seputus asa itu hanya karena dikhianati tunangan. Menikah dengan orang asing, apalagi yang berbeda keyakinan sampai harus menempuh prosesnya di luar negeri, jelas nggak akan pernah ada dalam kamus hidup saya."Tidak kusangka lelaki itu terbahak. "Apa kamu bilang tadi?""Saya belum putus asa.""Bukan yang itu. Sebelumnya. Kamu panggil aku apa tadi? Pak? Aku belum setua itu, Nona."Huh! Orang ini benar-benar sakit jiwa sepertinya. Sekarang ia justru mempermasalahkan panggilan untuknya alih-alih menjelaskan kegilaan yang keluar dari mulutnya sendiri. Aku mengerucutkan bibir dan hendak berlalu meninggalkan halte bus itu saat tanganku ditarik tiba-tiba. "Tunggu! Jangan marah. Sebaiknya kamu dengarkan penjelasanku.""Saya rasa tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Pak.""Please," ujarnya dengan nada memelas dan posisi tubuh sedikit membungkuk seolah sangat memohon aku mengabulkan permintaannya. "Maaf, Pak. Anda tahu hidup saya sedang kacau. Tolong jangan menambahnya dengan beban yang lebih berat dan tidak masuk akal."Kurenggangkan cekalan tangannya dengan perlahan. Setelah menghembuskan napas kesal, aku berbalik meninggalkannya. Setelah ini, entah ujian apa lagi yang akan menghampiriku. Langkah kaki sengaja kubuat cepat karena khawatir lelaki tadi akan mengejar. Walau demikian, pasti ia bukan tandinganku mengingat tubuhnya yang tinggi. Pasti dalam sekejap ia akan berhasil menyusul kalau memang berniat mengejarku. Kakinya panjang, pasti bisa melangkah dan berlari cepat. "Tunggu!"Teriakan itu membenarkan teori yang sedang berputar di kepalaku. Tubuh atletisnya kini sudah berada di sisi kanan. Ia menyejajarkan langkahnya dengan cepat. "Ini kartu namaku. Kalau kamu berubah pikiran, bisa menelepon ke nomor itu. Aku langsung yang akan menjawabnya."Sebuah kartu nama berwarna dasar hitam dengan tulisan cokelat keemasan yang elegan diulurkannya padaku. "Nggak harus telepon. Kamu kirim chat aja nggak apa. Kalau harus bertemu untuk menjelaskan semuanya, aku akan langsung datang. Kirim saja alamatmu."Aku membaca sekilas nama yang tertera di sana. Reinhard Nehrin. Nama yang susah diucapkan dan sulit diingat. Semoga beberapa menit lagi aku akan melupakannya. "Ah, iya. Kenalkan, namaku seperti yang tertera di kartu itu. Panggil saja Re."Kusambut uluran tangannya dengan enggan. Kulit telapaknya halus, jauh berbeda denganku yang kasar. Naya sering menyebut tanganku seperti kuli bangunan. Ah, kenapa aku harus teringat perempuan itu?"Elisha Rihana," balasku walau yakin ia sudah tahu. "Boleh aku panggil dengan Ri saja?"Aku mengernyitkan dahi, tetapi tidak urung mengakui dua huruf itu terdengar berbeda saat Reinhard yang melafalkannya. Seolah lebih merdu, atau memang suara lelaki itu yang indah?"Nggak apa, kan?"Aku menggeleng. Tepat saat ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Ines, rekan kerja sekaligus sahabatku dari bangku kuliah. "Kenapa, Nes?""Hei, kamu udah punya duit banyak sampai nggak masuk kerja, El?" Suara Ines melengking di ujung telepon. Aku bahkan harus sedikit menjauhkan dari telinga. "Memangnya kenapa?""Hah? Kamu sadar nggak, ini jam berapa?"Kulihat arloji di tangan. Hampir pukul sebelas siang. Ya, Tuhan. Aku sangat terlambat untuk berangkat kerja. Padahal pagi tadi niatku hanya sebentar saja mampir ke pesta laknat itu, sebelum menuju toko tempat mengais rupiah. Tanpa menutup telepon, aku berlari ke tepi jalan, mencoba menghentikan taksi mana saja yang lewat. Tidak peduli suara Reinhard yang memanggil namaku. Hingga beberapa menit, tidak satu jua taksi yang berhenti. Haruskah naik taksi online? Waktu untuk mengetik order di aplikasi dan menunggu datangnya mobil juga cukup lama. Harus bagaimana ini? Aku bisa kehilangan pekerjaan. Pemilik toko paling tidak bisa memaafkan karyawan yang terlambat lima menit saja. Bagaimana nasibku yang sudah telat hampir dua jam?Saat kepalaku masih berputar memikirkan cara agar cepat sampai di toko, sebuah SUV sport keluaran terbaru berhenti hampir tanpa suara. Pintu di dekat kemudi terbuka. Kaki yang mengenakan sepatu hitam berkilat turun dan menjejak aspal. "Naiklah. Aku antar kamu sekarang."Kutatap wajah yang tidak asing itu. "Reinhard?""Sepertinya kamu terlambat untuk satu hal yang sangat mematikan." Ia tersenyum sambil berjalan memutar ke sisi pintu yang lain, lalu membukakannya untukku. "Masuklah," ujarnya lagi. Aku terpana sejenak. Tawarannya untuk menikah bisa dengan mudah ditolak karena tidak masuk akal dan logika. Namun, bantuan Reinhard kali ini sepertinya bisa menyelamatkan hidupku. Tanpa bicara, aku berjalan mendekati pintu yang terbuka dan masuk ke mobil dalam diam. Ia menutup pintu dengan gerakan tangan yang entah mengapa terlihat memukau di mataku. Dengan langkah tegap lelaki itu berjalan memutar kembali dan masuk dari pintu di sisi kanan. Tepat saat ia duduk di belakang kemudi, ponselku kembali berdering. Nama Ines kembali muncul di layar."Ada apa lagi, Nes?"Bukan suara gadis itu yang terdengar menjawab, melainkan laki-laki."Elisha Rihana, kamu saya pecat! Jangan datang lagi ke tokoku!"Tuhan, cobaan hidup seberat apa lagi yang akan Kau berikan padaku? Bagaimana bisa menjalani hari tanpa pekerjaan? Uang di rekeningku bahkan tidak cukup untuk membayar sewa kontrakan. Calon suami yang harusnya bisa menjadi tempat berbagi telah diambil orang. Tidak ada tempat untukku bergantung dan meminta tolong sekarang. Ines, satu-satunya sahabat yang tersisa dalam hidupku, juga tidak bisa diharapkan. Hidupnya jauh lebih sulit karena menjadi tulang punggung keluarga. Sebuah ide gila terlintas begitu saja di kepalaku. Bagaimana kalau tawaran Reinhard aku terima saja?Sambungan telepon diputus tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Dengan lunglai, tanganku yang memegang ponsel jatuh ke pangkuan. "Kenapa?"Pertanyaan itu tidak diucapkan dengan keras, bahkan cenderung lembut untuk ukuran suara laki-laki. Namun, cukup membuatku terkejut. Aku menoleh ke arah pemilik suara. Reinhard sedang menatap dengan sorot mata yang berbeda sepanjang kami berinteraksi hari ini. Apakah ia tahu aku sedang mendapat cobaan bertubi-tubi?"Oh, i-ini telepon dari bos tempatku bekerja."Aku hampir tidak sanggup melanjutkan kata-kata. Pandangan mata mulai kabur dan panas. Tolong, jangan sekarang. Aku tidak ingin menangis lagi di depan lelaki ini. "Masukkan alamat tempat kerjamu di sini," tunjuk Reinhard ke arah layar di dashboard. Aku menatapnya bingung. "Aku butuh memasukkannya dalam peta untuk sampai ke sana," ujarnya lagi.Segera aku mengetik lokasi toko, kemudian mengalihkan pandangan ke tepi jalan. Tanpa bicara lagi, Reinhard melajukan mobil miliknya dengan kecepatan se
"What?" Reinhard kemudian terbahak sambil menutup mulutnya. "Kenapa kamu jadi mencuri kata-kataku? Pertanyaannya nggak salah, nih? Seingatku, hampir satu jam yang lalu tawaran itu ditolak mentah-mentah."Aku melempar kepala ke sandaran kursi sambil mengeluarkan karbondioksida hasil pernapasan dari mulut. Seolah dengan itu aku bisa menghempas semua yang menekan dalam hidup. Kunyalakan ponsel kembali dan membuka pesan dari Nia. Baris-baris kalimat itu kuperlihatkan pada Reinhard yang masih memberikan tatapan tidak percaya. "Kamu baca ini."Lelaki itu mengambil handphone dari tanganku. Tidak disangka ia membaca redaksinya dengan suara keras. "Kenapa belum kirim uang, Mbak? Aku ujian minggu depan.""Baca atasnya lagi.""Mbak, kapan mau transfer? Ibu marah-marah terus karena beras habis."Aku diam kini. Tangan Reinhard terus menggeser layar ponsel. "Nia ini siapa?""Adikku. Tidak, lebih tepatnya ibu kami sama, tapi dengan ayah yang berbeda.""Kamu yang biayai sekolahnya?"Sekali lagi ku
Tangan lelaki itu dengan cepat menarik lenganku dan memaksa untuk masuk. Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tenaganya jauh lebih kuat. Kantong di tanganku terlepas. Beberapa croissant di dalamnya berhamburan ke lantai. "Lepaskan! Aku bukan anak kecil yang bisa kamu perdaya seperti dulu!""Coba saja kalau bisa! Kali ini aku pasti bisa mendapatkan tubuhmu, El!"Seketika bayangan mengerikan berkelebat di kepalaku. Tidak ada cara lain, aku harus berteriak untuk mendapatkan bantuan. "Tolong! Tolong aku!" Sambil berteriak, aku terus meronta. Saat lelaki itu berhasil menarik tubuhku dalam cekalan yang lebih kuat, sebuah ide melintas begitu saja. Aku arahkan lutut dengan sekuat tenaga ke bagian vitalnya. Ia berteriak, saat itulah tangannya melemah. Aku meronta sekuat tenaga dan berhasil melepaskan diri. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menyusuri lorong dengan napas terengah dan berusaha mencapai tangga. "Hei! Jangan lari! Anak kurang ajar!"Kupercepat langkah. Ketika berhasil mencapa
Reinhard bergegas berdiri. Ekspresi di wajahnya bercampur antara terkejut, kesal, dan entah apa lagi."Ka-kakek? Kenapa Kakek ke sini?""Lho, memangnya ada yang melarang Kakek datang ke tempat tinggal cucu sendiri? Lalu, sejak kapan kamu senang membawa lawan jenis masuk ke sini? Memangnya Kakek mengajarimu berperilaku melanggar norma?""Oh, i-ini .... Ini Rihana, Kek. Di-dia ...." Reinhard sejenak menatap ke mataku seolah meminta persetujuan. Aku tidak tahu harus berbicara apa. "Di-dia is-istriku, Kek," ujarnya lagi dengan ragu. Tentu saja bukan hanya si kakek yang terpana. Aku juga tidak menyangka ia akan memperkenalkan aku sebagai istrinya.Tidak disangka, lelaki yang usianya mungkin sudah enam puluh tahun itu langsung berteriak dan menyerang Reinhard dengan pukulan tangan bertubi-tubi. "Kurang ajar! Anak nggak beradab! Sejak kapan kamu menikah? Kapan? Di mana, hah? Jawab kakekmu ini!"Reinhard berlari menghindar, sementara sang kakek terus mengejarnya. Beberapa kali pukulan yang
Kakek berjalan sambil terus menggumamkan kalimat yang tidak jelas terdengar. Aku dan Re memerhatikannya sampai ia membuka pintu. "Re, bagaimana ini?" Saat itu Kakek telah menutup pintunya dari luar. Reinhard meletakkan telunjuknya di depan mulut pertanda aku harus diam. Ia mengambil ponsel dari dalam saku dan menelepon seseorang."Kakek sedang berjalan ke tempatmu. Masih ingat skenario yang pernah aku perlihatkan?"Ia diam sejenak, sepertinya sedang mendengarkan jawaban dari lawan bicaranya."Ya, tentang pernikahan. Semua sama, tapi ada satu detail tambahan."Hening lagi. "Istriku beda keyakinan. Alasan itu membuat kami menikah di Kanada bulan kemarin."Bicaranya kembali terjeda beberapa detik, hingga ia mengakhiri pembicaraan."Ok. Thanks, Fer."Reinhard menghela napas panjang. Ia kemudian menatapku sambil memberikan senyum lebar, membuat eye smile miliknya semakin terlihat jelas. Kedua mata itu benar-benar membentuk bulan sabit yang khas. "Aman.""Hm, jadi kamu memang sudah mere
"Bu, sebenarnya ....""Kenapa?""A-aku dipecat dari tempat kerja. Jadi ....""Hah? Jadi itu uang pesangonmu?"Aku mungkin bukan orang baik, tapi benci dengan perbuatan dusta. Namun, hidup kadang memaksaku menciptakan kebohongan yang tidak hanya satu. "Iya." Kata itu meluncur menggenapi kebohonganku dan juga Reinhard hati ini. Lelaki itu membeku di sofa dan memberikan tatapan yang entah apa maknanya. "Setelah ini berarti kamu nggak bisa kirim uang lagi?"Kupikir ia akan bertanya, kenapa dikirim semua. Ternyata aku terlalu berharap telur yang segera menetas jadi ayam, tanpa pernah menduga ia akan membusuk. "Aku nggak tahu, Bu.""Ya, sudah kalau gitu. Asal jangan sampai kamu melakukan pekerjaan haram.""Iya, Bu."Sambungan telepon diputus begitu saja tanpa ia bertanya bagaimana keadaanku setelah kehilangan pekerjaan. Aku memejam sejenak dan menarik napas dalam-dalam. "Maaf," ujar Reinhard lembut. "Untuk?""Maaf karena aku nggak bilang soal uang itu. Kupikir itu akan membantu di ten
"Ma-maaf, Di. Jangan gini." Reinhard berusaha melepaskan dirinya dari pelukan wanita itu. "Kenapa? Kamu benci sama aku? Kenapa sih, kamu nggak bisa terima aja cintaku, Re? Kalau iya, harusnya kita bisa lebih dulu nikah dibanding Alden."Reinhard menoleh ke arahku tepat setelah nama itu disebut. Seketika wanita berkulit putih bak pualam itu menyadari kehadiran orang lain selain mereka berdua di kamar ini. "Re, siapa dia?"Reinhard mengembuskan napas seolah lega karena terlepas dari pelukan perempuan itu. Ia langsung pindah berdiri di sampingku. Tangan kanannya ia lingkarkan di pinggangku. "Kenalkan, ini Rihana. Dia istriku. Sayang, ini Diandra, sepupuku dari garis Ibu."Sadarkah Reinhard, bahwa saat ini sepertinya ada dua perempuan yang kakinya mendadak lemas seolah tak bertulang? Aku yang terkejut dengan panggilan sayangnya, dan Diandra karena tidak menduga Reinhard sudah menikah. Sepupu Reinhard itu mundur beberapa langkah."Nggak. I-ini pasti salah. Kamu nggak mungkin nikah sama
Aku membeku hingga Diandra berlalu. Ia telah bergabung lagi dalam percakapan di meja makan."Fery sudah menunjuk event organizer yang akan mengurus pernikahanmu, Re. Nanti dia akan kasih tahu kapan kalian harus fitting baju pengantin.""Kek, apa harus secepat itu? Seminggu terlalu pendek waktunya buat kami berdua.""Memangnya mau nunggu apa lagi? Butuh persiapan apa selain semua yang akan disiapkan Fery? Toh, kalian berdua sudah menikah dua bulan yang lalu. Ah, iya. Rihana, cepat sini. Kamu kenapa hanya mematung di situ?"Saat aku berbalik, semua orang sedang memberi tatapan tajam. Ada sorot khawatir di mata Reinhard. Kakek dan Fery lebih pada pandangan penuh tanya, sementara mata Diandra seirama dengan senyum sinis di bibirnya. "Oh, i-iya, Kek.""Kamu nanti bilang saja sama Fery mau ngundang berapa orang. Satu lagi, apakah keluargamu akan datang?""Sa-saya belum tahu, Kek. Mereka belum dikabari juga kalau akan ada rese