Wulan beranjak dari sofa, ia pun segera menyusul suaminya masuk ke kamar."Mas tunggu!" teriak Wulan memanggil Fatih."Kamu kenapa sih' Mas? Ko malah masuk kamar? Bukannya filmnya belum selesai yah?" tanya Wulan bingung. Padahal biasanya suaminya itu rela begadang demi nonton film action kesukaannya."Sudah nggak selera nonton," jawabnya tanpa melihat wajah istrinya. "Kamu marah?""Menurut kamu?'' Bukannya menjawab, Fatih malah berbalik tanya."Maaf Mas, aku nggak tau kalau kamu marah, lagian–apa yang membuat kamu tiba-tiba marah kayak gini?" tanya Wulan bingung."Kamu pikir aja sendiri' Wulan! Dari mulai kita makan malam, sampai kita nonton TV 'kamu terus saja fokus dengan ponselmu! Memang siapa sih yang dari tadi terus menghubungimu? Kenapa tidak biasanya ponselmu terus bunyi?" jawab Fatih tak suka. Ia bertanya dengan nada satu tingkat lebih tinggi dari biasanya."Kan tadi aku sudah ijin, Mas. Itu temanku, bukan siapa-siapa. Masa karena hal sepele saja kamu marah?""Jangan pernah m
Fatih mengacak rambut frustasi, kesal dengan sikap ibunya yang semena-mena dan tidak menghargainya."Minggir kamu! Nggak usah ngalangin jalan!" bentak Bu Ratna pada Wulan yang tengah berdiri di ambang pintu melihat keributan di luar. Wanita berbadan tambun itu pun terus mengarahkan orang-orang suruhannya untuk memasukan semua barang miliknya ke dalam rumah."Jangan sampai ada yang tertinggal yah! Masukan semuanya. Awas hati-hati! Jangan sampai ada yang rusak, semua barang saya mahal!" celoteh Bu Ratna pada para sopir dan kernet itu."Kamu lihat sendiri kan, Lan. Ibu terus saja berulah, lama-lama aku bisa stres jika ibu terus seperti ini," Adu Fatih pada istrinya."Biar saja dulu, Mas. Nanti kalau sudah tenang' baru kita tanyakan tujuan ibu untuk pindah kesini itu apa? Jangan terlalu jadi beban, nanti kamu sakit," "Makasih' ya, Lan. Kamu memang paling mengerti," ucap Fatih merangkul istrinya.Setelah semuanya beres, para sopir pun meninggalkan rumah Fatih. Sedangkan Bu Ratna, tetap si
[Jangan menggangguku lagi, Eva! Sampai kapanpun aku tidak akan mau menerima tawaranmu!] Balas Fatih.[Oh ya? Kamu yakin' Mas? Baikah! Kita lihat saja nanti, berapa lama kamu mampu menghadapi semua masalahmu sendiri] jawab Eva sebelum percakapan itu berakhir.Fatih menyimpan ponselnya di dasbor mobil, ia pun kembali melajukan kendaraannya, dia tidak akan menyerah untuk mencari perusahaan yang mau menerimanya. ***●●●Di rumah Suara Bu Ratna yang sedang memanggil Wulan begitu menggema di seisi ruangan. Suaranya begitu nyaring menyakiti gendang telinga."Wulan! Cepat turun! Apa kau tuli, hah?! Cepat turun!" Lagi ia berteriak memanggil menantunya.Wulan melepas earphone nya, kemudian keluar dari kamarnya untuk menemui wanita yang sangat cerewet itu."Ada apa sih' Bu? Kenapa terus berteriak?" "Kamu itu yah, dipanggil dari tadi tidak nyaut! Apa kamu budeg? Mana sarapannya? Kenapa tidak ada makanan dimeja?" Beo Bu Ratna mencecar Wulan.Sesuai perintah suaminya, Wulan memang sengaja tidak m
Gio berbalik badan dan segera membenarkan resleting celananya. Sedangkan Wulan tak bisa lagi menahan tawanya setelah melihat raut wajah Gio yang memerah."Maaf, saya tidak …" ucap Gio terjeda. Ia merasa harga dirinya sudah jatuh dihadapan Wulan."Sudahlah, lupakan saja," jawab Wulan. Wanita itu berusaha melupakan apa yang dilihatnya barusan."Silahkan duduk!" seru Wulan pada laki-laki yang nampak kikuk di hadapannya itu.Saat ini ingin rasanya Gio menghilang dari muka bumi. Ia berharap Wulan tidak melihat motif celana dalam yang ia pakai.'Jika sampai dia melihatnya, gue nggak sanggup untuk menatap wajahnya, semoga saja dia tidak menertawakan gue lagi,' cemas Gio dalam hati."Baiklah Pak Gio, berapa kerugian yang harus saya bayar?" ucap Wulan mengawali percakapan.Menyadari ada yang tertinggal di motor, ia pun kembali ke parkiran."Em, tunggu sebentar! Sepertinya baju saya tertinggal," jawab Gio. Ia pun berlari menuju motornya. Kemudian mengambil paper bag yang menggantung di stang mo
Tidak ada pilihan lain, Wulan pun lantas mengambil paper bag itu dan beranjak dari duduknya."Mau kemana?" tanya Gio saat Wulan berdiri."Urusan kita sudah selesai' kan? Saya mau pulang!" sahut Wulan malas."Memangnya siapa yang mengizinkan anda pergi?" tanya Gio memicingkan matanya saat Wulan hendak melangkah."Maksud anda apa? Kenapa saya harus minta izin? Memangnya anda siapa?" jawab Wulan kesal dengan sikap Gio yang menyebalkan."Duduk!" titah pria itu lantang."What??""Duduk saya bilang!" Wulan memutar bola matanya malas, rasanya ingin sekali ia memaki pria menyebalkan itu."Ada apa lagi? Kenapa Bapak menahan saya untuk pergi? Saya kan sudah setuju untuk mencuci baju anda. Bukankah itu artinya urusan kita sudah beres?" "Beres? Haha! Siapa bilang? Urusan kita belum beres Ibu Wulan yang terhormat," ujar Gio dengan nada mengejek. "Masa anda lupa, kerugian saya bukan hanya masalah baju. Tapi juga rugi waktu dan materi," ucapan pria itu sungguh membuat Wulan bingung."Maksud Bapak
Dengan kedua tangan di saku celananya, Gio pun berjalan menghampiri Wulan."Oke, berarti mulai hari ini anda sudah bekerja sebagai asisten pribadi saya," ucap Gio yakin."Hari ini?""Yupz! Hari ini, cepat ikut saya!" Titah Gio pada Wulan."Kemana?" "Ikut saja! Nanti juga anda tau sendiri," ucapnya lagi. Ia pun berjalan memasuki area supermarket, di ikuti oleh Wulan yang berjalan mengekor dibelakangnya."Kita mau kemana?" lagi Wulan bertanya. Ia berjalan setengah berlari mengejar Gio. Bukannya menjawab pria itu justru tersenyum kemudian berbelok ke arah toko ATK. "Tunggu disini!" Seru Gio pada Wulan. Ia pun masuk kedalam toko. Tak lama kemudian Gio pun kembali dengan dua lembar kertas HVS dan juga materai di tangan kanannya.Di atas meja ia menulis sebuah surat, entah apa yang ia tulis. Pria itu nampak serius mencatat setiap kata di atas kertas yang ia beli."Tanda tangan!" Seru Gio menyerahkan kertas bermaterai itu kepada Wulan."Apa ini?" tanya Wulan bingung."Sudah jangan banyak
"Gimana saya mau baca sampai tuntas, baru baca satu paragraf saja kertasnya sudah Bapak rebut," jawab Wulan dengan ketus."Hahaha, sudahlah gak usah diributkan, toh kontraknya juga sudah sah," sahut Gio dengan entengnya. Ia pun kembali menarik tangan Wulan menuju meja kosong."Mau makan apa?" tanya Gio saat pelayan memberikan buku menu kepadanya."Saya tidak lapar," jawab Wulan kesal."Ya sudah, kalau nggak lapar pesan minum saja!" ucapnya, kemudian ia pun memesan nasi ayam paket komplit dan dua gelas es jeruk. Berulang kali Wulan melihat jam di ponselnya. Ia benar-benar tidak nyaman berada didekat pria menyebalkan ini. Berbanding terbalik dengan Gio. Pria itu tak henti-hentinya memandangi Wulan yang memasang wajah kesal, semakin Wulan cemberut dan jutek semakin Gio penasaran."Ini pesanannya, Pak! Selamat menikmati," ucap pramusaji itu menaruh pesanan Gio di atas meja.Dengan lahap Gio menikmati pesanannya. Tak ada sedikitpun rasa malu atau pun canggung dalam diri pria itu. Melihat
"Nah gitu dong, jangan banyak ngebantah," ucap Gio. Ia pun berjalan menuju parkiran dan diikuti oleh Wulan dibelakangnya.'Dia mau kemana sih? Bukannya parkiran mobil ada disana, kenapa dia muter ke arah belakang?' "Ayo naik!" ucap Gio membuat Wulan terkejut."Naik motor?" tanya Wulan bingung. 'Yang benar saja' masa seorang bos dengan saham miliaran kendaraannya motor butut?' Batin Wulan"Iya! Kenapa? Kamu nggak mau saya bonceng pakai motor? Udah cepat naik, panas nih! Jangan lupa pakai helmnya" Seru pria itu kepada Wulan. Sepanjang jalan Wulan terus berpikir, jika dia seorang bos mana mungkin hanya naik motor, apa jangan-jangan dia ini bos gadungan yang sengaja ingin memeras dirinya? Dari penampilannya saja sudah meragukan, ditambah tingkah laku dan kendaraan yang dibawanya membuat Wulan semakin yakin jika pria yang memboncengnya itu seorang penipu."Nggak usah mikir yang macem-macem! Tidak semua orang kaya harus memakai mobil kan? Jalanan ibu kota ini selalu macet, kurang efektif