Logan lalu kembali ke kamar Amanda malam itu setelah ia menerima kabar bahwa Amanda telah terbangun lagi ketika efek obat penenang telah habis. Ia menemui Amanda yang telah dipindahkan ke ruang perawatan setelah seorang perawat memberitahunya.
Dengan perlahan, Logan masuk ke dalam kamar tersebut dan mendapati Amanda tengah bersandar pada ranjang dengan posisi setengah duduk. Ia sejenak merasa canggung ketika ia mendekat ke arah ranjang Amanda. Wanita itu hanya menatap kedatangannya dalam diam tanpa berkata apa-apa.
"H ... hai," sapa Logan dengan canggung pada Amanda. Ia menarik salah satu kursi agar dapat duduk di samping ranjang Amanda.
Kekikukan kembali melandanya saat Amanda masih menatapnya dengan ekspresi yang tak dapat Logan tebak. "Apa yang kau rasakan sekarang, Sayang?" tanya Logan lagi dengan suara yang masih sedikit serak karena menekan emosinya beberapa saat lalu.
Amanda sedikit menunjukkan reaksi dengan memalingkan wajahnya saat Logan memanggilnya dengan sebutan sayang, namun ia enggan menjawab apa pun.
"Ah, ma ... maaf. Kau mungkin merasa aneh saat aku memanggilmu dengan sebutan itu karena saat ini kau hanya mengingatku sebagai atasanmu saja, benar?" ucap Logan lagi dengan hati-hati karena menyadari ucapannya mungkin dapat membuat Amanda merasa tak nyaman karena amnesianya.
"Apa yang telah terjadi padaku?" tanya Amanda kemudian. Ia masih terdengar lemah.
"Oh, ya benar, k ... kau mengalami kecelakaan dan agar kau tahu, sekarang kau adalah istriku, Amanda. Kita telah menikah lima tahun yang lalu. Dan mengenai panggilan itu, ma ... maksudku, aku hanya telah terbiasa menyebutmu dengan sebutan itu dan tak bermaksud untuk membuatmu tak nyaman. Mungkin saat ini kau merasa aneh karena kau diduga mengalami amnesia, tapi aku benar-benar adalah suamimu, sungguh! Aku mengatakan yang sebenarnya." jawab Logan spontan dengan cepat.
Entah mengapa, ia merasa harus menegaskan hal itu terlebih dahulu pada Amanda walau dokter Bern telah memberitahunya untuk tidak terlalu terburu-buru untuk memberikan informasi apa pun yang mungkin dapat mengagetkan Amanda.
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Amanda kembali berkata, "Maksudku, apa yang telah terjadi padaku hingga aku dapat berada di rumah sakit ini, Tuan Logan."
"Oh!" Ucapan Amanda seketika membuat Logan mengerjap dan terdiam. Ia akhirnya menyadari bahwa reaksi dan jawabannya mungkin bukanlah sesuatu hal yang Amanda inginkan. Seketika, ia menjadi kikuk.
"Oh, y ... ya, tentu saja itu maksud pertanyaanmu, ya? Aku salah mengira," balas Logan dengan gugup dan berdehem kecil untuk menutupi rasa malunya karena ia telah salah mengartikan pertanyaan Amanda sebelumnya.
"Kau mengalami kecelakaan dan mendapat operasi besar dua hari yang lalu," lanjutnya. Ia menatap Amanda dengan raut menyesal.
"Iya, aku tahu bagian itu. Yang kumaksud adalah, bagaimana aku bisa sampai mengalami kecelakaan?" tanya Amanda lagi. Walau ia masih merasa lemah, namun ia bertanya seolah tak ingin melewatkan informasi apa pun tentangnya.
Logan sejenak tampak ragu dan mengerucutkan bibirnya. "Mengenai itu ... aku belum dapat menjelaskan semuanya dengan detail padamu, Sayang. Sudahlah ... untuk saat ini, fokuslah saja pada pemulihanmu, ya. Aku tak akan membebanimu dengan banyak memberi informasi yang mungkin akan membuatmu terkejut karena kau baru saja siuman. Pulihkan saja dirimu dahulu."
"Mengapa? Mengapa kau tak dapat menjelaskan semuanya, Tuan?"
Logan kemudian berdiri dan meraih jemari Amanda. Ia menatap Amanda dengan perasaan tak menentu. "Oh, Sayang, tolong, jangan bertanya apa pun lagi untuk sekarang dan segeralah pulih. Hanya itu saja yang terpenting untukmu saat ini."
"Tapi aku perlu tahu apa yang telah menimpaku, Tuan."
Logan mengangguk kecil. "Aku mengerti, aku mengerti. Aku pasti akan menjelaskan semuanya padamu, tetapi tidak sekarang, oke?" balas Logan sabar.
"Mengapa? Apakah itu terlalu sulit? Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku dan apa yang menyebabkan kecelakaan ini bisa menimpaku dan ...."
"Amanda, please," potong Logan cepat. Namun sedetik kemudian ia menghela napasnya saat Amanda kemudian terlihat terkejut karena tanpa sadar nada bicaranya terdengar sedikit keras. Wanita itu sampai terdiam dan menatap Logan dengan tertegun.
"Ma ... maaf, Sayang, aku tak bermaksud apa-apa. Oh, aku hanya tak suka saat kau memanggilku dengan sebutan tuan," ralatnya kemudian dengan melembut.
Logan kemudian menghela napasnya perlahan. "Aku tak tahu ternyata kau bisa begitu keras kepala, Amanda," gumamnya.
"Dan aku tak tahu jika ternyata kau dapat banyak berbicara seperti sekarang, Tuan," balas Amanda.
"Benarkah?" ucap Logan terkejut. "Dan please, sekali lagi kukatakan padamu, jangan panggil aku tuan. Aku merasa terganggu karenanya. Ingat, kita sudah menikah, Amanda," jelas Logan sambil menunjuk cincin pernikahan mereka di jari Amanda dan miliknya sendiri.
"Well, ingat? Aku bahkan tak pernah ingat kita sudah menikah. Dan bagaimana seharusnya aku memanggilmu? Logan, begitu? Baiklah, sekarang jelaskan apa yang terjadi padaku, Logan?" balas Amanda cepat.
Jawaban Amanda yang terkesan sinis itu membuat Logan menganga seketika. Ia jelas dapat melihat raut kekesalan pada istrinya itu. Dan untuk pertama kalinya selama ia mengenal Amanda, ia baru benar-benar melihat ekspresi kesal Amanda yang tak pernah ia lihat selama ini. Maksudnya, memang benar-benar tidak sekali pun pernah ia lihat.
Jangankan berwajah muram padanya, membantah, menatapnya terang-terangan, atau bahkan bersikap ketus tak pernah Amanda lakukan sekali pun padanya selama ini. Baik saat ia masih menjadi atasan mau pun setelah ia menjadi suaminya. Dan jelas, itu membuat Logan takjub karena wanita patuh dan penurut yang tak pernah benar-benar menunjukkan emosinya secara terbuka itu kini terlihat berbeda.
"Wow, kau terlihat kesal," gumamnya takjub.
Amanda mengerutkan alisnya dan menatap tak suka pada Logan. "Aku manusia, aku juga dapat merasakan kesal," tegasnya seolah itu bukanlah suatu hal yang aneh.
Lagi. Amanda menjawab sambil menatap kedua matanya secara terang-terangan dan tegas.
"Benar, benar, Sayang," balas Logan setengah bergumam karena masih merasa takjub pada perubahan sikap Amanda padanya. Ia mengamati Amanda lekat-lekat dengan rasa ingin tahu yang besar.
Dan karena tak dapat membendung perasaan lega sekaligus senang yang entah mengapa ia rasakan saat itu juga, Logan kemudian refleks tersenyum kecil. Ia kembali menatap lembut pada Amanda dan tak mendebat lagi istrinya yang masih terlihat lemah itu. Amanda sendiri hanya menatap Logan dengan raut heran.
"Apa yang kau tertawakan? Ada yang lucu?" tanyanya.
Logan menggeleng dan kembali tersenyum kecil. "Tidak, tidak, tak ada yang lucu. Hanya saja, baru pertama kali ini aku melihatmu kesal padaku. Apa kau memang sedang merasa kesal padaku? Aku hanya terkejut, namun aku juga menyukainya," jawab Logan jujur.
Amanda semakin memperdalam kerutan alisnya. "Kau sungguh aneh. Satu-satunya yang kutahu saat kau banyak berbicara adalah saat kau menjelaskan semuanya setelah malam itu terjadi. Dan ya, aku memang sedang merasa kesal padamu."
"Malam itu? Apa maksudmu?" Logan mengangkat salah satu alisnya dan mendekatkan wajahnya ke arah Amanda. "Ah! Apakah maksudmu malam saat kita tidur bersama? Apakah itu artinya kau dapat mengingat kejadian sampai malam itu?" selidiknya.
Amanda sontak bereaksi dengan pertanyaan Logan. Ia menelan ludahnya dan sejenak berpikir sebelum kemudian menjawab, "Bukan. Bukan tidur bersama, tetapi hanya suatu kesalahan saja. Ingat, Logan, hanya kesalahan. Dan tolong, jangan kau ungkit lagi karena itu sungguh menyebalkan," tegasnya. Entah mengapa ia merasa kikuk dan sedikit gugup.
Logan kembali menganga karena raut kekesalan yang kembali Amanda perlihatkan padanya. Bukannya ikut kesal, ia malah tersenyum lebar. "Bagus!" serunya senang yang membuat Amanda lagi-lagi merasa heran.
"Oh, itu sungguh suatu hal yang bagus kau dapat mengingatku hingga malam itu, Sayang. Benarkah kau ingat semuanya hingga malam itu? Dan apa kau tahu? Karena itulah kita menikah!" Logan menatap haru penuh kebahagiaan saat menatap Amanda.
"Oh, ya? Benarkah? Mengapa?" tanya Amanda dengan raut datar. "Mengapa kau menikah denganku sementara kau telah memiliki Francesca? Kau sudah bertunangan dengannya dan mencintainya, bukan? Mengapa kau tak menikah dengannya saja?"
Logan menggeleng dan menghela napasnya. "Oh, Sayang, memang ada alasan utama mengapa kita bisa sampai menikah. Aku akan menjelaskan semuanya nanti, ya. Dan memang benar aku sudah bertunangan dengan Francesca saat itu. Tapi ingatlah, aku tetap harus menikah denganmu. Sungguh, hanya harus denganmu. Kumohon, ingatlah perlahan-lahan saja semuanya." Logan refleks mengusap lembut wajah Amanda.
"Harus? Mengapa? Sudah sungguh menyebalkan kejadian itu dapat terjadi, dan kini kau mengatakan kita menikah. Aku tak ingin mengingat apa pun dan tak mengingatnya sedikit pun. Sekarang, karena aku tak dapat mengingat apa pun tentang pernikahan itu, tolong, maukah kau bercerai denganku, Logan?" ucap Amanda tanpa bertele-tele.
Jemari Logan yang membelai Amanda, membeku seketika saat istrinya melontarkan keinginan yang membuatnya begitu terkejut. "A ... apa?" lirihnya seolah tak percaya dengan apa yang sudah ia dengar. Ia menatap Amanda dengan mata bergetar.
"Benar, bercerailah denganku, Logan," tegas Amanda. Ia balas menatap Logan dengan mata berkaca-kaca.
Logan yang masih belum mampu berkata-kata, tak dapat membalas ucapan Amanda.
"Akh!" Tiba-tiba Amanda mengernyit dan merintih sambil memejamkan kedua matanya karena merasakan nyeri yang hebat pada kepalanya, beberapa saat setelah ia mengatakan keinginannya.
"Akh!" Ia yang tak mampu menahan nyeri itu lagi-lagi merintih. Dan Amanda kemudian menyandarkan kepalanya karena menahan kesakitan yang teramat sangat hingga meneteskan air mata.
"Amanda! Oh, a ... apa yang terjadi? Ada apa? A ... apa kau kesakitan? Sebentar, aku akan memanggil dokter, sebentar!" Logan buru-buru menekan tombol untuk memanggil perawat setelah kepanikan mencairkan kebekuannya.
Logan lebih tercengang karena mendengar rintihan Amanda yang sedang menahan sakit dari pada permintaan wanita itu sebelumnya. Amanda yang meneteskan air mata karena berjuang menahan kesakitannya yang terlihat begitu menyiksanya itu membuat Logan ikut teriris.
"Berikanlah ia sesuatu, cepat! Tidakkah kalian lihat ia begitu kesakitan!" seruan tertahan ia lontarkan pada perawat yang tergopoh-gopoh masuk diikuti oleh seorang dokter jaga.
Tanpa Logan sadari, ia sendiri sedang mengepalkan tinjunya dan menahan air mata yang membuat tenggorokannya terasa tercekat. Entah karena kesakitan Amanda, atau karena permintaan wanita itu.
Yang jelas, Logan hanya sedang berusaha menahan gempuran nyeri yang menghantam dadanya saat ia menatap wajah menderita istrinya itu. Kesakitan Amanda seolah dapat ia rasakan sebagai kesakitannya sendiri.
____****____
"Apa yang sebenarnya terjadi pada istri Anda, Tuan? Bukankah sudah kukatakan bahwa sebaiknya menghindari hal-hal atau pembicaraan sensitif yang mungkin dapat membuatnya tertekan? Biarkan Nyonya Amanda kembali pulih seutuhnya dahulu agar lukanya dapat membaik dengan benar."Dokter Bern menghela napasnya setelah berucap pada Logan. Ia kemudian mengeluarkan berkas dan menyodorkannya pada Logan. "Ini adalah hasil pemeriksaan istri Anda. Dan benar, kami menyimpulkan Nyonya Amanda sedang mengalami amnesia, kemungkinan akibat dari shock atau trauma yang dideritanya karena kecelakaan itu.""Hasil operasinya terlihat bagus jika kau mungkin mengkhawatirkan itu. Tak ada kerusakan otak atau pun syaraf yang mungkin bisa berakibat fatal padanya. Maka, karena itu kami bisa menyimpulkan bahwa amnesia yang dideritanya adalah karena trauma akibat kecelakaan tersebut, Tuan," jelasnya kemudian."Walau begitu, perlu Anda ingat, Tuan, istri Anda masih memerlukan ketenangan dan lingkungan yang kondusif di s
Logan mengembuskan napasnya perlahan seolah telah terbiasa memaklumi sikap ketus dan dingin istrinya. Ia tak bereaksi apa pun atau menunjukkan kesenduannya setiap kali Amanda bersikap kejam padanya. Ia hanya akan memakluminya dengan bersikap sabar."Benarkah? Tapi kulihat kau sudah jauh lebih cerah dan segar hari ini," balas Logan sambil tersenyum.Ia kemudian memeriksa perban yang melekat di kepala Amanda. Perban yang sudah tak terlalu tebal dan banyak melilit bekas luka operasi istrinya itu, menandakan kepulihan Amanda yang terlihat cukup signifikan. Dalam hati ia merasa begitu puas."Bagus, lukamu pun sudah hampir mengering sepenuhnya. Bukankah itu hal yang bagus, Sayang?" Sambil berucap, Logan menyentuh perlahan wajah lembut Amanda dengan jemarinya secara kasual yang membuat Amanda sedikit tersentak."Bagus jika itu bisa membuatmu senang," ucap Amanda dengan nada manis namun terkesan sebaliknya."Tentu saja aku senang. Istriku mengalami proses pemulihan yang terbilang bagus, menga
Logan kemudian mendekat ke arah Francesca. "Bagaimana kau bisa kemari, Francesca? Maksudku, Amanda saat ini masih belum dapat ....""Menerima tamu lain selain keluarga maksudmu?" potong Francesca cepat. "Maaf, selain hanya mendengar sekilas kabar darimu, aku juga telah mendengar dari Mom. Ah, maksudku dari ibumu. Ia bahkan terlihat khawatir karena kau belum mengizinkannya untuk menjenguk menantunya. Maka dari itu, aku berinisiatif untuk datang kemari, karena Amanda juga telah seperti saudari bagiku, bukan?" ucap Francesca sambil tersenyum manis.Mendengar jawaban Francesca, Amanda seolah ingin tertawa dan meledak secara bersamaan. Ia diam-diam memutar kedua bola matanya dan tersenyum sinis saat berpikir bagaimana kemampuan akting Francesca yang bersikap manis itu membuatnya begitu muak. Terlebih saat ia mengingat lagi bagaimana sikap genit dan manja yang wanita itu lakukan pada Logan tempo lalu di hotel itu."Kau telah bertemu dengan Mom, rupanya." Logan mengangguk kecil walau masih d
Logan sesekali menatap Amanda yang memalingkan wajah darinya dan menatap ke arah jendela saat mereka dalam perjalanan pulang sore itu pada keesokan harinya.Edie, sopir pribadinya mengendarai mobil dengan kecepatan sedang dan berhati-hati ketika melintasi jalanan dalam perjalanan membawa istrinya kembali. Ia pun telah memerintahkan para pelayan di rumahnya untuk mempersiapkan kamar dengan peralatan khusus agar Amanda merasa nyaman dalam masa pemulihannya yang mungkin dapat memakan waktu beberapa minggu hingga bulan itu. Tak lupa, perawat profesional telah ia sewa selama masa pemulihan Amanda di rumah.Logan sejenak teringat lagi kemarin bagaimana Amanda menangis saat ia terbangun dari tidurnya di samping istrinya yang sudah terisak itu. "Aku ingin pulang sekarang," ucap Amanda kala itu ketika Logan mendapatinya menangis."Pulang? Mengapa? Apakah kau sudah tak nyaman di sini?" tanyanya sambil berpikir sejenak."Aku ingin pulang dan bertemu Andrew," jawab Amanda jujur.Ada jeda sejenak
Setelah Logan melepas sabuk pengaman Amanda, ia kemudian bergegas membuka pintu penumpang untuknya. Ia dengan sigap memposisikan dirinya dengan menyisipkan kedua lengannya di belakang tubuh Amanda yang masih setengah berbaring."Apa yang akan kau lakukan?" tanya Amanda waspada saat melihat gestur tubuh Logan yang bersiap untuk membopongnya. "Aku akan memakai kursi roda saja," lanjutnya defensif ketika tubuhnya menempel dengan posisi yang sempurna pada dada bidang Logan."Itu akan terlalu lama dan akan menimbulkan guncangan saat melewati permukaan terjal," balas Logan cepat.Hanya dalam hitungan detik, Logan kemudian berhasil mengeluarkan Amanda dengan hati-hati dari dalam van dan membopongnya dengan kedua lengan kokohnya seolah Amanda adalah benda rapuh yang ringan."Pegangan padaku jika kau tak ingin terjatuh," ucapnya lagi yang kemudian dilakukan dengan patuh oleh Amanda sembari mengalungkan kedua lengannya pada leher pria itu."Mommy! Mommy!" teriakan kegirangan dari Andrew saat Lo
Amanda telah rapi dan meminum obatnya saat beberapa waktu yang lalu sang putra bersiap berangkat ke sekolah bersama pengasuh dan sopir pribadi mereka pagi itu. Sebelum berangkat, Andrew menyempatkan diri untuk berpamitan dan menciumnya.Amanda dibantu dan dirawat oleh dua orang perawat pribadi yang dipekerjakan Logan. Mereka adalah Mery dan Angie, para perawat muda yang bertugas merawat pasien dalam masa pemulihan seperti dirinya."Apa istriku telah makan dan meminum obatnya?" tanya Logan yang saat itu masuk ke dalam kamar tidur utama di lantai satu kepada para perawat."Sudah, Tuan. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan rutin dan telah kami laporkan hasilnya pada dokter Bern. Perban yang lama pun telah kami ganti."Logan mengangguk dan menghampiri Amanda. Ia duduk di tepian ranjang dan meraih jemari Amanda yang tengah bersandar di kepala ranjang. "Apa yang sekarang kau rasakan?" tanyanya."Aku merasa baik. Nyeri di kepalaku pun telah berangsur mereda.""Baguslah, jika kau membutuhkan
"Ha ... halo, Nyonya Meredith," balas Amanda. Ia menahan kegugupannya dari aura menekan yang seolah sedang Meredith kirimkan padanya.Ada jeda sejenak dan rasa terkejut yang wanita itu perlihatkan saat Amanda membalas sapaannya. Jelas ia terlihat takjub sekaligus tak percaya saat mengamati Amanda ketika wanita itu memanggilnya dengan sebutan nyonya, seperti dahulu saat ia masih menjadi sekretaris putranya. Ia berbinar penuh dengan keingintahuan.Amanda sejenak berpikir, sudah benar memang keputusan Logan sebelumnya yang bersikeras untuk tak meminta siapa pun datang menjenguknya kecuali keluarganya. Yah, walau kedatangan Francesca kemarin tak masuk dalam rencananya, setidaknya ia tak harus melihat wajah ibu mertuanya saat ia masih berada di rumah sakit. Karena ia yakin, harinya pasti akan terasa buruk setelah kedatangan wanita itu."Oh, Sayang," balas Meredith kemudian.Entah raut wajah apa yang sedang Meredith tunjukkan. Namun, saat ini di mata Amanda, wanita itu sedang merasakan kebi
"Ko ... konyol?" Meredith sontak mengubah mimik wajahnya yang sebelumnya tampak tak terkontrol menjadi murka. Ia jelas sangat terkejut saat Amanda berani menjawabnya dan bahkan mengatainya konyol seolah tanpa ada rasa ketakutan mau pun rasa canggung seperti Amanda yang sebelumnya.Ada jeda sejenak setelah ia berhasil mengucapkan kata-katanya dan mengembuskan napasnya. "Oh, benar. Haha ... konyolnya aku, bukan? Haha!" balas Meredith kemudian seolah ia ikut menertawakan dirinya sendiri. Namun, diam-diam ia sedang berusaha menekan rasa keterkejutannya itu.Beberapa saat setelah tawa palsunya mereda, ia kemudian berkata, "Well, kau sudah memanggilku dengan sebutan mom secara kasual. Kurasa, itu awal yang bagus," lanjutnya lagi sambil menahan kegeramannya. "Jika kau sudah membaik, maka kurasa kita dapat kembali mengurus butik bersama-sama, bukan?" tanyanya."Butik? Butik apa?" tanya Amanda seolah tak mengerti, sementara ia mulai dapat membaca arah pembicaraan Meredith.Ia memang harus berp
"Apa maksudnya Anda memintaku untuk menemani perjalanan bisnis Anda? Mengapa?" ucap Bella sambil membetulkan letak kacamatanya dan menatap Liam tak percaya setelah pria di hadapannya itu mengutarakan maksudnya beberapa saat tadi."Ya, kau sudah mendengarnya, bukan? Aku akan ada perjalanan dinas selama seminggu untuk proyek baru perusahaan. Aku ingin kau ikut denganku karena kau adalah asistenku. Apakah ada yang salah?" tanyanya.Bella mengembuskan napasnya dengan sedikit keras. Ia kemudian melepas kacamatanya dan memijat tepat di pangkal tulang hidung, di antara kedua matanya tanda frustasi. "Begini, Tuan Liam, tidakkah Anda tahu benar apa inti dari pertanyaanku?"Dengan menahan kesalnya Bella kemudian meletakkan kacamatanya di atas meja kerjanya dan berdiri menghampiri bosnya itu agar dapat sejajar dengannya."Baru sebulan ini Anda menempatakanku di dalam ruangan yang sama dengan Anda dan mengajariku banyak hal untuk menjadi asisten pribadi yang profesional sesuai yang Anda mau. Tapi
"Apa yang sebenarnya telah kau lakukan hingga kau dapat mengambil posisi Iris?" tanya seorang pria berkacamata pada Isabella saat ia menghadap pada sekretaris Liam, pria yang bernama Peter itu.Seperti yang pernah ia dengar, Peter yang merupakan sekretaris sekaligus sahabat bos mereka itu tak terlalu ramah pada karyawan wanita. Dan sekarang memang terbukti karena pria itu terlihat sangat tegas. Pria bernama Peter yang lebih mengedepankan rasionalitas dan pekerjaan itu, terkenal sangat detail dan perfeksionis."Karena kurasa Iris melakukan kesalahan yang membuat Tuan Liam tak suka, kurasa," ucap Bella apa adanya.Peter menggeleng kecil dan mengembuskan napasnya."Dengar Nona Isabella, kulihat kau tak memiliki pengalaman sebagai seorang sekretaris mau pun asisten atau semacamnya. Entah kesalahan apa yang telah Iris perbuat hingga Liam menurunkannya. Tapi, karena kau adalah penggantinya, maka aku akan memperingatkanmu di awal sebelum terlambat. Jangan pernah mencoba mengacaukan pekerjaan
"Memang sungguh kasihan. Padahal ia masih muda. Jika aku menjadi dirinya, aku tak akan menyia-nyiakan begitu saja tubuh dan wajahku itu. Sungguh sayang sekali, bukan? Terlalu mencintai seseorang memang akan berakhir tragis saat tak bisa mendapatkannya." Walau tak berbicara dengan suara lantang, namun percakapan antara seorang wanita berkemeja biru pada lawan bicaranya, wanita berambut pendek berkemeja putih itu nyatanya terdengar juga di telinga seorang gadis yang sedang duduk di balik tembok penyangga di atas atap pada siang itu. "Bagus, aku malah mendengar gosip murahan di sini," gumam gadis itu sambil membuka kotak bekal makan siangnya. "Kupikir ini adalah tempat yang tenang." Gadis berkacamata itu memutuskan untuk tak menghiraukan obrolan dua karyawan lainnya yang ada di balik tembok. Ia dengan tenang kemudian mulai menyantap makanannya. "Ya, benar, bukan? Sungguh sangat disayangkan. Bos kita memiliki tubuh yang sangat bagus. Jika aku adalah wanita yang dicintainya, aku pasti a
Dua tahun kemudian ... "Selamat pada kalian, Tuan-Tuan, bayi kalian telah lahir dengan selamat dan sehat," ucap seorang perawat yang terlihat di dalam televisi layar lebar. Lalu, sorotan beralih pada dua orang pria gagah yang tengah berpelukan dengan haru setelah mendengar berita tersebut. "Lihat wajahmu," ucap Logan terkikik geli sambil menekan tombol berhenti pada televisi layar lebar miliknya yang ada di ruang santai itu. "Jangan mengejekku. Kau sendiri terlihat lucu dengan wajah itu. Tubuh besarmu pun rupanya tak mampu untuk tak bereaksi saat mereka memberi tahu kelahiran putrimu, kan?" balas Wade yang duduk di sebelahnya sambil mencomot keripik yang ada di hadapannya sambil tertawa kecil. Logan dan Wade kini sedang duduk sambil memangku putra dan putri mereka masing-masing. Ya, Jessi dan Amanda sama-sama telah melahirkan bayi mereka dalam waktu yang bersamaan dua tahun lalu. Dan kini, mereka sedang merayakan ulang tahun kedua bayi yang lahir bersamaan itu dengan santai di ked
Keesokan harinya ....Rupert yang memiliki wajah yang terlihat kusut, pagi itu datang ke kediaman Logan. Ia bersama putra dan menantunya kini telah duduk saling berhadapan. Amanda dan Logan sendiri pun sudah dapat mengerti apa yang sedang dirasakan pria itu hanya dengan melihat raut wajahnya yang muram."Jadi, kau memang mendatangi Patricia, benar? Karena itu Sammy menolak semuanya."Logan mengembuskan napasnya dan mengangguk. "Ya, Dad, aku memang mendatanginya.""Lalu mengapa ia memberikan sahamnya dengan namamu?" gumamnya frustasi."Itu karena ia tak ingin Sammy mengambil alih perusahaan Langdon. Bukankah kau juga tahu akan hal itu?" jawab Logan tenang."Tapi mengapa? Bukankah itu juga hal yang bagus untuk putranya?!" ucap Rupert seolah tak mengerti.Ucapan Rupert membuat Logan memicingkan matanya dan menatap Rupert tak suka. "Putranya? Kau kira kau hanya memiliki satu orang putra saja? Apakah kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan, Dad?" geramnya."Aku telah bersalah pada Patr
Ayolah, Sayang. Sampai kapan kau akan memasang wajah sebal padaku seperti ini? Bisakah kita tidur dengan damai tanpa kekesalan malam ini?" ucap Logan sambil memeluk sang istri dan mencium bahunya.Amanda yang kini sedang berbaring memunggunginya, tak menjawab bujukan Logan. Ia jelas masih merasa kesal sepulang kunjungan mereka dari dokter kandungan sejak mereka pulang sore tadi yang memang menyatakan dirinya telah hamil lima minggu."Apa kau tak merasa senang akan memiliki putri yang begitu cantik dengan perpaduan wajah seperti dirimu dan diriku, Sayang?" rajuk Logan lagi.Mau tak mau Amanda tersenyum geli. "Oh, please, kita bahkan belum tahu jenis kelamin bayi kita apa karena ia masih terlalu kecil.""Ah, kau sudah tersenyum. Itu lebih baik. Maafkan aku, Sayang. Jangan terlalu membenciku, ya?" Kali ini Logan membalikkan tubuh istrinya dan membelai wajahnya."Aku tak kesal karena memiliki bayi kita, tahu. Tapi aku kesal karena kau membohongiku!"ucap Amanda.Aku tahu, aku tahu, aku aka
Amanda, Logan, Sammy, dan Patricia kini telah duduk melingkar di sebuah meja yang berada di area taman belakang. Setelah Wade, Alan, dan pengacara Grey pergi, mereka meneruskan pembicaraan di dalam rumah. "Jadi, sekarang kau sudah mengerti mengapa aku melakukan ini, bukan?" ucap Patricia pada Sammy. "Sudah cukup aku berurusan dengan pria itu, Sammy. Aku ingin hidup tenang denganmu tanpa memikirkan apa pun. Karena itulah, aku menyerahkan Royal Triumph padamu setelah kau lulus dengan sekolah bisnismu dan kau mampu mengambil alih semuanya." "Jika masih ada harga diri yang tersisa dari diriku, itu adalah perusahaan kakekmu dan nama belakangmu. Aku tak menginginkan namamu menjadi Langdon karena itu tak akan mengubah apa pun. Henson adalah nama belakangmu sejak kau lahir dan akan seterusnya seperti itu." "Mengertilah, Sammy. Bisakah kali ini kau menghentikan semua dan melepaskan hal yang sia-sia itu? Karena aku sungguh-sungguh tak menginginkan untuk hidup bersama pria itu lagi. Tolong, a
"Apa? Menikah? Mereka berdua? Secepat ini?" ucap Logan tak percaya saat Amanda memberitahukan berita mengejutkan tentang rencana pernikahan Wade dan Jessi."Yap. Tiga hari lagi mereka akan mengadakan pernikahan sekaligus resepsi.""Wow, apa Jessi sedang ha ....""Hei!" potong Amanda cepat. "Memangnya kita? Ia tak sedang hamil. Walau ya, Wade memang menginginkan memiliki anak secepatnya. Mungkin karena itu akhirnya mereka mempertimbangkan untuk segera menikah.""Ck, mereka pandai memilih waktu yang sangat 'tepat' di saat-sat seperti ini!" gerutu Logan.Amanda tertawa kecil. "Tak apa. Kita bisa menyelesaikan masalah perusahaan setelah menghadiri pernikahan mereka sejenak. Kediaman Patricia juga tak terlalu jauh dari sana, bukan? Lagi pula, ia sudah seperti keluargaku sendiri. Tak mungkin jika aku tak hadir di pernikahan itu," ucap Amanda."Aku mengerti. Baiklah, kita memang harus tetap hadir di sana."****Tiga hari kemudian ...."Cantik sekali mempelai kita!" ucap Debora, ibu Amanda ke
Logan dan Amanda sama-sama berkutat pada pekerjaannya masing-masing di dalam ruang kerja, dari siang hingga sampai malam menjelang. Mereka begitu fokus karena harus mempersiapkan proposal dan rincian detail yang masing-masing nanti akan mereka gunakan untuk menarik dukungan dari para pemegang saham agar kedudukan Logan menguat untuk dapat menolak keputusan Rupert yang diusulkan secara sepihak tersebut."Logan, seperti yang kita duga, ternyata saham Tuan Baron telah ia jual dengan identitas pembeli yang masih belum diketahui karena tak tercantum dalam informasi," ucap Amanda sambil menyerahkan selembar berkas pada suaminya.Logan membetulkan letak kacamatanya dan meneliti berkas tersebut dengan serius. "Ya, kau benar. Aku akan mencari tahu."Logan kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia menekan sebuah nomor dan menanti panggilannya terjawab.Logan berbicara di teleponnya sekitar lima belas menit dengan seseorang yang ia hubungi sebelumnya. Pembicaraan yang serius rupanya berjalan baik. Ia