Logan mengembuskan napasnya perlahan seolah telah terbiasa memaklumi sikap ketus dan dingin istrinya. Ia tak bereaksi apa pun atau menunjukkan kesenduannya setiap kali Amanda bersikap kejam padanya. Ia hanya akan memakluminya dengan bersikap sabar.
"Benarkah? Tapi kulihat kau sudah jauh lebih cerah dan segar hari ini," balas Logan sambil tersenyum.
Ia kemudian memeriksa perban yang melekat di kepala Amanda. Perban yang sudah tak terlalu tebal dan banyak melilit bekas luka operasi istrinya itu, menandakan kepulihan Amanda yang terlihat cukup signifikan. Dalam hati ia merasa begitu puas.
"Bagus, lukamu pun sudah hampir mengering sepenuhnya. Bukankah itu hal yang bagus, Sayang?" Sambil berucap, Logan menyentuh perlahan wajah lembut Amanda dengan jemarinya secara kasual yang membuat Amanda sedikit tersentak.
"Bagus jika itu bisa membuatmu senang," ucap Amanda dengan nada manis namun terkesan sebaliknya.
"Tentu saja aku senang. Istriku mengalami proses pemulihan yang terbilang bagus, mengapa aku merasa tidak senang?" Logan kembali mengusap wajah Amanda dan tersenyum kecil.
"Hentikan menyentuhku, Tuan Logan," geram Amanda tertahan dan spontan saat lagi-lagi Logan menyentuhnya dengan kasual.
"Oh, bagus, tidak lagi," gumam Logan cepat. "Hentikanlah bersikap formal padaku, Amanda," tegasnya sambil menatap Amanda dengan sungguh-sungguh.
"Kita sudah menjadi suami istri sejak lima tahun yang lalu, kau tentu sudah tahu itu bukan? Bahkan tentang putra kita Andrew," ucapnya lagi.
"Tidak, maaf Tuan, aku tetap tak mengerti itu," ucap Amanda. Ia memalingkan wajahnya sekilas karena kedekatan pria itu sedikit membuatnya goyah. Terlebih, saat ia menyebut nama putranya.
"Logan. Panggil aku Logan, Sayang," ralat Logan. "Oh, ya Tuhan, jangan membuatku memulai menjelaskan semuanya lagi dan membuat kita melalui ini lagi dari awal. Aku bahkan masih tak dapat percaya dan belum dapat menerima dengan baik tentang amnesiamu. Terlebih, tentang pernikahan kita yang tak kau ingat. Tapi apa pun itu, aku akan bersabar hingga ingatanmu kembali pulih."
"Bagaimana jika aku tak dapat mengingat selamanya tentang itu?" ucap Amanda.
Logan menggeleng cepat. "Tolong jangan kau katakan itu. Kau pasti bisa mengingatnya. Kau bahkan telah bisa menerima Andrew, putra kita walau belum mengingatnya, bukan? Aku yakin kau akan bisa mengingat tentang kita. Tentangku."
"Bagaimana jika tidak?" tantang Amanda.
"Maka aku akan membuat ingatan dan kenangan yang baru lagi untuk kita," potong Logan cepat.
"Itu tak semudah yang dikatakan. Kita mungkin benar sudah menikah dan aku jelas bisa menerima Andrew karena ia adalah darah dagingku. Namun, aku tak yakin dengan pernikahan kita. Maka dari itu, apakah tidak sebaiknya kita ...."
"Hentikan." Logan memotong ucapan Amanda seolah sudah tahu dengan apa yang akan dikatakan istrinya itu. Ia meletakkan kedua jemarinya pada bibir Amanda sambil menatapnya sendu.
"Jangan katakan apa pun lagi mengenai perceraian atau semacamnya, Sayang. Kumohon," lanjutnya dengan sorot mengiba.
Amanda sesaat tertegun dan hanya dapat menelan ludahnya. Ia tak segera dapat membalas ucapan Logan. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang seketika berdebar tiap kali Logan memanggilnya dengan sebutan sayang yang akhir-akhir ini sering didengarnya. Diakuinya, walau itu memang membuatnya berdebar, tetapi itu juga sekaligus membuatnya merasa muak.
Amanda menggeleng kecil. Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tak terlena dan terjatuh dalam tatapan pria itu yang begitu mengiba. Ia sesaat sempat merasa goyah ketika Logan menatapnya dengan raut sendu yang menyedihkan. Namun, ia kembali mengeras saat mengingat lagi bagaimana Logan mengkhianatinya hingga membuatnya memutuskan untuk berpura-pura amnesia.
"Apakah kita saling mencintai?" tanya Amanda kemudian.
Logan yang sesaat tersentak, hanya mengerutkan bibirnya seolah hendak menahan apa pun yang hendak ia katakan. Ia sendiri tak mampu mengungkapkan jawaban pasti atas pertanyaan Amanda dan terlihat sedang berpikir keras.
"Lihat, kau bahkan tak dapat menjawabnya, bukan?" ucap Amanda lagi ketika Logan hanya membeku.
Logan mengembuskan napasnya dan menatap Amanda dengan dalam. "Hanya satu hal yang dapat kukatakan secara pasti saat ini. Kita tak akan bercerai atau berpisah. Tidak akan pernah. Jadi, jangan kau ungkit hal itu lagi," tegasnya. Baik Amanda mau pun Logan hanya saling tatap dalam diam.
Kemudian, tiba-tiba saja ketukan kecil yang terdengar seketika meredakan keheningan yang tercipta di antara mereka. Baik Logan mau pun Amanda sama-sama mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu masuk secara bersamaan.
"Hai, bolehkah aku masuk?" Sapaan dan senyuman khas terlontar dari bibir merah merekah yang dimiliki oleh seorang wanita pirang ketika ia melongokkan kepalanya ke dalam ruangan itu setelah membuka pintu. Ya, ia adalah Francesca.
"Francesca?" ucap Logan terkejut saat wanita itu mulai masuk ke dalam kamar VIP tersebut setelah menutup pintu di belakangnya.
"Hai, Logan, aku hanya ingin melihat kondisi Amanda. Teganya kau menahanku selama dua minggu ini untuk menjenguknya," ucap Francesca. Ia kemudian mendekat ke arah pria gagah yang berkemeja biru itu, mencium kedua pipinya, dan mengusap lengan pria itu dengan kasual.
Entah mengapa, pemandangan kecil yang tak luput dari pengamatan Amanda itu membuatnya merasa mual dan muak. Sejenak, ia memikirkan dan teringat lagi ketika bagaimana mereka berdua terlihat masuk ke dalam sebuah hotel saat kecelakaannya terjadi tempo lalu. Dan itu membuatnya seketika ingin meledak.
"Pasangan berengsek!" geramnya gemas dalam lirihnya.
Francesca kemudian mulai menatapnya setelah 'menyapa' Logan. Dalam jarak yang tak terlalu jauh, Amanda dapat mencium aroma parfum yang ia kenal betul yang merupakan parfum favorit Francesca.
Ia masih hapal merk dan aroma tersebut karena dulu saat ia masih menjadi sekretaris Logan, ia pernah menyiapkan kado ulang tahun untuk wanita itu saat pria itu memerintahkannya untuk mengirimkan hadiah tersebut pada Francesca saat ia masih menjadi kekasihnya dahulu. Dan itu, kini masih membuatnya mual setiap kali ia mencium aroma parfum mantan kekasih Logan itu.
"Hai, Amanda, bagaimana keadaanmu?" ucap Francesca sambil tersenyum pada Amanda dengan raut cerah yang manis. Wajah cantiknya menatap Amanda penuh arti.
____****____
Logan kemudian mendekat ke arah Francesca. "Bagaimana kau bisa kemari, Francesca? Maksudku, Amanda saat ini masih belum dapat ....""Menerima tamu lain selain keluarga maksudmu?" potong Francesca cepat. "Maaf, selain hanya mendengar sekilas kabar darimu, aku juga telah mendengar dari Mom. Ah, maksudku dari ibumu. Ia bahkan terlihat khawatir karena kau belum mengizinkannya untuk menjenguk menantunya. Maka dari itu, aku berinisiatif untuk datang kemari, karena Amanda juga telah seperti saudari bagiku, bukan?" ucap Francesca sambil tersenyum manis.Mendengar jawaban Francesca, Amanda seolah ingin tertawa dan meledak secara bersamaan. Ia diam-diam memutar kedua bola matanya dan tersenyum sinis saat berpikir bagaimana kemampuan akting Francesca yang bersikap manis itu membuatnya begitu muak. Terlebih saat ia mengingat lagi bagaimana sikap genit dan manja yang wanita itu lakukan pada Logan tempo lalu di hotel itu."Kau telah bertemu dengan Mom, rupanya." Logan mengangguk kecil walau masih d
Logan sesekali menatap Amanda yang memalingkan wajah darinya dan menatap ke arah jendela saat mereka dalam perjalanan pulang sore itu pada keesokan harinya.Edie, sopir pribadinya mengendarai mobil dengan kecepatan sedang dan berhati-hati ketika melintasi jalanan dalam perjalanan membawa istrinya kembali. Ia pun telah memerintahkan para pelayan di rumahnya untuk mempersiapkan kamar dengan peralatan khusus agar Amanda merasa nyaman dalam masa pemulihannya yang mungkin dapat memakan waktu beberapa minggu hingga bulan itu. Tak lupa, perawat profesional telah ia sewa selama masa pemulihan Amanda di rumah.Logan sejenak teringat lagi kemarin bagaimana Amanda menangis saat ia terbangun dari tidurnya di samping istrinya yang sudah terisak itu. "Aku ingin pulang sekarang," ucap Amanda kala itu ketika Logan mendapatinya menangis."Pulang? Mengapa? Apakah kau sudah tak nyaman di sini?" tanyanya sambil berpikir sejenak."Aku ingin pulang dan bertemu Andrew," jawab Amanda jujur.Ada jeda sejenak
Setelah Logan melepas sabuk pengaman Amanda, ia kemudian bergegas membuka pintu penumpang untuknya. Ia dengan sigap memposisikan dirinya dengan menyisipkan kedua lengannya di belakang tubuh Amanda yang masih setengah berbaring."Apa yang akan kau lakukan?" tanya Amanda waspada saat melihat gestur tubuh Logan yang bersiap untuk membopongnya. "Aku akan memakai kursi roda saja," lanjutnya defensif ketika tubuhnya menempel dengan posisi yang sempurna pada dada bidang Logan."Itu akan terlalu lama dan akan menimbulkan guncangan saat melewati permukaan terjal," balas Logan cepat.Hanya dalam hitungan detik, Logan kemudian berhasil mengeluarkan Amanda dengan hati-hati dari dalam van dan membopongnya dengan kedua lengan kokohnya seolah Amanda adalah benda rapuh yang ringan."Pegangan padaku jika kau tak ingin terjatuh," ucapnya lagi yang kemudian dilakukan dengan patuh oleh Amanda sembari mengalungkan kedua lengannya pada leher pria itu."Mommy! Mommy!" teriakan kegirangan dari Andrew saat Lo
Amanda telah rapi dan meminum obatnya saat beberapa waktu yang lalu sang putra bersiap berangkat ke sekolah bersama pengasuh dan sopir pribadi mereka pagi itu. Sebelum berangkat, Andrew menyempatkan diri untuk berpamitan dan menciumnya.Amanda dibantu dan dirawat oleh dua orang perawat pribadi yang dipekerjakan Logan. Mereka adalah Mery dan Angie, para perawat muda yang bertugas merawat pasien dalam masa pemulihan seperti dirinya."Apa istriku telah makan dan meminum obatnya?" tanya Logan yang saat itu masuk ke dalam kamar tidur utama di lantai satu kepada para perawat."Sudah, Tuan. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan rutin dan telah kami laporkan hasilnya pada dokter Bern. Perban yang lama pun telah kami ganti."Logan mengangguk dan menghampiri Amanda. Ia duduk di tepian ranjang dan meraih jemari Amanda yang tengah bersandar di kepala ranjang. "Apa yang sekarang kau rasakan?" tanyanya."Aku merasa baik. Nyeri di kepalaku pun telah berangsur mereda.""Baguslah, jika kau membutuhkan
"Ha ... halo, Nyonya Meredith," balas Amanda. Ia menahan kegugupannya dari aura menekan yang seolah sedang Meredith kirimkan padanya.Ada jeda sejenak dan rasa terkejut yang wanita itu perlihatkan saat Amanda membalas sapaannya. Jelas ia terlihat takjub sekaligus tak percaya saat mengamati Amanda ketika wanita itu memanggilnya dengan sebutan nyonya, seperti dahulu saat ia masih menjadi sekretaris putranya. Ia berbinar penuh dengan keingintahuan.Amanda sejenak berpikir, sudah benar memang keputusan Logan sebelumnya yang bersikeras untuk tak meminta siapa pun datang menjenguknya kecuali keluarganya. Yah, walau kedatangan Francesca kemarin tak masuk dalam rencananya, setidaknya ia tak harus melihat wajah ibu mertuanya saat ia masih berada di rumah sakit. Karena ia yakin, harinya pasti akan terasa buruk setelah kedatangan wanita itu."Oh, Sayang," balas Meredith kemudian.Entah raut wajah apa yang sedang Meredith tunjukkan. Namun, saat ini di mata Amanda, wanita itu sedang merasakan kebi
"Ko ... konyol?" Meredith sontak mengubah mimik wajahnya yang sebelumnya tampak tak terkontrol menjadi murka. Ia jelas sangat terkejut saat Amanda berani menjawabnya dan bahkan mengatainya konyol seolah tanpa ada rasa ketakutan mau pun rasa canggung seperti Amanda yang sebelumnya.Ada jeda sejenak setelah ia berhasil mengucapkan kata-katanya dan mengembuskan napasnya. "Oh, benar. Haha ... konyolnya aku, bukan? Haha!" balas Meredith kemudian seolah ia ikut menertawakan dirinya sendiri. Namun, diam-diam ia sedang berusaha menekan rasa keterkejutannya itu.Beberapa saat setelah tawa palsunya mereda, ia kemudian berkata, "Well, kau sudah memanggilku dengan sebutan mom secara kasual. Kurasa, itu awal yang bagus," lanjutnya lagi sambil menahan kegeramannya. "Jika kau sudah membaik, maka kurasa kita dapat kembali mengurus butik bersama-sama, bukan?" tanyanya."Butik? Butik apa?" tanya Amanda seolah tak mengerti, sementara ia mulai dapat membaca arah pembicaraan Meredith.Ia memang harus berp
Amanda merasa begitu bahagia dan tenang sepanjang hari setelah ia berhasil membuat ibu mertuanya kesal dan pergi begitu saja dari rumah pagi tadi. Namun, ia yang tengah berbunga itu, malamnya harus merasa sedikit kesal karena lagi-lagi Logan memutuskan untuk ikut tidur seranjang dengannya dan Andrew saat waktu istirahat tiba.Setelah putranya puas bermanja dan bercengkerama bahagia dengannya, kini Andrew yang telah lelah akhirnya dapat tertidur di sampingnya juga. Amanda dengan bahagia mengusap wajah lembut dan rambut halus putranya itu sementara ia sedang terlelap. Jika telah begitu, ia merasa tak ada yang dibutuhkannya lagi karena merasa begitu tenang."Kapan kau akan memulai fisioterapimu? Jika keadaanmu telah memungkinkan, aku akan mengatur jadwal dan mempersiapkan ruangan yang bisa kau gunakan," ucap Logan lembut sambil ikut membelai kepala sang putra."Seharusnya ruang area olah raga kita cukup untuk itu, bukan?" lanjut Logan."Ya, terserah padamu. Kurasa aku hanya memerlukan te
Logan mengerjap dan menatap Amanda dengan heran. Ia bahkan sempat menghentikan aktivitasnya karena terkejut dengan ucapan Amanda yang mengatainya mesum. "Me .. Mesum? Apa yang kau katakan tadi? Mengapa kau mengatai suamimu sendiri dengan sebutan mesum?" Ia masih mengerjap-ngerjapkan kedua matanya karena tak menyangka reaksi Amanda yang bisa mengatainya itu." Ya. Kau mesum karena kau selalu menyentuhku saat dekat denganku!" protes Amanda. "Kau tidak seharusnya bersikap seperti ini, Logan!" tegasnya lagi. Logan kemudian memicingkan kedua matanya. Bukan karena amarah, namun lebih ke merasa heran. "Wah, kau sungguh keterlaluan, Sayang. Benarkah itu yang kau pikirkan tentangku? Tentang suamimu sendiri?" tanyanya sambil mengerutkan alisnya."Tunggu ... tapi, memangnya seperti apa seharusnya sikapku padamu? Dan mengapa aku tak boleh menyentuh istriku sendiri?" Tatapan curiga mulai Logan perlihatkan pada Amanda, dan itu sukses membuat Amanda tertegun.Amanda kemudian mengutuk dirinya dalam
"Apa maksudnya Anda memintaku untuk menemani perjalanan bisnis Anda? Mengapa?" ucap Bella sambil membetulkan letak kacamatanya dan menatap Liam tak percaya setelah pria di hadapannya itu mengutarakan maksudnya beberapa saat tadi."Ya, kau sudah mendengarnya, bukan? Aku akan ada perjalanan dinas selama seminggu untuk proyek baru perusahaan. Aku ingin kau ikut denganku karena kau adalah asistenku. Apakah ada yang salah?" tanyanya.Bella mengembuskan napasnya dengan sedikit keras. Ia kemudian melepas kacamatanya dan memijat tepat di pangkal tulang hidung, di antara kedua matanya tanda frustasi. "Begini, Tuan Liam, tidakkah Anda tahu benar apa inti dari pertanyaanku?"Dengan menahan kesalnya Bella kemudian meletakkan kacamatanya di atas meja kerjanya dan berdiri menghampiri bosnya itu agar dapat sejajar dengannya."Baru sebulan ini Anda menempatakanku di dalam ruangan yang sama dengan Anda dan mengajariku banyak hal untuk menjadi asisten pribadi yang profesional sesuai yang Anda mau. Tapi
"Apa yang sebenarnya telah kau lakukan hingga kau dapat mengambil posisi Iris?" tanya seorang pria berkacamata pada Isabella saat ia menghadap pada sekretaris Liam, pria yang bernama Peter itu.Seperti yang pernah ia dengar, Peter yang merupakan sekretaris sekaligus sahabat bos mereka itu tak terlalu ramah pada karyawan wanita. Dan sekarang memang terbukti karena pria itu terlihat sangat tegas. Pria bernama Peter yang lebih mengedepankan rasionalitas dan pekerjaan itu, terkenal sangat detail dan perfeksionis."Karena kurasa Iris melakukan kesalahan yang membuat Tuan Liam tak suka, kurasa," ucap Bella apa adanya.Peter menggeleng kecil dan mengembuskan napasnya."Dengar Nona Isabella, kulihat kau tak memiliki pengalaman sebagai seorang sekretaris mau pun asisten atau semacamnya. Entah kesalahan apa yang telah Iris perbuat hingga Liam menurunkannya. Tapi, karena kau adalah penggantinya, maka aku akan memperingatkanmu di awal sebelum terlambat. Jangan pernah mencoba mengacaukan pekerjaan
"Memang sungguh kasihan. Padahal ia masih muda. Jika aku menjadi dirinya, aku tak akan menyia-nyiakan begitu saja tubuh dan wajahku itu. Sungguh sayang sekali, bukan? Terlalu mencintai seseorang memang akan berakhir tragis saat tak bisa mendapatkannya." Walau tak berbicara dengan suara lantang, namun percakapan antara seorang wanita berkemeja biru pada lawan bicaranya, wanita berambut pendek berkemeja putih itu nyatanya terdengar juga di telinga seorang gadis yang sedang duduk di balik tembok penyangga di atas atap pada siang itu. "Bagus, aku malah mendengar gosip murahan di sini," gumam gadis itu sambil membuka kotak bekal makan siangnya. "Kupikir ini adalah tempat yang tenang." Gadis berkacamata itu memutuskan untuk tak menghiraukan obrolan dua karyawan lainnya yang ada di balik tembok. Ia dengan tenang kemudian mulai menyantap makanannya. "Ya, benar, bukan? Sungguh sangat disayangkan. Bos kita memiliki tubuh yang sangat bagus. Jika aku adalah wanita yang dicintainya, aku pasti a
Dua tahun kemudian ... "Selamat pada kalian, Tuan-Tuan, bayi kalian telah lahir dengan selamat dan sehat," ucap seorang perawat yang terlihat di dalam televisi layar lebar. Lalu, sorotan beralih pada dua orang pria gagah yang tengah berpelukan dengan haru setelah mendengar berita tersebut. "Lihat wajahmu," ucap Logan terkikik geli sambil menekan tombol berhenti pada televisi layar lebar miliknya yang ada di ruang santai itu. "Jangan mengejekku. Kau sendiri terlihat lucu dengan wajah itu. Tubuh besarmu pun rupanya tak mampu untuk tak bereaksi saat mereka memberi tahu kelahiran putrimu, kan?" balas Wade yang duduk di sebelahnya sambil mencomot keripik yang ada di hadapannya sambil tertawa kecil. Logan dan Wade kini sedang duduk sambil memangku putra dan putri mereka masing-masing. Ya, Jessi dan Amanda sama-sama telah melahirkan bayi mereka dalam waktu yang bersamaan dua tahun lalu. Dan kini, mereka sedang merayakan ulang tahun kedua bayi yang lahir bersamaan itu dengan santai di ked
Keesokan harinya ....Rupert yang memiliki wajah yang terlihat kusut, pagi itu datang ke kediaman Logan. Ia bersama putra dan menantunya kini telah duduk saling berhadapan. Amanda dan Logan sendiri pun sudah dapat mengerti apa yang sedang dirasakan pria itu hanya dengan melihat raut wajahnya yang muram."Jadi, kau memang mendatangi Patricia, benar? Karena itu Sammy menolak semuanya."Logan mengembuskan napasnya dan mengangguk. "Ya, Dad, aku memang mendatanginya.""Lalu mengapa ia memberikan sahamnya dengan namamu?" gumamnya frustasi."Itu karena ia tak ingin Sammy mengambil alih perusahaan Langdon. Bukankah kau juga tahu akan hal itu?" jawab Logan tenang."Tapi mengapa? Bukankah itu juga hal yang bagus untuk putranya?!" ucap Rupert seolah tak mengerti.Ucapan Rupert membuat Logan memicingkan matanya dan menatap Rupert tak suka. "Putranya? Kau kira kau hanya memiliki satu orang putra saja? Apakah kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan, Dad?" geramnya."Aku telah bersalah pada Patr
Ayolah, Sayang. Sampai kapan kau akan memasang wajah sebal padaku seperti ini? Bisakah kita tidur dengan damai tanpa kekesalan malam ini?" ucap Logan sambil memeluk sang istri dan mencium bahunya.Amanda yang kini sedang berbaring memunggunginya, tak menjawab bujukan Logan. Ia jelas masih merasa kesal sepulang kunjungan mereka dari dokter kandungan sejak mereka pulang sore tadi yang memang menyatakan dirinya telah hamil lima minggu."Apa kau tak merasa senang akan memiliki putri yang begitu cantik dengan perpaduan wajah seperti dirimu dan diriku, Sayang?" rajuk Logan lagi.Mau tak mau Amanda tersenyum geli. "Oh, please, kita bahkan belum tahu jenis kelamin bayi kita apa karena ia masih terlalu kecil.""Ah, kau sudah tersenyum. Itu lebih baik. Maafkan aku, Sayang. Jangan terlalu membenciku, ya?" Kali ini Logan membalikkan tubuh istrinya dan membelai wajahnya."Aku tak kesal karena memiliki bayi kita, tahu. Tapi aku kesal karena kau membohongiku!"ucap Amanda.Aku tahu, aku tahu, aku aka
Amanda, Logan, Sammy, dan Patricia kini telah duduk melingkar di sebuah meja yang berada di area taman belakang. Setelah Wade, Alan, dan pengacara Grey pergi, mereka meneruskan pembicaraan di dalam rumah. "Jadi, sekarang kau sudah mengerti mengapa aku melakukan ini, bukan?" ucap Patricia pada Sammy. "Sudah cukup aku berurusan dengan pria itu, Sammy. Aku ingin hidup tenang denganmu tanpa memikirkan apa pun. Karena itulah, aku menyerahkan Royal Triumph padamu setelah kau lulus dengan sekolah bisnismu dan kau mampu mengambil alih semuanya." "Jika masih ada harga diri yang tersisa dari diriku, itu adalah perusahaan kakekmu dan nama belakangmu. Aku tak menginginkan namamu menjadi Langdon karena itu tak akan mengubah apa pun. Henson adalah nama belakangmu sejak kau lahir dan akan seterusnya seperti itu." "Mengertilah, Sammy. Bisakah kali ini kau menghentikan semua dan melepaskan hal yang sia-sia itu? Karena aku sungguh-sungguh tak menginginkan untuk hidup bersama pria itu lagi. Tolong, a
"Apa? Menikah? Mereka berdua? Secepat ini?" ucap Logan tak percaya saat Amanda memberitahukan berita mengejutkan tentang rencana pernikahan Wade dan Jessi."Yap. Tiga hari lagi mereka akan mengadakan pernikahan sekaligus resepsi.""Wow, apa Jessi sedang ha ....""Hei!" potong Amanda cepat. "Memangnya kita? Ia tak sedang hamil. Walau ya, Wade memang menginginkan memiliki anak secepatnya. Mungkin karena itu akhirnya mereka mempertimbangkan untuk segera menikah.""Ck, mereka pandai memilih waktu yang sangat 'tepat' di saat-sat seperti ini!" gerutu Logan.Amanda tertawa kecil. "Tak apa. Kita bisa menyelesaikan masalah perusahaan setelah menghadiri pernikahan mereka sejenak. Kediaman Patricia juga tak terlalu jauh dari sana, bukan? Lagi pula, ia sudah seperti keluargaku sendiri. Tak mungkin jika aku tak hadir di pernikahan itu," ucap Amanda."Aku mengerti. Baiklah, kita memang harus tetap hadir di sana."****Tiga hari kemudian ...."Cantik sekali mempelai kita!" ucap Debora, ibu Amanda ke
Logan dan Amanda sama-sama berkutat pada pekerjaannya masing-masing di dalam ruang kerja, dari siang hingga sampai malam menjelang. Mereka begitu fokus karena harus mempersiapkan proposal dan rincian detail yang masing-masing nanti akan mereka gunakan untuk menarik dukungan dari para pemegang saham agar kedudukan Logan menguat untuk dapat menolak keputusan Rupert yang diusulkan secara sepihak tersebut."Logan, seperti yang kita duga, ternyata saham Tuan Baron telah ia jual dengan identitas pembeli yang masih belum diketahui karena tak tercantum dalam informasi," ucap Amanda sambil menyerahkan selembar berkas pada suaminya.Logan membetulkan letak kacamatanya dan meneliti berkas tersebut dengan serius. "Ya, kau benar. Aku akan mencari tahu."Logan kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia menekan sebuah nomor dan menanti panggilannya terjawab.Logan berbicara di teleponnya sekitar lima belas menit dengan seseorang yang ia hubungi sebelumnya. Pembicaraan yang serius rupanya berjalan baik. Ia