Pernah memiliki suami yang berzina dengan orang lain itu sakit rasanya. Aku sering bertanya, apa yang salah? Kenapa sampai begitu? Sebelah mana yang kurang? Kok bisa sampai melakukan dosa padahal yang halal ada. Kata Bang Rasya itu terjadi karena orangnya saja yang brengsek, akan tetapi bagiku itu tetaplah pembelajaran. Sebagai seorang istri aku harus berusaha maksimal dalam melayani, selepas dari itu terserah takdir membawa ke mana. "Terima kasih, Comel." Bang Rasya mencium kening dan aku memeluknya semakin erat. Dering ponsel berbunyi di samping tempat tidur. Bang Rasya meraihnya dengan tangan kiri dan segera mengangkat. "Hello, Aldo." "Awak email saja nanti saya cek." "Oke ... oke ... it's oke no problem." "Ada kerja." Bang Rasya beringsut dan langsung ke kamar mandi. Setelah bersih dia memakai pakaian dan sibuk di depan laptopnya. Sampai malam larut dia tak beranjak lagi. Esok paginya kami langsung berbenah. Bang Rasya bilang kalau kerjaan di kantornya sudah menumpuk. Renc
Rumah ini mungkin luasnya dua kali lapangan bola, alias satu hektar. Dari gerbang utama ke pintu kemudian ke taman belakang itu panjang sekali. Rumah memiliki tiga bangunan. Tengah, samping kanan dan samping kiri. Entah mengapa Abang punya rumah sebesar ini. Kamar pun banyak yang tidak terisi. "Iki ...." Aku berlari menghampiri anak lelaki yang sedang main loncat-loncat itu. Baby sitter duduk tak jauh darinya. Aku langsung bermain dengan Zikri melepas kerinduan sampai cukup lama. Sulastri berjalan ke sini. "Nyonya muda, dipanggil Tuan Muda." "Apa-apaan sih kamu, Lastri." Aku tersenyum geli. Bisa saja dia. "Sekarang kan sudah jadi nyonya rumah ini." "Sama saja. Di mana dia?" "Di kamar. Ahay." Sulastri mengedipkan sebelah mata. "Dasar ya kamu." Aku segera menemui Abang dengan menggendong Zikri. Menuju kamar di lantai dua sebelah kanan. Aku sering beres-beres rumah, tapi tidak tahu seperti apa kamar Abang. Aku mengetuk pintu dengan perasaan aneh. Sepertinya darah TKW sudah mend
Pulang Kampung 30 Bang Rasya terpejam lelap. Napasnya teratur, dada naik turun. Lelah mungkin, tiga hari kami banyak menghabiskan waktu di jalan. Dari kampung-ke Aceh-ke Malaysia. Apa lagi semalam dia kerja sampai larut. Aku menutup pintu kamar dengan pelan. Berdiri di balkon sambil memainkan ponsel. Baru ingat, aku belum mengabari ibu dan bapak di kampung. Mana kami berpisah dalam keadaan kacau pula. Aku menekan panggilan keluar. Menyatukan ponsel dengan telinga. Beberapa detik menunggu. Lalu suara bapak pun terdengar. "Lina?" "Ya, Pak. Lina sudah sampai Malaysia." "Alhamdulillah." "Bagaimana bapak ibu di kampung? Shena tidak cari gara-gara lagi kan?" Bapak terdengar menghela napas. Lalu suara ibu juga terdengar tapi tak jelas bicara apa. "Lina," ucap suara Ibu. "Ya, Bu." "Ibu dan bapak malu sekarang buat keluar rumah. Muka sudah seperti dilulur tai kebo. Shena memalukan, benar-benar memalukan," keluh ibu. "Kenapa lagi dia, Bu?" Aku hanya menggeleng miris ketika ibu berc
Paginya, Suamiku berdandan rapi. Penampilan ini yang aku sukai. Dia memakai kemeja yang pas di badan. Lalu memasang dasi. "Bisa, tak, Adik pakaikan." Aku coba membuat simpul, seperti dulu waktu sekolah. "Bukan begitu, Comel." "Dulu waktu saya sekolah begini kok." "Bukan." Dia melihat cermin dan memakai dasinya sendiri. "Hari ini Abang tugaskan awak belajar simpul dasi. Understand?" "Siap." Setelah memasang dasi, Bang Rasya memakai rompi. Mengambil jas dan menenteng tas. Dia memberikan dua benda itu lalu kami turun. Sarapan beberapa suap saja. Lalu beranjak ke depan rumah. Dia meminta dipakaikan jas. Segera kupakaikan dan memastikannya rapi. "Baik-baik di rumah, Comel. Bila nak pergi awak minta bantu Satria. Dia belum punya lesen jadi awak naik taxi je, but harus dengan penjaga awak. Oke?" Abang mencium kening. "Oke, Abang." Pria keren ini masuk ke mobil dua pintu. Mesinnya menyala, lalu atapnya terbuka. Bang Rasya memakai kacamata hitam. "Assalamualaikum." Mobil keren itu m
Resepsionis melihat aku dan Satria secara bergantian. Lalu gadis ber-name tag Soraya itu mengangkat telepon. “Ya, Mr ... “Ya ... “I’m sorry, Mr ... “Oke ... “ya ....” Ekspresi wajah Soraya langsung berubah pucat. Satria mengangkat dagu semakin pongah. Gadis itu berbisik dengan temannya, lalu mereka keluar dari meja resepsionis dengan menunduk. “I’m sorry. Kami tak tahu bila Miss istri Mr. Rasya.” Mereka membungkuk di depanku. “Tidak apa-apa.” “Mari saya antar," kata salah satu di antara mereka. Gadis yang ternyata sangat manis itu mempersilahkan, lalu aku berjalan ke arah yang dia tunjuk. Masuk ke elevator. Satria mengikuti, terus berdiri di belakangku. Gadis dengan rok span di atas lutut ini menekan tombol angka sepuluh. Elevator pun naik. Aku langsung di antarkan ke meja sekretarisnya Bang Rasya. Kupikir sekretaris harus perempuan, ternyata ada laki-laki juga. “Mr. Kelvin, Miss ini istrinya Mr. Arasya,” kata Soraya pada laki-laki berjas itu. “Oke thanks, you boleh balik
Aku memeluk Bang Rasya dari belakang. Menyimpan wajah di atas pundaknya. Pria harum ini melirik. "Apa, Comel?" Dia memegang lenganku yang melingkar di lehernya. "Sibuk?" Aku melihat komputernya yang terus menyala. Jam sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam tapi Abang masih betah di ruang kerjanya. "Masih ada sikit kerja. Why?" Telapak tangannya menempel di pipiku. "Saya nak pakai cadar. Boleh?" Abang tak langsung menjawab. Dia menghela napas dua kali lalu memutar kursi. Otomatis aku melepas pelukan. Tangannya melingkar di pinggang dan dia melihat lekat. "Kenapa mendadak nak pakai cadar?" Aku menceritakan kejadian di lift tadi. Intinya aku tidak mau wajahku dinilai orang lain. Menjadi istri Teuku Arasya tidak semudah yang kubayangkan. Dia lelaki yang nyaris sempurna, orang-orang menuntut wanita sempurna yang ada di sampingnya. "Bukannya tak boleh. Tapi apa adik sudah pertimbangkan segalanya? Pakai cadar pun tak mudah. Negeri ni mayoritas muslim tak pakai cadar. Bila adik ke
Abang naik ke atas panggung. Menghentikan grup band yang sedang bernyanyi. Lalu mengambil mikrofon. Tak sampai sana, pria bertubuh sempurna itu mengambil satu kursi dan menyimpannya di tengah panggung. Sontak semua mata melihat padanya. Entah apa yang mau dia lakukan. Abang duduk di kursi itu dengan santainya. Mendekatkan mik ke mulut dan bersilang kaki. "Oke. I just wanna tell you all. Apa yang buat saya memilih Alina tuk menjadi istri saya. Ada yang nak mendengarkan cerita saya?" Dia mengangkat alis dan tersenyum. Orang-orang yang tadinya berdiri jadi duduk. "Tak sah terlalu serious. Kalian nak makan, makan lah. Nak minum, minum lah. Saya hanya nak cakap santai je." "Pasti awak semua penasaran. Kenapa saya menikahi Alina, memilih Alina jadi istri saya. Apa profesi dia? Apa spesialnya dia? Di mana kami berjumpa? Akan saya ceritakan. Karna ini sungguh unik." Semua orang mulai tertarik mendengar perkataan Bang Rasya. Tak ada satu mata pun yang tak melihat padanya. "Alina is a T
"Saya Teuku Arasya. Owner kat sini. Seseorang yang mungkin kalian lihat saya orang yang amazing. Tapi saya pilih Alina seorang TKW. Please jangan rendahkan istri saya, karena saya orang yang paling bisa merendahkan. Jangan bicara buruk karna saya bisa bicara lebih buruk dari kalian. Jadi please, jaga bicara kalian. Maka saya akan jaga bicara saya." Kelvin orang yang pertama tepuk tangan. Diikuti Umma, lalu wanita tadi, kemudian para asisten. Pada akhirnya semua tepuk tangan. Dengan gaya santai dan berkelasnya itu dia mengembalikan mikrofon pada vokalis band. Menyimpan kursi pada tempat semula. Lalu berjalan dan berhenti tepat di hadapanku. Di antara semua orang yang duduk, hanya dia yang berdiri. Mendaratkan kecupan di keningku, lalu pipi kanan dan kiri. Lalu dia mau mengecup bibir tapi aku mendorong wajahnya. Dan semua orang pun tertawa. Ketika tak ada orang yang peduli bagaimana perihnya hatiku, saat aku bahkan tidak punya alasan untuk hidup. Umma hadir bak malaikat yang mengepa