Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
"Siapa yang menghamili kamu Shena. JAWAB!" Bapak berdiri dengan bertolak pinggang, matanya melotot tajam, napasnya naik turun cepat tak beraturan.Adikku yang duduk di hadapan bapak hanya menangis sambil geleng-geleng. Dia bungkam seribu bahasa. Wajah cantiknya tertutup rambut bercampur air mata."Kubunuh kau kalau tak mau bicara! Bisa-bisanya kau hacurkan nama baik keluarga." Bapak pergi ke dapur dan kembali dengan sebilah golok di tangan kanannya.Aku dan ibu teriak histeris, kami langsung menghadang bapak agar tidak sampai melukai Shena. Aku memeluk kaki bapak dan ibu memeluk dada bapak."Sabar, Pak. Sabar." Ibu menangis."Awas, Bu. Biar kubunuh dia. Mencoreng nama orang tua saja bisanya." Bapak masih naik pitam."Sabar, Pak. Dia anak kita.""Tak sudi aku punya anak seperti dia." Bapak mengacungkan golok."Shena, bicara, Shena. Ngomong, Dik. Siapa yang menghamili kamu?" Aku ikut bicara, sungguh aku takut bapak berbuat yang tidak-tidak.Shena semakin keras menangisnya. Lalu dia meny
Pov WisnuApa kamu pernah khilaf dan melakukan dosa besar? Meski sadar itu salah tapi tetap dilakukan. Hingga saat dosa itu menguap ke permukaan kehidupanmu berubah seketika.Aku pernah. Pernah lupa diri lalu menyesal yang teramat dalam. Sampai menyalahkan diri setiap hari.Hari itu aku mencari Alina (istriku) di rumah. Kupanggil dia berkali-kali tapi tidak ada."Sayang... Dik... Abang pulang... Dik..." Aku mencarinya ke kamar, ke dapur dan dia tidak ada. Mungkin ke rumah ibu atau ke rumah Shena, memang biasanya di sana lah dia berlama-lama.Aku langsung mandi dan berganti pakaian. Lalu segera mengendarai motor untuk bertolak ke rumah ibu. Pernikahan kami berlangsung selama tiga tahun, tapi belum dikaruniai seorang anak. Tak mengapa, itu pasti ada saatnya. Aku malah bahagia karena kami bisa bulan madu berlama-lama.Aku adalah guru olahraga di salah satu SMA. Siang tadi baru saja mengajarkan murid kelas dua belas berenang. Pemandangan anak remaja yang indah di pandang mata membuat tubu
Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.Orang yang tidak ingin kutemui malah pertama terlihat.Aku mundur beberapa langkah. Hal yang manis dan pahit berkelebat lagi bersama raut wajah itu. Ingin rasanya berlari, tapi akal sehat masih menaungi.Tenang Alina. Dia hanya masa lalu. Lupakan, lupakan."Allah gusti... Alina... itu kamu, Nak?" Ibu berdiri di belakang Bang Wisnu. Beliau langsung mendekatiku dan menyentuh kedua tangan. "Ini benar anak ibu? Alina?" Ibu menyentuh pipiku."Iya, Bu. Ini Alina.""Allahu Rabbi... Kamu pulang.... " Ibu menangis tersedu. Beliau memelukku dan semakin tergugu.Aku tersenyum, memeluk ibu dan mengusap punggungnya. "Iya, Bu. Alina pulang." Air mataku menggantung.Ibu terisak-isak sampai kesulitan bernapas. Beliau melonggarkan pelukan lalu meraba lagi wajahku."Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu menengok ke belakang, seolah meminta jawaban pada Bang Wisnu. Yang diajak bicara hanya diam mematung."
Pov WisnuIbu mertua langsung memeluk anak sulungnya. Mereka berpelukan di luar. Sementara aku hanya diam berdiri.Lama aku tidak bertemu dengan Alina. Tapi sekarang aku masih merasa jika dia istriku, dia milikku, dan aku telah melukainya.Seandainya aku bisa kuputar lagi waktu. Tidak akan pernah kulakukan dosa itu. Sungguh hanya kenikmatan yang sesaat, kemudian membawa penyesalan yang tidak berkesudahan.Menikah bukan hanya tentang memenuhi hawa nafsu, lebih dari itu yang membahagiakan adalah: saling menghormati, menjaga, mencintai, dan saling peduli.Aku mendapatkan itu dari Alina. Senyuman manis yang menyambut dikala pulang mengajar. Wajah ceria dan penuh syukur saat kuberi uang yang tak seberapa. Raut wajah khawatir saat aku terluka sedikit saja.Sering kali aku pulang dalam keadaan badan yang pegal karena terlalu banyak olahraga. Lalu Alina memijat tubuhku. Setelahnya kami bercanda manis sekali.Dulu anugerah itu terasa biasa. Sekarang, setelah aku tidak mendapatkan itu dari Shen
Pov Alina.Aku menutup mulut saat melihat Shena memukuli Bang Wisnu. Ya Allah ... aku dulu bahkan tidak berani bicara dengan nada tinggi. Ini pemandangan apa? Apa seperti ini cara mereka berumah tangga?Aku meringis ketika lidi itu mendarat di pantat Bang Wisnu lagi dan lagi. Bang Wisnu dan Shena pergi sambil terus bertengkar."Kenapa mereka, Bu?" Aku mengernyit heran.Ibu menghela napas dan menggeleng pasrah. "Mereka sering bertengkar seperti itu."“Astaghfilullah.” Aku mengelus dada. "Seperti itu? Apa tak malu dilihat tetangga?""Ibu saja sekarang sudah kebal. Kebal dari rasa malu. Sudah pasrah, terserah mereka mau bagaimana."Aku mengelus dada lagi. Bang Wisnu pria yang sensitif kalau harga dirinya direndahkan. Bersama Shena dia bukan direndahkan lagi, malah dipukul depan umum. Apa mungkin itu buah dari perbuatannya? Bang Wisnu memang tidak punya harga diri, kan?"Ayo kita masuk lagi." Bapak mengajak kembali ke dalam rumah. Aku dan ibu mengikuti.Pria yang memakai sarung itu langsu
"Sadar diri saja!" Perkataan Alina menancap di kepala. Dari nadanya aku dapat mengerti kalau dia amat benci.Aku menghela napas panjang. Dari kejauhan adzan Asar berkumandang. Aku berlama-lama merenungi diri di pos ronda.Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku ingin kami kembali. Berumah tangga dengan Alina seperti dulu kala. Namun kini rasanya tak mungkin.Aku menggeleng kecil sambil memikirkannya.Otakku ini seperti kodok yang meloncat-loncat dari satu adegan ke adegan lain. Alina yang berdiri di depanku dengan pandangan mata yang menyala. "Di rumah ini ada yang bukan muhrimmu. Jadi TOLONG. Gunakan etika!" Teriak dia yang sudah berganti pakaian.Menit sebelumnya kumelihat dia dengan pakaian pendek lalu dengan sekejap berganti jadi serba tertutup. Dia menutupi auratnya padahal aku sudah mengetahui luar dan dalam.Aurat?Muhrim?Tunggu Wisnu, bukankah ada yang salah di sana? Sisi hatiku berbicara. Kemudian aku menyusuri setiap ingatan dalam kepala. Benar sepertinya ada yang salah.Dulu ke