"Siapa yang menghamili kamu Shena. JAWAB!" Bapak berdiri dengan bertolak pinggang, matanya melotot tajam, napasnya naik turun cepat tak beraturan.
Adikku yang duduk di hadapan bapak hanya menangis sambil geleng-geleng. Dia bungkam seribu bahasa. Wajah cantiknya tertutup rambut bercampur air mata.
"Kubunuh kau kalau tak mau bicara! Bisa-bisanya kau hacurkan nama baik keluarga." Bapak pergi ke dapur dan kembali dengan sebilah golok di tangan kanannya.
Aku dan ibu teriak histeris, kami langsung menghadang bapak agar tidak sampai melukai Shena. Aku memeluk kaki bapak dan ibu memeluk dada bapak.
"Sabar, Pak. Sabar." Ibu menangis.
"Awas, Bu. Biar kubunuh dia. Mencoreng nama orang tua saja bisanya." Bapak masih naik pitam.
"Sabar, Pak. Dia anak kita."
"Tak sudi aku punya anak seperti dia." Bapak mengacungkan golok.
"Shena, bicara, Shena. Ngomong, Dik. Siapa yang menghamili kamu?" Aku ikut bicara, sungguh aku takut bapak berbuat yang tidak-tidak.
Shena semakin keras menangisnya. Lalu dia menyebut satu nama. "Wisnu... yang menghamiliku itu Bang Wisnu, Pak."
Kami semua diam mematung. Lengang. Hanya ada isak tangis Shena.
"Wisnu? Wisnu siapa?" Aku bertanya hati-hati. Pada saat itu serupa ada sebilah pedang yang siap mencabik-cabik hati.
"Wisnu suamimu, Mbak."
Seketika itu aku duduk lemas. Tubuh mendadak dingin sampai menggigil. Kuremas dada yang sudah tak jelas rasanya. "Astaghfirullaaaaah hal adzim." Aku menyatukan kening pada lantai keramik putih. Langitku runtuh. Hidupku hancur sehancur-hancurnya.
Ibu dan bapak pun sama terpukulnya. Ibu dan bapak ambruk di lantai. Ibu memukul-mukul dada dan bapak memukul-mukul sofa.
"Kenapa kamu tidak bunuh saja kami?" Bapak merangkak ke dekat Shena. Dia menyerahkan golok. Mengepalkannya di tangan Shena.
"Bunuh saja kami Shena. Bunuh kami!"
"Shena khilaf, Pak. Shena rindu Bang Arman, dan hanya Bang Wisnu yang mengobati kerinduan Shena. Jangan hanya salahkan Shena, salahkan juga Bang Wisnu yang menawarkan diri."
Aku meremas dada semakin keras. Ya Allah, khilaf katanya. Salah apa aku padamu, Shena? Sampai tega kau berbuat begitu. Zina kau dengan suamiku. Allahu akbar.
Shena. Dia adikku satu-satunya. Hari ini, kami dibuatnya kaget. Bagaimana tidak. Lama dia menjanda, lalu tahu-tahu hamil besar.
Dulu, dia kebanggan keluarga. Parasnya cantik. Tubuh tinggi berisi. Bagai bumi dan langit jika dibanding aku.
Shena menjadi model dan menikah dengan konglomerat dari kota. Kehidupannya terlihat sempurna. Cantik juga kaya. Namanya tersohor sampai ke mana-mana. Keluarga kami jadi terpandang, ibaratnya naik satu kasta.
Sayangnya kebahagiaan adikku hanya beberapa tahun. Saat itu kami baru tahu kalau Shena ternyata jadi istri kedua. Bahkan gosip di luaran beredar jika dia dijadikan selingkuhan. Gosip itu semakin hangat di masyarakat pasca istri pertama datang melabrak. Sejak itu suaminya tak pernah datang lagi. Adikku menjanda dan hampir gila. Sering menangis dan tersenyum tiba-tiba.
Tentu sebagai keluarga, kami selalu mendampingi. Kami obati ke mana pun agar dia bisa sembuh. Aku temani siang malam agar dia bisa bangun dari keterpurukan. Meski di luaran nama kami menjadi buruk, kami tetap merangkul dia dengan penuh cinta. Lalu ini balasannya. Demi kepuasan dia menghancurkan hidupku.
*
Di rumah kami yang sederhana, aku menunggu bang Wisnu pulang kerja. Kutodong dia dengan pertanyaan saat baru saja melewati pintu. "Kamu menghamili adikku, Bang?" Aku duduk di kursi dengan mata yang bengkak. Keadaan tubuh dan hati sudah tak dapat dijelaskan kata.
Bang Wisnu termangu. Dia tampak kaget dengan pertanyaan itu.
"Alina...," katanya lirih.
"Jawab!" Air mataku menggantung lagi.
Bang Wisnu hanya menunduk. Lengang tak ada suara, lalu kata memuakkan itu keluar dari mulutnya. "Maaf, Dik. Abang khilaf."
Aku berlari ke arahnya. Lantas kupukuli sekuat yang kubisa. Pipinya, pelipisnya, dadanya, semuanya. Dia yang kupukuli hanya berpasrah diri lalu pada akhirnya kami hanya menangis bersama.
Tidak ada jalan keluar lain, karena aku sendiri belum punya anak, maka solusi yang diambil keluarga adalah: Bang Wisnu harus bercerai denganku dan menikahi Shena. Saat itu yang kupikirkan hanya satu. Mati saja sudah. Mungkin aku tidak akan merasakan hari-hari yang perih. Andai aku tak punya iman, mungkin aku sudah tidak ada hari ini.
Hidupku seumpama 'sudah jatuh tertimpa tangga'. Entah siapa yang benar dan siapa yang salah, nyatanya aku pun menjadi bahan gunjingan orang-orang. Ada yang simpati, tapi tidak sedikit juga yang hanya menjadikanku buah bibir.
Aku sudah tak sanggup menahan ujian itu. Jadi aku memilih kabur. Pergi ke negeri Jiran untuk bekerja. Kerja apapun aku jabani. Asal bisa melupakan pengkhianatan itu.
Sekarang, tiga tahun sudah berlalu. Pengkhianatan Shena dan Bang Wisnu ternyata tak bisa aku lupakan. Perihnya masih sama seperti dulu. Rasanya tak ingin menginjakkan kaki di kampung halaman lagi. Tetapi rindu pada kedua orang tua sudah tidak bisa ditawar. Juga karena ada satu dua urusan, jadi hari ini aku pulang.
Aku masih tidak bisa membayangkan bagaimana bertemu dengan Shena dan Bang Wisnu. Akan seperti apa...? Entahlah.
Bis melaju semakin jauh. Jalanan aspal mulus berubah menjadi bergelombang, membuat bis yang kutumpangi bergoyang naik turun. Semakin masuk ke dalam pedesaan, jalanan semakin rusak juga sepi. Hamparan sawah dan pohon bambu yang rimbun menjadi pemandangan yang terus bergantian.
Kampungku ada di balik bukit sana. Meski bisa dikatakan sangat kampung, tapi pemikiran rakyatnya tak kampungan. Terbukti ada kejadian semiris yang aku alami.
Waktu terus berputar, detak jantungku semakin kencang. Beberapa meter lagi aku akan sampai di rumah. Ada rindu yang begitu menggebu. Pasti bahagia bertemu ibu dan bapak. Ibu dan bapak juga pasti sudah sangat rindu. Teringat kembali bagaimana mereka melepas kepergianku dulu. Dengan linangan air mata mereka mengucap doa dan permintaan maaf. Mereka begitu merasa bersalah atas kemalangan nasibku.
Aku tersenyum seraya melukis wajah bapak dan ibu dalam ingatan. Lalu senyumku hilang saat wajah Bang Wisnu dan Shena menjelma.
Aku tidak mau bertemu mereka.
Pukul sebelas siang hari. Bis berhenti di depan rumah sederhana berpagar bambu. Aku segera turun dan kondektur mengeluarkan koper dari bagasi bis. Detik kemudian bis sudah melaju kembali.
Aku menyebrangi jalan dengan menggerek koper. Rumah Shena dan Bang Wisnu berjarak sepuluh meter dari rumah ibu. Semoga saja mereka tidak ada di rumah sini.
Aku langsung berjalan ke depan rumah.
"Assalamuallaikum...." Aku berdiri di pintu yang terbuka.
Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.
Bersambung....
Pov WisnuApa kamu pernah khilaf dan melakukan dosa besar? Meski sadar itu salah tapi tetap dilakukan. Hingga saat dosa itu menguap ke permukaan kehidupanmu berubah seketika.Aku pernah. Pernah lupa diri lalu menyesal yang teramat dalam. Sampai menyalahkan diri setiap hari.Hari itu aku mencari Alina (istriku) di rumah. Kupanggil dia berkali-kali tapi tidak ada."Sayang... Dik... Abang pulang... Dik..." Aku mencarinya ke kamar, ke dapur dan dia tidak ada. Mungkin ke rumah ibu atau ke rumah Shena, memang biasanya di sana lah dia berlama-lama.Aku langsung mandi dan berganti pakaian. Lalu segera mengendarai motor untuk bertolak ke rumah ibu. Pernikahan kami berlangsung selama tiga tahun, tapi belum dikaruniai seorang anak. Tak mengapa, itu pasti ada saatnya. Aku malah bahagia karena kami bisa bulan madu berlama-lama.Aku adalah guru olahraga di salah satu SMA. Siang tadi baru saja mengajarkan murid kelas dua belas berenang. Pemandangan anak remaja yang indah di pandang mata membuat tubu
Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.Orang yang tidak ingin kutemui malah pertama terlihat.Aku mundur beberapa langkah. Hal yang manis dan pahit berkelebat lagi bersama raut wajah itu. Ingin rasanya berlari, tapi akal sehat masih menaungi.Tenang Alina. Dia hanya masa lalu. Lupakan, lupakan."Allah gusti... Alina... itu kamu, Nak?" Ibu berdiri di belakang Bang Wisnu. Beliau langsung mendekatiku dan menyentuh kedua tangan. "Ini benar anak ibu? Alina?" Ibu menyentuh pipiku."Iya, Bu. Ini Alina.""Allahu Rabbi... Kamu pulang.... " Ibu menangis tersedu. Beliau memelukku dan semakin tergugu.Aku tersenyum, memeluk ibu dan mengusap punggungnya. "Iya, Bu. Alina pulang." Air mataku menggantung.Ibu terisak-isak sampai kesulitan bernapas. Beliau melonggarkan pelukan lalu meraba lagi wajahku."Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu menengok ke belakang, seolah meminta jawaban pada Bang Wisnu. Yang diajak bicara hanya diam mematung."
Pov WisnuIbu mertua langsung memeluk anak sulungnya. Mereka berpelukan di luar. Sementara aku hanya diam berdiri.Lama aku tidak bertemu dengan Alina. Tapi sekarang aku masih merasa jika dia istriku, dia milikku, dan aku telah melukainya.Seandainya aku bisa kuputar lagi waktu. Tidak akan pernah kulakukan dosa itu. Sungguh hanya kenikmatan yang sesaat, kemudian membawa penyesalan yang tidak berkesudahan.Menikah bukan hanya tentang memenuhi hawa nafsu, lebih dari itu yang membahagiakan adalah: saling menghormati, menjaga, mencintai, dan saling peduli.Aku mendapatkan itu dari Alina. Senyuman manis yang menyambut dikala pulang mengajar. Wajah ceria dan penuh syukur saat kuberi uang yang tak seberapa. Raut wajah khawatir saat aku terluka sedikit saja.Sering kali aku pulang dalam keadaan badan yang pegal karena terlalu banyak olahraga. Lalu Alina memijat tubuhku. Setelahnya kami bercanda manis sekali.Dulu anugerah itu terasa biasa. Sekarang, setelah aku tidak mendapatkan itu dari Shen
Pov Alina.Aku menutup mulut saat melihat Shena memukuli Bang Wisnu. Ya Allah ... aku dulu bahkan tidak berani bicara dengan nada tinggi. Ini pemandangan apa? Apa seperti ini cara mereka berumah tangga?Aku meringis ketika lidi itu mendarat di pantat Bang Wisnu lagi dan lagi. Bang Wisnu dan Shena pergi sambil terus bertengkar."Kenapa mereka, Bu?" Aku mengernyit heran.Ibu menghela napas dan menggeleng pasrah. "Mereka sering bertengkar seperti itu."“Astaghfilullah.” Aku mengelus dada. "Seperti itu? Apa tak malu dilihat tetangga?""Ibu saja sekarang sudah kebal. Kebal dari rasa malu. Sudah pasrah, terserah mereka mau bagaimana."Aku mengelus dada lagi. Bang Wisnu pria yang sensitif kalau harga dirinya direndahkan. Bersama Shena dia bukan direndahkan lagi, malah dipukul depan umum. Apa mungkin itu buah dari perbuatannya? Bang Wisnu memang tidak punya harga diri, kan?"Ayo kita masuk lagi." Bapak mengajak kembali ke dalam rumah. Aku dan ibu mengikuti.Pria yang memakai sarung itu langsu
"Sadar diri saja!" Perkataan Alina menancap di kepala. Dari nadanya aku dapat mengerti kalau dia amat benci.Aku menghela napas panjang. Dari kejauhan adzan Asar berkumandang. Aku berlama-lama merenungi diri di pos ronda.Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku ingin kami kembali. Berumah tangga dengan Alina seperti dulu kala. Namun kini rasanya tak mungkin.Aku menggeleng kecil sambil memikirkannya.Otakku ini seperti kodok yang meloncat-loncat dari satu adegan ke adegan lain. Alina yang berdiri di depanku dengan pandangan mata yang menyala. "Di rumah ini ada yang bukan muhrimmu. Jadi TOLONG. Gunakan etika!" Teriak dia yang sudah berganti pakaian.Menit sebelumnya kumelihat dia dengan pakaian pendek lalu dengan sekejap berganti jadi serba tertutup. Dia menutupi auratnya padahal aku sudah mengetahui luar dan dalam.Aurat?Muhrim?Tunggu Wisnu, bukankah ada yang salah di sana? Sisi hatiku berbicara. Kemudian aku menyusuri setiap ingatan dalam kepala. Benar sepertinya ada yang salah.Dulu ke
Pov Alina Aku dan ibu masak besar. Daging, sayur, lalapan... semua ada. Bahkan kupersiapkan makanan kesukaannya: roti canai. Dapur kecil yang kurang resik ini dipenuhi banyak aneka bahan makanan, berserakan di meja dan lantai. "Apa kita tidak harus masak masakan Malaysia?" Suara spatula bertemu wajan besi menjadi musik pengiring kalimat ibu. Beliau sedang memasak daging. Harum lengkuas dan bumbu rempah lainnya menguar di sini. Aku mencuci daun bawang dan mengirisnya. "Untuk apa jauh-jauh datang ke Indonesia kalau mau makan makanan Malaysia. Justru karena ini Indonesia kita harus menyediakan yang berbeda." "Kalau dia tak suka bagaimana?" "Ya, terserah. Itu kan yang ingin kita lihat. Bagaimana cara dia menyikapi perbedaan yang ada." Ibu menghentikan gerak tangannya. Suara spatula bertemu wajan berhenti, berganti jadi nada letupan air kuah daging. Beberapa detik ibu bengong melamun. "Kalau laki-laki itu pria yang pantas, kamu akan pergi jauh dari ibu lagi." "Alina lebih baik pergi
Matahari telah terbenam meninggalkan warna biru langit yang cerah. Adzan Magrib berkumandang dari segara arah. Hilir angin sejuk menyapa wajah.Kami bukan keluarga dengan tingkat keimanan tinggi. Bapak jarang pergi ke masjid, dan kami pun tidak berjamaah di rumah. Shalat hanya sendiri-sendiri. Bapakku hanya petani yang menghabiskan waktu dari pagi sampai sore. Sering meninggalkan kewajiban lima waktu. Aku pun tidak berani menegur karena segan. Ah, lagi pula imanku pas-pasan hanya saat lagi banyak ujian saja aku berlama-lama menghadap Tuhan, bagai mana bisa meluruskan orang tua.Bang Rasya sudah mandi di WC kami yang jelek, pintunya lapuk dan temboknya tergerus waktu. Maklum, bangunan ini memang sudah lama."Masjid kat mane, Dik." Bang Rasya berdiri depan kamar yang kami sediakan. Dia memakai koko dan sarung, lengkap dengan kopiah. Wajahnya bercahaya, segar, juga harum. Mana ada yang mengira dia sopir."Agak jauh, Bang. Abang bisa pilih yang kanan jalan atau yang kiri jalan. Jaraknya h
Pov WisnuSore hari di teras rumah.Aku duduk dengan kedua tangan menarik lutut. Mata tertuju pada jeep merah yang terparkir cantik.Pemilik mobil itu mengaku sebagai calon suaminya Alina. Pasti dia bukan orang yang biasa. Dari penampilan dan kendaraannya jelas sekali orang kaya. Aku senang jika Alina sudah tidak terpuruk seperti dulu. Tetapi sisi lain dalam diri masih tak ikhlas. Jauh di dalam hati, nama Alina masih terukir dengan tinta emas.Sudahlah, Wisnu. Bukankah sudah terlalu banyak kau menyakiti Alina? Sekarang biarkan dia bahagia.Benar. Alina harus bahagia. Tapi masalahnya, apa aku bisa melihat dia bersanding dengan orang lain? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Brengsek memang, dia kukhianati tapi tak boleh dengan orang lain.“Kukira orang kaya, ternyata cuma supir.” Seperti biasa, Shena pulang dengan mengomel. Wanita yang semakin berisi itu melirik jeep merah lalu melanjutkan kalimatnya. “Haih, mobilnya ternyata cuma sewa.” Shena melenggang lagi melanjutkan