Pov Wisnu
Ibu mertua langsung memeluk anak sulungnya. Mereka berpelukan di luar. Sementara aku hanya diam berdiri.
Lama aku tidak bertemu dengan Alina. Tapi sekarang aku masih merasa jika dia istriku, dia milikku, dan aku telah melukainya.
Seandainya aku bisa kuputar lagi waktu. Tidak akan pernah kulakukan dosa itu. Sungguh hanya kenikmatan yang sesaat, kemudian membawa penyesalan yang tidak berkesudahan.
Menikah bukan hanya tentang memenuhi hawa nafsu, lebih dari itu yang membahagiakan adalah: saling menghormati, menjaga, mencintai, dan saling peduli.
Aku mendapatkan itu dari Alina. Senyuman manis yang menyambut dikala pulang mengajar. Wajah ceria dan penuh syukur saat kuberi uang yang tak seberapa. Raut wajah khawatir saat aku terluka sedikit saja.
Sering kali aku pulang dalam keadaan badan yang pegal karena terlalu banyak olahraga. Lalu Alina memijat tubuhku. Setelahnya kami bercanda manis sekali.
Dulu anugerah itu terasa biasa. Sekarang, setelah aku tidak mendapatkan itu dari Shena, barulah sadar kalau semuanya sangatlah berharga.
"Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu mertua melihat ke sini. Aku berpaling dan berkedip cepat.
"Wisnu, cepat panggilkan bapak," kata ibu mertua kemudian.
Aku berjalan melewati ibu dan Alina. Sedikit mencuri pandang untuk melihat wajahnya saat ini. Kulit putih bersih, bibir merah jambu, pipi kemerahan, kelopak mata yang berkilauan. Cantik sekali Alina sekarang. Badannya bahkan tidak sekurus dulu.
Kedua iris Alina mengikuti ke mana aku pergi. Aku melirik dan dia pun berpaling.
"Pak. Ada Alina pulang." Aku menghampiri bapak mertua yang sedang berkumpul dengan para petani di sawah yang berada tidak jauh dari rumah.
"Alina? Alina siapa?"
"Alina. Kakak Shena. Masa bapak lupa."
"Yang benar?" Bapak langsung membuang rokok yang sedang dihisapnya lalu cepat pergi.
"Alina yang mana, Nu. Mantan istrimu atau kakak iparmu?" Pak Amran menyindir.
Aku mengibaskan tangan tak peduli.
"Awas, Nu. Jangan sampai kau lupa lalu mendatangi Alina malam-malam," timpal yang lain.
"Pak Wisnu, Pak Wisnu. Adik kakak kok diborong," sambung Bang Teguh.
Aku guru. Tapi harga diri seperti tidak punya.
***
"Aku dengar Mbak Alina pulang. Kau sudah tahu?" Shena merapikan bunga-bunga di halaman rumah. Chacha sibuk bermain di dekatnya.
Shena selalu memanggilku dengan sebutan 'kau' panggilan abangnya hanya sesekali.
"Mungkin aku yang pertama kali melihat Alina di rumah ibu."
"Jadi kau sudah bertemu?"
"Tentu saja."
"Bagaimana penampilannya menurutmu sekarang?"
"Dia cantik. Dari dulu Alina cantik. Karena dia selalu tersenyum dan tidak pernah melawan pada suami."
"Apa maksudmu? Kau membandingkanku dengan dia?"
"Pikir saja." Kalau kuladeni pasti ujung-ujungnya perang lagi. Aku ambil handuk dan segera mandi, membiarkan Shena mengomel sendiri.
.
"Cha, sudah ketemu Tante belum?" Aku menggendong Chacha di pangkuan.
"Ate... Ate sapa?"
"Di rumah nenek kan ada Ate. Sudah lihat belum?"
"Beyum. Chacha tak main ke rumah nenek."
"Kalau begitu besok main ke sana. Ajak Ate main ke sini."
Aku membujuk Chacha. Berharap Alina mau berkunjung. Aku ingin berbicara sepatah dua patah kata. Intinya ingin meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Dulu aku sudah mengucap maaf, tapi keadaan Alina sedang tidak baik-baik saja. Dia tidak mau diajak bicara. Siapa tahu dia sekarang sudah melupakan. Agar rasa bersalahku sedikit menguap.
"Baru jadi babu saja gayanya sudah selangit." Shena menggerutu sambil memasuki rumah.
"Sok alim. Sok baik. Sok tersakiti. Haih, menjijikkan." Shena lanjut menggerutu.
"Siapa yang kamu bicarakan? Jaga mulut depan anak." Aku menyela bibirnya yang tidak berhenti bicara.
"Siapa lagi kalau bukan mantan istrimu. Tadi aku mendatangi dia. Kuperingatkan agar tidak mengganggu rumah tangga kita. Kau tahu dia bilang apa? Dia bilang kamu sampah, jadi tidak akan sudi memungut lagi."
Aku menutup telinga Chacha. Lalu memangku putriku untuk memasuki kamar. Kuberi dia ponsel agar tidak mendengarkan perdebatan kami.
"Apa maksudmu, Shena?"
"Kau tidak mengerti, Bang? Tadi aku memperingatkan dia agar tidak mengganggu rumah tangga kita."
"Siapa yang mengganggu. Mbakmu itu baru pulang setelah tiga tahun, Shena."
"Aku tidak peduli. Baru pulang saja dia sudah membuatmu membandingkanku dengannya."
"Kalau tidak ingin dibandingkan... berubah. Jangan menjadi istri pembangkang."
"Haih. Kau berharap aku patuh. Nih, ngaca mangkanya!" Shena menarikku untuk berdiri di depan cermin bundar berukuran besar yang ada di ruang tamu.
"Cukup! Aku tidak akan bisa bertahan kalau kamu terus seperti ini."
"Apa?" Shena mengernyit. "Harusnya aku yang bicara begitu!"
Pergi adalah caraku mengakhiri setiap pertengkaran. Aku beranjak dari rumah menuju sebuah warung. Meninggalkan Shena yang mengomel terus-terusan.
"Mbak, kopi." Aku duduk di bangku panjang tempat tongkrongan.
"Iya, tunggu sebentar, Pak Guru."
.
"Bang .... Abang suka istri yang pintar masak atau pintar mijit," tanya Alina sambil memijat tubuhku.
"Dua-duanya lah," jawabku yang berbaring tengkurap di atas kasur tanpa pakaian atas.
"Tapi menurut Abang lebih penting mana?"
"Bisa masak... mungkin."
"Salah. Yang paling penting itu bisa mijit. Karena masak masih bisa dilakukan orang lain. Kalau mijit gak bisa dilakukan orang lain."
"Bisa... sama Pak Tarno."
"Itu kan laki-laki. Maksudku perempuan."
"Ya kalau perempuan tidak boleh. Nanti pijatnya jadi plus-plus."
"Nah itu makanya, berarti kalau pasakanku tak enak, Abang jangan kecewa. Kan lebih penting bisa mijit." Tangan lihai Alina terus mengurut punggungku.
Aku membalikkan badan jadi terlentang, otomatis gerakan tangan Alina berhenti. "Pijat plus-plus tidak?" Aku tersenyum. Dibalas oleh Alina senyum malu-malu.
"Pijat plus-plus tidak?" Aku sedikit beranjak bangun, membuat wajah kami semakin dekat. Kugenggam kedua tangannya lembut.
"Abang, ih." Alina menjauhkan wajah.
Aku menggelitikinya "Hayo, pijat plus-plus tidak?"
"Abang, ih. Geli...." Alina berontak.
.
Kuseruput kopi hitam dengan uap mengepul. Mengembalikan angan yang terbang ke masa lalu. Aku rindu Alina. Sangat rindu. Di kepalaku ini semua terisi nama Alina, Alina, Alina, dan Alina.
***
Jam sembilan malam aku balik ke rumah. Melewati rumah ibu mertua yang masih terang di luar dan dalamnya. Apa mereka belum tidur? Bagaimana kalau aku datang berkunjung, ngajak bapak ngopi. Misal.
Ah, sepertinya tidak masalah. Aku kan menantunya.
Aku membuka pagar bambu. Lalu berjalan pelan sedikit ragu. Hingga aku sampai di depan jendela ruang depan. Sepertinya penghuni di dalam sedang mengobrol serius. Aku menajamkan indra pendengaran dan mendekatkan telinga pada kaca jendela, ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di pantat. Aku kaget sontak meloncat dan membuat pas bunga yang terbuat dari kaleng kue jatuh, berkelontrangan menubruk tanah.
"Sedang apa kau di sini, Bajingan!" Shena memukuli pantatku. Kericuhan ini membuat ibu, bapak, dan Alina ke luar.
"Ampun, aduh. Ampun, Shena."
"Mengintip kau di sini HA!"
"Ti-tidak. Aku mau bertemu bapak."
"Bohong!"
Aku langsung pergi menghindari pukulan Shena. Harga diriku seperti berjatuhan di sana. Jika harga diri adalah benda. Aku akan kembali ke rumah ibu untuk memunguti satu per satu.
.
Sejak kedatangan Alina, aku terus berpikir untuk mencari kesempatan agar bisa bertemu dan mengobrol. Seperti hari ini, aku datangi rumah ibu, bertanya apa mau menggiling padi atau tidak. Sudah biasa, jika ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga, ibu pasti meminta bantuanku.
"Kebetulan, Nu. Beras ibu tinggal sedikit. Kamu ambillah satu karung di gudang!" sambut ibu mertua. Itulah kalimat yang kutunggu-tunggu.
Aku segera ke belakang rumah, di dapur berpapasan dengan Alina. Dia memakai piama satin berwarna putih. Rambutnya tergerai lurus, bagian atasnya di cat kemerahan. Di bawah cahaya lampu dapur, Alina terlihat berkilauan.
Alina seperti tersentak saat melihatku. Keningnya mengernyit dan rautnya seperti hari kemarin, lalu dia mundur beberapa langkah, menghindar.
Aku diliputi kekakuan untuk beberapa detik.
"Ah, aku mau ambil padi."
Alina berpaling melihat ke lemari piring.
"Maaf kalau Abang mengganggumu." Aku segera ke gudang dan mengambil sekarung padi. Alina tidak bicara sepatah kata pun.
.
Setiap kali menggiling padi, pekerjanya pasti langsung mengantarkan ke rumah kalau sudah selesai. Hari ini aku meminta agar dia tidak mengantarkan hasil gilingan, alasannya tentu saja agar aku bisa bertemu dengan Alina lagi.
Aku sengaja memilih waktu yang tepat. Sore hari ketika Shena tidak ada di rumah.
Kusimpan setengah karung beras di teras. Lalu memasuki rumah mertua untuk memberi tahu. Kuputar hendel dan terlihatlah Alina sedang duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Dia memakai celana pendek dan kaus polos. Rambutnya tergerai indah kemerahan. Kulitnya putih bersih.
Mata Alina membulat dan langsung terperanjat dari kursi ketika menyadari kemunculanku.
"BANG WISNU! Apa tidak bisa permisi dulu sebelum masuk rumah?!" Alina mengentakkan kaki dan pergi masuk ke dalam kamar.
Bersambung....
Pov Alina.Aku menutup mulut saat melihat Shena memukuli Bang Wisnu. Ya Allah ... aku dulu bahkan tidak berani bicara dengan nada tinggi. Ini pemandangan apa? Apa seperti ini cara mereka berumah tangga?Aku meringis ketika lidi itu mendarat di pantat Bang Wisnu lagi dan lagi. Bang Wisnu dan Shena pergi sambil terus bertengkar."Kenapa mereka, Bu?" Aku mengernyit heran.Ibu menghela napas dan menggeleng pasrah. "Mereka sering bertengkar seperti itu."“Astaghfilullah.” Aku mengelus dada. "Seperti itu? Apa tak malu dilihat tetangga?""Ibu saja sekarang sudah kebal. Kebal dari rasa malu. Sudah pasrah, terserah mereka mau bagaimana."Aku mengelus dada lagi. Bang Wisnu pria yang sensitif kalau harga dirinya direndahkan. Bersama Shena dia bukan direndahkan lagi, malah dipukul depan umum. Apa mungkin itu buah dari perbuatannya? Bang Wisnu memang tidak punya harga diri, kan?"Ayo kita masuk lagi." Bapak mengajak kembali ke dalam rumah. Aku dan ibu mengikuti.Pria yang memakai sarung itu langsu
"Sadar diri saja!" Perkataan Alina menancap di kepala. Dari nadanya aku dapat mengerti kalau dia amat benci.Aku menghela napas panjang. Dari kejauhan adzan Asar berkumandang. Aku berlama-lama merenungi diri di pos ronda.Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku ingin kami kembali. Berumah tangga dengan Alina seperti dulu kala. Namun kini rasanya tak mungkin.Aku menggeleng kecil sambil memikirkannya.Otakku ini seperti kodok yang meloncat-loncat dari satu adegan ke adegan lain. Alina yang berdiri di depanku dengan pandangan mata yang menyala. "Di rumah ini ada yang bukan muhrimmu. Jadi TOLONG. Gunakan etika!" Teriak dia yang sudah berganti pakaian.Menit sebelumnya kumelihat dia dengan pakaian pendek lalu dengan sekejap berganti jadi serba tertutup. Dia menutupi auratnya padahal aku sudah mengetahui luar dan dalam.Aurat?Muhrim?Tunggu Wisnu, bukankah ada yang salah di sana? Sisi hatiku berbicara. Kemudian aku menyusuri setiap ingatan dalam kepala. Benar sepertinya ada yang salah.Dulu ke
Pov Alina Aku dan ibu masak besar. Daging, sayur, lalapan... semua ada. Bahkan kupersiapkan makanan kesukaannya: roti canai. Dapur kecil yang kurang resik ini dipenuhi banyak aneka bahan makanan, berserakan di meja dan lantai. "Apa kita tidak harus masak masakan Malaysia?" Suara spatula bertemu wajan besi menjadi musik pengiring kalimat ibu. Beliau sedang memasak daging. Harum lengkuas dan bumbu rempah lainnya menguar di sini. Aku mencuci daun bawang dan mengirisnya. "Untuk apa jauh-jauh datang ke Indonesia kalau mau makan makanan Malaysia. Justru karena ini Indonesia kita harus menyediakan yang berbeda." "Kalau dia tak suka bagaimana?" "Ya, terserah. Itu kan yang ingin kita lihat. Bagaimana cara dia menyikapi perbedaan yang ada." Ibu menghentikan gerak tangannya. Suara spatula bertemu wajan berhenti, berganti jadi nada letupan air kuah daging. Beberapa detik ibu bengong melamun. "Kalau laki-laki itu pria yang pantas, kamu akan pergi jauh dari ibu lagi." "Alina lebih baik pergi
Matahari telah terbenam meninggalkan warna biru langit yang cerah. Adzan Magrib berkumandang dari segara arah. Hilir angin sejuk menyapa wajah.Kami bukan keluarga dengan tingkat keimanan tinggi. Bapak jarang pergi ke masjid, dan kami pun tidak berjamaah di rumah. Shalat hanya sendiri-sendiri. Bapakku hanya petani yang menghabiskan waktu dari pagi sampai sore. Sering meninggalkan kewajiban lima waktu. Aku pun tidak berani menegur karena segan. Ah, lagi pula imanku pas-pasan hanya saat lagi banyak ujian saja aku berlama-lama menghadap Tuhan, bagai mana bisa meluruskan orang tua.Bang Rasya sudah mandi di WC kami yang jelek, pintunya lapuk dan temboknya tergerus waktu. Maklum, bangunan ini memang sudah lama."Masjid kat mane, Dik." Bang Rasya berdiri depan kamar yang kami sediakan. Dia memakai koko dan sarung, lengkap dengan kopiah. Wajahnya bercahaya, segar, juga harum. Mana ada yang mengira dia sopir."Agak jauh, Bang. Abang bisa pilih yang kanan jalan atau yang kiri jalan. Jaraknya h
Pov WisnuSore hari di teras rumah.Aku duduk dengan kedua tangan menarik lutut. Mata tertuju pada jeep merah yang terparkir cantik.Pemilik mobil itu mengaku sebagai calon suaminya Alina. Pasti dia bukan orang yang biasa. Dari penampilan dan kendaraannya jelas sekali orang kaya. Aku senang jika Alina sudah tidak terpuruk seperti dulu. Tetapi sisi lain dalam diri masih tak ikhlas. Jauh di dalam hati, nama Alina masih terukir dengan tinta emas.Sudahlah, Wisnu. Bukankah sudah terlalu banyak kau menyakiti Alina? Sekarang biarkan dia bahagia.Benar. Alina harus bahagia. Tapi masalahnya, apa aku bisa melihat dia bersanding dengan orang lain? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Brengsek memang, dia kukhianati tapi tak boleh dengan orang lain.“Kukira orang kaya, ternyata cuma supir.” Seperti biasa, Shena pulang dengan mengomel. Wanita yang semakin berisi itu melirik jeep merah lalu melanjutkan kalimatnya. “Haih, mobilnya ternyata cuma sewa.” Shena melenggang lagi melanjutkan
Aku hilir mudik menunggu Bang Rasya. Ke mana dia pergi? Kampung ini kan bukan tempat tinggalnya. Mana pergi tak bilang-bilang pula. "Cari siapa, Lina?" tanya bapak yang melihat kekhawatiranku. "Bang Rasya. Ke mana, ya, kok lama perginya." "Bapak lihat ngobrol sama Wisnu tadi. Mungkin masih di sana." "Di mana, Pak?" Aku mengernyit tegang. "Di rumah Shena." Ya Allah. Aku duduk dan memegangi dada. Jangan sampai hal yang dulu kejadian lagi Ya Allah. Jangan. Sungguh aku tidak akan bisa hidup jika itu sampai terjadi dua kali. Jantungku berdetak tak beraturan, telapak tangan mulai dingin. "Lin, kamu kenapa pucat sekali?" Bapak langsung duduk menyentuh lenganku. "Alina takut kejadian yang dulu terjadi lagi, Pak. Bang Rasya kenapa pergi ke rumah Shena?" Bapak mengusap-usap punggungku. "Tenang, tenang, istighfar, Rasya ngobrol sama Wisnu di depan rumah sambil ngopi ... Tenang, istighfar, tidak akan terjadi apa-apa. Atau bapak suruh Rasya pulang?" Bapak memiringkan wajah demi melihat r
Malam hari di ruang tengah."Pak, Bu. Saya tak bisa lama-lama kat sini. Sebetulnya kedatangan saya kat sini nak lamar Alina." Pria berkopiah itu bicara. Raut wajahnya menenangkan."Nak Rasya serius? Sudah benar yakin pada anak bapak?""Tentu saja, Pak. Tak kan saya datang jauh-jauh ke Indonesia bila tak serius. Saya sungguh ingin menikahi Alina. Ibu saya pun dah setuju."Bapak diam. Menunduk berpikir. "Begini Nak Rasya. Anak bapak pernah dikecewakan. Bapak tidak ikhlas dunia akhirat jika anak bapa terluka lagi. Bapak tidak akan memberikan Alina jika Nak Rasya tidak bersumpah demi Allah akan membahagiakan anak bapak dan tidak akan pernah menyakitinya."Jujur. Aku tidak suka cara bapak dan ibu bersikap baik pada Bang Wisnu juga Shena. Harusnya bapak menghapus mereka dari silsilah keluarga. Tapi sekarang aku mengerti, betapa bapak menyayangiku. Pria lanjut usia ini hanya mau merangkul semuanya."Maaf Pak, saya tak bisa mempertaruhkan nama Allah Yang Maha Besar. Saya tak mau mempertaruhka
Pov Wisnu.Kau tahu mesin press besi? Alat yang biasa digunakan untuk menghancurkan drum bekas. Cara kerjanya adalah: kau tinggal simpan drum bekas pada tempat khusus, lalu dengan perlahan silinder baja akan menekan drum sampai menjadi lempengan.Begitulah gambaran aku sekarang--seperti drum bekas. Lempengan baja sedang berjalan siap menghancurkanku dengan perlahan. Parahnya, aku tidak bisa gerak atau berontak. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan diam, meski tidak bisa diterima jiwa raga.Beginilah dilemanya punya cinta yang tak tuntas. Ingin berjuang untuk hidup bersama kembali salah! Mau melupakan tidak bisa. Membiarkan juga sama artinya bu**h diri.Dadaku dibakar cemburu ketika melihat Teuku Arasya dan Alina berpacaran di samping rumah mereka. Bahkan dengan sok akrabnya Teuku Arasya mengabarkan pertunangan mereka besok. Rasanya aku ingin melayangkan bogem pada orang seberang itu.Aku separah ini bahkan sebelum mereka menikah. Apa lagi nanti saat mereka bersanding. Andai aku tid
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku