Pov Wisnu.Kau tahu mesin press besi? Alat yang biasa digunakan untuk menghancurkan drum bekas. Cara kerjanya adalah: kau tinggal simpan drum bekas pada tempat khusus, lalu dengan perlahan silinder baja akan menekan drum sampai menjadi lempengan.Begitulah gambaran aku sekarang--seperti drum bekas. Lempengan baja sedang berjalan siap menghancurkanku dengan perlahan. Parahnya, aku tidak bisa gerak atau berontak. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan diam, meski tidak bisa diterima jiwa raga.Beginilah dilemanya punya cinta yang tak tuntas. Ingin berjuang untuk hidup bersama kembali salah! Mau melupakan tidak bisa. Membiarkan juga sama artinya bu**h diri.Dadaku dibakar cemburu ketika melihat Teuku Arasya dan Alina berpacaran di samping rumah mereka. Bahkan dengan sok akrabnya Teuku Arasya mengabarkan pertunangan mereka besok. Rasanya aku ingin melayangkan bogem pada orang seberang itu.Aku separah ini bahkan sebelum mereka menikah. Apa lagi nanti saat mereka bersanding. Andai aku tid
"Wisnu, ibu mau bicara sebentar." Ibu mertua berbisik. Aku mempersilakan para tamu untuk masuk rumah, lalu menghampiri ibu mertua. "Kenapa, Bu?" "Wisnu, boleh pinjam tempatmu untuk menerima tamu. Sekalian tunangan di sana. Ibu tidak enak kalau di sini!" pintanya. Duh, aku dilema lagi. Membantu saja sudah terpaksa apa lagi meminjamkan rumah. Tapi ibu benar. Malu kalau menyambut mereka di sini. Meskipun Teuku Arasya tidak mengakui latar belakangnya, aku yakin mereka bukan orang sembarangan. "Minta izin sama Shena saja lah, bu. Itu kan bukan rumahku." Lalu entah bagaimana, Shena yang perhitungan dan tidak mau peduli pada orang lain itu mengijinkan rumahnya untuk dipakai. Empat tamu, Teuku Arasya, dan aku duduk di ruang tamu. Para perempuan di ruang Tv--posisinya dekat ruang tamu. Sementara bapak mertua ke sana-sini terus, sibuk tidak jelas. "Ada tempat bagus untuk off road di daerah sini, Bang?" tanya salah seorang dari mereka dengan antusias. Yang tua di antara mereka hanya yang
Pov Alina"Dik." Bang Wisnu mendekati. Aku yang sedang membereskan meja bekas para tamu, segera berdiri dan mundur beberapa langkah untuk memberi jarak."Kau kemarin minta aku yang membawa acara pertunangan kalian. Sekarang kau mau calon suamimu tinggal di rumah kita. Kenapa tak kau bunuh aku sekalian, Dik!" kata pria yang matanya sendu itu.Aku mengernyit. Ekspresinya seolah diri paling teraniaya. Kalimatnya serupa jiwa yang sangat nelangsa. Hai! siapa yang kemarin memulai? Apa masih lupa kejadian yang telah lama? Kita tidak pernah bertengkar dan tak ada masalah. Lalu tanpa tedeng aling-aling, kau menghancurkan semuanya. Jika bukan karena kepepet aku juga tidak mau melihatmu.Aku mengangkat dagu. Tersenyum miris. "Abang mau mati? Mati saja, siapa yang mau peduli." Mataku membola. "Ingat. Belum ada pembagian gono-gini. Jadi di rumah ini masih ada hakku.""Abang tahu, tapi kenapa harus di rumah ini. Cari tempat yang lain.""Ada apa ini, Dik?" Bang Rasya tiba-tiba datang dan menyaksikan
"Iya ... puas?" Aku menatapnya lekat. "Mbak sudah khatam dengan karaktermu, Shena. Wisnu saja kau mau yang hanya guru honorer, apa lagi calon suamiku.""Jadi betul dia orang kaya? Mbak harus hati-hati kalau begitu. Layani dengan baik jangan sampai aku ambil lagi." Shena tersenyum puas."Shena ... Shena .... Mbak tak habis pikir. Padahal dulu kamu itu model. Mbak pikir kamu akan jadi orang sukses dan besar. Malah jadi istri kedua. Kariermu mentok gak naik lagi. Eh, malah selingkuh sama Wisnu yang hanya guru honorer." Aku menggeleng. "Padahal dulu kamu itu cantik, pasti bisa dapat yang lebih baik dari Wisnu. Sayang sekali, ya." Aku menggeleng lagi. Ini pandangan tulus seorang kakak pada adiknya.Dari kecil Shena adalah anak kebanggaan ibu dan bapak. Apa yang dia mau pasti dituruti. Shena ikut modeling ke kota. Ikut testing sana sini. Pakaian baju bagus dan mahal. Bapak sampai jual sawah untuk mengikuti semua kemauannya. Sementara aku hanya menonton dan bertepuk tangan. Karena sadar aku
Tahun 2014.Ini pertama kali aku menginjakkan kaki di negeri Jiran. Berjalan di bandara dengan membawa tas jinjing berisi beberapa helai pakaian. Menggunakan sandal teplek dan ikat rambut karet.Punya suami guru honorer yang penghasilannya beberapa ratus ribu saja, jangankan beli bedak atau lipstik. Beli baju setahun sekali saja sudah luar biasa. Penampilanku tak ayal bak gembel. Usia 30 tahun seperti 40 tahun. Ditambah ujian yang tak dapat kupikul. Lengkap sudah. Serupa mayat berjalan.Aku duduk di salah satu kursi. Menunggu seseorang. Berdasarkan informasi dari pihak penyalur tenaga kerja, akan ada yang datang menjemput. Yang paling ditakutkan orang-orang ketika menjadi TKW yaitu punya majikan yang tak berperikemanusiaan. Aku malah berdoa dapat majikan begitu agar bisa mati tanpa bunuh diri.Seorang pria tampan memakai kemeja dan dasi yang dibalut rompi menghampiri. "Name awak Alina, bukan?" tanyanya ramah."Iya, saya." Aku menjawab datar."Pekerja dari PT Khalid Anhar.""Betul, Tua
Iba mungkin mereka, semua pekerja mendadak baik. Umma dan Tuan muda pun sangat perhatian. Umma selalu mengajaku pergi keluar setiap minggu untuk mengikuti kajian. Ilmu dari para ustadz seperti membuka benteng-benteng keterpurukan. Aku mulai memiliki semangat hidup dan tidak mau mati sia-sia lagi. Kuperbaiki penampilan sesuai usia.Ayah yang jarang di rumah. Oma yang sudah tua dan tidak bisa mengajak bermain lama-lama. Membuat baby Zikri sangat dekat denganku. Jangankan pergi lama, mandi saja aku ditangisi.Waktu berlalu sampai bayi Zikri bisa bicara. Anak menggemaskan itu mengikuti apa yang aku katakan. Seperti memanggil tuan muda pada ayahnya. Akhirnya aku tidak boleh menyebut tuan muda lagi jika ada Zikri. Tapi harus memanggil Papa agar anak itu mengikuti.Setiap tahun, Tuan muda punya jadwal liburan ke luar negeri. Aku harus ikut karena menjaga Zikri. Kami pernah bermain salju di Korea. Naik menara Eiffel di Paris. Yang terakhir melihat piramida di Mesir. Banyak sekali pengalaman y
Aku menatap malam dari kaca jendela kamar. Hanya ada gelap tak ada satu pun bintang. Sepertinya langit sedang mendung. Suhu kamar pun terasa lebih panas dari biasanya.Kututup gorden. Merebahkan diri di kasur. Memaksa memejamkan mata. Hal buruk yang sering muncul di pelupuk mata coba kuhilangkan. Membayangkan sosok Bang Rasya dan Zikri. Ah, Zikri. Betapa aku merindukan anak itu. Baru beberapa hari tapi serasa sudah lama sekali. 'Zikri, Mama Alin kangen.' Aku berkata dalam hati.Belum semenit ponsel sudah berbunyi. Ada panggilan video call dari Bang Rasya."Mama Alin. Kapan pulang? Iki rindu sangat." Sambut Zikri saat aku baru saja hadir di layar.Aku tersenyum gemas. "Mama Alin juga rindu, Sayang. Iki sehat, Nak?""Iki sehat. Otot Iki sebesar Papa." Anak bernama lengkap Teuku Azikri ini menunjukkan lengan tangannya. Ayahandanya geleng-geleng."You always say. Rindu, rindu ke Mama Alin. Ke Papa tak rindu kah?" kata Bang Rasya. Kecanggihan teknologi sudah mempertemukan manusia di tiga t
"Bang, memang tak berat Abang harus tinggal di rumah sederhana ini?" Aku tak enak hati."Tak Abang pikul, Dik. Kenapa berat?""Abang kan tidak pernah tinggal di rumah sederhana. Abang biasa di rumah mewah. Fasilitas lengkap. Dilayani pekerja.""Santai je. Abang sering camping. Tidur di tenda dan alas tikar.""Itu kan liburan, beda.""Sudah tak apa. Bila abang da urusan bisnis. Pergi ke pelosok-pelosok, biasa begini pun."Bang Rasya menyuap lagi. "Emm lezat, Dik. Hanya da tiga rang yang bisa buat roti canai seenak ini.""Tiga? Siapa saja?"Bang Rasya yang sedang mengunyah cepat jadi melambat. Dia menelan segera. "Umma, Adik, dan ... koki." Bang Rasya tersenyum. Sengaja kalimatnya diputus-putus agar aku penasaran, mungkin."Saya pikir bekas istri Abang.""Dia pebisnis bukan istri yang pandai masak.""Hmmmm." Aku tersenyum. Pintar sekali Bang Rasya memuji makanan. Membuat lelahku tak sia-sia.Sedang mengobrol begini datanglah beberapa pria. Mereka bos pemborong dan dua pekerjanya. Kami