Tahun 2014.Ini pertama kali aku menginjakkan kaki di negeri Jiran. Berjalan di bandara dengan membawa tas jinjing berisi beberapa helai pakaian. Menggunakan sandal teplek dan ikat rambut karet.Punya suami guru honorer yang penghasilannya beberapa ratus ribu saja, jangankan beli bedak atau lipstik. Beli baju setahun sekali saja sudah luar biasa. Penampilanku tak ayal bak gembel. Usia 30 tahun seperti 40 tahun. Ditambah ujian yang tak dapat kupikul. Lengkap sudah. Serupa mayat berjalan.Aku duduk di salah satu kursi. Menunggu seseorang. Berdasarkan informasi dari pihak penyalur tenaga kerja, akan ada yang datang menjemput. Yang paling ditakutkan orang-orang ketika menjadi TKW yaitu punya majikan yang tak berperikemanusiaan. Aku malah berdoa dapat majikan begitu agar bisa mati tanpa bunuh diri.Seorang pria tampan memakai kemeja dan dasi yang dibalut rompi menghampiri. "Name awak Alina, bukan?" tanyanya ramah."Iya, saya." Aku menjawab datar."Pekerja dari PT Khalid Anhar.""Betul, Tua
Iba mungkin mereka, semua pekerja mendadak baik. Umma dan Tuan muda pun sangat perhatian. Umma selalu mengajaku pergi keluar setiap minggu untuk mengikuti kajian. Ilmu dari para ustadz seperti membuka benteng-benteng keterpurukan. Aku mulai memiliki semangat hidup dan tidak mau mati sia-sia lagi. Kuperbaiki penampilan sesuai usia.Ayah yang jarang di rumah. Oma yang sudah tua dan tidak bisa mengajak bermain lama-lama. Membuat baby Zikri sangat dekat denganku. Jangankan pergi lama, mandi saja aku ditangisi.Waktu berlalu sampai bayi Zikri bisa bicara. Anak menggemaskan itu mengikuti apa yang aku katakan. Seperti memanggil tuan muda pada ayahnya. Akhirnya aku tidak boleh menyebut tuan muda lagi jika ada Zikri. Tapi harus memanggil Papa agar anak itu mengikuti.Setiap tahun, Tuan muda punya jadwal liburan ke luar negeri. Aku harus ikut karena menjaga Zikri. Kami pernah bermain salju di Korea. Naik menara Eiffel di Paris. Yang terakhir melihat piramida di Mesir. Banyak sekali pengalaman y
Aku menatap malam dari kaca jendela kamar. Hanya ada gelap tak ada satu pun bintang. Sepertinya langit sedang mendung. Suhu kamar pun terasa lebih panas dari biasanya.Kututup gorden. Merebahkan diri di kasur. Memaksa memejamkan mata. Hal buruk yang sering muncul di pelupuk mata coba kuhilangkan. Membayangkan sosok Bang Rasya dan Zikri. Ah, Zikri. Betapa aku merindukan anak itu. Baru beberapa hari tapi serasa sudah lama sekali. 'Zikri, Mama Alin kangen.' Aku berkata dalam hati.Belum semenit ponsel sudah berbunyi. Ada panggilan video call dari Bang Rasya."Mama Alin. Kapan pulang? Iki rindu sangat." Sambut Zikri saat aku baru saja hadir di layar.Aku tersenyum gemas. "Mama Alin juga rindu, Sayang. Iki sehat, Nak?""Iki sehat. Otot Iki sebesar Papa." Anak bernama lengkap Teuku Azikri ini menunjukkan lengan tangannya. Ayahandanya geleng-geleng."You always say. Rindu, rindu ke Mama Alin. Ke Papa tak rindu kah?" kata Bang Rasya. Kecanggihan teknologi sudah mempertemukan manusia di tiga t
"Bang, memang tak berat Abang harus tinggal di rumah sederhana ini?" Aku tak enak hati."Tak Abang pikul, Dik. Kenapa berat?""Abang kan tidak pernah tinggal di rumah sederhana. Abang biasa di rumah mewah. Fasilitas lengkap. Dilayani pekerja.""Santai je. Abang sering camping. Tidur di tenda dan alas tikar.""Itu kan liburan, beda.""Sudah tak apa. Bila abang da urusan bisnis. Pergi ke pelosok-pelosok, biasa begini pun."Bang Rasya menyuap lagi. "Emm lezat, Dik. Hanya da tiga rang yang bisa buat roti canai seenak ini.""Tiga? Siapa saja?"Bang Rasya yang sedang mengunyah cepat jadi melambat. Dia menelan segera. "Umma, Adik, dan ... koki." Bang Rasya tersenyum. Sengaja kalimatnya diputus-putus agar aku penasaran, mungkin."Saya pikir bekas istri Abang.""Dia pebisnis bukan istri yang pandai masak.""Hmmmm." Aku tersenyum. Pintar sekali Bang Rasya memuji makanan. Membuat lelahku tak sia-sia.Sedang mengobrol begini datanglah beberapa pria. Mereka bos pemborong dan dua pekerjanya. Kami
Ucapannya kali ini sudah tidak bisa kutoleransi lagi. Secara refleks tangan menamp4r pipinya. "Jaga mulutmu, Shena. Kau pikir aku akan diam saja? Asal kau tahu. Saya bukan kamu yang murahan!" Ibu memekik menutup mulut. Bapak yang duduk langsung berdiri. Shena menengok ke kanan sambil memegangi pipi kiri. Dia melihatku dengan mata merah dibakar amarah. "Mulut kamu memang lancang. Sudah hilang rasa hormat sama Mbakmu, Shena!" Bapak bicara sambil menunjuk di depan Shena. "Dari dulu kau yang salah. Mbakmu diam. Sekarang masih cari masalah." Setiap mengatakan 'kau' telunjuk bapak mengarah ke hidung Shena. "Terus saja bapak menyalahkanku. Memang semua yang kulalukan salah kok! Aku cuma memastikan agar kalian tidak tinggal di rumah haram. Kalau Mbak Lina gak merasa, ya, tak perlu marah dong." "Haram! Wow! Luar biasa." Aku tepuk tangan sambil geleng-geleng. "Adikku pintar sekarang. Peduli pada halal haram. Bila begitu aku sarankan kau angkat kaki dari rumahmu itu. Itu rumah yang kau hasil
"Bang, ngopi." Bang Wisnu mengacungkan gelas hitam. Dia membalas hanya dengan kode telapak tangan."Bang. Makan dulu." Aku memanggilnya. Bang Rasya langsung meninggalkan lokasi.Kami membuat tenda di kebun cengkih. Tempat yang sengaja dibuat untuk menjamu para pekerja."Bang saya lihat sikap Abang berbeda pada Bang Wisnu.""Wisnu. Dia bukan abang awak.”"Iya. Maksud saya Wisnu."Duh. Kenapa selalu lupa. Aku menepuk jidat."Sikap Abang biasa saja tidak ada yang beza.""Aku lihat beda.""Itu perasaan adik je. Abang sedang bekerja, masa harus ngobrol-ngobrol seperti kemarin.""Abang hanya menonton.""Iya itu kerjaan. Lagi pula semua sudah menjadi tanggung jawab mereka pun.""Saat fondasi sudah berdiri, apa Abang akan pulang?""Tak, masih ada urusan.""Urusan-urusan terus. Urusan apa?""Nanti juga awak tahu, Dik.""Bila pernikahan kita bagaimana. Abang harus urus berkas di Malaysia bukan?""Ada pengacara, Abang nak minta dia urus berkas. Adik tahu aman je, tak sah banyak pikir. Yang penti
Pov Teuku Arasya -------------- Gulungan air memburu pantai. Tingginya 10 meter, 20 meter, 30 meter. Tak jauh dari pesisir pantai dia duduk sambil melihat ke sini. Mata beningnya menyipit. “Awas!” Aku teriak dan memberi kode tangan. “Awas!” Aku berlari. “AWAS!” Aku terperanjat. Jantung berdebar kencang dan tubuh dipenuhi keringat. Kulirik sekitar ... kamar. Oh, ternyata mimpi. --------------- Aku adalah pebisnis. Setiap kali datang ke tempat-tempat baru selalu berpikir 'Apa yang bisa dibisniskan'. Tujuannya tentu saja keuntungan, tapi yang lebih besar dari itu adalah: Bisa membuka lapangan kerja, bisa meningkatkan pencapaian penduduk, bisa juga menaikkan nama satu daerah. Saat pertama kali tiba di kampung Alina, aku cukup merasa miris melihat kondisinya—kurang tersentuh pembangunan daerah. Jalan aspal hancur. Akses bis umum sedikit. Padahal mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Harusnya petani jadi fokus perhatian pembangunan karena negara ini adalah negara agraris
Aku menyimpan dua telapak tangan di belakang kepala. Duduk bersandar di sofa.Alina. Pantas kau menyembunyikan kisah itu. Pasti malu menceritakannya pada orang-orang. Suami selingkuh dengan adik sendiri. Naudzubillah. Wisnu ternyata tidak seperti penampilan luarnya.Aku memejamkan mata. 'Alina. Biar aku yang membahagiakanmu. Akan kujadikan kau ratu di istanaku.’*Selain mengurus rencana pembangunan rumah, aku juga bersikeras melancarkan tujuan membuat tempat wisata.Tak ada Wisnu tak mengapa. Kucari yang lain lagi. Aku berkunjung ke rumah Pak Rahmat. Kami mengobrol berkenalan. Ternyata Pak Rahmat ini mantan pengusaha minyak tanah di kota. Bangkrut gara-gara minyak tanah berganti gas LPJ. Dia sekarang hanya bertani. Dan menjadi marbot sekaligus imam masjid.Aku mengutarakan rencana untuk membangun tempat wisata di daerah perbukitan itu. Dia menyimak dengan saksama."Begitu, ya ... kalau tak salah. Itu lahannya bukan milik pribadi, Dik Rasya. Tanah itu dikelola oleh Perhutani.""Apa it