Aku menatap malam dari kaca jendela kamar. Hanya ada gelap tak ada satu pun bintang. Sepertinya langit sedang mendung. Suhu kamar pun terasa lebih panas dari biasanya.Kututup gorden. Merebahkan diri di kasur. Memaksa memejamkan mata. Hal buruk yang sering muncul di pelupuk mata coba kuhilangkan. Membayangkan sosok Bang Rasya dan Zikri. Ah, Zikri. Betapa aku merindukan anak itu. Baru beberapa hari tapi serasa sudah lama sekali. 'Zikri, Mama Alin kangen.' Aku berkata dalam hati.Belum semenit ponsel sudah berbunyi. Ada panggilan video call dari Bang Rasya."Mama Alin. Kapan pulang? Iki rindu sangat." Sambut Zikri saat aku baru saja hadir di layar.Aku tersenyum gemas. "Mama Alin juga rindu, Sayang. Iki sehat, Nak?""Iki sehat. Otot Iki sebesar Papa." Anak bernama lengkap Teuku Azikri ini menunjukkan lengan tangannya. Ayahandanya geleng-geleng."You always say. Rindu, rindu ke Mama Alin. Ke Papa tak rindu kah?" kata Bang Rasya. Kecanggihan teknologi sudah mempertemukan manusia di tiga t
"Bang, memang tak berat Abang harus tinggal di rumah sederhana ini?" Aku tak enak hati."Tak Abang pikul, Dik. Kenapa berat?""Abang kan tidak pernah tinggal di rumah sederhana. Abang biasa di rumah mewah. Fasilitas lengkap. Dilayani pekerja.""Santai je. Abang sering camping. Tidur di tenda dan alas tikar.""Itu kan liburan, beda.""Sudah tak apa. Bila abang da urusan bisnis. Pergi ke pelosok-pelosok, biasa begini pun."Bang Rasya menyuap lagi. "Emm lezat, Dik. Hanya da tiga rang yang bisa buat roti canai seenak ini.""Tiga? Siapa saja?"Bang Rasya yang sedang mengunyah cepat jadi melambat. Dia menelan segera. "Umma, Adik, dan ... koki." Bang Rasya tersenyum. Sengaja kalimatnya diputus-putus agar aku penasaran, mungkin."Saya pikir bekas istri Abang.""Dia pebisnis bukan istri yang pandai masak.""Hmmmm." Aku tersenyum. Pintar sekali Bang Rasya memuji makanan. Membuat lelahku tak sia-sia.Sedang mengobrol begini datanglah beberapa pria. Mereka bos pemborong dan dua pekerjanya. Kami
Ucapannya kali ini sudah tidak bisa kutoleransi lagi. Secara refleks tangan menamp4r pipinya. "Jaga mulutmu, Shena. Kau pikir aku akan diam saja? Asal kau tahu. Saya bukan kamu yang murahan!" Ibu memekik menutup mulut. Bapak yang duduk langsung berdiri. Shena menengok ke kanan sambil memegangi pipi kiri. Dia melihatku dengan mata merah dibakar amarah. "Mulut kamu memang lancang. Sudah hilang rasa hormat sama Mbakmu, Shena!" Bapak bicara sambil menunjuk di depan Shena. "Dari dulu kau yang salah. Mbakmu diam. Sekarang masih cari masalah." Setiap mengatakan 'kau' telunjuk bapak mengarah ke hidung Shena. "Terus saja bapak menyalahkanku. Memang semua yang kulalukan salah kok! Aku cuma memastikan agar kalian tidak tinggal di rumah haram. Kalau Mbak Lina gak merasa, ya, tak perlu marah dong." "Haram! Wow! Luar biasa." Aku tepuk tangan sambil geleng-geleng. "Adikku pintar sekarang. Peduli pada halal haram. Bila begitu aku sarankan kau angkat kaki dari rumahmu itu. Itu rumah yang kau hasil
"Bang, ngopi." Bang Wisnu mengacungkan gelas hitam. Dia membalas hanya dengan kode telapak tangan."Bang. Makan dulu." Aku memanggilnya. Bang Rasya langsung meninggalkan lokasi.Kami membuat tenda di kebun cengkih. Tempat yang sengaja dibuat untuk menjamu para pekerja."Bang saya lihat sikap Abang berbeda pada Bang Wisnu.""Wisnu. Dia bukan abang awak.”"Iya. Maksud saya Wisnu."Duh. Kenapa selalu lupa. Aku menepuk jidat."Sikap Abang biasa saja tidak ada yang beza.""Aku lihat beda.""Itu perasaan adik je. Abang sedang bekerja, masa harus ngobrol-ngobrol seperti kemarin.""Abang hanya menonton.""Iya itu kerjaan. Lagi pula semua sudah menjadi tanggung jawab mereka pun.""Saat fondasi sudah berdiri, apa Abang akan pulang?""Tak, masih ada urusan.""Urusan-urusan terus. Urusan apa?""Nanti juga awak tahu, Dik.""Bila pernikahan kita bagaimana. Abang harus urus berkas di Malaysia bukan?""Ada pengacara, Abang nak minta dia urus berkas. Adik tahu aman je, tak sah banyak pikir. Yang penti
Pov Teuku Arasya -------------- Gulungan air memburu pantai. Tingginya 10 meter, 20 meter, 30 meter. Tak jauh dari pesisir pantai dia duduk sambil melihat ke sini. Mata beningnya menyipit. “Awas!” Aku teriak dan memberi kode tangan. “Awas!” Aku berlari. “AWAS!” Aku terperanjat. Jantung berdebar kencang dan tubuh dipenuhi keringat. Kulirik sekitar ... kamar. Oh, ternyata mimpi. --------------- Aku adalah pebisnis. Setiap kali datang ke tempat-tempat baru selalu berpikir 'Apa yang bisa dibisniskan'. Tujuannya tentu saja keuntungan, tapi yang lebih besar dari itu adalah: Bisa membuka lapangan kerja, bisa meningkatkan pencapaian penduduk, bisa juga menaikkan nama satu daerah. Saat pertama kali tiba di kampung Alina, aku cukup merasa miris melihat kondisinya—kurang tersentuh pembangunan daerah. Jalan aspal hancur. Akses bis umum sedikit. Padahal mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Harusnya petani jadi fokus perhatian pembangunan karena negara ini adalah negara agraris
Aku menyimpan dua telapak tangan di belakang kepala. Duduk bersandar di sofa.Alina. Pantas kau menyembunyikan kisah itu. Pasti malu menceritakannya pada orang-orang. Suami selingkuh dengan adik sendiri. Naudzubillah. Wisnu ternyata tidak seperti penampilan luarnya.Aku memejamkan mata. 'Alina. Biar aku yang membahagiakanmu. Akan kujadikan kau ratu di istanaku.’*Selain mengurus rencana pembangunan rumah, aku juga bersikeras melancarkan tujuan membuat tempat wisata.Tak ada Wisnu tak mengapa. Kucari yang lain lagi. Aku berkunjung ke rumah Pak Rahmat. Kami mengobrol berkenalan. Ternyata Pak Rahmat ini mantan pengusaha minyak tanah di kota. Bangkrut gara-gara minyak tanah berganti gas LPJ. Dia sekarang hanya bertani. Dan menjadi marbot sekaligus imam masjid.Aku mengutarakan rencana untuk membangun tempat wisata di daerah perbukitan itu. Dia menyimak dengan saksama."Begitu, ya ... kalau tak salah. Itu lahannya bukan milik pribadi, Dik Rasya. Tanah itu dikelola oleh Perhutani.""Apa it
POV Alina Aku ternganga dan menutup mulut. Ya Allah. Demi apa aku tak percaya. Kuayunkan kaki mendekati baliho. Menatap lekat-lekat. "Di sini akan di bangun GRAND ALINA RESORT." Aku balik kanan. Melihat dia yang sedang melipat tangan di dada sambil tersenyum. "Ini betul? Abang yang mau buat tempat wisata ni?" Pria yang bersandar pada jeep itu menjawab dengan mengangkat kedua alisnya. "Ya. Abang yakin tempat ni bisa menaikkan nama kampung awak. Dan pasti bisa buat lapangan kerja." "Tapi kenapa saya yang dijadikan namanya, Bang?" Aku mendekatinya lagi. "Abang persembahkan buat awak, Dik." Aku sungguh terharu mendengarnya. Dulu aku harus mengencangkan ikat pinggang erat-erat hanya untuk memiliki tempat singgah. Sekarang, dengan tanpa diminta Allah kasih. Rumah yang bagus, bahkan jauh dari yang aku harapkan. Lalu apa ini? Resort, memilikinya pun aku tak pernah bermimpi. Jangankan memiliki, sengaja singgah di tempat begitu saja tak pernah. Tanpa terasa air mataku menggantung lalu
Bang Rasya berpamitan pada ibu dan bapak. Dia berjanji akan kembali setelah pembangunan rumah selesai dan akan segera melangsungkan pernikahan. "Terima kasih, Nak Rasya. Terima kasih. Kami sudah dibuatkan rumah. Diurus segala macamnya." Ibu berkata haru. Bang Rasya mengangguk. Berkata penuh hormat. "Saya senang lihat orang tua bahagia. Saya titip Alina sebelum saya ambil nanti ya, Bu." Mereka bersalaman. "Saya titip Alina, Pak." Bang Rasya menggenggam tangan bapak. Bang Rasya mendekatiku. "Jaga diri baik-baik." Dia membelai kepala. Bang Rasya berjalan ke arah mobil. Menunjukkan telapak tangan, lantas naik kendaraan. Detik kemudian dia sudah melaju jauh. Aku menatap ke mana mobil merah itu melaju sampai hilang dari pandangan. Seiring dengan kepergiannya, aku merasa kekuatanku hilang. Menjadi diri yang lemah kembali. Serupa burung yang kehilangan induknya. Bagaimana melawan Shena? Bagaimana menghindari Wisnu? Kenapa semua terasa berat? “Yakin dia akan kembali?” Suara jin penghasu