Ucapannya kali ini sudah tidak bisa kutoleransi lagi. Secara refleks tangan menamp4r pipinya. "Jaga mulutmu, Shena. Kau pikir aku akan diam saja? Asal kau tahu. Saya bukan kamu yang murahan!" Ibu memekik menutup mulut. Bapak yang duduk langsung berdiri. Shena menengok ke kanan sambil memegangi pipi kiri. Dia melihatku dengan mata merah dibakar amarah. "Mulut kamu memang lancang. Sudah hilang rasa hormat sama Mbakmu, Shena!" Bapak bicara sambil menunjuk di depan Shena. "Dari dulu kau yang salah. Mbakmu diam. Sekarang masih cari masalah." Setiap mengatakan 'kau' telunjuk bapak mengarah ke hidung Shena. "Terus saja bapak menyalahkanku. Memang semua yang kulalukan salah kok! Aku cuma memastikan agar kalian tidak tinggal di rumah haram. Kalau Mbak Lina gak merasa, ya, tak perlu marah dong." "Haram! Wow! Luar biasa." Aku tepuk tangan sambil geleng-geleng. "Adikku pintar sekarang. Peduli pada halal haram. Bila begitu aku sarankan kau angkat kaki dari rumahmu itu. Itu rumah yang kau hasil
"Bang, ngopi." Bang Wisnu mengacungkan gelas hitam. Dia membalas hanya dengan kode telapak tangan."Bang. Makan dulu." Aku memanggilnya. Bang Rasya langsung meninggalkan lokasi.Kami membuat tenda di kebun cengkih. Tempat yang sengaja dibuat untuk menjamu para pekerja."Bang saya lihat sikap Abang berbeda pada Bang Wisnu.""Wisnu. Dia bukan abang awak.”"Iya. Maksud saya Wisnu."Duh. Kenapa selalu lupa. Aku menepuk jidat."Sikap Abang biasa saja tidak ada yang beza.""Aku lihat beda.""Itu perasaan adik je. Abang sedang bekerja, masa harus ngobrol-ngobrol seperti kemarin.""Abang hanya menonton.""Iya itu kerjaan. Lagi pula semua sudah menjadi tanggung jawab mereka pun.""Saat fondasi sudah berdiri, apa Abang akan pulang?""Tak, masih ada urusan.""Urusan-urusan terus. Urusan apa?""Nanti juga awak tahu, Dik.""Bila pernikahan kita bagaimana. Abang harus urus berkas di Malaysia bukan?""Ada pengacara, Abang nak minta dia urus berkas. Adik tahu aman je, tak sah banyak pikir. Yang penti
Pov Teuku Arasya -------------- Gulungan air memburu pantai. Tingginya 10 meter, 20 meter, 30 meter. Tak jauh dari pesisir pantai dia duduk sambil melihat ke sini. Mata beningnya menyipit. “Awas!” Aku teriak dan memberi kode tangan. “Awas!” Aku berlari. “AWAS!” Aku terperanjat. Jantung berdebar kencang dan tubuh dipenuhi keringat. Kulirik sekitar ... kamar. Oh, ternyata mimpi. --------------- Aku adalah pebisnis. Setiap kali datang ke tempat-tempat baru selalu berpikir 'Apa yang bisa dibisniskan'. Tujuannya tentu saja keuntungan, tapi yang lebih besar dari itu adalah: Bisa membuka lapangan kerja, bisa meningkatkan pencapaian penduduk, bisa juga menaikkan nama satu daerah. Saat pertama kali tiba di kampung Alina, aku cukup merasa miris melihat kondisinya—kurang tersentuh pembangunan daerah. Jalan aspal hancur. Akses bis umum sedikit. Padahal mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Harusnya petani jadi fokus perhatian pembangunan karena negara ini adalah negara agraris
Aku menyimpan dua telapak tangan di belakang kepala. Duduk bersandar di sofa.Alina. Pantas kau menyembunyikan kisah itu. Pasti malu menceritakannya pada orang-orang. Suami selingkuh dengan adik sendiri. Naudzubillah. Wisnu ternyata tidak seperti penampilan luarnya.Aku memejamkan mata. 'Alina. Biar aku yang membahagiakanmu. Akan kujadikan kau ratu di istanaku.’*Selain mengurus rencana pembangunan rumah, aku juga bersikeras melancarkan tujuan membuat tempat wisata.Tak ada Wisnu tak mengapa. Kucari yang lain lagi. Aku berkunjung ke rumah Pak Rahmat. Kami mengobrol berkenalan. Ternyata Pak Rahmat ini mantan pengusaha minyak tanah di kota. Bangkrut gara-gara minyak tanah berganti gas LPJ. Dia sekarang hanya bertani. Dan menjadi marbot sekaligus imam masjid.Aku mengutarakan rencana untuk membangun tempat wisata di daerah perbukitan itu. Dia menyimak dengan saksama."Begitu, ya ... kalau tak salah. Itu lahannya bukan milik pribadi, Dik Rasya. Tanah itu dikelola oleh Perhutani.""Apa it
POV Alina Aku ternganga dan menutup mulut. Ya Allah. Demi apa aku tak percaya. Kuayunkan kaki mendekati baliho. Menatap lekat-lekat. "Di sini akan di bangun GRAND ALINA RESORT." Aku balik kanan. Melihat dia yang sedang melipat tangan di dada sambil tersenyum. "Ini betul? Abang yang mau buat tempat wisata ni?" Pria yang bersandar pada jeep itu menjawab dengan mengangkat kedua alisnya. "Ya. Abang yakin tempat ni bisa menaikkan nama kampung awak. Dan pasti bisa buat lapangan kerja." "Tapi kenapa saya yang dijadikan namanya, Bang?" Aku mendekatinya lagi. "Abang persembahkan buat awak, Dik." Aku sungguh terharu mendengarnya. Dulu aku harus mengencangkan ikat pinggang erat-erat hanya untuk memiliki tempat singgah. Sekarang, dengan tanpa diminta Allah kasih. Rumah yang bagus, bahkan jauh dari yang aku harapkan. Lalu apa ini? Resort, memilikinya pun aku tak pernah bermimpi. Jangankan memiliki, sengaja singgah di tempat begitu saja tak pernah. Tanpa terasa air mataku menggantung lalu
Bang Rasya berpamitan pada ibu dan bapak. Dia berjanji akan kembali setelah pembangunan rumah selesai dan akan segera melangsungkan pernikahan. "Terima kasih, Nak Rasya. Terima kasih. Kami sudah dibuatkan rumah. Diurus segala macamnya." Ibu berkata haru. Bang Rasya mengangguk. Berkata penuh hormat. "Saya senang lihat orang tua bahagia. Saya titip Alina sebelum saya ambil nanti ya, Bu." Mereka bersalaman. "Saya titip Alina, Pak." Bang Rasya menggenggam tangan bapak. Bang Rasya mendekatiku. "Jaga diri baik-baik." Dia membelai kepala. Bang Rasya berjalan ke arah mobil. Menunjukkan telapak tangan, lantas naik kendaraan. Detik kemudian dia sudah melaju jauh. Aku menatap ke mana mobil merah itu melaju sampai hilang dari pandangan. Seiring dengan kepergiannya, aku merasa kekuatanku hilang. Menjadi diri yang lemah kembali. Serupa burung yang kehilangan induknya. Bagaimana melawan Shena? Bagaimana menghindari Wisnu? Kenapa semua terasa berat? “Yakin dia akan kembali?” Suara jin penghasu
Pulang Kampung 18 Pov Wisnu [Saya nak bicara empat mata. Bila lelaki datanglah.] Dadaku jadi panas membaca pesan begitu. Tumben Teuku Arasya ini beda sikapnya. Atau jangan-jangan dia tahu kalau aku mantan suami Alina? [Di mana?] Aku membalas dengan cepat. Gila. Kelelakianku pake ditanya. [Rumah.] Aku segera mengambil jaket. Memakainya di jalan dengan terburu-buru. Lalu kutancap roda dua ke rumah yang dulu menjadi tempat singgahku dengan Alina. Saat aku baru saja sampai, Teuku Arasya melempar kunci. Aku cepat menangkapnya meski tak siap. Pria itu sedikit menunduk lalu tersenyum. Ini bukan senyuman ramah tapi senyuman mencibir. "Ternyata awak mantan suami Alina," ucap pria yang berdiri tegak itu. Aku berpaling ke sisi gelap. Lalu turun dari motor. "Jadi Anda sudah tahu. Syukurlah. Anda tidak akan mati berdiri karena penasaran." Aku mengikuti caranya dengan tersenyum mencibir. "Oh. Iya. Ini tempat tinggal kami dulu. Tempat yang kami gunakan untuk bercinta. Selamat Anda sudah m
Pemuda tinggi kekar itu menyalip motorku dan berhenti. “Mengejar Mbak Alina, Pak. Lebih baik jangan di teruskan!” Pemuda dua puluh tahun itu turun dari motornya, lalu berdiri di depanku. Aku sungguh miris melihat anak ini. Kami bukan hanya rekan satu tim, dia bahkan salah satu muridku. Dengan melihatnya seperti ini saja aku serasa ditikam. “Satria. Kau ingat saya siapa?” Satria mengangguk. “Bapak, guru dan rekan saya.” “Lalu kenapa kau melakukan ini?!” “Saya hanya melakukan tugas karena dibayar, Pak.” Oh, sungguh. Percaya diri sekali dia bicara begitu. “Jadi sekarang kau tukang pukul bayaran! Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya untuk jadi preman?!” “Saya bukan tukang pukul bayaran. Saya hanya dibayar untuk melindungi Mbak Alina pulang dan pergi agar tidak diganggu oleh bapak. Jadi bapak silakan pulang, agar saya tidak memukul orang hari ini.” “Songong sekali kau bicara, Satria!” Aku turun dari motor seraya melemaskan sendi tangan. “Kita adalah pemain bayaran, Pak. Ki