POV Alina Aku ternganga dan menutup mulut. Ya Allah. Demi apa aku tak percaya. Kuayunkan kaki mendekati baliho. Menatap lekat-lekat. "Di sini akan di bangun GRAND ALINA RESORT." Aku balik kanan. Melihat dia yang sedang melipat tangan di dada sambil tersenyum. "Ini betul? Abang yang mau buat tempat wisata ni?" Pria yang bersandar pada jeep itu menjawab dengan mengangkat kedua alisnya. "Ya. Abang yakin tempat ni bisa menaikkan nama kampung awak. Dan pasti bisa buat lapangan kerja." "Tapi kenapa saya yang dijadikan namanya, Bang?" Aku mendekatinya lagi. "Abang persembahkan buat awak, Dik." Aku sungguh terharu mendengarnya. Dulu aku harus mengencangkan ikat pinggang erat-erat hanya untuk memiliki tempat singgah. Sekarang, dengan tanpa diminta Allah kasih. Rumah yang bagus, bahkan jauh dari yang aku harapkan. Lalu apa ini? Resort, memilikinya pun aku tak pernah bermimpi. Jangankan memiliki, sengaja singgah di tempat begitu saja tak pernah. Tanpa terasa air mataku menggantung lalu
Bang Rasya berpamitan pada ibu dan bapak. Dia berjanji akan kembali setelah pembangunan rumah selesai dan akan segera melangsungkan pernikahan. "Terima kasih, Nak Rasya. Terima kasih. Kami sudah dibuatkan rumah. Diurus segala macamnya." Ibu berkata haru. Bang Rasya mengangguk. Berkata penuh hormat. "Saya senang lihat orang tua bahagia. Saya titip Alina sebelum saya ambil nanti ya, Bu." Mereka bersalaman. "Saya titip Alina, Pak." Bang Rasya menggenggam tangan bapak. Bang Rasya mendekatiku. "Jaga diri baik-baik." Dia membelai kepala. Bang Rasya berjalan ke arah mobil. Menunjukkan telapak tangan, lantas naik kendaraan. Detik kemudian dia sudah melaju jauh. Aku menatap ke mana mobil merah itu melaju sampai hilang dari pandangan. Seiring dengan kepergiannya, aku merasa kekuatanku hilang. Menjadi diri yang lemah kembali. Serupa burung yang kehilangan induknya. Bagaimana melawan Shena? Bagaimana menghindari Wisnu? Kenapa semua terasa berat? “Yakin dia akan kembali?” Suara jin penghasu
Pulang Kampung 18 Pov Wisnu [Saya nak bicara empat mata. Bila lelaki datanglah.] Dadaku jadi panas membaca pesan begitu. Tumben Teuku Arasya ini beda sikapnya. Atau jangan-jangan dia tahu kalau aku mantan suami Alina? [Di mana?] Aku membalas dengan cepat. Gila. Kelelakianku pake ditanya. [Rumah.] Aku segera mengambil jaket. Memakainya di jalan dengan terburu-buru. Lalu kutancap roda dua ke rumah yang dulu menjadi tempat singgahku dengan Alina. Saat aku baru saja sampai, Teuku Arasya melempar kunci. Aku cepat menangkapnya meski tak siap. Pria itu sedikit menunduk lalu tersenyum. Ini bukan senyuman ramah tapi senyuman mencibir. "Ternyata awak mantan suami Alina," ucap pria yang berdiri tegak itu. Aku berpaling ke sisi gelap. Lalu turun dari motor. "Jadi Anda sudah tahu. Syukurlah. Anda tidak akan mati berdiri karena penasaran." Aku mengikuti caranya dengan tersenyum mencibir. "Oh. Iya. Ini tempat tinggal kami dulu. Tempat yang kami gunakan untuk bercinta. Selamat Anda sudah m
Pemuda tinggi kekar itu menyalip motorku dan berhenti. “Mengejar Mbak Alina, Pak. Lebih baik jangan di teruskan!” Pemuda dua puluh tahun itu turun dari motornya, lalu berdiri di depanku. Aku sungguh miris melihat anak ini. Kami bukan hanya rekan satu tim, dia bahkan salah satu muridku. Dengan melihatnya seperti ini saja aku serasa ditikam. “Satria. Kau ingat saya siapa?” Satria mengangguk. “Bapak, guru dan rekan saya.” “Lalu kenapa kau melakukan ini?!” “Saya hanya melakukan tugas karena dibayar, Pak.” Oh, sungguh. Percaya diri sekali dia bicara begitu. “Jadi sekarang kau tukang pukul bayaran! Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya untuk jadi preman?!” “Saya bukan tukang pukul bayaran. Saya hanya dibayar untuk melindungi Mbak Alina pulang dan pergi agar tidak diganggu oleh bapak. Jadi bapak silakan pulang, agar saya tidak memukul orang hari ini.” “Songong sekali kau bicara, Satria!” Aku turun dari motor seraya melemaskan sendi tangan. “Kita adalah pemain bayaran, Pak. Ki
Pov Author. Malam hari di kamar hotel. Teuku Arasya menyimpan tas. Melonggarkan dasi, lalu duduk di kursi. Selain mengurus dokumen untuk pernikahan, pekerjaan bisnisnya di Jakarta ini cukup banyak dan menyita waktu. Pria berkemeja biru itu ingin ketika menikah, pekerjaannya sudah berkurang agar bisa sedikit bersantai dengan Alina. Lusa rencananya dia akan berangkat ke kampung Alina. Mematangkan acara akad dan resepsi. Baru tiga langkah kakinya terayun ke kamar mandi, ponsel sudah bersuara nyaring. Pria itu balik badan, kemudian mengambil ponsel yang masih ada di dalam tas. “Ya.” Dia menyatukan ponsel ke telinga. “Bang. Malam ini Wisnu menyelinap ke rumah Mbak Alina.” “Lalu?” “Tapi langsung keluar lagi.” Lapor pemuda kampung yang dia suruh untuk menjaga Alina. Sebagai laki-laki Teuku Arasya mengerti bagaimana perangai Wisnu. Boleh jadi dia guru. Boleh jadi dia terlihat ramah dan baik. Tapi di dalam dirinya, mana ada yang tahu. Berani menyelinap ke kamar perempuan yang notabenen
Alina berjalan ke depan Wisnu lalu melanjutkan kalimatnya, “Tapi itu dulu sebelum kamu berkhianat. Sekarang perasaan itu sudah berubah benci dan jijik.” Alina menjeda. “Maka sekarang dengarlah ini. Saya sudah tidak punya perasaan apa pun padamu. Cinta saya sudah bukan untukmu tapi untuk yang lain. Jika saya tidak bisa tidur malam-malam, itu bukan karena saya masih memendam kecewa. Tapi karena saya sedang merindu. Merindukan Bang Rasya ... Paham!” Tengku Arasya yang sempat tegang jadi tersenyum. Lalu dadanya menghangat. Sempat-sempatnya dia berbunga-bunga dalam kondisi riuh begitu. “Baiklah. Itu cukup. Kalau begitu saya akan pergi. Dari kamu dan dari keluarga ini.” Wisnu berjalan meninggalkan tempat keributan. Warga yang melihat ber-huh-ria. “Heh! Tunggu-tunggu-tunggu. Ini maksudnya apa?” Shena melebarkan langkah. Berjalan ke tengah kerumunan. “Ada apa ini Pak?” Shena mendongak menuntut jawab. “Suamimu baru saja menyelinap masuk kamar Lina,” jelas bapak yang posisinya jauh lebih
Pov Alina. "Awak mesti ingat, Alina. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama kesulitan ada kemudahan." Umma menyiram tanaman bunga. Aku menemaninya sambil mendorong Zikri di atas roda. "Hidup awak tak akan selamanya sempit. Kan da waktunya lapang nanti," sambung Umma lagi. Aku membetulkan botol susu sambil terus menyimak. Panjang lebar Umma memberikan kata-kata motivasi. Aku hanya diam karena segan. Sekarang apa yang Umma bilang sudah terbukti. Ujian berganti kebahagiaan. Langit hitam berubah cerah. Aku tak henti-hentinya mengucap syukur atas semua ini. Kubawa Bang Rasya keliling rumah. Menunjukkan hasil bangunan dari kamar sampai dapur. "Ini awak yang beli, Dik?" Pria yang memakai kaus warna biru ini menatap lemari. Kausnya ketat sampai menampakkan otot-otot dadanya yang berisi. "Iya, Bang. Tak jelek kan?" Meski miskin, aku sudah belajar bagaimana cara Umma menata rumah. Jadi sedikitnya sudah tahu bagaimana standar Bang Rasya. "Nanti uangnya Abang ganti." Dia te
Semua tamu pulang. Tinggallah rumah yang lengang. Aku beres-beres dulu sementara Bang Rasya masuk kamar. "Shena tak ke sini, Bu?" tanyaku sambil menyimpan gelas-gelas bekas. "Sudah jangan pikirkan dia. Cepat temui suamimu. Ini biar ibu yang bereskan." "Gak apa-apa, Bu?" Bukannya ingin kerja, tapi grogi mau sekamar dengan Bang Rasya. Kalau dia lelaki biasa mungkin tidak akan setegang ini. Tapi dia adalah tuan mudaku di Malaysia sana. "Sudah sana naik!" Terpaksa aku melangkah ke tangga. Aduh ini serasa akan tidur dengan raja. Beruntung sekali kamu Alina. Punya suami ganteng. Tinggi. Seksi. Kaya. Soleh pula. Sepanjang menaiki tangga aku memuji keberuntungan diri sendiri. Lampu lantai dua temaram. Pencahayaan hanya dari balkon saja. Aku menghela napas lalu membuang napas. "Huh! Bismillah." Aku membuka pintu kamar. Allahu Akbar. Mata ini serupa loncat ke lantai. Aku terkejut dan langsung menutup pintu lagi. Bang Rasya sedang bertelanjang dada. Pinggangnya dililit handuk mungkin