Malam hari di ruang tengah."Pak, Bu. Saya tak bisa lama-lama kat sini. Sebetulnya kedatangan saya kat sini nak lamar Alina." Pria berkopiah itu bicara. Raut wajahnya menenangkan."Nak Rasya serius? Sudah benar yakin pada anak bapak?""Tentu saja, Pak. Tak kan saya datang jauh-jauh ke Indonesia bila tak serius. Saya sungguh ingin menikahi Alina. Ibu saya pun dah setuju."Bapak diam. Menunduk berpikir. "Begini Nak Rasya. Anak bapak pernah dikecewakan. Bapak tidak ikhlas dunia akhirat jika anak bapa terluka lagi. Bapak tidak akan memberikan Alina jika Nak Rasya tidak bersumpah demi Allah akan membahagiakan anak bapak dan tidak akan pernah menyakitinya."Jujur. Aku tidak suka cara bapak dan ibu bersikap baik pada Bang Wisnu juga Shena. Harusnya bapak menghapus mereka dari silsilah keluarga. Tapi sekarang aku mengerti, betapa bapak menyayangiku. Pria lanjut usia ini hanya mau merangkul semuanya."Maaf Pak, saya tak bisa mempertaruhkan nama Allah Yang Maha Besar. Saya tak mau mempertaruhka
Pov Wisnu.Kau tahu mesin press besi? Alat yang biasa digunakan untuk menghancurkan drum bekas. Cara kerjanya adalah: kau tinggal simpan drum bekas pada tempat khusus, lalu dengan perlahan silinder baja akan menekan drum sampai menjadi lempengan.Begitulah gambaran aku sekarang--seperti drum bekas. Lempengan baja sedang berjalan siap menghancurkanku dengan perlahan. Parahnya, aku tidak bisa gerak atau berontak. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan diam, meski tidak bisa diterima jiwa raga.Beginilah dilemanya punya cinta yang tak tuntas. Ingin berjuang untuk hidup bersama kembali salah! Mau melupakan tidak bisa. Membiarkan juga sama artinya bu**h diri.Dadaku dibakar cemburu ketika melihat Teuku Arasya dan Alina berpacaran di samping rumah mereka. Bahkan dengan sok akrabnya Teuku Arasya mengabarkan pertunangan mereka besok. Rasanya aku ingin melayangkan bogem pada orang seberang itu.Aku separah ini bahkan sebelum mereka menikah. Apa lagi nanti saat mereka bersanding. Andai aku tid
"Wisnu, ibu mau bicara sebentar." Ibu mertua berbisik. Aku mempersilakan para tamu untuk masuk rumah, lalu menghampiri ibu mertua. "Kenapa, Bu?" "Wisnu, boleh pinjam tempatmu untuk menerima tamu. Sekalian tunangan di sana. Ibu tidak enak kalau di sini!" pintanya. Duh, aku dilema lagi. Membantu saja sudah terpaksa apa lagi meminjamkan rumah. Tapi ibu benar. Malu kalau menyambut mereka di sini. Meskipun Teuku Arasya tidak mengakui latar belakangnya, aku yakin mereka bukan orang sembarangan. "Minta izin sama Shena saja lah, bu. Itu kan bukan rumahku." Lalu entah bagaimana, Shena yang perhitungan dan tidak mau peduli pada orang lain itu mengijinkan rumahnya untuk dipakai. Empat tamu, Teuku Arasya, dan aku duduk di ruang tamu. Para perempuan di ruang Tv--posisinya dekat ruang tamu. Sementara bapak mertua ke sana-sini terus, sibuk tidak jelas. "Ada tempat bagus untuk off road di daerah sini, Bang?" tanya salah seorang dari mereka dengan antusias. Yang tua di antara mereka hanya yang
Pov Alina"Dik." Bang Wisnu mendekati. Aku yang sedang membereskan meja bekas para tamu, segera berdiri dan mundur beberapa langkah untuk memberi jarak."Kau kemarin minta aku yang membawa acara pertunangan kalian. Sekarang kau mau calon suamimu tinggal di rumah kita. Kenapa tak kau bunuh aku sekalian, Dik!" kata pria yang matanya sendu itu.Aku mengernyit. Ekspresinya seolah diri paling teraniaya. Kalimatnya serupa jiwa yang sangat nelangsa. Hai! siapa yang kemarin memulai? Apa masih lupa kejadian yang telah lama? Kita tidak pernah bertengkar dan tak ada masalah. Lalu tanpa tedeng aling-aling, kau menghancurkan semuanya. Jika bukan karena kepepet aku juga tidak mau melihatmu.Aku mengangkat dagu. Tersenyum miris. "Abang mau mati? Mati saja, siapa yang mau peduli." Mataku membola. "Ingat. Belum ada pembagian gono-gini. Jadi di rumah ini masih ada hakku.""Abang tahu, tapi kenapa harus di rumah ini. Cari tempat yang lain.""Ada apa ini, Dik?" Bang Rasya tiba-tiba datang dan menyaksikan
"Iya ... puas?" Aku menatapnya lekat. "Mbak sudah khatam dengan karaktermu, Shena. Wisnu saja kau mau yang hanya guru honorer, apa lagi calon suamiku.""Jadi betul dia orang kaya? Mbak harus hati-hati kalau begitu. Layani dengan baik jangan sampai aku ambil lagi." Shena tersenyum puas."Shena ... Shena .... Mbak tak habis pikir. Padahal dulu kamu itu model. Mbak pikir kamu akan jadi orang sukses dan besar. Malah jadi istri kedua. Kariermu mentok gak naik lagi. Eh, malah selingkuh sama Wisnu yang hanya guru honorer." Aku menggeleng. "Padahal dulu kamu itu cantik, pasti bisa dapat yang lebih baik dari Wisnu. Sayang sekali, ya." Aku menggeleng lagi. Ini pandangan tulus seorang kakak pada adiknya.Dari kecil Shena adalah anak kebanggaan ibu dan bapak. Apa yang dia mau pasti dituruti. Shena ikut modeling ke kota. Ikut testing sana sini. Pakaian baju bagus dan mahal. Bapak sampai jual sawah untuk mengikuti semua kemauannya. Sementara aku hanya menonton dan bertepuk tangan. Karena sadar aku
Tahun 2014.Ini pertama kali aku menginjakkan kaki di negeri Jiran. Berjalan di bandara dengan membawa tas jinjing berisi beberapa helai pakaian. Menggunakan sandal teplek dan ikat rambut karet.Punya suami guru honorer yang penghasilannya beberapa ratus ribu saja, jangankan beli bedak atau lipstik. Beli baju setahun sekali saja sudah luar biasa. Penampilanku tak ayal bak gembel. Usia 30 tahun seperti 40 tahun. Ditambah ujian yang tak dapat kupikul. Lengkap sudah. Serupa mayat berjalan.Aku duduk di salah satu kursi. Menunggu seseorang. Berdasarkan informasi dari pihak penyalur tenaga kerja, akan ada yang datang menjemput. Yang paling ditakutkan orang-orang ketika menjadi TKW yaitu punya majikan yang tak berperikemanusiaan. Aku malah berdoa dapat majikan begitu agar bisa mati tanpa bunuh diri.Seorang pria tampan memakai kemeja dan dasi yang dibalut rompi menghampiri. "Name awak Alina, bukan?" tanyanya ramah."Iya, saya." Aku menjawab datar."Pekerja dari PT Khalid Anhar.""Betul, Tua
Iba mungkin mereka, semua pekerja mendadak baik. Umma dan Tuan muda pun sangat perhatian. Umma selalu mengajaku pergi keluar setiap minggu untuk mengikuti kajian. Ilmu dari para ustadz seperti membuka benteng-benteng keterpurukan. Aku mulai memiliki semangat hidup dan tidak mau mati sia-sia lagi. Kuperbaiki penampilan sesuai usia.Ayah yang jarang di rumah. Oma yang sudah tua dan tidak bisa mengajak bermain lama-lama. Membuat baby Zikri sangat dekat denganku. Jangankan pergi lama, mandi saja aku ditangisi.Waktu berlalu sampai bayi Zikri bisa bicara. Anak menggemaskan itu mengikuti apa yang aku katakan. Seperti memanggil tuan muda pada ayahnya. Akhirnya aku tidak boleh menyebut tuan muda lagi jika ada Zikri. Tapi harus memanggil Papa agar anak itu mengikuti.Setiap tahun, Tuan muda punya jadwal liburan ke luar negeri. Aku harus ikut karena menjaga Zikri. Kami pernah bermain salju di Korea. Naik menara Eiffel di Paris. Yang terakhir melihat piramida di Mesir. Banyak sekali pengalaman y
Aku menatap malam dari kaca jendela kamar. Hanya ada gelap tak ada satu pun bintang. Sepertinya langit sedang mendung. Suhu kamar pun terasa lebih panas dari biasanya.Kututup gorden. Merebahkan diri di kasur. Memaksa memejamkan mata. Hal buruk yang sering muncul di pelupuk mata coba kuhilangkan. Membayangkan sosok Bang Rasya dan Zikri. Ah, Zikri. Betapa aku merindukan anak itu. Baru beberapa hari tapi serasa sudah lama sekali. 'Zikri, Mama Alin kangen.' Aku berkata dalam hati.Belum semenit ponsel sudah berbunyi. Ada panggilan video call dari Bang Rasya."Mama Alin. Kapan pulang? Iki rindu sangat." Sambut Zikri saat aku baru saja hadir di layar.Aku tersenyum gemas. "Mama Alin juga rindu, Sayang. Iki sehat, Nak?""Iki sehat. Otot Iki sebesar Papa." Anak bernama lengkap Teuku Azikri ini menunjukkan lengan tangannya. Ayahandanya geleng-geleng."You always say. Rindu, rindu ke Mama Alin. Ke Papa tak rindu kah?" kata Bang Rasya. Kecanggihan teknologi sudah mempertemukan manusia di tiga t
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku