Pov Alina
Aku dan ibu masak besar. Daging, sayur, lalapan... semua ada. Bahkan kupersiapkan makanan kesukaannya: roti canai.
Dapur kecil yang kurang resik ini dipenuhi banyak aneka bahan makanan, berserakan di meja dan lantai.
"Apa kita tidak harus masak masakan Malaysia?" Suara spatula bertemu wajan besi menjadi musik pengiring kalimat ibu. Beliau sedang memasak daging. Harum lengkuas dan bumbu rempah lainnya menguar di sini.
Aku mencuci daun bawang dan mengirisnya. "Untuk apa jauh-jauh datang ke Indonesia kalau mau makan makanan Malaysia. Justru karena ini Indonesia kita harus menyediakan yang berbeda."
"Kalau dia tak suka bagaimana?"
"Ya, terserah. Itu kan yang ingin kita lihat. Bagaimana cara dia menyikapi perbedaan yang ada."
Ibu menghentikan gerak tangannya. Suara spatula bertemu wajan berhenti, berganti jadi nada letupan air kuah daging. Beberapa detik ibu bengong melamun. "Kalau laki-laki itu pria yang pantas, kamu akan pergi jauh dari ibu lagi."
"Alina lebih baik pergi jauh dari sini, Bu. Lina sudah tidak betah di sini. Cocok atau tidak Lina dengan dia, Lina pasti pergi jauh dari kampung ini.
"Ibu ikut saja dengan Lina, kita tak perlu berjauhan."
"Mana bisa ibu meninggalkan tempat ini." Ibu melanjutkan gerakan memasaknya.
Kuambil mangkuk besar dan mencicipi semur daging buatan ibu.
"Enak?"
"Pas." Aku mengangguk, lalu kami lanjutkan dengan masak menu yang lainnya.
"Apa kamu tidak mau baikkan dengan Shena, Lin?" tanya ibu di sela-sela kesibukan.
"Bukan tak mau, Bu. Tapi tak bisa. Untuk sekarang tidak bisa, entah kalau nanti-nanti."
Ibu menghirup napas panjang, dan membuang sampai terdengar helaan. "Dulu saat ibu hamil oleh Shena, ibu mimpi melihat bulan purnama." Ibu mengulang apa yang sering diceritakannya.
"Ibu yakin kalau anak yang dikandung pasti jadi orang besar yang cerah masa depannya. Orang-orang juga bilang Shena pasti membawa rezeki yang besar. Ternyata betul saja Shena tumbuh jadi anak yang sangat cantik. Tapi ibu khilaf, ibu lupa diri. Kecantikan ternyata membawa Shena ke jalan yang salah. Dia bukan hanya menyakiti wanita lain, dia juga menyakiti kakaknya sendiri."
Jujur aku tak suka mendengar nama itu meski dia seorang adik.
Panjang umur rupanya yang sedang dibicarakan. Shena sudah berdiri di pintu belakang rumah tanpa kami tahu kapan kedatangannya.
"Masak besar ni ceritanya." Nadanya seperti orang yang malas bicara. Tumben beda, biasanya dia nyolot kalau datang.
"Mau ada tamu." Ibu menimpali.
"Siapa?"
"Calonnya mbakmu."
"Oh, Mbak Alina sudah punya calon. Bagus lah." Shena melangkahkan kaki memasuki dapur bersama anak balita perempuan. Pasti itu anak yang dikandung dulu. Aku suka semua anak kecil, tapi melihat anaknya Shena aku tak terketuk sedikit pun.
Dengan tak tahu dirinya Shena membuka lemari. Lalu dia menyendok daging, mencicipi. Kemudian Shena mau menyimpan sendok bekas mulutnya ke mangkuk lagi.
Cepat kuambil sebelum sendok itu mendarat. "Ini buat tamu. Kira-kira lah. Kau mau simpan di sini sendok bekas itu?!" Alisku menegang.
Dari dulu aku mengalah, menahan diri agar tak marah. Belakangan ini dinding-dinding kesabaran semakin menipis. Aku tidak ingin ibu dan bapak terluka dengan pertengkaran semacam ini. Tapi aku hanya manusia lemah iman yang memiliki batas sabar.
"Haih. Ini masih bersih bukan najis, Mbak." Shena membalas mata marahku.
"Bawa saja ke rumahmu." Aku mendelik dan memindahkan semur daging dari lemari makanan dapur ke lemari depan.
"Lihat, Bu. Mbak Lina tidak sesuci itu. Masa sendok saja dipermasalahkan."
"Kamu dan suamimu itu sama. Tak punya aturan dalam hidup." Aku kembali duduk.
Shena tersenyum. "Suamiku itu mantan suamimu, Mbak .... Ingat ... meskipun dia tak punya aturan, Mbak tetap cinta sama dia kan."
Mulutku terbuka untuk membalas perkataan Shena. Tapi kuurungkan kalimat yang siap keluar dari mulut ini karena melihat air mata ibu.
Tangan kasar ibu mengusap pipinya yang legam. Lalu beliau beranjak ke kamar mandi.
"Liat! Mbak yang buat ibu sedih. Ibu tidak pernah menangis kalau tidak ada Mbak." Shena menggendong anaknya. "Yuk Cha, kita nongkrong di depan."
***
Ada tiga bis antar kota yang lewat depan rumahku. Yang pertama datang jam 11, kedua jam satu siang, ketiga jam empat sore. Setelah itu tidak ada lagi.
Kemarin aku naik yang pertama, datang jam sebelas siang. Sekarang Bang Rasya naik yang jam berapa kira-kira?
Aku sudah memberikan rute perjalanan dengan umum, semoga saja dia mengikuti arahanku. Karena bahaya menyasar kalau dia tidak naik bis.
Sebelum jam sebelas, makanan sudah siap. Bis pertama juga telah lewat. Bang Rasya tidak ada.
Jam 12:00...
Jam 13:00...
Aku menunggu. Dia tak juga tiba. Pesan pun tak ada.
Aku terus menunggu sampai bis ketiga berlalu. Bang Rasya betulan tak datang. Baik lah mungkin dia berbohong, bilang mau datang ke sini tapi tidak jadi. Wajar. Saudara pun bisa berkhianat apa lagi orang lain.
Aku mengambil wudhu untuk shalat Asar.
"Belum datang juga calonmu, Lin?" seru bapak yang ikut menunggu. Pakaian bapak sudah rapi dari siang tadi.
"Belum. Mungkin tidak." Aku beranjak ke kamar, menggelar sejadah dan bersiap shalat. Kuambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kupejamkan mata lalu mengucap takbir.
Berharap pada manusia hanya akan mendapat kecewa.
.
"Jauh sekali, ya, Pak. Sampai nyasar berkali-kali saye." Suara pria berlogat melayu. Bang Rasya? Apa itu Bang Rasya? Sejak kapan tiba?
"Sudah jauh jelek pula jalannya, ya?" Kali ini suara bapak yang terdengar. Beliau terkekeh ringan.
Aku segera melipat sejadah. Lantas keluar dengan masih menggunakan mukena. Pria berkaus hitam itu sudah duduk di kursi. Dia tersenyum.
"Bang Rasya?" Aku ternganga. Pria tinggi berdada lebar itu mengangkat kedua alis. "Sejak kapan tiba?" lanjutku.
"Baru saja. Two minutes ago." Tersenyum lagi.
Saking fokusnya shalat aku sampai tak sadar ada yang sudah datang. Maklum shalatnya sambil curhat.
Sekarang bukan tamuku yang kikuk, malah aku yang tak tahu harus berbuat apa. Bapak dan Bang Rasya sudah duduk manis di sana.
"Naik apa ke sini?" Ibu menghampiri dengan membawa suguhan air.
"Saye naik kereta, Mak."
"Wah! Naik kereta sampai mana?"
"Sampai depan. Saye simpan di rumah tetangga."
"Hah?" Ibu kebingungan. Aku tersenyum geli. Pasti ibu membayangkan Bang Rasya membawa kereta api sampai depan rumah.
"Maksudnya mobil, Bu." Aku menjelaskan.
"Oooh... " Ibu dan bapak ber oh ria.
"Haa ... sorry. Saye lupa. Kereta tu maksudnya mobil." Bang Rasya mengangguk dan melihat bapak serta ibu secara bergantian. "Saya lahir di Aceh. Tapi sudah lama di Malaysia. Bahasa Indonesia dan melayu suka tertukar."
"Hooo ... kaget, Pak. Ibu pikir kereta betulan."
"Maaf ... maaf ... sorry."
"Aceh, ya. Bapak pikir asli Malaysia."
"Tak... tak, Pak. Saye lahir di Aceh. Tapi sudah pindah warga negara. Name saye Teuku Arasya."
"Hoooo ...." Bapak mengangguk.
Orang tuaku miskin dan berpendidikan rendah. Tidak semua orang kota mudah berbaur dengan mereka. Tapi Bang Rasya langsung bisa beradaptasi. Mereka saling mengobrol hangat diiringi senyum sesekali.
Lalu datanglah orang yang tak diundang. Sekonyong-konyong Shena ikut berbaur dengan kami.
"Ini calon suaminya Mbak Alina?" Dia berkata sok akrab. Mengulurkan tangan pada Bang Rasya, mengajak salaman.
Bang Rasya menyambut dengan senyuman. Pria berjanggut tipis itu mengulurkan tangan tapi cepat menariknya lagi sebelum bersentuhan. Dia menyimpan telapak tangannya di dada seraya bilang, "Insya Allah. Mudah-mudahan.”
Shena mengernyit. Lalu memilih cuek.
"Kerja apa di Malaysia? Supir?"
Bang Rasya melihatku, lalu irisnya kembali lagi pada Shena. "Kadang saye jadi driver juga."
"Ohhhh ... supir ...." Shena tersenyum. "Cocok." Dia mengangguk.
"Padahal lebih baik kerja di Indonesia loh, dari pada jauh-jauh ke Malaysia. Upah juga cuma berapa kan. Di sini juga UMR udah besar, kalo hanya empat juta di kota juga dapat ... kalau suami saya sih, guru. Udah PNS. Jadi besar. Ada gaji ke tiga belas, sertifikasi, banyak lah."
Bang Rasya hanya tersenyum dan mengangguk.
"Itu mobil. Sewa?"
Bang Rasya menunduk dan tersenyum lagi. "Iya saya sewa dari Jakarta."
"Oh, pantes. Udah ketebak sih."
.
Waktunya makan-makan. Kami--para perempuan--mengangkut makanan dari dapur.
Shena mendekatiku dan berbisik, "Udah dicobain belum dia, Mbak? Sekuat Bang Wisnu tidak?"
Aku mengernyit dengan ekspresi jijik, beraninya dia bilang begitu. Heran.
"Asal Mbak tahu, ya, laki-laki seperti Bang Wisnu itu jarang. Jadi menurutku pastikan dulu. Ya, minimalnya tenaganya sama." Shena mendekatkan mulut ke telingaku. "Biar puas."
Aku menelan saliva dan menatap ke dua bola matanya. "Jika bagimu dunia ini tempat memuaskan hawa nafsu. Kenapa tidak coba saja semua laki-laki, barangkali ada yang lebih kuat dari Wisnu?" Aku menjeda.
"Bagi saya dunia ini tempat berpuasa. Jadi cara hidup kita pasti berbeda!" Aku langsung balik kanan meninggalkan Shena.
Bersambung ....
Matahari telah terbenam meninggalkan warna biru langit yang cerah. Adzan Magrib berkumandang dari segara arah. Hilir angin sejuk menyapa wajah.Kami bukan keluarga dengan tingkat keimanan tinggi. Bapak jarang pergi ke masjid, dan kami pun tidak berjamaah di rumah. Shalat hanya sendiri-sendiri. Bapakku hanya petani yang menghabiskan waktu dari pagi sampai sore. Sering meninggalkan kewajiban lima waktu. Aku pun tidak berani menegur karena segan. Ah, lagi pula imanku pas-pasan hanya saat lagi banyak ujian saja aku berlama-lama menghadap Tuhan, bagai mana bisa meluruskan orang tua.Bang Rasya sudah mandi di WC kami yang jelek, pintunya lapuk dan temboknya tergerus waktu. Maklum, bangunan ini memang sudah lama."Masjid kat mane, Dik." Bang Rasya berdiri depan kamar yang kami sediakan. Dia memakai koko dan sarung, lengkap dengan kopiah. Wajahnya bercahaya, segar, juga harum. Mana ada yang mengira dia sopir."Agak jauh, Bang. Abang bisa pilih yang kanan jalan atau yang kiri jalan. Jaraknya h
Pov WisnuSore hari di teras rumah.Aku duduk dengan kedua tangan menarik lutut. Mata tertuju pada jeep merah yang terparkir cantik.Pemilik mobil itu mengaku sebagai calon suaminya Alina. Pasti dia bukan orang yang biasa. Dari penampilan dan kendaraannya jelas sekali orang kaya. Aku senang jika Alina sudah tidak terpuruk seperti dulu. Tetapi sisi lain dalam diri masih tak ikhlas. Jauh di dalam hati, nama Alina masih terukir dengan tinta emas.Sudahlah, Wisnu. Bukankah sudah terlalu banyak kau menyakiti Alina? Sekarang biarkan dia bahagia.Benar. Alina harus bahagia. Tapi masalahnya, apa aku bisa melihat dia bersanding dengan orang lain? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Brengsek memang, dia kukhianati tapi tak boleh dengan orang lain.“Kukira orang kaya, ternyata cuma supir.” Seperti biasa, Shena pulang dengan mengomel. Wanita yang semakin berisi itu melirik jeep merah lalu melanjutkan kalimatnya. “Haih, mobilnya ternyata cuma sewa.” Shena melenggang lagi melanjutkan
Aku hilir mudik menunggu Bang Rasya. Ke mana dia pergi? Kampung ini kan bukan tempat tinggalnya. Mana pergi tak bilang-bilang pula. "Cari siapa, Lina?" tanya bapak yang melihat kekhawatiranku. "Bang Rasya. Ke mana, ya, kok lama perginya." "Bapak lihat ngobrol sama Wisnu tadi. Mungkin masih di sana." "Di mana, Pak?" Aku mengernyit tegang. "Di rumah Shena." Ya Allah. Aku duduk dan memegangi dada. Jangan sampai hal yang dulu kejadian lagi Ya Allah. Jangan. Sungguh aku tidak akan bisa hidup jika itu sampai terjadi dua kali. Jantungku berdetak tak beraturan, telapak tangan mulai dingin. "Lin, kamu kenapa pucat sekali?" Bapak langsung duduk menyentuh lenganku. "Alina takut kejadian yang dulu terjadi lagi, Pak. Bang Rasya kenapa pergi ke rumah Shena?" Bapak mengusap-usap punggungku. "Tenang, tenang, istighfar, Rasya ngobrol sama Wisnu di depan rumah sambil ngopi ... Tenang, istighfar, tidak akan terjadi apa-apa. Atau bapak suruh Rasya pulang?" Bapak memiringkan wajah demi melihat r
Malam hari di ruang tengah."Pak, Bu. Saya tak bisa lama-lama kat sini. Sebetulnya kedatangan saya kat sini nak lamar Alina." Pria berkopiah itu bicara. Raut wajahnya menenangkan."Nak Rasya serius? Sudah benar yakin pada anak bapak?""Tentu saja, Pak. Tak kan saya datang jauh-jauh ke Indonesia bila tak serius. Saya sungguh ingin menikahi Alina. Ibu saya pun dah setuju."Bapak diam. Menunduk berpikir. "Begini Nak Rasya. Anak bapak pernah dikecewakan. Bapak tidak ikhlas dunia akhirat jika anak bapa terluka lagi. Bapak tidak akan memberikan Alina jika Nak Rasya tidak bersumpah demi Allah akan membahagiakan anak bapak dan tidak akan pernah menyakitinya."Jujur. Aku tidak suka cara bapak dan ibu bersikap baik pada Bang Wisnu juga Shena. Harusnya bapak menghapus mereka dari silsilah keluarga. Tapi sekarang aku mengerti, betapa bapak menyayangiku. Pria lanjut usia ini hanya mau merangkul semuanya."Maaf Pak, saya tak bisa mempertaruhkan nama Allah Yang Maha Besar. Saya tak mau mempertaruhka
Pov Wisnu.Kau tahu mesin press besi? Alat yang biasa digunakan untuk menghancurkan drum bekas. Cara kerjanya adalah: kau tinggal simpan drum bekas pada tempat khusus, lalu dengan perlahan silinder baja akan menekan drum sampai menjadi lempengan.Begitulah gambaran aku sekarang--seperti drum bekas. Lempengan baja sedang berjalan siap menghancurkanku dengan perlahan. Parahnya, aku tidak bisa gerak atau berontak. Aku hanya bisa menerima semuanya dengan diam, meski tidak bisa diterima jiwa raga.Beginilah dilemanya punya cinta yang tak tuntas. Ingin berjuang untuk hidup bersama kembali salah! Mau melupakan tidak bisa. Membiarkan juga sama artinya bu**h diri.Dadaku dibakar cemburu ketika melihat Teuku Arasya dan Alina berpacaran di samping rumah mereka. Bahkan dengan sok akrabnya Teuku Arasya mengabarkan pertunangan mereka besok. Rasanya aku ingin melayangkan bogem pada orang seberang itu.Aku separah ini bahkan sebelum mereka menikah. Apa lagi nanti saat mereka bersanding. Andai aku tid
"Wisnu, ibu mau bicara sebentar." Ibu mertua berbisik. Aku mempersilakan para tamu untuk masuk rumah, lalu menghampiri ibu mertua. "Kenapa, Bu?" "Wisnu, boleh pinjam tempatmu untuk menerima tamu. Sekalian tunangan di sana. Ibu tidak enak kalau di sini!" pintanya. Duh, aku dilema lagi. Membantu saja sudah terpaksa apa lagi meminjamkan rumah. Tapi ibu benar. Malu kalau menyambut mereka di sini. Meskipun Teuku Arasya tidak mengakui latar belakangnya, aku yakin mereka bukan orang sembarangan. "Minta izin sama Shena saja lah, bu. Itu kan bukan rumahku." Lalu entah bagaimana, Shena yang perhitungan dan tidak mau peduli pada orang lain itu mengijinkan rumahnya untuk dipakai. Empat tamu, Teuku Arasya, dan aku duduk di ruang tamu. Para perempuan di ruang Tv--posisinya dekat ruang tamu. Sementara bapak mertua ke sana-sini terus, sibuk tidak jelas. "Ada tempat bagus untuk off road di daerah sini, Bang?" tanya salah seorang dari mereka dengan antusias. Yang tua di antara mereka hanya yang
Pov Alina"Dik." Bang Wisnu mendekati. Aku yang sedang membereskan meja bekas para tamu, segera berdiri dan mundur beberapa langkah untuk memberi jarak."Kau kemarin minta aku yang membawa acara pertunangan kalian. Sekarang kau mau calon suamimu tinggal di rumah kita. Kenapa tak kau bunuh aku sekalian, Dik!" kata pria yang matanya sendu itu.Aku mengernyit. Ekspresinya seolah diri paling teraniaya. Kalimatnya serupa jiwa yang sangat nelangsa. Hai! siapa yang kemarin memulai? Apa masih lupa kejadian yang telah lama? Kita tidak pernah bertengkar dan tak ada masalah. Lalu tanpa tedeng aling-aling, kau menghancurkan semuanya. Jika bukan karena kepepet aku juga tidak mau melihatmu.Aku mengangkat dagu. Tersenyum miris. "Abang mau mati? Mati saja, siapa yang mau peduli." Mataku membola. "Ingat. Belum ada pembagian gono-gini. Jadi di rumah ini masih ada hakku.""Abang tahu, tapi kenapa harus di rumah ini. Cari tempat yang lain.""Ada apa ini, Dik?" Bang Rasya tiba-tiba datang dan menyaksikan
"Iya ... puas?" Aku menatapnya lekat. "Mbak sudah khatam dengan karaktermu, Shena. Wisnu saja kau mau yang hanya guru honorer, apa lagi calon suamiku.""Jadi betul dia orang kaya? Mbak harus hati-hati kalau begitu. Layani dengan baik jangan sampai aku ambil lagi." Shena tersenyum puas."Shena ... Shena .... Mbak tak habis pikir. Padahal dulu kamu itu model. Mbak pikir kamu akan jadi orang sukses dan besar. Malah jadi istri kedua. Kariermu mentok gak naik lagi. Eh, malah selingkuh sama Wisnu yang hanya guru honorer." Aku menggeleng. "Padahal dulu kamu itu cantik, pasti bisa dapat yang lebih baik dari Wisnu. Sayang sekali, ya." Aku menggeleng lagi. Ini pandangan tulus seorang kakak pada adiknya.Dari kecil Shena adalah anak kebanggaan ibu dan bapak. Apa yang dia mau pasti dituruti. Shena ikut modeling ke kota. Ikut testing sana sini. Pakaian baju bagus dan mahal. Bapak sampai jual sawah untuk mengikuti semua kemauannya. Sementara aku hanya menonton dan bertepuk tangan. Karena sadar aku