Share

Bab 7

Pov Alina

Aku dan ibu masak besar. Daging, sayur, lalapan... semua ada. Bahkan kupersiapkan makanan kesukaannya: roti canai.

Dapur kecil yang kurang resik ini dipenuhi banyak aneka bahan makanan, berserakan di meja dan lantai.

"Apa kita tidak harus masak masakan Malaysia?" Suara spatula bertemu wajan besi menjadi musik pengiring kalimat ibu. Beliau sedang memasak daging. Harum lengkuas dan bumbu rempah lainnya menguar di sini.

Aku mencuci daun bawang dan mengirisnya. "Untuk apa jauh-jauh datang ke Indonesia kalau mau makan makanan Malaysia. Justru karena ini Indonesia kita harus menyediakan yang berbeda."

"Kalau dia tak suka bagaimana?"

"Ya, terserah. Itu kan yang ingin kita lihat. Bagaimana cara dia menyikapi perbedaan yang ada."

Ibu menghentikan gerak tangannya. Suara spatula bertemu wajan berhenti, berganti jadi nada letupan air kuah daging. Beberapa detik ibu bengong melamun. "Kalau laki-laki itu pria yang pantas, kamu akan pergi jauh dari ibu lagi."

"Alina lebih baik pergi jauh dari sini, Bu. Lina sudah tidak betah di sini. Cocok atau tidak Lina dengan dia, Lina pasti pergi jauh dari kampung ini.

"Ibu ikut saja dengan Lina, kita tak perlu berjauhan."

"Mana bisa ibu meninggalkan tempat ini." Ibu melanjutkan gerakan memasaknya.

Kuambil mangkuk besar dan mencicipi semur daging buatan ibu.

"Enak?"

"Pas." Aku mengangguk, lalu kami lanjutkan dengan masak menu yang lainnya.

"Apa kamu tidak mau baikkan dengan Shena, Lin?" tanya ibu di sela-sela kesibukan.

"Bukan tak mau, Bu. Tapi tak bisa. Untuk sekarang tidak bisa, entah kalau nanti-nanti."

Ibu menghirup napas panjang, dan membuang sampai terdengar helaan. "Dulu saat ibu hamil oleh Shena, ibu mimpi melihat bulan purnama." Ibu mengulang apa yang sering diceritakannya.

"Ibu yakin kalau anak yang dikandung pasti jadi orang besar yang cerah masa depannya. Orang-orang juga bilang Shena pasti membawa rezeki yang besar. Ternyata betul saja Shena tumbuh jadi anak yang sangat cantik. Tapi ibu khilaf, ibu lupa diri. Kecantikan ternyata membawa Shena ke jalan yang salah. Dia bukan hanya menyakiti wanita lain, dia juga menyakiti kakaknya sendiri."

Jujur aku tak suka mendengar nama itu meski dia seorang adik.

Panjang umur rupanya yang sedang dibicarakan. Shena sudah berdiri di pintu belakang rumah tanpa kami tahu kapan kedatangannya.

"Masak besar ni ceritanya." Nadanya seperti orang yang malas bicara. Tumben beda, biasanya dia nyolot kalau datang.

"Mau ada tamu." Ibu menimpali.

"Siapa?"

"Calonnya mbakmu."

"Oh, Mbak Alina sudah punya calon. Bagus lah." Shena melangkahkan kaki memasuki dapur bersama anak balita perempuan. Pasti itu anak yang dikandung dulu. Aku suka semua anak kecil, tapi melihat anaknya Shena aku tak terketuk sedikit pun.

Dengan tak tahu dirinya Shena membuka lemari. Lalu dia menyendok daging, mencicipi. Kemudian Shena mau menyimpan sendok bekas mulutnya ke mangkuk lagi.

Cepat kuambil sebelum sendok itu mendarat. "Ini buat tamu. Kira-kira lah. Kau mau simpan di sini sendok bekas itu?!" Alisku menegang.

Dari dulu aku mengalah, menahan diri agar tak marah. Belakangan ini dinding-dinding kesabaran semakin menipis. Aku tidak ingin ibu dan bapak terluka dengan pertengkaran semacam ini. Tapi aku hanya manusia lemah iman yang memiliki batas sabar.

"Haih. Ini masih bersih bukan najis, Mbak." Shena membalas mata marahku.

"Bawa saja ke rumahmu." Aku mendelik dan memindahkan semur daging dari lemari makanan dapur ke lemari depan.

"Lihat, Bu. Mbak Lina tidak sesuci itu. Masa sendok saja dipermasalahkan."

"Kamu dan suamimu itu sama. Tak punya aturan dalam hidup." Aku kembali duduk.

Shena tersenyum. "Suamiku itu mantan suamimu, Mbak .... Ingat ... meskipun dia tak punya aturan, Mbak tetap cinta sama dia kan."

Mulutku terbuka untuk membalas perkataan Shena. Tapi kuurungkan kalimat yang siap keluar dari mulut ini karena melihat air mata ibu.

Tangan kasar ibu mengusap pipinya yang legam. Lalu beliau beranjak ke kamar mandi.

"Liat! Mbak yang buat ibu sedih. Ibu tidak pernah menangis kalau tidak ada Mbak." Shena menggendong anaknya. "Yuk Cha, kita nongkrong di depan."

***

Ada tiga bis antar kota yang lewat depan rumahku. Yang pertama datang jam 11, kedua jam satu siang, ketiga jam empat sore. Setelah itu tidak ada lagi.

Kemarin aku naik yang pertama, datang jam sebelas siang. Sekarang Bang Rasya naik yang jam berapa kira-kira?

Aku sudah memberikan rute perjalanan dengan umum, semoga saja dia mengikuti arahanku. Karena bahaya menyasar kalau dia tidak naik bis.

Sebelum jam sebelas, makanan sudah siap. Bis pertama juga telah lewat. Bang Rasya tidak ada.

Jam 12:00...

Jam 13:00...

Aku menunggu. Dia tak juga tiba. Pesan pun tak ada.

Aku terus menunggu sampai bis ketiga berlalu. Bang Rasya betulan tak datang. Baik lah mungkin dia berbohong, bilang mau datang ke sini tapi tidak jadi. Wajar. Saudara pun bisa berkhianat apa lagi orang lain.

Aku mengambil wudhu untuk shalat Asar.

"Belum datang juga calonmu, Lin?" seru bapak yang ikut menunggu. Pakaian bapak sudah rapi dari siang tadi.

"Belum. Mungkin tidak." Aku beranjak ke kamar, menggelar sejadah dan bersiap shalat. Kuambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kupejamkan mata lalu mengucap takbir.

Berharap pada manusia hanya akan mendapat kecewa.

.

"Jauh sekali, ya, Pak. Sampai nyasar berkali-kali saye." Suara pria berlogat melayu. Bang Rasya? Apa itu Bang Rasya? Sejak kapan tiba?

"Sudah jauh jelek pula jalannya, ya?" Kali ini suara bapak yang terdengar. Beliau terkekeh ringan.

Aku segera melipat sejadah. Lantas keluar dengan masih menggunakan mukena. Pria berkaus hitam itu sudah duduk di kursi. Dia tersenyum.

"Bang Rasya?" Aku ternganga. Pria tinggi berdada lebar itu mengangkat kedua alis. "Sejak kapan tiba?" lanjutku.

"Baru saja. Two minutes ago." Tersenyum lagi.

Saking fokusnya shalat aku sampai tak sadar ada yang sudah datang. Maklum shalatnya sambil curhat.

Sekarang bukan tamuku yang kikuk, malah aku yang tak tahu harus berbuat apa. Bapak dan Bang Rasya sudah duduk manis di sana.

"Naik apa ke sini?" Ibu menghampiri dengan membawa suguhan air.

"Saye naik kereta, Mak."

"Wah! Naik kereta sampai mana?"

"Sampai depan. Saye simpan di rumah tetangga."

"Hah?" Ibu kebingungan. Aku tersenyum geli. Pasti ibu membayangkan Bang Rasya membawa kereta api sampai depan rumah.

"Maksudnya mobil, Bu." Aku menjelaskan.

"Oooh... " Ibu dan bapak ber oh ria.

"Haa ... sorry. Saye lupa. Kereta tu maksudnya mobil." Bang Rasya mengangguk dan melihat bapak serta ibu secara bergantian. "Saya lahir di Aceh. Tapi sudah lama di Malaysia. Bahasa Indonesia dan melayu suka tertukar."

"Hooo ... kaget, Pak. Ibu pikir kereta betulan."

"Maaf ... maaf ... sorry."

"Aceh, ya. Bapak pikir asli Malaysia."

"Tak... tak, Pak. Saye lahir di Aceh. Tapi sudah pindah warga negara. Name saye Teuku Arasya."

"Hoooo ...." Bapak mengangguk.

Orang tuaku miskin dan berpendidikan rendah. Tidak semua orang kota mudah berbaur dengan mereka. Tapi Bang Rasya langsung bisa beradaptasi. Mereka saling mengobrol hangat diiringi senyum sesekali.

Lalu datanglah orang yang tak diundang. Sekonyong-konyong Shena ikut berbaur dengan kami.

"Ini calon suaminya Mbak Alina?" Dia berkata sok akrab. Mengulurkan tangan pada Bang Rasya,  mengajak salaman.

Bang Rasya menyambut dengan senyuman. Pria berjanggut tipis itu mengulurkan tangan tapi cepat menariknya lagi sebelum bersentuhan. Dia menyimpan telapak tangannya di dada seraya bilang, "Insya Allah. Mudah-mudahan.”

Shena mengernyit. Lalu memilih cuek.

"Kerja apa di Malaysia? Supir?"

Bang Rasya melihatku, lalu irisnya kembali lagi pada Shena. "Kadang saye jadi driver juga."

"Ohhhh ... supir ...." Shena tersenyum. "Cocok." Dia mengangguk.

"Padahal lebih baik kerja di Indonesia loh, dari pada jauh-jauh ke Malaysia. Upah juga cuma berapa kan. Di sini juga UMR udah besar, kalo hanya empat juta di kota juga dapat ... kalau suami saya sih, guru. Udah PNS. Jadi besar. Ada gaji ke tiga belas, sertifikasi, banyak lah."

Bang Rasya hanya tersenyum dan mengangguk.

"Itu mobil. Sewa?"

Bang Rasya menunduk dan tersenyum lagi. "Iya saya sewa dari Jakarta."

"Oh, pantes. Udah ketebak sih."

.

Waktunya makan-makan. Kami--para perempuan--mengangkut makanan dari dapur.

Shena mendekatiku dan berbisik, "Udah dicobain belum dia, Mbak? Sekuat Bang Wisnu tidak?"

Aku mengernyit dengan ekspresi jijik, beraninya dia bilang begitu. Heran.

"Asal Mbak tahu, ya, laki-laki seperti Bang Wisnu itu jarang. Jadi menurutku pastikan dulu. Ya, minimalnya tenaganya sama." Shena mendekatkan mulut ke telingaku. "Biar puas."

Aku menelan saliva dan menatap ke dua bola matanya. "Jika bagimu dunia ini tempat memuaskan hawa nafsu. Kenapa tidak coba saja semua laki-laki, barangkali ada yang lebih kuat dari Wisnu?" Aku menjeda.

"Bagi saya dunia ini tempat berpuasa. Jadi cara hidup kita pasti berbeda!" Aku langsung balik kanan meninggalkan Shena.

Bersambung ....

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si alina terlalu menye2 dan kelewat jaim.
goodnovel comment avatar
Galangrr
bingung ngisi koinx
goodnovel comment avatar
Potato Peach
...... shena pikiran nya gak jauh2 dr yg begituan dasar dangkal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status