Resepsionis melihat aku dan Satria secara bergantian. Lalu gadis ber-name tag Soraya itu mengangkat telepon. “Ya, Mr ... “Ya ... “I’m sorry, Mr ... “Oke ... “ya ....” Ekspresi wajah Soraya langsung berubah pucat. Satria mengangkat dagu semakin pongah. Gadis itu berbisik dengan temannya, lalu mereka keluar dari meja resepsionis dengan menunduk. “I’m sorry. Kami tak tahu bila Miss istri Mr. Rasya.” Mereka membungkuk di depanku. “Tidak apa-apa.” “Mari saya antar," kata salah satu di antara mereka. Gadis yang ternyata sangat manis itu mempersilahkan, lalu aku berjalan ke arah yang dia tunjuk. Masuk ke elevator. Satria mengikuti, terus berdiri di belakangku. Gadis dengan rok span di atas lutut ini menekan tombol angka sepuluh. Elevator pun naik. Aku langsung di antarkan ke meja sekretarisnya Bang Rasya. Kupikir sekretaris harus perempuan, ternyata ada laki-laki juga. “Mr. Kelvin, Miss ini istrinya Mr. Arasya,” kata Soraya pada laki-laki berjas itu. “Oke thanks, you boleh balik
Aku memeluk Bang Rasya dari belakang. Menyimpan wajah di atas pundaknya. Pria harum ini melirik. "Apa, Comel?" Dia memegang lenganku yang melingkar di lehernya. "Sibuk?" Aku melihat komputernya yang terus menyala. Jam sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh malam tapi Abang masih betah di ruang kerjanya. "Masih ada sikit kerja. Why?" Telapak tangannya menempel di pipiku. "Saya nak pakai cadar. Boleh?" Abang tak langsung menjawab. Dia menghela napas dua kali lalu memutar kursi. Otomatis aku melepas pelukan. Tangannya melingkar di pinggang dan dia melihat lekat. "Kenapa mendadak nak pakai cadar?" Aku menceritakan kejadian di lift tadi. Intinya aku tidak mau wajahku dinilai orang lain. Menjadi istri Teuku Arasya tidak semudah yang kubayangkan. Dia lelaki yang nyaris sempurna, orang-orang menuntut wanita sempurna yang ada di sampingnya. "Bukannya tak boleh. Tapi apa adik sudah pertimbangkan segalanya? Pakai cadar pun tak mudah. Negeri ni mayoritas muslim tak pakai cadar. Bila adik ke
Abang naik ke atas panggung. Menghentikan grup band yang sedang bernyanyi. Lalu mengambil mikrofon. Tak sampai sana, pria bertubuh sempurna itu mengambil satu kursi dan menyimpannya di tengah panggung. Sontak semua mata melihat padanya. Entah apa yang mau dia lakukan. Abang duduk di kursi itu dengan santainya. Mendekatkan mik ke mulut dan bersilang kaki. "Oke. I just wanna tell you all. Apa yang buat saya memilih Alina tuk menjadi istri saya. Ada yang nak mendengarkan cerita saya?" Dia mengangkat alis dan tersenyum. Orang-orang yang tadinya berdiri jadi duduk. "Tak sah terlalu serious. Kalian nak makan, makan lah. Nak minum, minum lah. Saya hanya nak cakap santai je." "Pasti awak semua penasaran. Kenapa saya menikahi Alina, memilih Alina jadi istri saya. Apa profesi dia? Apa spesialnya dia? Di mana kami berjumpa? Akan saya ceritakan. Karna ini sungguh unik." Semua orang mulai tertarik mendengar perkataan Bang Rasya. Tak ada satu mata pun yang tak melihat padanya. "Alina is a T
"Saya Teuku Arasya. Owner kat sini. Seseorang yang mungkin kalian lihat saya orang yang amazing. Tapi saya pilih Alina seorang TKW. Please jangan rendahkan istri saya, karena saya orang yang paling bisa merendahkan. Jangan bicara buruk karna saya bisa bicara lebih buruk dari kalian. Jadi please, jaga bicara kalian. Maka saya akan jaga bicara saya." Kelvin orang yang pertama tepuk tangan. Diikuti Umma, lalu wanita tadi, kemudian para asisten. Pada akhirnya semua tepuk tangan. Dengan gaya santai dan berkelasnya itu dia mengembalikan mikrofon pada vokalis band. Menyimpan kursi pada tempat semula. Lalu berjalan dan berhenti tepat di hadapanku. Di antara semua orang yang duduk, hanya dia yang berdiri. Mendaratkan kecupan di keningku, lalu pipi kanan dan kiri. Lalu dia mau mengecup bibir tapi aku mendorong wajahnya. Dan semua orang pun tertawa. Ketika tak ada orang yang peduli bagaimana perihnya hatiku, saat aku bahkan tidak punya alasan untuk hidup. Umma hadir bak malaikat yang mengepa
Hari terus berputar. Aku disibukkan dengan aktivitas seorang istri seperti pada umumnya: Mengurus anak, memasak, mengantarkan makanan, melayani suami, dan menghadiri kajian seminggu sekali bersama Umma. Di waktu-waktu senggang, aku sering mengisi dengan membaca buku. Buku apapun, tapi yang utamanya novel. Di ruang kerja Abang, banyak sekali buku. Lemari setinggi dua meter dengan lebar sepanjang ruang itu penuh berisi buku, ada buku bisnis, agama, cerita, dan sebagainya. Bermacam bahasa, dari Arab sampai Indonesia. Selama jadi istri Abang, sudah lima buku yang kubaca. Aku tidak suka buku yang berbau pendidikan lebih suka novel. Sekarang waktuku cukup senggang, aku ingin mengisi dengan membaca lagi. Kudekati jajaran novel dan irisku berhenti di satu buku berjudul 'RINDU'. Sepertinya ini novel roman. Aku mengambilnya dan mengamati sampul. RINDU To My Perfect Muslimah Aisha Penulis: Teuku Arasya Aku mengernyit. Jilid dengan gambar wanita bercadar ini ternyata penulisnya Abang dan
"Masya Allah." Aku mengambil foto itu. Rambut hitam tergerai lurus. Kulit putih bersih. Mata hitam dengan bulu lentik. Hidungnya bangir. Bibir seksi. "Keturunan Arab?" Alisku menegang. "Abinya dari Aceh. Uminya dari Arab." "Masya Allah. Cantik sekali." Pantas Bang Rasya sampai tergila-gila. Pernah kan lihat orang-orang keturunan arab? Ya, begitulah. "Abang tidak punya foto lain selain ini? Yang tidak berkerudung maksudnya." "Sudah Abang delet semua." "Kenapa?" "Takut Abang tiba-tiba meninggal lalu dilihat rang lain." Aku memindai wajah Abang. Rautnya berubah sedih. "Bila Abang mendadak menghadap Allah, Abang titipkan foto ini jangan sampai dilihat rang lain, ya. Abang selalu simpan kat sini." Bang Rasya menyimpan foto Aisha ke tempat semula dengan sangat hati-hati. "Abang bicara apa? Kita akan menua bersama, kan?" "Usia tak ada yang tahu, Comel." Dia memeluk dan mencium kepalaku. Bang Rasya menyimpan fotoku di dompetnya. Memajang gambar kami di ruang kerjanya. Bahkan di
"Stupid! You mengotori tas i. Sit!" Wanita dengan kerudung melilit leher itu teriak dan mengumpat. Zikri langsung mundur dengan raut takut. "Helen." Bang Rasya menghampiri wanita itu. Ternyata dia mantan istrinya, alias ibu kandung Zikri. "Arasya." Helen melihat lelaki yang sudah berdiri di belakang Zikri. Menahan anak itu agar tidak mundur lagi. "He's Teuku Azikri. Your son." Abang menggenggam tangan Zikri, diulurkannya tangan kecil itu pada ibu yang melahirkannya. "Hah!" Dia ternganga dan mengernyit. Lalu menyungging senyum menyebalkan. "He's your son. Not me." Wanita itu melotot dan membentak. Zikri semakin menciut. "Helen." "Stop! Saya tak nak dengar apa yang kan awak cakap. Jaga anak awak baik-baik. Dia sudah mengotori tas mahal saya." Helen memicing, melihat Zikri dengan amarah. "Dasar anak setan." "Helen!" Bang Rasya membentak. "Why?" Dia memicing dan tersenyum. Sementara air mata sudah menggantung di mata Zikri. Anak itu umurnya sudah empat tahun, tentu bisa tahu apa y
Paginya suasana hatiku sudah berbeda. Kembali ceria seperti sedia kala. Aku mencoba cadar yang kemarin dibeli. Berputar di depan cermin berkaca diri. "Cantik, tak?" tanyaku pada pria yang baru keluar dari kamar mandi. Dia berdiri di belakangku dengan tubuh masih menggunakan piama handuk. "Cadar itu tuk menutupi kecantikan." Boleh saja dia bicara sebijak itu, seolah pakai cadar atau tak pakai cadar pun aku sama saja. Sayangnya dia tidak terlalu pandai menutupi ekspresi ketertarikannya. Matanya mengawasiku dengan tatapan berbeda. "Bila adik sudah matang nak pakai cadar. Kita simpan foto-foto adik dan ganti dengan yang baru," katanya sambil memakai kemeja. "Iya begitu lebih baik." Kami pun memanggil fotografer ke rumah. Berpose bak keluarga bahagia. Pasangan suami istri dengan satu anak. Gambar besar di ruang tamu diganti. Begitu pun foto-foto yang dipajang di kamar, kantor dan dompet. Bang Rasya menggantinya dengan gambarku yang sudah bercadar. Tapi bila di dalam ponselnya tetap