Abang naik ke atas panggung. Menghentikan grup band yang sedang bernyanyi. Lalu mengambil mikrofon. Tak sampai sana, pria bertubuh sempurna itu mengambil satu kursi dan menyimpannya di tengah panggung. Sontak semua mata melihat padanya. Entah apa yang mau dia lakukan. Abang duduk di kursi itu dengan santainya. Mendekatkan mik ke mulut dan bersilang kaki. "Oke. I just wanna tell you all. Apa yang buat saya memilih Alina tuk menjadi istri saya. Ada yang nak mendengarkan cerita saya?" Dia mengangkat alis dan tersenyum. Orang-orang yang tadinya berdiri jadi duduk. "Tak sah terlalu serious. Kalian nak makan, makan lah. Nak minum, minum lah. Saya hanya nak cakap santai je." "Pasti awak semua penasaran. Kenapa saya menikahi Alina, memilih Alina jadi istri saya. Apa profesi dia? Apa spesialnya dia? Di mana kami berjumpa? Akan saya ceritakan. Karna ini sungguh unik." Semua orang mulai tertarik mendengar perkataan Bang Rasya. Tak ada satu mata pun yang tak melihat padanya. "Alina is a T
"Saya Teuku Arasya. Owner kat sini. Seseorang yang mungkin kalian lihat saya orang yang amazing. Tapi saya pilih Alina seorang TKW. Please jangan rendahkan istri saya, karena saya orang yang paling bisa merendahkan. Jangan bicara buruk karna saya bisa bicara lebih buruk dari kalian. Jadi please, jaga bicara kalian. Maka saya akan jaga bicara saya." Kelvin orang yang pertama tepuk tangan. Diikuti Umma, lalu wanita tadi, kemudian para asisten. Pada akhirnya semua tepuk tangan. Dengan gaya santai dan berkelasnya itu dia mengembalikan mikrofon pada vokalis band. Menyimpan kursi pada tempat semula. Lalu berjalan dan berhenti tepat di hadapanku. Di antara semua orang yang duduk, hanya dia yang berdiri. Mendaratkan kecupan di keningku, lalu pipi kanan dan kiri. Lalu dia mau mengecup bibir tapi aku mendorong wajahnya. Dan semua orang pun tertawa. Ketika tak ada orang yang peduli bagaimana perihnya hatiku, saat aku bahkan tidak punya alasan untuk hidup. Umma hadir bak malaikat yang mengepa
Hari terus berputar. Aku disibukkan dengan aktivitas seorang istri seperti pada umumnya: Mengurus anak, memasak, mengantarkan makanan, melayani suami, dan menghadiri kajian seminggu sekali bersama Umma. Di waktu-waktu senggang, aku sering mengisi dengan membaca buku. Buku apapun, tapi yang utamanya novel. Di ruang kerja Abang, banyak sekali buku. Lemari setinggi dua meter dengan lebar sepanjang ruang itu penuh berisi buku, ada buku bisnis, agama, cerita, dan sebagainya. Bermacam bahasa, dari Arab sampai Indonesia. Selama jadi istri Abang, sudah lima buku yang kubaca. Aku tidak suka buku yang berbau pendidikan lebih suka novel. Sekarang waktuku cukup senggang, aku ingin mengisi dengan membaca lagi. Kudekati jajaran novel dan irisku berhenti di satu buku berjudul 'RINDU'. Sepertinya ini novel roman. Aku mengambilnya dan mengamati sampul. RINDU To My Perfect Muslimah Aisha Penulis: Teuku Arasya Aku mengernyit. Jilid dengan gambar wanita bercadar ini ternyata penulisnya Abang dan
"Masya Allah." Aku mengambil foto itu. Rambut hitam tergerai lurus. Kulit putih bersih. Mata hitam dengan bulu lentik. Hidungnya bangir. Bibir seksi. "Keturunan Arab?" Alisku menegang. "Abinya dari Aceh. Uminya dari Arab." "Masya Allah. Cantik sekali." Pantas Bang Rasya sampai tergila-gila. Pernah kan lihat orang-orang keturunan arab? Ya, begitulah. "Abang tidak punya foto lain selain ini? Yang tidak berkerudung maksudnya." "Sudah Abang delet semua." "Kenapa?" "Takut Abang tiba-tiba meninggal lalu dilihat rang lain." Aku memindai wajah Abang. Rautnya berubah sedih. "Bila Abang mendadak menghadap Allah, Abang titipkan foto ini jangan sampai dilihat rang lain, ya. Abang selalu simpan kat sini." Bang Rasya menyimpan foto Aisha ke tempat semula dengan sangat hati-hati. "Abang bicara apa? Kita akan menua bersama, kan?" "Usia tak ada yang tahu, Comel." Dia memeluk dan mencium kepalaku. Bang Rasya menyimpan fotoku di dompetnya. Memajang gambar kami di ruang kerjanya. Bahkan di
"Stupid! You mengotori tas i. Sit!" Wanita dengan kerudung melilit leher itu teriak dan mengumpat. Zikri langsung mundur dengan raut takut. "Helen." Bang Rasya menghampiri wanita itu. Ternyata dia mantan istrinya, alias ibu kandung Zikri. "Arasya." Helen melihat lelaki yang sudah berdiri di belakang Zikri. Menahan anak itu agar tidak mundur lagi. "He's Teuku Azikri. Your son." Abang menggenggam tangan Zikri, diulurkannya tangan kecil itu pada ibu yang melahirkannya. "Hah!" Dia ternganga dan mengernyit. Lalu menyungging senyum menyebalkan. "He's your son. Not me." Wanita itu melotot dan membentak. Zikri semakin menciut. "Helen." "Stop! Saya tak nak dengar apa yang kan awak cakap. Jaga anak awak baik-baik. Dia sudah mengotori tas mahal saya." Helen memicing, melihat Zikri dengan amarah. "Dasar anak setan." "Helen!" Bang Rasya membentak. "Why?" Dia memicing dan tersenyum. Sementara air mata sudah menggantung di mata Zikri. Anak itu umurnya sudah empat tahun, tentu bisa tahu apa y
Paginya suasana hatiku sudah berbeda. Kembali ceria seperti sedia kala. Aku mencoba cadar yang kemarin dibeli. Berputar di depan cermin berkaca diri. "Cantik, tak?" tanyaku pada pria yang baru keluar dari kamar mandi. Dia berdiri di belakangku dengan tubuh masih menggunakan piama handuk. "Cadar itu tuk menutupi kecantikan." Boleh saja dia bicara sebijak itu, seolah pakai cadar atau tak pakai cadar pun aku sama saja. Sayangnya dia tidak terlalu pandai menutupi ekspresi ketertarikannya. Matanya mengawasiku dengan tatapan berbeda. "Bila adik sudah matang nak pakai cadar. Kita simpan foto-foto adik dan ganti dengan yang baru," katanya sambil memakai kemeja. "Iya begitu lebih baik." Kami pun memanggil fotografer ke rumah. Berpose bak keluarga bahagia. Pasangan suami istri dengan satu anak. Gambar besar di ruang tamu diganti. Begitu pun foto-foto yang dipajang di kamar, kantor dan dompet. Bang Rasya menggantinya dengan gambarku yang sudah bercadar. Tapi bila di dalam ponselnya tetap
Percuma saja mengingatkan Shena. Sepertinya dia sudah matang dengan pilihan hidupnya. Aku pun hanya bisa sampai tahap mengingatkan, selebihnya berdoa semoga dia mendapatkan hidayah satu hari nanti. Mumpung sedang ada di Jakarta, kami pulang dulu ke kampung. Menemui ibu dan bapak serta Alina resort yang sudah naik ke pembangunan restoran. Di rumah ibu aku bertemu dengan Chacha. Dari awal aku memang kurang respek pada anak itu, dalam diri ini tidak ada rasa sayang sama sekali. Mungkin karena sulit lupa kalau anak itu hasil selingkuhan suami dan adikku sendiri. Tetapi melihat perangainya sungguh kasihan. “Tante ... Mama kapan pulang?” Anak perempuan 3,5 tahun itu bertanya dengan mata yang berkaca. “Nanti Mama Chacha pasti pulang.” Aku mengusap pucuk kepalanya. “Chacha rindu Mama.” Anak ini memelintir pakaian, lalu menangis. Aku benci rasa peduli ini, ingin cuek tapi tak bisa. Malah kutarik anak itu ke pelukan dan melerai tangisannya. Membujuknya dengan segala cara. Ibuku tidak seper
Aku langsung berlari, kaki bagai melayang mengejar tubuh kecil yang terjungkal-jungkal di tangga. Sayang sekali, kakiku baru sampai di ujung tangga paling atas. Dia sudah terkapar di bawah. “Zikri ....” Aku teriak bersama air mata yang sudah menutupi pandangan. “Zikri ....” Aku segera turun. Menarik anak yang tergeletak tak berdaya ini ke pangkuan. Darah segar mengalir dari mulutnya. “Tidak! ....” Aku teriak keras. Air mata menderas. Dengan sangat cepat, Bang Rasya mengambil Zikri dari pangkuanku. Dia berlari membawa putranya ke depan dan langsung naik mobil yang tadi baru terparkir. Aku membeku melihat darah segar yang membasahi tangan. Suara mobil dengan kecepatan tinggi melesat di halaman. Umma menarik tanganku. “Cepat, kita langsung ke rumah sakit.” Aku berlari kembali ke lantai dua. Membawa dompet, tas, HP, juga cadar. Kupasang kain tipis ini sambil berjalan. “Ya Allah, Ya Allah, selamatkan anakku.” Tubuhku terus bergetar. Di depan, mobil sudah siap. Umma telah duduk di da
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku