Aku langsung berlari, kaki bagai melayang mengejar tubuh kecil yang terjungkal-jungkal di tangga. Sayang sekali, kakiku baru sampai di ujung tangga paling atas. Dia sudah terkapar di bawah. “Zikri ....” Aku teriak bersama air mata yang sudah menutupi pandangan. “Zikri ....” Aku segera turun. Menarik anak yang tergeletak tak berdaya ini ke pangkuan. Darah segar mengalir dari mulutnya. “Tidak! ....” Aku teriak keras. Air mata menderas. Dengan sangat cepat, Bang Rasya mengambil Zikri dari pangkuanku. Dia berlari membawa putranya ke depan dan langsung naik mobil yang tadi baru terparkir. Aku membeku melihat darah segar yang membasahi tangan. Suara mobil dengan kecepatan tinggi melesat di halaman. Umma menarik tanganku. “Cepat, kita langsung ke rumah sakit.” Aku berlari kembali ke lantai dua. Membawa dompet, tas, HP, juga cadar. Kupasang kain tipis ini sambil berjalan. “Ya Allah, Ya Allah, selamatkan anakku.” Tubuhku terus bergetar. Di depan, mobil sudah siap. Umma telah duduk di da
Pov Teuku Arasya. Cinta. Arti cinta bagiku adalah Aisha. Padanya aku merasa jatuh hati sejak pandangan pertama. Hanya dia yang bisa membuat dadaku berdebar tak karuan. Hanya dia juga yang membuat hatiku menghangat setiap kali melihat senyumnya yang menawan. Aisha berhasil merebut mataku. Kedua netra ini sudah tidak taat lagi pada pemiliknya, ia hanya ingin melihat Aisha. Bahkan saat dia pergi di dalam pelupuk ini masih melihat gerak-geriknya. Aisha berhasil merebut tubuhku. Dia yang pertama kali membawaku ke nirwana. Aku bisa bertahan untuk tidak meluapkan syahwat sampai 7 tahun lamanya. Yang paling parah, Aisha berhasil mengambil cintaku. Dengan sangat lembut, Aisha masuk ke dalam hati. Dia merengkuh semua cintaku lalu dibawanya pergi. Dia bahkan tidak menyisakan untuk diriku sendiri. Aku masih bernapas. Bisa jalan. Tetap hidup. Tapi kehilangan sari pati hidup. Setelah musibah besar itu, aku tetap beraktivitas. Bekerja sesuai dengan keahlian. Mengambil alih semua kepemimpinan
Waktu terus berputar. Kami sembahyang bergantian. Menunggu sambil berdoa. Duduk. Berdiri. Jalan-jalan. Lama sekali operasinya. Sampai berjam-jam. Apa anakku akan kuat? Ya Allah selamatkan anakku. Dokter berseragam hijau ke luar. Dia mengatakan kalau operasinya berjalan lancar. Setelah ini dokter akan melaksanakan serangkaian pemeriksaan pada sistem saraf dan otak guna memastikan bahwa organ tersebut dapat berfungsi dengan baik. Zikri pun dipindahkan ke ruang ICU. Kami diijinkan untuk melihat Zikri. Tapi harus gantian dan tidak boleh menyentuh apapun. Hanya sebatas melihat. Aku memakai seragam hijau yang diberikan perawat. Lalu masuk ke ruangan yang dipenuhi alat-alat medis. Hatiku teriris melihatnya. Putraku berbaring dengan kepala dililit kasa, tidak ada satu pun bagian rambutnya yang terlihat. Dia memejam seperti tidur. Kepala, hidung, mulut, dada menempel alat-alat penyambung nyawa. Kantung darah menggantung, menetes melewati selang. “Iki, ini Papa, Sayang. Iki segera bangun y
Pov Alina Desember ini, intensitas hujan semakin tinggi. Dari lantai enam gedung rumah sakit, aku melihat jendela yang basah karena gerimis. Tetesan air menggumpal lalu mengalir membentuk garis lurus. Aku mengambil tisu, dan membersihkan embun. Di balik jendela sana adalah pemandangan malam kota Kuala Lumpur. Gedung-gedung menjulang, Jutaan lampu bertebaran bak bintang. Sayangnya sekarang tidak terlihat begitu jelas karena rabun oleh embun. Pemandangan itu yang menjadi back ground dari ingatanku yang melayang ke mall, tempat aku dan Helen bertemu. Dari awal jelas aku mengerti maksudnya, dia masih menyimpan dendam atas perlakuan kasarku dulu. Sehingga dengan tak punya hati dia memintaku mencium kakinya. Tidak ada yang kupertimbangkan lagi selain harga diri suami. Bagi Helen dan sebagian orang, anak mungkin tidaklah penting. Tapi bagiku sangat penting. Aku bertahun-tahun berharap memiliki anak, sayangnya masih belum dianugerahi. Sekarang aku punya Zikri, meski bukan lahir dari rahimk
Bang Rasya sudah mulai kerja. Dia akan berangkat siang, lalu pulang ketika hari belum petang. Aku menggendong Zikri dan mendudukkan di kursi roda. Keluar kamar. Masuk elevator dan turun di lantai tempat fisioterapi. Dokter memeriksa lalu memberikan rangsangan-rangsangan. Kali ini latihan berjalan. Dengan berpegangan pada penyangga, dia melatih otot-otot kakinya. Merawat anak-anak tidak semudah merawat orang dewasa. Zikri harus dibujuk-bujuk dulu kalau mau latihan. Belum lagi tantrumnya yang sering mendadak datang mungkin karena tidak nyaman. Setelah serangkaian latihan, kami kembali lagi ke kamar. Di sana sudah ada Umma dan Mita. Mereka membawa baju ganti dan makanan. Umma sebenarnya menawarkan Mita yang menjaga Zikri, atau setidaknya menemani. Tapi aku tidak nyaman karena Bang Rasya selalu di sini. Dia juga tidak mau beranjak dari anaknya walau hanya sebentar, baru beberapa hari ini saja karena sudah ngantor. Itu pun dalam waktu tiga jam pasti pulang lagi. “Tak lelah, Alin. Awak t
Pov Author Pantai Aceh 26 Desember 2004. Wanita bermata lebar itu duduk di bawah pohon rindang. Dia melihat sang suami yang sibuk membantu orang-orang. Dibalik cadarnya, senyum menyungging. Hangat masuk ke dadanya. Bangga melihat kebaikan sang suami. Dua bola mata indah itu membulat ketika suaminya memberikan aba-aba untuk segera pergi. Dia mengernyit dan menengok. Bahkan belum sempat mengerti apa yang terjadi, wanita bercadar itu tergulung ombak. Bersamaan dengan pohon yang ada di dekatnya. Bukan anak pesisir namanya jika tak bisa berenang. Dia mencoba menahan napas meraih apapun yang bisa digapai. Sayang sekali arus air itu sangat dahsyat. Bukan main, kecepatannya sampai 800 km/jam, setara dengan kecepatan pesawat terbang. Manalah ada yang selamat, kecuali orang-orang pilihan. Wanita itu terpelanting ke sana-kemari. Terbentur dengan segala macam benda. Sangat cepat kejadian itu terjadi. Air laut datang dan kembali lagi dengan membawa puing-puing: Rumah, pohon, binatang, juga man
Pak Bandi dan Ibu Siti mengajak Aisha tinggal di rumah mereka. Sambil menunggu kelanjutan nasibnya. Tapi sampai berminggu-minggu tidak ada kejelasan. Aisha membantu kegiatan Bu Siti. Pasangan suami istri itu berada dalam garis kemiskinan. Kehadiran Aisha cukup membantu pekerjaannya. Bu Siti lebih leluasa untuk mengolah ikan, sementara Aisha tinggal di rumah mengurus empat anak Bu Siti yang masih kecil-kecil. “Siapa nama awak tu sebenarnya. Tak kah ingat sikit pun?” tanya Bu Siti sambil menjemur ikan. Aisha hanya tersenyum dan tak menjawab apa-apa. “Awak tu. Setiap ditanya hanya senyum. Baiklah, saya nak beri awak nama saja." Bu Siti berpikir. "Bagai mana bila nama awak Aminah. Suka tak?" Aisha tidak menjawab. Hanya tersenyum lagi. "Sudah lah. Awak setuju atau tidak, nama awak Aminah saja." Bulan-bulan berlalu. Perut Aisha semakin besar. "Pak ... Pak .... Aminah ternyata hamil," lapor Siti pada suaminya. Pak Bandi melepas topinya dan meremas rambut. Semakin pusing saja dia karen
"Abang ...." Aisha membuka mata. Dia melihat sekeliling. Lalu bangun dan duduk dengan raut kebingungan. Membaca wajah anggota keluarga satu per satu. Isi kepalanya seperti sedang menyusuri lorong-lorong waktu. Berlari di depan rumah dengan Umi dan Abi. Di gendong bersama Umi ikut ke pengajian. Lalu belajar di pondok. Ke sana-sini ikut beberapa perlombaan. Dia naik panggung dan dapat piala. Mengajar ngaji di rumahnya. Kuliah. Menikah. Dan .... "Aduh." Kepala Aisha berdenyut nyeri. "Aminah." Bu Siti memegang tangannya. Rasya, Pak Bandi, dan semua anak Pak Bandi melihat panik. Aisha memejam. Menggeleng menahan nyeri. Lalu membaca ingatannya lagi. Dinding yang kemarin tertutup, perlahan terbuka. Menikah. Teuku Arasya. Kelopak mawar. Pantai. Hamil. "Awas! Awas!" Aisha membuka mata. Dia melihat wajah yang ada di dekatnya. Lalu Aisha memegang pipi. Dia bahkan tak bercadar lagi sekarang. "Allahu Akbar." Aisha mundur sampai mentok ke tembok. "Allahu Akbar." Dia mulai menangis. Sudah ber