Pov Alina Desember ini, intensitas hujan semakin tinggi. Dari lantai enam gedung rumah sakit, aku melihat jendela yang basah karena gerimis. Tetesan air menggumpal lalu mengalir membentuk garis lurus. Aku mengambil tisu, dan membersihkan embun. Di balik jendela sana adalah pemandangan malam kota Kuala Lumpur. Gedung-gedung menjulang, Jutaan lampu bertebaran bak bintang. Sayangnya sekarang tidak terlihat begitu jelas karena rabun oleh embun. Pemandangan itu yang menjadi back ground dari ingatanku yang melayang ke mall, tempat aku dan Helen bertemu. Dari awal jelas aku mengerti maksudnya, dia masih menyimpan dendam atas perlakuan kasarku dulu. Sehingga dengan tak punya hati dia memintaku mencium kakinya. Tidak ada yang kupertimbangkan lagi selain harga diri suami. Bagi Helen dan sebagian orang, anak mungkin tidaklah penting. Tapi bagiku sangat penting. Aku bertahun-tahun berharap memiliki anak, sayangnya masih belum dianugerahi. Sekarang aku punya Zikri, meski bukan lahir dari rahimk
Bang Rasya sudah mulai kerja. Dia akan berangkat siang, lalu pulang ketika hari belum petang. Aku menggendong Zikri dan mendudukkan di kursi roda. Keluar kamar. Masuk elevator dan turun di lantai tempat fisioterapi. Dokter memeriksa lalu memberikan rangsangan-rangsangan. Kali ini latihan berjalan. Dengan berpegangan pada penyangga, dia melatih otot-otot kakinya. Merawat anak-anak tidak semudah merawat orang dewasa. Zikri harus dibujuk-bujuk dulu kalau mau latihan. Belum lagi tantrumnya yang sering mendadak datang mungkin karena tidak nyaman. Setelah serangkaian latihan, kami kembali lagi ke kamar. Di sana sudah ada Umma dan Mita. Mereka membawa baju ganti dan makanan. Umma sebenarnya menawarkan Mita yang menjaga Zikri, atau setidaknya menemani. Tapi aku tidak nyaman karena Bang Rasya selalu di sini. Dia juga tidak mau beranjak dari anaknya walau hanya sebentar, baru beberapa hari ini saja karena sudah ngantor. Itu pun dalam waktu tiga jam pasti pulang lagi. “Tak lelah, Alin. Awak t
Pov Author Pantai Aceh 26 Desember 2004. Wanita bermata lebar itu duduk di bawah pohon rindang. Dia melihat sang suami yang sibuk membantu orang-orang. Dibalik cadarnya, senyum menyungging. Hangat masuk ke dadanya. Bangga melihat kebaikan sang suami. Dua bola mata indah itu membulat ketika suaminya memberikan aba-aba untuk segera pergi. Dia mengernyit dan menengok. Bahkan belum sempat mengerti apa yang terjadi, wanita bercadar itu tergulung ombak. Bersamaan dengan pohon yang ada di dekatnya. Bukan anak pesisir namanya jika tak bisa berenang. Dia mencoba menahan napas meraih apapun yang bisa digapai. Sayang sekali arus air itu sangat dahsyat. Bukan main, kecepatannya sampai 800 km/jam, setara dengan kecepatan pesawat terbang. Manalah ada yang selamat, kecuali orang-orang pilihan. Wanita itu terpelanting ke sana-kemari. Terbentur dengan segala macam benda. Sangat cepat kejadian itu terjadi. Air laut datang dan kembali lagi dengan membawa puing-puing: Rumah, pohon, binatang, juga man
Pak Bandi dan Ibu Siti mengajak Aisha tinggal di rumah mereka. Sambil menunggu kelanjutan nasibnya. Tapi sampai berminggu-minggu tidak ada kejelasan. Aisha membantu kegiatan Bu Siti. Pasangan suami istri itu berada dalam garis kemiskinan. Kehadiran Aisha cukup membantu pekerjaannya. Bu Siti lebih leluasa untuk mengolah ikan, sementara Aisha tinggal di rumah mengurus empat anak Bu Siti yang masih kecil-kecil. “Siapa nama awak tu sebenarnya. Tak kah ingat sikit pun?” tanya Bu Siti sambil menjemur ikan. Aisha hanya tersenyum dan tak menjawab apa-apa. “Awak tu. Setiap ditanya hanya senyum. Baiklah, saya nak beri awak nama saja." Bu Siti berpikir. "Bagai mana bila nama awak Aminah. Suka tak?" Aisha tidak menjawab. Hanya tersenyum lagi. "Sudah lah. Awak setuju atau tidak, nama awak Aminah saja." Bulan-bulan berlalu. Perut Aisha semakin besar. "Pak ... Pak .... Aminah ternyata hamil," lapor Siti pada suaminya. Pak Bandi melepas topinya dan meremas rambut. Semakin pusing saja dia karen
"Abang ...." Aisha membuka mata. Dia melihat sekeliling. Lalu bangun dan duduk dengan raut kebingungan. Membaca wajah anggota keluarga satu per satu. Isi kepalanya seperti sedang menyusuri lorong-lorong waktu. Berlari di depan rumah dengan Umi dan Abi. Di gendong bersama Umi ikut ke pengajian. Lalu belajar di pondok. Ke sana-sini ikut beberapa perlombaan. Dia naik panggung dan dapat piala. Mengajar ngaji di rumahnya. Kuliah. Menikah. Dan .... "Aduh." Kepala Aisha berdenyut nyeri. "Aminah." Bu Siti memegang tangannya. Rasya, Pak Bandi, dan semua anak Pak Bandi melihat panik. Aisha memejam. Menggeleng menahan nyeri. Lalu membaca ingatannya lagi. Dinding yang kemarin tertutup, perlahan terbuka. Menikah. Teuku Arasya. Kelopak mawar. Pantai. Hamil. "Awas! Awas!" Aisha membuka mata. Dia melihat wajah yang ada di dekatnya. Lalu Aisha memegang pipi. Dia bahkan tak bercadar lagi sekarang. "Allahu Akbar." Aisha mundur sampai mentok ke tembok. "Allahu Akbar." Dia mulai menangis. Sudah ber
Tempat yang pertama didatanginya yaitu masjid. Dia bertanya pada pengurus masjid di sana. Ayahnya dulu sering berceramah di masjid itu, jika masih hidup mereka pasti tidak akan tinggal jauh dari tempat itu. "Ustadz Hasan, ya?" Pria yang bertugas sebagai pengelola masjid itu berpikir. Karena tidak hafal, Aisha dibawa pada sesepuh di sana. "Ustadz Hasan sudah tiada, Nak. Saya sendiri yang ikut menguburkan jenazahnya. Setahu saya, keluarga ustadz Hasan tidak ada yang selamat," kata pria itu. Pak Maulana namanya, dia pengurus mesjid yang lama. Dia selamat karena sedang ada di masjid hari itu. Aisha tak kuat menahan Air matanya. Dia menangis sambil memeluk Rasya kecil. Beruntungnya dia punya anak yang menguatkan mentalnya. Bila tak ada Rasya, mungkin dia akan histeris mendengarnya. Aisha terus tapak tilas. Ke rumah yang hanya tersisa tanah datar saja. Ke kampus. Lalu ke pemakaman masal. Aisha menyewa rumah sederhana di dekat masjid berkubah hitam itu. Esok harinya, Aisha berkunjung ke
Pov Alina Aku duduk di kasur sambil memegang ponsel. Kuhela napas berkali-kali untuk menenangkan diri. Dadaku semakin berdebar saja. Kubaca rentetan tulisan itu seraya menggigit bibir. "Hai, Sayang." Kehadiran Bang Rasya yang tiba-tiba membuatku terperanjat sampai ponsel terjatuh ke atas karpet permadani. "Sedang apa?" Bang Rasya mengambil ponsel dan aku segera merebut dari tangannya. Dia memicing. "Apa awak sembunyikan sesuatu?" "Tak." Aku menyembunyikan ponsel ke belakang. Benda yang bahkan belum dikeluarkan layarnya itu kugenggam dengan dua tangan. "Apa?" Bang Rasya melingkarkan tangan mencoba meraih benda pipih di punggung. Memang dasarnya dia iseng, bukannya ambil dari samping malah dari depan, tentu saja tubuhnya semakin maju sementara aku semakin mundur dan pada akhirnya berbaring di atas kasur. "Oh, ini sulit sangat," katanya berlebihan. Padahal dari tadi tangannya sudah berhasil menggenggam HP. "Abang tahu bahasa gaul modus tak?" "What?" "Modal dusta." "Astagfirull
"Bukan, Bu. Tapi itu ... emm ...." Kalimatnya terhenti lagi. "Ya?" Mbak Jamila bicara terputus-putus, seperti sedang ragu dengan kalimat yang akan dikatakannya. "Tadi ... ada ... yang datang ke sini ... wanita ... dia mengaku sebagai ... Aisha ... Istri Tuan Rasya yang pertama." Ponselku langsung jatuh mendarat di sofa. Dadaku seperti berhenti berdetak. Aku menahan napas. Semua indra serupa tak berfungsi. Aisha? Ada ke panti? Apa benar dia Aisha? Atau hanya orang yang mengaku-ngaku. Tidak. Tidak mungkin. Itu pasti bukan Aisha. Itu pasti orang lain. Di dunia ini banyak yang bernama Aisha. Tapi Mbak Jamila bilang kalau dia istri pertama Bang Rasya. Tunggu. Benarkah Mbak Jamila bicara begitu. Atau aku yang salah dengar. "Alin!" Umma mengguncang lenganku. Dia sudah berdiri di sampingku dengan ekspresi heran. "Umma." Aku berkedip dan air mata sudah menggantung. "Ada pa?" "Aisha ... Ada yang datang ke panti mengaku sebagai Aisha." Air mataku jatuh setetes. Umma mengernyit. Beliau