Pak Bandi dan Ibu Siti mengajak Aisha tinggal di rumah mereka. Sambil menunggu kelanjutan nasibnya. Tapi sampai berminggu-minggu tidak ada kejelasan. Aisha membantu kegiatan Bu Siti. Pasangan suami istri itu berada dalam garis kemiskinan. Kehadiran Aisha cukup membantu pekerjaannya. Bu Siti lebih leluasa untuk mengolah ikan, sementara Aisha tinggal di rumah mengurus empat anak Bu Siti yang masih kecil-kecil. “Siapa nama awak tu sebenarnya. Tak kah ingat sikit pun?” tanya Bu Siti sambil menjemur ikan. Aisha hanya tersenyum dan tak menjawab apa-apa. “Awak tu. Setiap ditanya hanya senyum. Baiklah, saya nak beri awak nama saja." Bu Siti berpikir. "Bagai mana bila nama awak Aminah. Suka tak?" Aisha tidak menjawab. Hanya tersenyum lagi. "Sudah lah. Awak setuju atau tidak, nama awak Aminah saja." Bulan-bulan berlalu. Perut Aisha semakin besar. "Pak ... Pak .... Aminah ternyata hamil," lapor Siti pada suaminya. Pak Bandi melepas topinya dan meremas rambut. Semakin pusing saja dia karen
"Abang ...." Aisha membuka mata. Dia melihat sekeliling. Lalu bangun dan duduk dengan raut kebingungan. Membaca wajah anggota keluarga satu per satu. Isi kepalanya seperti sedang menyusuri lorong-lorong waktu. Berlari di depan rumah dengan Umi dan Abi. Di gendong bersama Umi ikut ke pengajian. Lalu belajar di pondok. Ke sana-sini ikut beberapa perlombaan. Dia naik panggung dan dapat piala. Mengajar ngaji di rumahnya. Kuliah. Menikah. Dan .... "Aduh." Kepala Aisha berdenyut nyeri. "Aminah." Bu Siti memegang tangannya. Rasya, Pak Bandi, dan semua anak Pak Bandi melihat panik. Aisha memejam. Menggeleng menahan nyeri. Lalu membaca ingatannya lagi. Dinding yang kemarin tertutup, perlahan terbuka. Menikah. Teuku Arasya. Kelopak mawar. Pantai. Hamil. "Awas! Awas!" Aisha membuka mata. Dia melihat wajah yang ada di dekatnya. Lalu Aisha memegang pipi. Dia bahkan tak bercadar lagi sekarang. "Allahu Akbar." Aisha mundur sampai mentok ke tembok. "Allahu Akbar." Dia mulai menangis. Sudah ber
Tempat yang pertama didatanginya yaitu masjid. Dia bertanya pada pengurus masjid di sana. Ayahnya dulu sering berceramah di masjid itu, jika masih hidup mereka pasti tidak akan tinggal jauh dari tempat itu. "Ustadz Hasan, ya?" Pria yang bertugas sebagai pengelola masjid itu berpikir. Karena tidak hafal, Aisha dibawa pada sesepuh di sana. "Ustadz Hasan sudah tiada, Nak. Saya sendiri yang ikut menguburkan jenazahnya. Setahu saya, keluarga ustadz Hasan tidak ada yang selamat," kata pria itu. Pak Maulana namanya, dia pengurus mesjid yang lama. Dia selamat karena sedang ada di masjid hari itu. Aisha tak kuat menahan Air matanya. Dia menangis sambil memeluk Rasya kecil. Beruntungnya dia punya anak yang menguatkan mentalnya. Bila tak ada Rasya, mungkin dia akan histeris mendengarnya. Aisha terus tapak tilas. Ke rumah yang hanya tersisa tanah datar saja. Ke kampus. Lalu ke pemakaman masal. Aisha menyewa rumah sederhana di dekat masjid berkubah hitam itu. Esok harinya, Aisha berkunjung ke
Pov Alina Aku duduk di kasur sambil memegang ponsel. Kuhela napas berkali-kali untuk menenangkan diri. Dadaku semakin berdebar saja. Kubaca rentetan tulisan itu seraya menggigit bibir. "Hai, Sayang." Kehadiran Bang Rasya yang tiba-tiba membuatku terperanjat sampai ponsel terjatuh ke atas karpet permadani. "Sedang apa?" Bang Rasya mengambil ponsel dan aku segera merebut dari tangannya. Dia memicing. "Apa awak sembunyikan sesuatu?" "Tak." Aku menyembunyikan ponsel ke belakang. Benda yang bahkan belum dikeluarkan layarnya itu kugenggam dengan dua tangan. "Apa?" Bang Rasya melingkarkan tangan mencoba meraih benda pipih di punggung. Memang dasarnya dia iseng, bukannya ambil dari samping malah dari depan, tentu saja tubuhnya semakin maju sementara aku semakin mundur dan pada akhirnya berbaring di atas kasur. "Oh, ini sulit sangat," katanya berlebihan. Padahal dari tadi tangannya sudah berhasil menggenggam HP. "Abang tahu bahasa gaul modus tak?" "What?" "Modal dusta." "Astagfirull
"Bukan, Bu. Tapi itu ... emm ...." Kalimatnya terhenti lagi. "Ya?" Mbak Jamila bicara terputus-putus, seperti sedang ragu dengan kalimat yang akan dikatakannya. "Tadi ... ada ... yang datang ke sini ... wanita ... dia mengaku sebagai ... Aisha ... Istri Tuan Rasya yang pertama." Ponselku langsung jatuh mendarat di sofa. Dadaku seperti berhenti berdetak. Aku menahan napas. Semua indra serupa tak berfungsi. Aisha? Ada ke panti? Apa benar dia Aisha? Atau hanya orang yang mengaku-ngaku. Tidak. Tidak mungkin. Itu pasti bukan Aisha. Itu pasti orang lain. Di dunia ini banyak yang bernama Aisha. Tapi Mbak Jamila bilang kalau dia istri pertama Bang Rasya. Tunggu. Benarkah Mbak Jamila bicara begitu. Atau aku yang salah dengar. "Alin!" Umma mengguncang lenganku. Dia sudah berdiri di sampingku dengan ekspresi heran. "Umma." Aku berkedip dan air mata sudah menggantung. "Ada pa?" "Aisha ... Ada yang datang ke panti mengaku sebagai Aisha." Air mataku jatuh setetes. Umma mengernyit. Beliau
Pov Teuku Arasya Jauh di dalam hati, aku tidak pernah menganggap Aisha pergi. Aku merasa dia ada meski entah di mana. Hanya saja, hidup seperti ini tak ayal serupa orang gila. Ketika semua bukti kematian ada di depan mata. Saat semua orang meyakini dia sudah tidak ada. Aku kelimpungan mencari dia sendiri. Menyusui semua tempat. Membelikan barang-barang untuknya. Setiap hari menunggu kedatangannya. Aku membuat kesimpulan dan meyakini itu bukan semata-mata karena percaya, tapi karena hanya ingin waras dan hidup normal sebagaimana yang lain. Aku tidak mungkin membiarkan Umma terus mengkhawatirkanku. Usianya semakin menua, begitu pun usiaku. Berat rasanya dada ini, saat dia kembali dan malah mempertanyakan statusku. Aku sampai kesulitan menjelaskan, bahkan tak bisa walau sebatas membela diri. Kurengkuh dia ke pelukan. Menyatukan wajah itu dengan dadaku. Inilah tulang rusukku, cinta pertamaku, bidadariku, Aisha-ku. “Abang mencari Adik ke mana-mana, Aisha.” Kenapa aku jadi memanggilnya
Hari sudah memasuki tengah malam. Aku masih sendiri di luar rumah sakit. Bercengkerama dengan gelap dan angin malam. Ya Allah ujian macam apa ini? Aku memasuki kamar rawat setelah merasa cukup menenangkan diri. Di sana, Aisha tidur sambil duduk di dekat anaknya. Kemudian rasa perih itu menyelusup lagi ke dalam dada. Saat aku tidur di kasur yang empuk. Di rumah mewah. Di hotel-hotel termahal. Anakku berbaring di kasur usang yang tipis. Setiap bulan aku mengeluarkan uang miliaran untuk menggaji karyawan. Ratusan juta untuk infak. Tapi anak pertamaku hidup di bawah garis kemiskinan. Ini ada diluar kuasaku, tapi aku merasa jahat sekali. Aku meminta selimut lagi pada perawat. Lalu menutupi Aisha dengan selimut itu. Kemudian duduk di sofa. Melihat mereka berdua lebih lama. Benakku diisi segala macam pertanyaan: Apa yang terjadi pada Aisha? Bagaimana dia bisa selamat? Di mana dia tinggal? Kenapa sampai terhalang waktu 15 tahun? Aisha bergerak. Membuka mata. Kedua irisnya langsung melih
Pov Alina Aku melihat dia dan Aisha menaiki mobil bersama. Rasa cemburu semakin memenuhi dada. Apa yang akan mereka lakukan berdua di sana. Aku tak ikhlas sama sekali. Benar dia tetap berusaha menunjukkan perhatiannya menitipkanku pada Mbak Jamila. Tapi itu tidak lantas menghilangkan kekhawatiranku. “Kita mau mengikuti ke rumah sakit, Bu?” tanya Mbak Jamila. Aku berpikir sejenak. Jika aku ikut masalahnya pasti tambah pelik. Aku tak kuasa mendengar dan melihat lebih banyak bagaimana perlakuan Bang Rasya pada Aisha. “Sebaiknya kita pulang saja, sudah terlalu malam.” Mereka melihatku dengan iba. Aku menunduk dan jalan ke depan. Mbak Jamila langsung memesan kendaraan lalu kami pun kembali ke panti. “Ini pasti sulit, ya, Bu?” Mbak Jamila bicara hati-hati. “Sangat,” kataku datar. “Kami turut prihatin. Kami tidak enak tadi harus memberitahu lewah Ibu, tapi ....” “Tidak apa-apa, Mbak Jamila, sudah benar. Saya hanya ingin segera istirahat sekarang.” Mereka langsung membawa koperku ke