Pov Alina Aku melihat dia dan Aisha menaiki mobil bersama. Rasa cemburu semakin memenuhi dada. Apa yang akan mereka lakukan berdua di sana. Aku tak ikhlas sama sekali. Benar dia tetap berusaha menunjukkan perhatiannya menitipkanku pada Mbak Jamila. Tapi itu tidak lantas menghilangkan kekhawatiranku. “Kita mau mengikuti ke rumah sakit, Bu?” tanya Mbak Jamila. Aku berpikir sejenak. Jika aku ikut masalahnya pasti tambah pelik. Aku tak kuasa mendengar dan melihat lebih banyak bagaimana perlakuan Bang Rasya pada Aisha. “Sebaiknya kita pulang saja, sudah terlalu malam.” Mereka melihatku dengan iba. Aku menunduk dan jalan ke depan. Mbak Jamila langsung memesan kendaraan lalu kami pun kembali ke panti. “Ini pasti sulit, ya, Bu?” Mbak Jamila bicara hati-hati. “Sangat,” kataku datar. “Kami turut prihatin. Kami tidak enak tadi harus memberitahu lewah Ibu, tapi ....” “Tidak apa-apa, Mbak Jamila, sudah benar. Saya hanya ingin segera istirahat sekarang.” Mereka langsung membawa koperku ke
“Abang, jika Sayyidah Khadijah kembali. Apa kira-kira yang akan dilakukan Sayyidah Aisyah,” tanyaku pada pria berkopiah ini. Bang Rasya berputar, duduk bersila membelakangi kiblat. “Tentu saja pasti menerima. Sayyidah Aisyah dipoligami bukan hanya dengan empat istri tapi lebih banyak dari itu.” Setelah penyatuan tubuh dan salat Dhuha, Bang Rasya tampak lebih segar dan tenang. “Tidak. Belum tentu. Sayyidah Khadijah adalah istri yang paling sering disebut oleh Baginda Nabi padahal beliau sudah tidak ada. Sayyidah Aisyah bahkan sangat cemburu padanya. Jika Sayyidah Khadijah ada di antara Rasulullah dan Sayyidah Aisyah, Apa Sayyidah Aisyah akan menerima?” Abang Rasya menghela napas. Sejenak dia berpikir. “Yang sedang kita bicarakan adalah orang-orang yang luar biasa ibadahnya, Dik. Manusia-manusia pilihan dengan tingkat keimanan tinggi.” Dia menjeda. “Sayyidah Khadijah, misal. Beliau tak hanya menyerahkan seluruh harta, bahkan beliau menyerahkan nabi untuk umat. Istri mana yang rela,
Pov Teuku Arasya. Aku mengambil ponsel dan beranjak pergi menjauhi Alina. Aku berjalan ke balkon rumah kami yang lama. Lalu menelepon Umma di sana. Beliau pasti betanya-tanya tentang semua yang terjadi ini. Kedatangan Aisha adalah anugerah. Tapi kenapa jadi seolah masalah? “Assalamualaikum, Rasya,” kata Umma dari seberang sana. “Waalaikumsallam, Umma,” kataku sambil melihat anak-anak panti yang sedang berolahraga di halaman. “Jadi betul tu Aisha, Rasya?” “Iya Umma, betul.” “Sudah punya anak?” “Putraku sudah empat belas tahun Umma. Anak yang dulu dikandung Aisha.” “Bagaimana bisa terjadi?” Aku menghela napas. Meremas pagar balkon. “Aisha terbawa ke laut saat tsunami. Dia lima hari di laut lalu diselamatkan nelayan Malaysia. Aisha hilang ingatan. Setelah dua belas tahun ingatannya kembali. Dia datang ke Aceh tahun 2017 lalu, tapi memilih tak menemui saya karena tahu sudah menikah. Aisha mempermasalahkan status saya yang sekarang, Umma.” “Hmm ....” Umma diam lama. Aku mengerti
Aku mendekati Aisha. Menuangkan susu cair ke gelas. Lalu mengambil kursi dan duduk di dekatnya. Aku merebut roti dari tangan Aisha. Lalu menyuapinya dengan roti ini. Dia diam. Tanganku melayang di udara cukup lama. Ayolah Aisha jangan membuatku marah. “Adik tahu tak. Kalau jam segini perut burung pipit sudah penuh semua?” Aku menggunakan cara Alina untuk menggoda. Ternyata harus merendahkan diri untuk melakukan ini. “Mak, ayo. Bapak sudah baik tuh!” pinta anak kami. Tangan kanan Aisha memegang tanganku, tangan kirinya mengangkat cadar. Lalu menyuap perlahan. “Tidak. Setahuku burung pipit tak pernah penuh perutnya.” “Kenapa?” Aku mengernyit. Ada rasa bahagia dia mau menerima suapanku. “Karena petani selalu kerepotan dari pagi sampai sore hanya untuk mengurus burung pipit.” Aku tersenyum. Dia memang selalu cerdas. “Burung pipit seperti kamu.” Aisha melihat pada anaknya. “Tak ada kenyangnya.” Anak itu tertawa, Aisya tersenyum—terlihat dari matanya yang menyipit. Terima kasih Alina
Aku dan Ustadz Firman berhenti di salah satu masjid. Kuparkirkan kendaraan hitam ini di pelataran masjid. Berhubung ini bertepatan dengan shalat Dzuhur, Ustadz Firman langsung masuk masjid. Aku berganti pakaian di dalam mobil. Setelah rapi, langsung turun dan masuk ke tempat wudhu. Jamaah shalatnya hanya beberapa saja. Ustadz Firman yang menjadi imamnya. Tapi, sebelum mulai beliau diam sesaat. “Kau saja yang jadi imam!” Beliau malah kembali ke saf makmum. “Ha?” Aku yang sedang membetulkan lengan jas jadi terperangah. “Silakan!” serunya langsung. Jamaah lain pun sudah pada posisi siap. Dengan masih merapikan jas. Aku maju ke depan, meminta jamaah merapikan saf. Lalu mulai shalat. Setelah Dzuhur, kami dzikir beberapa menit lalu aku mundur. Kembali mendekati Ustadz Firman untuk meminta ilmunya. Aku bisa mengurus perusahaan lebih dari empat. Tapi mengurus istri lebih dari satu sepertinya sulit. Dua tulang rusuk. Bayangkan! Salah-salah jantungku yang ditusuk. “Pengajiannya jam satu j
Aku kembali ke rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, kuaktifkan dulu ponsel. Banyak pesan yang masuk. Di antaranya Alina. [Makan di mana?] [Sudah makan belum, Bang?] [Saya siapkan di rumah, ya.] [Tak aktif terus?] Aku segera menghubunginya lewat Video call. Wajahnya terlihat masam saat muncul di layar. Benar kata Ustadz Firman, sepertinya perasaanku memang cenderung pada Alina. “Sayang, Abang baru je pulang dari Ustadz Firman. Hp sengaja Abang matikan takut mengganggu.” “Ustadz Firman atau Ustazd Firman?” “Ya, Ustadz Firman.” “Lalu, petuahnya apa? Poligami?” “Yang pasti petuah ulama terbaik tuk dunia akhirat. Tuk kita, tuk Aisha. Nanti kita main kat sana biar adik hafal, beliau sahabat Aba, teman Umma pun.” Alina mengangguk. “Iya,” katanya pasrah. “Lalu sekarang pulang kat mana?” Alina menjeda sesaat dan berganti topik. “Aneh ya, nak pulang je harus tanya kat mana.” Dia menekuk wajah. Aku diam dan menghela napas. “I’m Sorry, Sayang.” Alina tampak mengehela nafas panjang.
Pov Alina "Sayang semangat, ya. Awak tak perlu risau. Semua kan baik-baik je. I love you so much." Aku mendengarkan suara dari pen ini sambil berbaring. Aneh rasanya membiarkan orang terkasih pergi tuk menemui wanita yang jelas-jelas telah mengisi hatinya sangat lama. Wanita yang bahkan tanpa keberadaannya saja membuatku cemburu dan merasa seakan diduakan. Kutekan lagi tombol pen dan mendengarkan suaranya. "Sayang semangat, ya. Awak tak perlu risau. Semua kan baik-baik je. I love you so much." Apa yang baik-baik saja, Bang? Bagimu mungkin baik-baik saja, bagiku tak ada yang baik-baik saja. Dia bidadarimu bukan? Cinta pertamamu? Perpect muslimahmu? Sementara aku siapa? Hanya asisten rumah tangga yang kau angkat jadi istri. Hanya wanita yang bahkan tak hamil bertahun-tahun. Sementara dia yang di sana, wanita sempurna tanpa cela. Suamiku benar. Cemburuku berbeda dengan cemburunya Sayyidah Aisyah—wanita taat yang tak kan melanggar takdir Tuhan. Cemburuku adalah cemburu Alina. Cembur
Semalaman suamiku tak pulang. Aku berharap dia pulang di pagi hari seperti kemarin. Nyatanya tak ada juga. Aku meneleponnya dan ternyata Aisha yang menjawab. "Abang tertidur lagi," jelasnya. Meski sudah mencoba berbesar hati untuk menerima semua ini. Saat mendengar seperti itu tetap saja sakit. "Sebutkan nama rumah sakit dan kamarnya, saya mau ke sana," ucapku tanpa basa-basi. Aisha menyebutkan nama Rumah sakit dan kamarnya. Lalu aku pun segera menutup panggilan. Kukemas beberapa makanan, lalu berangkat bersama Mbak Jamila naik motor. Mbak Jamila hanya mengantarkan sampai depan rumah Sakit. Dengan dibantu seorang petugas, aku sampai di depan kamar yang dituju. Kuketuk pintu itu tiga kali lalu seorang wanita bercadar membukakan pintu. "Silakan. Abang masih tidur." Dia melirik pria di sofa. Benar Bang Rasya masih terlelap. Aku pun masuk dengan langkah berat. Di ruang ini suamiku semalaman bersama wanita. Panas lagi dada ini. Aku menyimpan paper bag di meja. Lalu duduk dekat kak