Pov Alina "Sayang semangat, ya. Awak tak perlu risau. Semua kan baik-baik je. I love you so much." Aku mendengarkan suara dari pen ini sambil berbaring. Aneh rasanya membiarkan orang terkasih pergi tuk menemui wanita yang jelas-jelas telah mengisi hatinya sangat lama. Wanita yang bahkan tanpa keberadaannya saja membuatku cemburu dan merasa seakan diduakan. Kutekan lagi tombol pen dan mendengarkan suaranya. "Sayang semangat, ya. Awak tak perlu risau. Semua kan baik-baik je. I love you so much." Apa yang baik-baik saja, Bang? Bagimu mungkin baik-baik saja, bagiku tak ada yang baik-baik saja. Dia bidadarimu bukan? Cinta pertamamu? Perpect muslimahmu? Sementara aku siapa? Hanya asisten rumah tangga yang kau angkat jadi istri. Hanya wanita yang bahkan tak hamil bertahun-tahun. Sementara dia yang di sana, wanita sempurna tanpa cela. Suamiku benar. Cemburuku berbeda dengan cemburunya Sayyidah Aisyah—wanita taat yang tak kan melanggar takdir Tuhan. Cemburuku adalah cemburu Alina. Cembur
Semalaman suamiku tak pulang. Aku berharap dia pulang di pagi hari seperti kemarin. Nyatanya tak ada juga. Aku meneleponnya dan ternyata Aisha yang menjawab. "Abang tertidur lagi," jelasnya. Meski sudah mencoba berbesar hati untuk menerima semua ini. Saat mendengar seperti itu tetap saja sakit. "Sebutkan nama rumah sakit dan kamarnya, saya mau ke sana," ucapku tanpa basa-basi. Aisha menyebutkan nama Rumah sakit dan kamarnya. Lalu aku pun segera menutup panggilan. Kukemas beberapa makanan, lalu berangkat bersama Mbak Jamila naik motor. Mbak Jamila hanya mengantarkan sampai depan rumah Sakit. Dengan dibantu seorang petugas, aku sampai di depan kamar yang dituju. Kuketuk pintu itu tiga kali lalu seorang wanita bercadar membukakan pintu. "Silakan. Abang masih tidur." Dia melirik pria di sofa. Benar Bang Rasya masih terlelap. Aku pun masuk dengan langkah berat. Di ruang ini suamiku semalaman bersama wanita. Panas lagi dada ini. Aku menyimpan paper bag di meja. Lalu duduk dekat kak
Dokter memeriksa putra Aisha. Wanita berseragam putih itu bilang belum bisa pulang karena panasnya masih naik turun. Bang Rasya bertanya banyak hal dan menunjukkan perhatian pada anaknya. Setelah dokter ke luar, kami bersiap untuk pulang. “Boy, Papa pulang dulu, ya. Kau harus makan. Besok Papa datang lagi,” jelas Bang Rasya pada anaknya. “Ini makanan di makan saja, ya, Mbak,” kataku, Aisha pun hanya mengangguk dan bilang terima kasih. Bang Rasya terlihat heran melihatku yang berbaik hati pada wanita itu. “Tunggu!” kata anaknya Aisha. “Saya mau bicara sama dia.” Tangan anak itu menunjuk padaku. Aku mengernyit. “Mau bicara apa, kau?” Aisha menatap curiga. “Ini urusan orang dewasa. Bisakah Bapak dan Emak pergi dulu?” Kami saling lirik. “Hei, kau mau bicara? Bicara saja.” Bang Rasya duduk lagi. “Pasti mau aneh-aneh. Sudah jangan buat ulah,” timpal Aisha. “Tidak. Aku ingin bicara empat mata. Sebaiknya kalian keluar dulu. Ayolah, kalau tidak aku tidak akan sembuh.” “Ya sudah lah,
“Why? Awak tak sedang berpikir tuk meninggalkan Abang kan?” Aku tertawa sambil menepis kosong. “Tak lah.” “Lalu si boy ... maksud Abang, Rasya, tadi cakap apa?” Iris Bang Rasya kembali ke jalanan. “Aneh ya panggil anak pakai nama sendiri.” Dia menggeleng. Aku melepas pelukan di tangannya. Duduk seperti biasa. “Dia bilang mau menikahiku,” kataku sambil tertawa, lalu kuceritakan apa yang anak itu katakan tadi dengan menggunakan logat sok dewasanya. Bang Rasya ikut tertawa mendengarnya. “Dia sudah baligh, Bang, ajarkan dia sembahyang tepat waktu.” “Oh, ya. Awak tahu?” “Dia menceritakan itu pada saya, tapi merahasiakan dari ibunya. Iya memang sih lagi sakit. Tapi kan dia dosa kalau gak shalat, ya? Eh, iya, tak?” Bang Rasya mengangguk dan diam. “Abang dah banyak kehilangan waktu tuk mendidiknya. Aisha juga pasti sibuk karena harus menafkahi juga.” Raut Abang langsung berubah sedih. “Sekarang Abang harus mulai mendidik dia. Memangnya kat mana Aisha bekerja?” “Dia cakap di Aceh ni A
Pov Teuku Arasya Di panti ini, aku tak suka mengisi perut di ruang makan. Banyaknya anak-anak yang berisik dan berlalu lalang saat makan membuatku kurang nyaman. Jadi setiap makan aku hanya di dalam kamar. Alina mengerti. Setiap jam makan dia akan membawa makanan ke kamar. Seperti malam ini, sepulang dari ustadz Firman dia menyimpan teh hangat dan beberapa menu makanan di meja. “Itu tehnya manis tak?” Aku melihat gelas teh yang beruap. “Manis. Apa Abang tak nak yang manis kah?” “Nak lah. Tapi Abang nak yang ini.” Aku menarik tangannya. Membuat tubuh mungil ini duduk di pangkuan. “Heiss.” Dia berdesis dan memicing. Aku membuka cadarnya. Kulitnya putih dan kenyal bagai bayi. Semakin cantik saja dia. Berbeda dengan Aisha, mungkin karena dia tak terawat. Besok-besok kalau dia mau memperbaiki hubungan, pasti kubawa juga ke dokter kecantikan. Aku mencabut jarum di bawah dagunya. Karena tidak tahu bagaimana jarum ini disematkan, aku jadi tertusuk. “Eh!” Aku melihat tangan, ada setiti
“Boy.” Aku menarik kursi mendekati Rasya. Dia sudah terlihat segar hari ini. Ada kemungkinan besok sudah bisa pulang. “Ya, Bapak.” Sudah kucontohkan panggil Papa masih saja panggil bapak. Keluarga ini memang unik. Aku ingin dipanggil Papa, ibunya ingin dipanggil Umi, anaknya tetap panggil Emak dan Bapak. Sungguh kami memang keras kepala semua. “Kau nak jadi apa bila dah besar?” “Aku mau jadi pengumpul ikan, Bapak. Biar banyak uang. Bapak tahu? Nelayan kerja semalaman, sedangkan pengumpul ikan hanya beli dan jual. Tapi uangnya paling banyak. Dia beli murah dari nelayan, dia jual lagi mahal.” Aku mengangguk mengerti. Dia tidak aku didik dari kecil. Tapi jiwa bisnisku sepetinya sudah menurun padanya. Terbukti dia ingin jadi pedagang bukan nelayan. “Itu bisnis namanya.” “Ohh.” Dia mengatakan itu sambil agak mengangkat dagu. “Tapi aku juga suka sepak bola. Aku jadi kapten,” katanya berbangga hati. Selain punya jiwa bisnis, dia ternyata punya jiwa pemimpin. “Itu sangat bagus, kau tahu
Belakangan ini Alina sering merajuk. Keinginannya aneh-aneh. Entah karena cemburu atau apa. “Hayo, Abang, aku mau.” “Tak, Dik.” “Sekali ini aja, please ....” Wanita dengan long dress hitam ini memasang wajah memelas. Aku duduk di kasur. Dan melihatnya dengan lekat. “Putra Abang je masih di hospital, Dik. Masa kita senang-senang terus.” “Ini terakhir ... janji ... beneran. Ayolah Abang, mumpung di Aceh.” Aku menyugar rambut. Anak belum pulang dari rumah sakit, Aisha belum memberi kejelasan, pekerjaan menumpuk. Ini lagi satu, malah minta liburan. “Kilometer nol tu jauh, Sayang. Kita harus naik kapal ke Sabang lalu jalan lagi.” Alina mendekat dan membelai tanganku. “Saya kan bukan nak berangkat sekarang, Abang. But ... sebelum kita ke KL kita ke Sabang dulu. Ayolah, Abang. Please. Saya nak ke kilometer nol Indonesia itu. Saya janji. Setelah ini tak kan minta macam-macam lagi.” Aku diam mempertimbangkan. “Abang juga ditunggu kerjaan di KL, Dik.” “Satu hari je. Masa Abang tak bis
Beres sudah masalah di Aceh. Aku tinggal menunggu kedatangan Aisha di Malaysia. Pagi ini Aku dan Alina bertolak ke Sabang untuk mengunjungi Monumen Kilometer Nol Indonesia seperti yang Alina minta. Sabang Pulau Weh adalah sebuah pulau di provinsi Aceh dan pulau pertama di kepulauan Indonesia. Terletak di ujung paling barat Indonesia. Cara menuju ke Sabang Pulau Weh, kami harus naik kapal Feri dari Banda Aceh. Dibutuhkan sekitar 45 menit dengan kapal feri cepat untuk sampai di Pelabuhan Balohan di Sabang, Pulau Weh. Jam 10.00 kami masuk ke kapal cepat ekspres Bahari. Duduk di kursi yang nyaman kelas VIP. Alina duduk di dekat jendela dan aku di sebelahnya. Sambil melihat laut, kami bermanja. Benar ternyata memiliki istri dua itu punya makna bahagia yang berbeda. Sekarang aku bahagia berlibur dengan Alina, tapi hati tak enak karena ingat pada istri yang lain. Tak adil rasanya kami berlibur berdua sementara Aisha sedang sibuk menyiapkan paspor. Nanti harus kuajak Aisha berlibur juga. J