Beres sudah masalah di Aceh. Aku tinggal menunggu kedatangan Aisha di Malaysia. Pagi ini Aku dan Alina bertolak ke Sabang untuk mengunjungi Monumen Kilometer Nol Indonesia seperti yang Alina minta. Sabang Pulau Weh adalah sebuah pulau di provinsi Aceh dan pulau pertama di kepulauan Indonesia. Terletak di ujung paling barat Indonesia. Cara menuju ke Sabang Pulau Weh, kami harus naik kapal Feri dari Banda Aceh. Dibutuhkan sekitar 45 menit dengan kapal feri cepat untuk sampai di Pelabuhan Balohan di Sabang, Pulau Weh. Jam 10.00 kami masuk ke kapal cepat ekspres Bahari. Duduk di kursi yang nyaman kelas VIP. Alina duduk di dekat jendela dan aku di sebelahnya. Sambil melihat laut, kami bermanja. Benar ternyata memiliki istri dua itu punya makna bahagia yang berbeda. Sekarang aku bahagia berlibur dengan Alina, tapi hati tak enak karena ingat pada istri yang lain. Tak adil rasanya kami berlibur berdua sementara Aisha sedang sibuk menyiapkan paspor. Nanti harus kuajak Aisha berlibur juga. J
POV Alina Plafon kamar Zikri dibuat menyerupai langit malam. Lengkap dengan hiasan bintang dan bulan yang menggantung. Humidifer menyala mengeluarkan uap. Wangi lavender merebak di kamar ini. Aku dan anak 5,5 tahun berbaring dengan setengah tubuh ditutup selimut. Menatap plafon sambil berbincang. “Iki ... bila Mama tak de. Iki hafal tak, apa pesan Mama?” tanyaku dengan pelan. “Hafal lah. Bila nak naik tangga harus da yang temani. Bila nak mandi harus da yang temani. Bila nak main bola harus da yang temani. Bila tak da teman, tunggu je.” Anak ini bicara dengan logat melayu yang sangat kental. Comel sekali. Setelah kecelakaan itu kami sangat menjaga dia, menghindari terjadinya benturan berulang di kepala. Dokter memang sudah menyatakan dia sembuh total baik saraf organ dan daya ingatnya. Namun, tetap saja berisiko jika sampai terjadi benturan kembali. “Selama Mama tak da Iki nakal tak?” “Tak.” “Nangis tak?” “Tak lah. Iki kan dah besar.” “Teman-teman Iki di taman kanak-kanak da
“Mama kan dah bilang, Iki nak dapat Mama baru. Sekarang Mama Iki dah di sini. Panggil dia Umi ya.” Aku menuntun tangan anak yang sedang membawa remote mobil-mobilan ini. Membawanya sampai ke ruang depan.“Kenalkan ini anakku, Aisha.”“Loh, sudah besar? Bukannya kalian ....”Aku segera menyatukan telunjuk dengan bibir. Aisha mengangguk dan tak bertanya lagi. Lalu kukenalkan anak ini pada Aisha. Aisah terlihat kasar pada anaknya. Tapi pada Zikri dia sangat lembut. Kami bercengkerama agak lama. Lalu kutanyakan apa yang mengganjal di benak ini.“Kamu lembut sekali pada anak-anak. Tapi pada anakmu kok kasar?” Aku mengernyit heran.Aisha tertawa kecil. “Kasarku bukan karena benci tapi karena sayang. Hidup di pesisir tidak sama dengan tempat seperti ini. Rumah kami dekat jurang dan sangat bahaya. Sementara aku juga harus kerja. Jadi sering teriak-teriak.” Setelah pulang dari ustadz Firman Aisha jadi beda sekali. Dia friendly dan ramah. Tak seperti saat kutemui di rumah sakit itu. Terkesan ju
Aku mengambil koper. Membuka tas besar ini di atas kasur. Lalu menarik laci tempat perhiasan. Kuambil semua perhiasan yang Bang Rasya belikan. Aku meninggalkan satu kotak. Perhiasan yang pernah Bang Rasya berikan untuk Helen tapi dia berikan padaku. Mungkin perhiasan ini lebih tepat menjadi milik Aisha sekarang.Aku mengambil beberapa pakaian. Kumasukkan ke koper. Tak lupa juga kecantikan dan barang-barang lainnya. Kusimpan secarik kertas di atas meja rias.Menghela napas. Melihat setiap sudut ruangan ini. Kuraba bad tempat kami bermanja. Kurekam semua kenangan indah ini dalam ingatan. “Terima kasih untuk dua tahun yang sangat indah, Abang.”Kutarik koper keluar kamar. Pintu kututup dengan perlahan. Lalu berjalan ke balkon. Kuresapi indahnya pemandangan ini. Kuhirup napas dalam. “Ini udara yang akan sangat kurindukan.”Setelah beberapa menit, menikmati suasana sendirian. Aku melanjutkan langkah sampai tangga. Di bawah para asisten sudah berjajar menyambut. Empat sahabatku itu menangis
Aku duduk di kursi besi bandara. Melihat benda silver ini dengan lekat. Dalam pelupuk mata, aku memutar kejadian yang sudah lama. Seorang wanita dengan tas butut dan rambut diikat karet duduk di sini. Lalu pangeran datang berjalan dari sana. Pria itu memakai kemeja, dasi, dan dibalut rompi. “Name awak, Alina bukan ... Pekerja dari PT Khalid Anhar.” “Betul, Tuan.” “Mari ikut saya!” Aku meraba benda dingin ini. Menghela napas panjang. Ujung-ujungnya ternyata mari ikut ke kamar. Aku tersenyum bersama kenangan yang berganti-ganti. Aku melanjutkan perjalanan ke arah check-in. Menengok ke belakang berharap ada seseorang. Lalu jalan lagi. “Alin ... Alina ... apa yang nak awak lakukan. Awak nak pergi tinggalkan saya seorang?” Pria itu menghampiriku. Lalu membawa koperku untuk kembali. Menarik tanganku untuk menjauhi tempat check-in. “Abang tak seorang. Abang dah punya Aisha. Abang lebih pantas dengan dia. Terima kasih untuk waktu yang begitu berharga.” Aku mengusap setitik air mata.
Hujan terus menetes membasahi badan. Mengalir dari kepala sampai kaki. Gemuruh dan kilatan petir berpesta di atas sana. Saat semua orang berteduh di rumahnya. Ketika tidak ada orang yang mau tubuhnya basah. Aku malah bercengkerama dengan air dari langit ini, sebagai bentuk ikhtiar untuk mendinginkan diri. Mata, wajah, dan hati panas rasanya. Pernah merasa benar-benar dikhianati oleh orang-orang terdekat? Aku pernah. Sekarang! Sungguh miris. Ketika kembali dari urusan hari ini, aku pikir kondisi rumah masih dalam keadaan baik-baik saja. Sama seperti saat kutinggalkan. Aku masuk ke rumah dengan santai lalu naik ke kamar Aisha. Masih dua hari waktu yang harus kuhabiskan dengan dia. Aku mengobrol banyak dengan Aisha dan Azka layaknya keluarga. Lalu turun saat hendak shalat Magrib. Tak kudapati Alina sejak masuk rumah. Dia juga tidak ikut shalat berjamaah. Mungkin sedang berhalangan. Hingga aku santai tak berpikir macam-macam. Sampai waktu makan malam, dia juga tidak kunjung turun. “Ay
“Apa Abang pantas dikhianati banyak orang?” Aku memecah keheningan antara kami. Suana gemuruh masih menggelegar di atas sana. “Aku mengerti perasaan Alina karena aku pun merasakannya. Aku yakin para pekerja pun ikut mengerti perasaan Alin. Mereka membiarkan karena iba, bukan tanpa alasan.” “Jadi menurut awak, Abang dah menyakiti kalian berdua sampai orang-orang setuju bila Alin pergi. Abang harus macam mana, coba adik cakap!” Tubuh Aisha menciut karena petir yang menggelegar. Kilatan petir membuatku bisa melihat kalau dia juga menangis. “Perubahan ini terlalu cepat, Abang. Mungkin Abang harus bersabar.” Aisha mengerut lagi ketakutan dengan kilatan petir. “Adik menangis?” Aku mengernyit. Aisha diam. Membiarkan pertanyaanku dibalas oleh gemuruh. “Aku pun sakit melihat Abang seperti ini. Apa tidak bisa sedikit menutupi kekecewaan atas kepergian Alina untuk menghargai perasaan saya juga?” Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Astagfirullah.” Ternyata bukan bahagia saja y
“Kenapa awak sampai marah macam tu, Rasya? Awak beri contoh kasar depan anak.” Umma duduk di kursi goyang sambil melihat taman belakang. Terlihat raut kecewa di wajah cantiknya. “Khilaf, Umma.” Aku berdiri di dekat Umma sembari ikut melihat pemandangan. “Baru sekali ni Umma lihat awak marah macam tu. Sampai berani rusak barang.” “Cape, Umma. Penat. Seharian dah lelah, pulang da masalah. Tak da yang jujur pun.” “Yang sabar lah. Ini ujian kesabaran buat awak kan?” Umma melirik dan memindaiku. “Benar awak nak ganti semua orang.” “Tak lah.” Umma melirik ke sisi lain. Ternyata ada Ayu yang sedang menguping di sana. Pasti Umma bicara karena mereka minta. “Lantas macam mana kabar Alin. Dah awak hubungi?” Aku meremas rambut. Dari semalam aku hubungi dia tapi tidak aktif. Pagi ini kucoba hubungi juga masih tak aktif. Khawatir jadinya. Apa dia sudah tiba di rumah? “Nomornya tak dapat saya hubungi.” “Dah telepon mertua?” Aku semakin keras mencengkeram rambut. “Tak punya nomor mertua,