Semua asisten membujuk, Zikri tetap tidak mau. Dia hanya berdiri saja di sana menunggu Alina. Aku naik mendekati Zikri. Meminta semua orang untuk menjauhi anak itu. Lalu aku duduk di ujung tangga. “Iki nak lihat Mama Alin tak?” Aku mengeluarkan ponsel. Anak ini mulai tertarik. Melirik walau tetap menangis. Kuputarkan vidio kebersamaan kami pada saat di Bali. “Mama Alin kat mana? Kenapa tak de di rumah?” “Mama Alin sedang pulang dulu, Iki nak tengok kampung Mama Alin. Nah ... elok ya.” Aku menunjukkan layar ponsel. Zikri mendekat dan melihat layar. Kami duduk berdua di atas tangga ini. Melihat video-video Alina. ‘Bukan hanya Iki, Papa pun rindu sangat pada Mama Alin, tanpa Mama Alin rumah ini tampak kehilangan wanginya.’ Aku mengusap kepala Zikri dengan hati-hati. ‘Papa janji akan bawa Mama Alin pulang. Cepat atau lambat, Mama Alin pasti pulang. Hadir lagi bersama kita kat sini.’ Kami duduk di tangga sampai lama. Zikri tetap tidak mau turun. Lalu Azka mendekat. “Ki, main bola j
Pov Alina. Aku membuka jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi ini masuk. Kulihat layar ponsel. Lalu kukecup benda pipih ini. "Iki, Mama rindu, Nak." Jariku melukis wajah lucu yang tersenyum di layar. Semoga dia sehat selalu. Aku turun dengan pakaian yang sudah rapi. Berkumpul dengan Chacha di meja makan. Ibu sedang menyuapi anak itu. "Pagi, Tante cantik." "Pagi, Chacha comel." Aku menjawil pipi Chacha. Lalu menggeser kursi dan menyendok nasi goreng. Kuambil sedikit saja. Satu centong tak penuh. "Keterlaluan ya suamimu itu. Istri pulang tidak dicari tidak ditelepon. Memang dasar kitanya orang miskin, bisa berharap apa dari orang kaya." Mulutku yang sedang semangat mengunyah jadi ngerem sebab mendengar perkataan ibu. Kupikir dia pun akan segera mengejar ternyata tidak ada. Ah bukankah ini baik. Toh, ini kan yang aku mau. "Pantesnya dicari gitu kalau beneran sayang," lanjut ibu. "Yah, bagaimana lagi, dia juga bingung harus memilih siapa. Kalau Lina pergi kan sudah mengurangi
Aku memeluk bunga-bunga itu. Lalu lanjut melangkah ke ruangan. Pak Rahmat membantuku membukakan pintu karena dua tanganku penuh. Ada rasa takut yang di sana itu Wisnu meski dengan cara yang seperti ini pasti bukan dia. Tapi agak trauma saja pada orang itu. Dan bersyukur, alhamdulillah. Ternyata bukan. Abang berdiri dengan pakaiannya yang formal. Dia melihat ke kaca yang kubuat serupa di kantornya. Dengan sebelah tangan masuk ke kantung celana, dia melirik lalu mendekat. Berhenti di jarak dua langkah. Wajah yang kurindukan itu memandang lekat. Kami bertatapan lama. Mata itu, hidung itu, bibir itu. Abang menghela napas dan menelan saliva, terlihat dari jakunnya yang naik-turun. Sungguh betapa kagetnya, ini pertama kali dalam hidup, dia tiba-tiba berlutut di depanku. Aku sampai tersentak dan langsung mundur. “Abang nak minta maaf. Abang tak bisa tanpa Adik. Pulang, ya ....” Dua netranya berkaca-kaca. Ya Allah mana mungkin aku tega. Rasanya ingin memeluknya dan membuat dia berdiri. D
POV Teuku Arasya. Apa yang lebih besar dari sebatas motor, rumah, resort? Harga diri. Ya. Harga diri. Kalau mengikuti hawa nafsu, aku pun kecewa dengan cara dia pergi. Tapi harus bagai mana lagi, aku tak bisa hidup tanpa dia, tapi tidak juga bisa melepas Aisha. Serakah memang, aku ingin dua-duanya. Dan tak mau tanpa keduanya. Terserah berapa kali pun dia akan menolak. Aku tetap di sini untuk bertahan. Meski aku harus kehilangan harga diri sekalipun. Rumusku adalah gagal + 1. Sebanyak apa pun aku gagal, aku akan terus mencobanya satu kali lagi, satu kali lagi, satu kali lagi, sampai seterusnya. Tak pernah aku meminta wanita sampai segila ini. Apa lagi meminta wanita untuk mau diduakan. Tak tahu diri, ya. Namun, ya, begitulah. Aku menatap dinding cermin. Aku yakin penghuni ruangan itu sedang melihat ke sini. Alina sekarang sungguh berbeda. Pedas sekali mulutnya. Garang tatapannya. Mungkin itu bentuk dari kelebihan cintanya. Kurapikan kemeja dan rambut, lalu duduk. Kuoperasikan l
Paginya, sebelum ngantor, aku berkeliling di beberapa warung. Mencari permen yang belakangnya ada kata-kata cinta. Kadang hal sekecil ini bisa sangat berharga jika dilakukan sepenuh hati. Kuminta para karyawan untuk memberikan permen itu satu per satu. Setelah semua diberikan, Alina mendekati mejaku dan dia mengembalikan semua permennya. “Saya Tak BU-TUH,” katanya dengan garang. It’s oke. No problem. Kumakan saja permen ini sendiri. Dalam sebuah buku psikologi. Salah satu tips agar siapa pun menyukai kamu, yaitu dengan sering menampakkan diri. Pepatah lama mengatakan, “Keakraban membiakkan kebencian.” Pernyataan ini memang banyak diterima oleh orang-orang. Tapi nyatanya yang terjadi justru sebaliknya, penelitian menyimpulkan bahwa: semakin sering kita berinteraksi dengan seseorang, semakin dia menyukai kita1. Itulah kenapa aku memilih duduk di sini. Sering berkaca diri. Untuk selanjutnya sering mendatangi ruangannya. “Bisa pinjam pensil, tak?” “Punya mouse cadangan kah?” “Ada er
Pov Alina Tanpa terasa, air mata menggenang saat membaca surat dari Azka. Pemikirannya selalu di luar nalar remaja pada umumnya. Melamar jadi anak? Ada-ada saja. “Saya tahu kamu dan Mama kamu baik. Tapi.... Masalahnya tidak semudah itu. Ada yang tak terlihat tapi sangat sulit dibawa. Yaitu hati. Sulit, Nak. Sangat sulit. Kamu, ibumu, dan orang lain tidak akan mengerti. Bagaimana kita yang tidak sempurna ini diduakan dengan dia yang sempurna. Ini hanya masalah waktu saja, pada akhirnya aku hanya akan menjadi orang yang terbuang. Apa yang kulakukan sekarang, sebatas bentuk menghargai diri sendiri.” Aku bicara sendiri sambil melihat kertas dari Azka. Kusimpan kertas ini ke dalam laci dengan hati-hati. Kuambil buket bunga mawar yang tergeletak di meja. Kudekatkan ke hidung dan meresapi baunya. Rindu. Sungguh rindu pada pria di sana. Tapi aku harus kuat. Kupeluk bunga ini lantas membuangnya ke tempat sampah. Membiarkan mawar cantik itu teronggok di sana. Memang sengaja dia mau terlihat
“Pak, di mana Pak Rasya tinggal?” tanyaku pada beliau yang sedang jaga di pintu masuk. “Di rumah penduduk, Bu,” jawab pria berperut bulat ini. “Tolong Antarkan saya, boleh, Pak.” Sedetik kulihat senyum tersungging di bibir Pak Rahmat. Lalu dia berkata, “Mari saya antar!” Pria legam ini berjalan ke parkiran motor. Aku mengekor. Dengan menggunakan roda dua, kami beriringan menuju satu rumah yang tak jauh dari GAR. Pak Rahmat berhenti di sebuah bangunan kecil tapi resik. Tanaman stroberi berjejer di depan rumah. Dindingnya bercat seputih susu. Pak Rahmat langsung masuk. Mengucap salam, lalu membuka pintu sendiri. Aku ikut melangkah masuk. Rumah ini memiliki dua kamar, satu ruang tamu, dan dapur. Di kamar yang paling depan, pintunya terbuka. Suamiku berbaring lemas di sana. Spring bad tanpa dipan menjadi alasnya. Bak teremas dadaku rasanya. Jahat sekali aku ini. Membiarkan dia kesakitan begitu. Apa susahnya mengajak bicara dia baik-baik. Masa dia tak mau menerima. Tapi bagaimana m
Pov Teuku Arasya Pada dinginnya suhu hari ini, kami dibanjiri peluh. Dia yang angkuh berhasil luluh. Rindu yang menggebu telah menjauh. Di antara helaan napasku yang lelah, Alina terisak pelan. Menyembunyikan wajahnya dengan membelakangiku. Sepertinya dia menyesal telah melakukan hubungan suami-istri kali ini. Padahal dari caranya tadi, aku mengerti dia pun sangat rindu. Saat ini, hati dan akalnya sedang berperang, mungkin. "Abang minta maaf." Aku mendekati Alina, menyibak rambut yang menutupi setengah wajah cantiknya. Aku suka dengan wanita tertutup seperti ini. Orang lain tidak ada yang tahu kecantikan wajahnya. Elok rautnya hanya untuk sang suami. Dan itu sebuah kebanggaan menurutku. Karena sebagai suami aku merasa sangat spesial. "Saya tak mau pulang ke sana," katanya sangat pelan. Air matanya terus menguar. Aku teringat perkataan Aisha. Kalau Alina ingin tetap di sini, aku harus sabar sampai Alina siap. Meski pun harus keluar dana dan tenaga. "Adik nak macam mana? Tinggal k
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku