“Mama kan dah bilang, Iki nak dapat Mama baru. Sekarang Mama Iki dah di sini. Panggil dia Umi ya.” Aku menuntun tangan anak yang sedang membawa remote mobil-mobilan ini. Membawanya sampai ke ruang depan.“Kenalkan ini anakku, Aisha.”“Loh, sudah besar? Bukannya kalian ....”Aku segera menyatukan telunjuk dengan bibir. Aisha mengangguk dan tak bertanya lagi. Lalu kukenalkan anak ini pada Aisha. Aisah terlihat kasar pada anaknya. Tapi pada Zikri dia sangat lembut. Kami bercengkerama agak lama. Lalu kutanyakan apa yang mengganjal di benak ini.“Kamu lembut sekali pada anak-anak. Tapi pada anakmu kok kasar?” Aku mengernyit heran.Aisha tertawa kecil. “Kasarku bukan karena benci tapi karena sayang. Hidup di pesisir tidak sama dengan tempat seperti ini. Rumah kami dekat jurang dan sangat bahaya. Sementara aku juga harus kerja. Jadi sering teriak-teriak.” Setelah pulang dari ustadz Firman Aisha jadi beda sekali. Dia friendly dan ramah. Tak seperti saat kutemui di rumah sakit itu. Terkesan ju
Aku mengambil koper. Membuka tas besar ini di atas kasur. Lalu menarik laci tempat perhiasan. Kuambil semua perhiasan yang Bang Rasya belikan. Aku meninggalkan satu kotak. Perhiasan yang pernah Bang Rasya berikan untuk Helen tapi dia berikan padaku. Mungkin perhiasan ini lebih tepat menjadi milik Aisha sekarang.Aku mengambil beberapa pakaian. Kumasukkan ke koper. Tak lupa juga kecantikan dan barang-barang lainnya. Kusimpan secarik kertas di atas meja rias.Menghela napas. Melihat setiap sudut ruangan ini. Kuraba bad tempat kami bermanja. Kurekam semua kenangan indah ini dalam ingatan. “Terima kasih untuk dua tahun yang sangat indah, Abang.”Kutarik koper keluar kamar. Pintu kututup dengan perlahan. Lalu berjalan ke balkon. Kuresapi indahnya pemandangan ini. Kuhirup napas dalam. “Ini udara yang akan sangat kurindukan.”Setelah beberapa menit, menikmati suasana sendirian. Aku melanjutkan langkah sampai tangga. Di bawah para asisten sudah berjajar menyambut. Empat sahabatku itu menangis
Aku duduk di kursi besi bandara. Melihat benda silver ini dengan lekat. Dalam pelupuk mata, aku memutar kejadian yang sudah lama. Seorang wanita dengan tas butut dan rambut diikat karet duduk di sini. Lalu pangeran datang berjalan dari sana. Pria itu memakai kemeja, dasi, dan dibalut rompi. “Name awak, Alina bukan ... Pekerja dari PT Khalid Anhar.” “Betul, Tuan.” “Mari ikut saya!” Aku meraba benda dingin ini. Menghela napas panjang. Ujung-ujungnya ternyata mari ikut ke kamar. Aku tersenyum bersama kenangan yang berganti-ganti. Aku melanjutkan perjalanan ke arah check-in. Menengok ke belakang berharap ada seseorang. Lalu jalan lagi. “Alin ... Alina ... apa yang nak awak lakukan. Awak nak pergi tinggalkan saya seorang?” Pria itu menghampiriku. Lalu membawa koperku untuk kembali. Menarik tanganku untuk menjauhi tempat check-in. “Abang tak seorang. Abang dah punya Aisha. Abang lebih pantas dengan dia. Terima kasih untuk waktu yang begitu berharga.” Aku mengusap setitik air mata.
Hujan terus menetes membasahi badan. Mengalir dari kepala sampai kaki. Gemuruh dan kilatan petir berpesta di atas sana. Saat semua orang berteduh di rumahnya. Ketika tidak ada orang yang mau tubuhnya basah. Aku malah bercengkerama dengan air dari langit ini, sebagai bentuk ikhtiar untuk mendinginkan diri. Mata, wajah, dan hati panas rasanya. Pernah merasa benar-benar dikhianati oleh orang-orang terdekat? Aku pernah. Sekarang! Sungguh miris. Ketika kembali dari urusan hari ini, aku pikir kondisi rumah masih dalam keadaan baik-baik saja. Sama seperti saat kutinggalkan. Aku masuk ke rumah dengan santai lalu naik ke kamar Aisha. Masih dua hari waktu yang harus kuhabiskan dengan dia. Aku mengobrol banyak dengan Aisha dan Azka layaknya keluarga. Lalu turun saat hendak shalat Magrib. Tak kudapati Alina sejak masuk rumah. Dia juga tidak ikut shalat berjamaah. Mungkin sedang berhalangan. Hingga aku santai tak berpikir macam-macam. Sampai waktu makan malam, dia juga tidak kunjung turun. “Ay
“Apa Abang pantas dikhianati banyak orang?” Aku memecah keheningan antara kami. Suana gemuruh masih menggelegar di atas sana. “Aku mengerti perasaan Alina karena aku pun merasakannya. Aku yakin para pekerja pun ikut mengerti perasaan Alin. Mereka membiarkan karena iba, bukan tanpa alasan.” “Jadi menurut awak, Abang dah menyakiti kalian berdua sampai orang-orang setuju bila Alin pergi. Abang harus macam mana, coba adik cakap!” Tubuh Aisha menciut karena petir yang menggelegar. Kilatan petir membuatku bisa melihat kalau dia juga menangis. “Perubahan ini terlalu cepat, Abang. Mungkin Abang harus bersabar.” Aisha mengerut lagi ketakutan dengan kilatan petir. “Adik menangis?” Aku mengernyit. Aisha diam. Membiarkan pertanyaanku dibalas oleh gemuruh. “Aku pun sakit melihat Abang seperti ini. Apa tidak bisa sedikit menutupi kekecewaan atas kepergian Alina untuk menghargai perasaan saya juga?” Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Astagfirullah.” Ternyata bukan bahagia saja y
“Kenapa awak sampai marah macam tu, Rasya? Awak beri contoh kasar depan anak.” Umma duduk di kursi goyang sambil melihat taman belakang. Terlihat raut kecewa di wajah cantiknya. “Khilaf, Umma.” Aku berdiri di dekat Umma sembari ikut melihat pemandangan. “Baru sekali ni Umma lihat awak marah macam tu. Sampai berani rusak barang.” “Cape, Umma. Penat. Seharian dah lelah, pulang da masalah. Tak da yang jujur pun.” “Yang sabar lah. Ini ujian kesabaran buat awak kan?” Umma melirik dan memindaiku. “Benar awak nak ganti semua orang.” “Tak lah.” Umma melirik ke sisi lain. Ternyata ada Ayu yang sedang menguping di sana. Pasti Umma bicara karena mereka minta. “Lantas macam mana kabar Alin. Dah awak hubungi?” Aku meremas rambut. Dari semalam aku hubungi dia tapi tidak aktif. Pagi ini kucoba hubungi juga masih tak aktif. Khawatir jadinya. Apa dia sudah tiba di rumah? “Nomornya tak dapat saya hubungi.” “Dah telepon mertua?” Aku semakin keras mencengkeram rambut. “Tak punya nomor mertua,
Semua asisten membujuk, Zikri tetap tidak mau. Dia hanya berdiri saja di sana menunggu Alina. Aku naik mendekati Zikri. Meminta semua orang untuk menjauhi anak itu. Lalu aku duduk di ujung tangga. “Iki nak lihat Mama Alin tak?” Aku mengeluarkan ponsel. Anak ini mulai tertarik. Melirik walau tetap menangis. Kuputarkan vidio kebersamaan kami pada saat di Bali. “Mama Alin kat mana? Kenapa tak de di rumah?” “Mama Alin sedang pulang dulu, Iki nak tengok kampung Mama Alin. Nah ... elok ya.” Aku menunjukkan layar ponsel. Zikri mendekat dan melihat layar. Kami duduk berdua di atas tangga ini. Melihat video-video Alina. ‘Bukan hanya Iki, Papa pun rindu sangat pada Mama Alin, tanpa Mama Alin rumah ini tampak kehilangan wanginya.’ Aku mengusap kepala Zikri dengan hati-hati. ‘Papa janji akan bawa Mama Alin pulang. Cepat atau lambat, Mama Alin pasti pulang. Hadir lagi bersama kita kat sini.’ Kami duduk di tangga sampai lama. Zikri tetap tidak mau turun. Lalu Azka mendekat. “Ki, main bola j
Pov Alina. Aku membuka jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi ini masuk. Kulihat layar ponsel. Lalu kukecup benda pipih ini. "Iki, Mama rindu, Nak." Jariku melukis wajah lucu yang tersenyum di layar. Semoga dia sehat selalu. Aku turun dengan pakaian yang sudah rapi. Berkumpul dengan Chacha di meja makan. Ibu sedang menyuapi anak itu. "Pagi, Tante cantik." "Pagi, Chacha comel." Aku menjawil pipi Chacha. Lalu menggeser kursi dan menyendok nasi goreng. Kuambil sedikit saja. Satu centong tak penuh. "Keterlaluan ya suamimu itu. Istri pulang tidak dicari tidak ditelepon. Memang dasar kitanya orang miskin, bisa berharap apa dari orang kaya." Mulutku yang sedang semangat mengunyah jadi ngerem sebab mendengar perkataan ibu. Kupikir dia pun akan segera mengejar ternyata tidak ada. Ah bukankah ini baik. Toh, ini kan yang aku mau. "Pantesnya dicari gitu kalau beneran sayang," lanjut ibu. "Yah, bagaimana lagi, dia juga bingung harus memilih siapa. Kalau Lina pergi kan sudah mengurangi
Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam
Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it
Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul
POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba
Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera
Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas
Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara
Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar
Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku