Tinggalkan komentar dan bantu rate, ya, Sahabat.
Pov Teuku Arasya Di panti ini, aku tak suka mengisi perut di ruang makan. Banyaknya anak-anak yang berisik dan berlalu lalang saat makan membuatku kurang nyaman. Jadi setiap makan aku hanya di dalam kamar. Alina mengerti. Setiap jam makan dia akan membawa makanan ke kamar. Seperti malam ini, sepulang dari ustadz Firman dia menyimpan teh hangat dan beberapa menu makanan di meja. “Itu tehnya manis tak?” Aku melihat gelas teh yang beruap. “Manis. Apa Abang tak nak yang manis kah?” “Nak lah. Tapi Abang nak yang ini.” Aku menarik tangannya. Membuat tubuh mungil ini duduk di pangkuan. “Heiss.” Dia berdesis dan memicing. Aku membuka cadarnya. Kulitnya putih dan kenyal bagai bayi. Semakin cantik saja dia. Berbeda dengan Aisha, mungkin karena dia tak terawat. Besok-besok kalau dia mau memperbaiki hubungan, pasti kubawa juga ke dokter kecantikan. Aku mencabut jarum di bawah dagunya. Karena tidak tahu bagaimana jarum ini disematkan, aku jadi tertusuk. “Eh!” Aku melihat tangan, ada setiti
“Boy.” Aku menarik kursi mendekati Rasya. Dia sudah terlihat segar hari ini. Ada kemungkinan besok sudah bisa pulang. “Ya, Bapak.” Sudah kucontohkan panggil Papa masih saja panggil bapak. Keluarga ini memang unik. Aku ingin dipanggil Papa, ibunya ingin dipanggil Umi, anaknya tetap panggil Emak dan Bapak. Sungguh kami memang keras kepala semua. “Kau nak jadi apa bila dah besar?” “Aku mau jadi pengumpul ikan, Bapak. Biar banyak uang. Bapak tahu? Nelayan kerja semalaman, sedangkan pengumpul ikan hanya beli dan jual. Tapi uangnya paling banyak. Dia beli murah dari nelayan, dia jual lagi mahal.” Aku mengangguk mengerti. Dia tidak aku didik dari kecil. Tapi jiwa bisnisku sepetinya sudah menurun padanya. Terbukti dia ingin jadi pedagang bukan nelayan. “Itu bisnis namanya.” “Ohh.” Dia mengatakan itu sambil agak mengangkat dagu. “Tapi aku juga suka sepak bola. Aku jadi kapten,” katanya berbangga hati. Selain punya jiwa bisnis, dia ternyata punya jiwa pemimpin. “Itu sangat bagus, kau tahu
Belakangan ini Alina sering merajuk. Keinginannya aneh-aneh. Entah karena cemburu atau apa. “Hayo, Abang, aku mau.” “Tak, Dik.” “Sekali ini aja, please ....” Wanita dengan long dress hitam ini memasang wajah memelas. Aku duduk di kasur. Dan melihatnya dengan lekat. “Putra Abang je masih di hospital, Dik. Masa kita senang-senang terus.” “Ini terakhir ... janji ... beneran. Ayolah Abang, mumpung di Aceh.” Aku menyugar rambut. Anak belum pulang dari rumah sakit, Aisha belum memberi kejelasan, pekerjaan menumpuk. Ini lagi satu, malah minta liburan. “Kilometer nol tu jauh, Sayang. Kita harus naik kapal ke Sabang lalu jalan lagi.” Alina mendekat dan membelai tanganku. “Saya kan bukan nak berangkat sekarang, Abang. But ... sebelum kita ke KL kita ke Sabang dulu. Ayolah, Abang. Please. Saya nak ke kilometer nol Indonesia itu. Saya janji. Setelah ini tak kan minta macam-macam lagi.” Aku diam mempertimbangkan. “Abang juga ditunggu kerjaan di KL, Dik.” “Satu hari je. Masa Abang tak bis
Beres sudah masalah di Aceh. Aku tinggal menunggu kedatangan Aisha di Malaysia. Pagi ini Aku dan Alina bertolak ke Sabang untuk mengunjungi Monumen Kilometer Nol Indonesia seperti yang Alina minta. Sabang Pulau Weh adalah sebuah pulau di provinsi Aceh dan pulau pertama di kepulauan Indonesia. Terletak di ujung paling barat Indonesia. Cara menuju ke Sabang Pulau Weh, kami harus naik kapal Feri dari Banda Aceh. Dibutuhkan sekitar 45 menit dengan kapal feri cepat untuk sampai di Pelabuhan Balohan di Sabang, Pulau Weh. Jam 10.00 kami masuk ke kapal cepat ekspres Bahari. Duduk di kursi yang nyaman kelas VIP. Alina duduk di dekat jendela dan aku di sebelahnya. Sambil melihat laut, kami bermanja. Benar ternyata memiliki istri dua itu punya makna bahagia yang berbeda. Sekarang aku bahagia berlibur dengan Alina, tapi hati tak enak karena ingat pada istri yang lain. Tak adil rasanya kami berlibur berdua sementara Aisha sedang sibuk menyiapkan paspor. Nanti harus kuajak Aisha berlibur juga. J
POV Alina Plafon kamar Zikri dibuat menyerupai langit malam. Lengkap dengan hiasan bintang dan bulan yang menggantung. Humidifer menyala mengeluarkan uap. Wangi lavender merebak di kamar ini. Aku dan anak 5,5 tahun berbaring dengan setengah tubuh ditutup selimut. Menatap plafon sambil berbincang. “Iki ... bila Mama tak de. Iki hafal tak, apa pesan Mama?” tanyaku dengan pelan. “Hafal lah. Bila nak naik tangga harus da yang temani. Bila nak mandi harus da yang temani. Bila nak main bola harus da yang temani. Bila tak da teman, tunggu je.” Anak ini bicara dengan logat melayu yang sangat kental. Comel sekali. Setelah kecelakaan itu kami sangat menjaga dia, menghindari terjadinya benturan berulang di kepala. Dokter memang sudah menyatakan dia sembuh total baik saraf organ dan daya ingatnya. Namun, tetap saja berisiko jika sampai terjadi benturan kembali. “Selama Mama tak da Iki nakal tak?” “Tak.” “Nangis tak?” “Tak lah. Iki kan dah besar.” “Teman-teman Iki di taman kanak-kanak da
“Mama kan dah bilang, Iki nak dapat Mama baru. Sekarang Mama Iki dah di sini. Panggil dia Umi ya.” Aku menuntun tangan anak yang sedang membawa remote mobil-mobilan ini. Membawanya sampai ke ruang depan.“Kenalkan ini anakku, Aisha.”“Loh, sudah besar? Bukannya kalian ....”Aku segera menyatukan telunjuk dengan bibir. Aisha mengangguk dan tak bertanya lagi. Lalu kukenalkan anak ini pada Aisha. Aisah terlihat kasar pada anaknya. Tapi pada Zikri dia sangat lembut. Kami bercengkerama agak lama. Lalu kutanyakan apa yang mengganjal di benak ini.“Kamu lembut sekali pada anak-anak. Tapi pada anakmu kok kasar?” Aku mengernyit heran.Aisha tertawa kecil. “Kasarku bukan karena benci tapi karena sayang. Hidup di pesisir tidak sama dengan tempat seperti ini. Rumah kami dekat jurang dan sangat bahaya. Sementara aku juga harus kerja. Jadi sering teriak-teriak.” Setelah pulang dari ustadz Firman Aisha jadi beda sekali. Dia friendly dan ramah. Tak seperti saat kutemui di rumah sakit itu. Terkesan ju
Aku mengambil koper. Membuka tas besar ini di atas kasur. Lalu menarik laci tempat perhiasan. Kuambil semua perhiasan yang Bang Rasya belikan. Aku meninggalkan satu kotak. Perhiasan yang pernah Bang Rasya berikan untuk Helen tapi dia berikan padaku. Mungkin perhiasan ini lebih tepat menjadi milik Aisha sekarang.Aku mengambil beberapa pakaian. Kumasukkan ke koper. Tak lupa juga kecantikan dan barang-barang lainnya. Kusimpan secarik kertas di atas meja rias.Menghela napas. Melihat setiap sudut ruangan ini. Kuraba bad tempat kami bermanja. Kurekam semua kenangan indah ini dalam ingatan. “Terima kasih untuk dua tahun yang sangat indah, Abang.”Kutarik koper keluar kamar. Pintu kututup dengan perlahan. Lalu berjalan ke balkon. Kuresapi indahnya pemandangan ini. Kuhirup napas dalam. “Ini udara yang akan sangat kurindukan.”Setelah beberapa menit, menikmati suasana sendirian. Aku melanjutkan langkah sampai tangga. Di bawah para asisten sudah berjajar menyambut. Empat sahabatku itu menangis
Aku duduk di kursi besi bandara. Melihat benda silver ini dengan lekat. Dalam pelupuk mata, aku memutar kejadian yang sudah lama. Seorang wanita dengan tas butut dan rambut diikat karet duduk di sini. Lalu pangeran datang berjalan dari sana. Pria itu memakai kemeja, dasi, dan dibalut rompi. “Name awak, Alina bukan ... Pekerja dari PT Khalid Anhar.” “Betul, Tuan.” “Mari ikut saya!” Aku meraba benda dingin ini. Menghela napas panjang. Ujung-ujungnya ternyata mari ikut ke kamar. Aku tersenyum bersama kenangan yang berganti-ganti. Aku melanjutkan perjalanan ke arah check-in. Menengok ke belakang berharap ada seseorang. Lalu jalan lagi. “Alin ... Alina ... apa yang nak awak lakukan. Awak nak pergi tinggalkan saya seorang?” Pria itu menghampiriku. Lalu membawa koperku untuk kembali. Menarik tanganku untuk menjauhi tempat check-in. “Abang tak seorang. Abang dah punya Aisha. Abang lebih pantas dengan dia. Terima kasih untuk waktu yang begitu berharga.” Aku mengusap setitik air mata.