Pov Alina Aku duduk di kasur sambil memegang ponsel. Kuhela napas berkali-kali untuk menenangkan diri. Dadaku semakin berdebar saja. Kubaca rentetan tulisan itu seraya menggigit bibir. "Hai, Sayang." Kehadiran Bang Rasya yang tiba-tiba membuatku terperanjat sampai ponsel terjatuh ke atas karpet permadani. "Sedang apa?" Bang Rasya mengambil ponsel dan aku segera merebut dari tangannya. Dia memicing. "Apa awak sembunyikan sesuatu?" "Tak." Aku menyembunyikan ponsel ke belakang. Benda yang bahkan belum dikeluarkan layarnya itu kugenggam dengan dua tangan. "Apa?" Bang Rasya melingkarkan tangan mencoba meraih benda pipih di punggung. Memang dasarnya dia iseng, bukannya ambil dari samping malah dari depan, tentu saja tubuhnya semakin maju sementara aku semakin mundur dan pada akhirnya berbaring di atas kasur. "Oh, ini sulit sangat," katanya berlebihan. Padahal dari tadi tangannya sudah berhasil menggenggam HP. "Abang tahu bahasa gaul modus tak?" "What?" "Modal dusta." "Astagfirull
"Bukan, Bu. Tapi itu ... emm ...." Kalimatnya terhenti lagi. "Ya?" Mbak Jamila bicara terputus-putus, seperti sedang ragu dengan kalimat yang akan dikatakannya. "Tadi ... ada ... yang datang ke sini ... wanita ... dia mengaku sebagai ... Aisha ... Istri Tuan Rasya yang pertama." Ponselku langsung jatuh mendarat di sofa. Dadaku seperti berhenti berdetak. Aku menahan napas. Semua indra serupa tak berfungsi. Aisha? Ada ke panti? Apa benar dia Aisha? Atau hanya orang yang mengaku-ngaku. Tidak. Tidak mungkin. Itu pasti bukan Aisha. Itu pasti orang lain. Di dunia ini banyak yang bernama Aisha. Tapi Mbak Jamila bilang kalau dia istri pertama Bang Rasya. Tunggu. Benarkah Mbak Jamila bicara begitu. Atau aku yang salah dengar. "Alin!" Umma mengguncang lenganku. Dia sudah berdiri di sampingku dengan ekspresi heran. "Umma." Aku berkedip dan air mata sudah menggantung. "Ada pa?" "Aisha ... Ada yang datang ke panti mengaku sebagai Aisha." Air mataku jatuh setetes. Umma mengernyit. Beliau
Pov Teuku Arasya Jauh di dalam hati, aku tidak pernah menganggap Aisha pergi. Aku merasa dia ada meski entah di mana. Hanya saja, hidup seperti ini tak ayal serupa orang gila. Ketika semua bukti kematian ada di depan mata. Saat semua orang meyakini dia sudah tidak ada. Aku kelimpungan mencari dia sendiri. Menyusui semua tempat. Membelikan barang-barang untuknya. Setiap hari menunggu kedatangannya. Aku membuat kesimpulan dan meyakini itu bukan semata-mata karena percaya, tapi karena hanya ingin waras dan hidup normal sebagaimana yang lain. Aku tidak mungkin membiarkan Umma terus mengkhawatirkanku. Usianya semakin menua, begitu pun usiaku. Berat rasanya dada ini, saat dia kembali dan malah mempertanyakan statusku. Aku sampai kesulitan menjelaskan, bahkan tak bisa walau sebatas membela diri. Kurengkuh dia ke pelukan. Menyatukan wajah itu dengan dadaku. Inilah tulang rusukku, cinta pertamaku, bidadariku, Aisha-ku. “Abang mencari Adik ke mana-mana, Aisha.” Kenapa aku jadi memanggilnya
Hari sudah memasuki tengah malam. Aku masih sendiri di luar rumah sakit. Bercengkerama dengan gelap dan angin malam. Ya Allah ujian macam apa ini? Aku memasuki kamar rawat setelah merasa cukup menenangkan diri. Di sana, Aisha tidur sambil duduk di dekat anaknya. Kemudian rasa perih itu menyelusup lagi ke dalam dada. Saat aku tidur di kasur yang empuk. Di rumah mewah. Di hotel-hotel termahal. Anakku berbaring di kasur usang yang tipis. Setiap bulan aku mengeluarkan uang miliaran untuk menggaji karyawan. Ratusan juta untuk infak. Tapi anak pertamaku hidup di bawah garis kemiskinan. Ini ada diluar kuasaku, tapi aku merasa jahat sekali. Aku meminta selimut lagi pada perawat. Lalu menutupi Aisha dengan selimut itu. Kemudian duduk di sofa. Melihat mereka berdua lebih lama. Benakku diisi segala macam pertanyaan: Apa yang terjadi pada Aisha? Bagaimana dia bisa selamat? Di mana dia tinggal? Kenapa sampai terhalang waktu 15 tahun? Aisha bergerak. Membuka mata. Kedua irisnya langsung melih
Pov Alina Aku melihat dia dan Aisha menaiki mobil bersama. Rasa cemburu semakin memenuhi dada. Apa yang akan mereka lakukan berdua di sana. Aku tak ikhlas sama sekali. Benar dia tetap berusaha menunjukkan perhatiannya menitipkanku pada Mbak Jamila. Tapi itu tidak lantas menghilangkan kekhawatiranku. “Kita mau mengikuti ke rumah sakit, Bu?” tanya Mbak Jamila. Aku berpikir sejenak. Jika aku ikut masalahnya pasti tambah pelik. Aku tak kuasa mendengar dan melihat lebih banyak bagaimana perlakuan Bang Rasya pada Aisha. “Sebaiknya kita pulang saja, sudah terlalu malam.” Mereka melihatku dengan iba. Aku menunduk dan jalan ke depan. Mbak Jamila langsung memesan kendaraan lalu kami pun kembali ke panti. “Ini pasti sulit, ya, Bu?” Mbak Jamila bicara hati-hati. “Sangat,” kataku datar. “Kami turut prihatin. Kami tidak enak tadi harus memberitahu lewah Ibu, tapi ....” “Tidak apa-apa, Mbak Jamila, sudah benar. Saya hanya ingin segera istirahat sekarang.” Mereka langsung membawa koperku ke
“Abang, jika Sayyidah Khadijah kembali. Apa kira-kira yang akan dilakukan Sayyidah Aisyah,” tanyaku pada pria berkopiah ini. Bang Rasya berputar, duduk bersila membelakangi kiblat. “Tentu saja pasti menerima. Sayyidah Aisyah dipoligami bukan hanya dengan empat istri tapi lebih banyak dari itu.” Setelah penyatuan tubuh dan salat Dhuha, Bang Rasya tampak lebih segar dan tenang. “Tidak. Belum tentu. Sayyidah Khadijah adalah istri yang paling sering disebut oleh Baginda Nabi padahal beliau sudah tidak ada. Sayyidah Aisyah bahkan sangat cemburu padanya. Jika Sayyidah Khadijah ada di antara Rasulullah dan Sayyidah Aisyah, Apa Sayyidah Aisyah akan menerima?” Abang Rasya menghela napas. Sejenak dia berpikir. “Yang sedang kita bicarakan adalah orang-orang yang luar biasa ibadahnya, Dik. Manusia-manusia pilihan dengan tingkat keimanan tinggi.” Dia menjeda. “Sayyidah Khadijah, misal. Beliau tak hanya menyerahkan seluruh harta, bahkan beliau menyerahkan nabi untuk umat. Istri mana yang rela,
Pov Teuku Arasya. Aku mengambil ponsel dan beranjak pergi menjauhi Alina. Aku berjalan ke balkon rumah kami yang lama. Lalu menelepon Umma di sana. Beliau pasti betanya-tanya tentang semua yang terjadi ini. Kedatangan Aisha adalah anugerah. Tapi kenapa jadi seolah masalah? “Assalamualaikum, Rasya,” kata Umma dari seberang sana. “Waalaikumsallam, Umma,” kataku sambil melihat anak-anak panti yang sedang berolahraga di halaman. “Jadi betul tu Aisha, Rasya?” “Iya Umma, betul.” “Sudah punya anak?” “Putraku sudah empat belas tahun Umma. Anak yang dulu dikandung Aisha.” “Bagaimana bisa terjadi?” Aku menghela napas. Meremas pagar balkon. “Aisha terbawa ke laut saat tsunami. Dia lima hari di laut lalu diselamatkan nelayan Malaysia. Aisha hilang ingatan. Setelah dua belas tahun ingatannya kembali. Dia datang ke Aceh tahun 2017 lalu, tapi memilih tak menemui saya karena tahu sudah menikah. Aisha mempermasalahkan status saya yang sekarang, Umma.” “Hmm ....” Umma diam lama. Aku mengerti
Aku mendekati Aisha. Menuangkan susu cair ke gelas. Lalu mengambil kursi dan duduk di dekatnya. Aku merebut roti dari tangan Aisha. Lalu menyuapinya dengan roti ini. Dia diam. Tanganku melayang di udara cukup lama. Ayolah Aisha jangan membuatku marah. “Adik tahu tak. Kalau jam segini perut burung pipit sudah penuh semua?” Aku menggunakan cara Alina untuk menggoda. Ternyata harus merendahkan diri untuk melakukan ini. “Mak, ayo. Bapak sudah baik tuh!” pinta anak kami. Tangan kanan Aisha memegang tanganku, tangan kirinya mengangkat cadar. Lalu menyuap perlahan. “Tidak. Setahuku burung pipit tak pernah penuh perutnya.” “Kenapa?” Aku mengernyit. Ada rasa bahagia dia mau menerima suapanku. “Karena petani selalu kerepotan dari pagi sampai sore hanya untuk mengurus burung pipit.” Aku tersenyum. Dia memang selalu cerdas. “Burung pipit seperti kamu.” Aisha melihat pada anaknya. “Tak ada kenyangnya.” Anak itu tertawa, Aisya tersenyum—terlihat dari matanya yang menyipit. Terima kasih Alina