"Masya Allah." Aku mengambil foto itu. Rambut hitam tergerai lurus. Kulit putih bersih. Mata hitam dengan bulu lentik. Hidungnya bangir. Bibir seksi. "Keturunan Arab?" Alisku menegang. "Abinya dari Aceh. Uminya dari Arab." "Masya Allah. Cantik sekali." Pantas Bang Rasya sampai tergila-gila. Pernah kan lihat orang-orang keturunan arab? Ya, begitulah. "Abang tidak punya foto lain selain ini? Yang tidak berkerudung maksudnya." "Sudah Abang delet semua." "Kenapa?" "Takut Abang tiba-tiba meninggal lalu dilihat rang lain." Aku memindai wajah Abang. Rautnya berubah sedih. "Bila Abang mendadak menghadap Allah, Abang titipkan foto ini jangan sampai dilihat rang lain, ya. Abang selalu simpan kat sini." Bang Rasya menyimpan foto Aisha ke tempat semula dengan sangat hati-hati. "Abang bicara apa? Kita akan menua bersama, kan?" "Usia tak ada yang tahu, Comel." Dia memeluk dan mencium kepalaku. Bang Rasya menyimpan fotoku di dompetnya. Memajang gambar kami di ruang kerjanya. Bahkan di
"Stupid! You mengotori tas i. Sit!" Wanita dengan kerudung melilit leher itu teriak dan mengumpat. Zikri langsung mundur dengan raut takut. "Helen." Bang Rasya menghampiri wanita itu. Ternyata dia mantan istrinya, alias ibu kandung Zikri. "Arasya." Helen melihat lelaki yang sudah berdiri di belakang Zikri. Menahan anak itu agar tidak mundur lagi. "He's Teuku Azikri. Your son." Abang menggenggam tangan Zikri, diulurkannya tangan kecil itu pada ibu yang melahirkannya. "Hah!" Dia ternganga dan mengernyit. Lalu menyungging senyum menyebalkan. "He's your son. Not me." Wanita itu melotot dan membentak. Zikri semakin menciut. "Helen." "Stop! Saya tak nak dengar apa yang kan awak cakap. Jaga anak awak baik-baik. Dia sudah mengotori tas mahal saya." Helen memicing, melihat Zikri dengan amarah. "Dasar anak setan." "Helen!" Bang Rasya membentak. "Why?" Dia memicing dan tersenyum. Sementara air mata sudah menggantung di mata Zikri. Anak itu umurnya sudah empat tahun, tentu bisa tahu apa y
Paginya suasana hatiku sudah berbeda. Kembali ceria seperti sedia kala. Aku mencoba cadar yang kemarin dibeli. Berputar di depan cermin berkaca diri. "Cantik, tak?" tanyaku pada pria yang baru keluar dari kamar mandi. Dia berdiri di belakangku dengan tubuh masih menggunakan piama handuk. "Cadar itu tuk menutupi kecantikan." Boleh saja dia bicara sebijak itu, seolah pakai cadar atau tak pakai cadar pun aku sama saja. Sayangnya dia tidak terlalu pandai menutupi ekspresi ketertarikannya. Matanya mengawasiku dengan tatapan berbeda. "Bila adik sudah matang nak pakai cadar. Kita simpan foto-foto adik dan ganti dengan yang baru," katanya sambil memakai kemeja. "Iya begitu lebih baik." Kami pun memanggil fotografer ke rumah. Berpose bak keluarga bahagia. Pasangan suami istri dengan satu anak. Gambar besar di ruang tamu diganti. Begitu pun foto-foto yang dipajang di kamar, kantor dan dompet. Bang Rasya menggantinya dengan gambarku yang sudah bercadar. Tapi bila di dalam ponselnya tetap
Percuma saja mengingatkan Shena. Sepertinya dia sudah matang dengan pilihan hidupnya. Aku pun hanya bisa sampai tahap mengingatkan, selebihnya berdoa semoga dia mendapatkan hidayah satu hari nanti. Mumpung sedang ada di Jakarta, kami pulang dulu ke kampung. Menemui ibu dan bapak serta Alina resort yang sudah naik ke pembangunan restoran. Di rumah ibu aku bertemu dengan Chacha. Dari awal aku memang kurang respek pada anak itu, dalam diri ini tidak ada rasa sayang sama sekali. Mungkin karena sulit lupa kalau anak itu hasil selingkuhan suami dan adikku sendiri. Tetapi melihat perangainya sungguh kasihan. “Tante ... Mama kapan pulang?” Anak perempuan 3,5 tahun itu bertanya dengan mata yang berkaca. “Nanti Mama Chacha pasti pulang.” Aku mengusap pucuk kepalanya. “Chacha rindu Mama.” Anak ini memelintir pakaian, lalu menangis. Aku benci rasa peduli ini, ingin cuek tapi tak bisa. Malah kutarik anak itu ke pelukan dan melerai tangisannya. Membujuknya dengan segala cara. Ibuku tidak seper
Aku langsung berlari, kaki bagai melayang mengejar tubuh kecil yang terjungkal-jungkal di tangga. Sayang sekali, kakiku baru sampai di ujung tangga paling atas. Dia sudah terkapar di bawah. “Zikri ....” Aku teriak bersama air mata yang sudah menutupi pandangan. “Zikri ....” Aku segera turun. Menarik anak yang tergeletak tak berdaya ini ke pangkuan. Darah segar mengalir dari mulutnya. “Tidak! ....” Aku teriak keras. Air mata menderas. Dengan sangat cepat, Bang Rasya mengambil Zikri dari pangkuanku. Dia berlari membawa putranya ke depan dan langsung naik mobil yang tadi baru terparkir. Aku membeku melihat darah segar yang membasahi tangan. Suara mobil dengan kecepatan tinggi melesat di halaman. Umma menarik tanganku. “Cepat, kita langsung ke rumah sakit.” Aku berlari kembali ke lantai dua. Membawa dompet, tas, HP, juga cadar. Kupasang kain tipis ini sambil berjalan. “Ya Allah, Ya Allah, selamatkan anakku.” Tubuhku terus bergetar. Di depan, mobil sudah siap. Umma telah duduk di da
Pov Teuku Arasya. Cinta. Arti cinta bagiku adalah Aisha. Padanya aku merasa jatuh hati sejak pandangan pertama. Hanya dia yang bisa membuat dadaku berdebar tak karuan. Hanya dia juga yang membuat hatiku menghangat setiap kali melihat senyumnya yang menawan. Aisha berhasil merebut mataku. Kedua netra ini sudah tidak taat lagi pada pemiliknya, ia hanya ingin melihat Aisha. Bahkan saat dia pergi di dalam pelupuk ini masih melihat gerak-geriknya. Aisha berhasil merebut tubuhku. Dia yang pertama kali membawaku ke nirwana. Aku bisa bertahan untuk tidak meluapkan syahwat sampai 7 tahun lamanya. Yang paling parah, Aisha berhasil mengambil cintaku. Dengan sangat lembut, Aisha masuk ke dalam hati. Dia merengkuh semua cintaku lalu dibawanya pergi. Dia bahkan tidak menyisakan untuk diriku sendiri. Aku masih bernapas. Bisa jalan. Tetap hidup. Tapi kehilangan sari pati hidup. Setelah musibah besar itu, aku tetap beraktivitas. Bekerja sesuai dengan keahlian. Mengambil alih semua kepemimpinan
Waktu terus berputar. Kami sembahyang bergantian. Menunggu sambil berdoa. Duduk. Berdiri. Jalan-jalan. Lama sekali operasinya. Sampai berjam-jam. Apa anakku akan kuat? Ya Allah selamatkan anakku. Dokter berseragam hijau ke luar. Dia mengatakan kalau operasinya berjalan lancar. Setelah ini dokter akan melaksanakan serangkaian pemeriksaan pada sistem saraf dan otak guna memastikan bahwa organ tersebut dapat berfungsi dengan baik. Zikri pun dipindahkan ke ruang ICU. Kami diijinkan untuk melihat Zikri. Tapi harus gantian dan tidak boleh menyentuh apapun. Hanya sebatas melihat. Aku memakai seragam hijau yang diberikan perawat. Lalu masuk ke ruangan yang dipenuhi alat-alat medis. Hatiku teriris melihatnya. Putraku berbaring dengan kepala dililit kasa, tidak ada satu pun bagian rambutnya yang terlihat. Dia memejam seperti tidur. Kepala, hidung, mulut, dada menempel alat-alat penyambung nyawa. Kantung darah menggantung, menetes melewati selang. “Iki, ini Papa, Sayang. Iki segera bangun y
Pov Alina Desember ini, intensitas hujan semakin tinggi. Dari lantai enam gedung rumah sakit, aku melihat jendela yang basah karena gerimis. Tetesan air menggumpal lalu mengalir membentuk garis lurus. Aku mengambil tisu, dan membersihkan embun. Di balik jendela sana adalah pemandangan malam kota Kuala Lumpur. Gedung-gedung menjulang, Jutaan lampu bertebaran bak bintang. Sayangnya sekarang tidak terlihat begitu jelas karena rabun oleh embun. Pemandangan itu yang menjadi back ground dari ingatanku yang melayang ke mall, tempat aku dan Helen bertemu. Dari awal jelas aku mengerti maksudnya, dia masih menyimpan dendam atas perlakuan kasarku dulu. Sehingga dengan tak punya hati dia memintaku mencium kakinya. Tidak ada yang kupertimbangkan lagi selain harga diri suami. Bagi Helen dan sebagian orang, anak mungkin tidaklah penting. Tapi bagiku sangat penting. Aku bertahun-tahun berharap memiliki anak, sayangnya masih belum dianugerahi. Sekarang aku punya Zikri, meski bukan lahir dari rahimk