Pov Alina Di hotel, aku diperkenalkan pada semua keluarga dari Malaysia. Beberapa sudah tahu, tapi banyak juga yang belum. Mereka adalah adik-adiknya Umma beserta keluarga mereka masing-masing. Umma merupakan anak tertua yang memiliki tiga adik. Dua laki-laki dan satu perempuan. Aku bersalaman dengan semuanya. Sungkan tentu saja. Apa pandangan orang lain bila seorang Teuku Arasya menikah dengan pengasuh anaknya. Beruntung dari mereka tidak ada yang bersikap tidak mengenakan. Malah ramah semua. Kami sempat mengobrol sebentar, lalu para tamu masuk kamar masing-masing untuk beristirahat. Aku menggendong Zikri sampai ke kamarnya. Memeluk anak menggemaskan ini dengan penuh cinta. Sungguh rindu rasanya. Aku seperti bertemu dengan anak sendiri meski tidak tahu rasanya punya anak. Kupeluk dan kuciumi dia di mana-mana. Zikri hanya diam sambil melingkarkan tangan di leherku. "Mama Alin, Iki punya robot, Mama Alin nak tengok?" katanya saat kami memasuki kamar. "Mana Mama nak tengok." Kusim
Esoknya rumah sibuk dari sejak subuh. Tukang rias datang, mendandani dan memakaikan gaun yang beberapa hari lalu kami beli dari kota. Aku memakai hak tinggi dan membawa seikat bunga. Di dalam kamar, aku mematut diri. Berputar menyamping. Di dalam cermin sana, aku bak putri raja. Cantik sekali. Bang Rasya mendekat. Pria yang sudah memakai jas ini melingkarkan tangannya di pinggang. Sama-sama melihat cermin. Seperti sedang memamerkan kalau kita pasangan serasi. Tak malunya Bang Rasya mencium pipiku di depan tukang rias. Aku menepis pipinya penuh sayang. Beberapa menit sebelum acara, kami naik mobil, kali ini bukan jeep, melainkan mini bus biasa. Mungkin karena ribet dengan pakaian aku kurang menunduk dan imbasnya kepala jadi kejedot. "Aduh." Aku memekik sambil duduk. Bang Rasya melihat khawatir. "Sakit?" Dia mengusap kepala. "Tidak ... tapi ... ini lumayan." Aku menertawakan kebodohan sendiri. Sesampainya di tempat resepsi, Bang Rasya memintaku untuk tidak langsung turun. Dia kel
"Diam!" Bang Rasya menunjukkan lima jarinya pada aku dan bapak-bapak yang baru saja melihat pemandangan itu. "Diam!" katanya dengan nada lebih tinggi. Bang Rasya mengacungkan pena dengan tangan kanannya. Lalu suara rekaman itu terdengar. "Kenapa kau ke sini?" ucap suara Bang Rasya. "Apa kau tak ingin bersenang-senang denganku?" Suara Shena. "Biadab kau. Keluar!" "Baiklah. Aku yakin kau memang akan menolaknya. Orang yang sok suci memang pantas dengan orang yang sok suci." "Heh. Kenapa kau malah buka baju?" "Mau tahu. Kau lihat ini!" "Tolong ... tolong ... tolong saya mau diperk*sa." Lalu suara dobrakkan pintu pun terdengar. Shena yang sedang menangis di sudut ruang, langsung kaget mendengar suaranya sendiri diperdengarkan. Dia berkedip cepat dan berdiri dengan perlahan. Bapak-bapak saling melirik. "Apa itu?" kata si bapak yang berada di sebelah kananku. "Itu suara rekaman." Aku menjelaskan. Shena langsung gelagapan, melirik ke sana kemari. Seperti kucing yang ketahuan men
Kami memesan kamar hotel untuk bermalam. Penerbangan ke Aceh besok jam satu siang. Jadi kami istirahat dulu di sini sampai waktu penerbangan tiba. "Abang. Apa yang Abang rasakan saat melihat Shena buka baju?" Aku memeluk lengan berototnya dengan erat. Bang Rasya sedang fokus pada laptopnya. Dia sudah mulai disibukkan dengan pekerjaan. Bang Rasya menghentikan gerak tangan di atas keyboard. Dia melirik sedikit. "Kaget. Lumayan panik juga. Tapi ya ... berusaha santai." "Tergoda tak?" "Astagfirullah." Dia langsung berpaling. Melanjutkan gerakan tangannya di keyboard. Seolah pertanyaanku tidak penting atau malah menyebalkan. Aku berdiri. Berjalan menjauhinya dan duduk di kasur. Tumpang kaki sambil melihat dia yang duduk di sofa hitam. "Kalau begini tergoda tak?" Aku membuka ikat rambut dan sedikit memainkan kepala. Kedua iris Bang Rasya berpindah dari layar laptop ke sini. "Kalau begini tergoda tak?" Aku membuka kancing atas, menarik kerah baju ke samping--memperlihatkan pundak. "K
Pov Teuku Arasya Agustus 2004. Aku kembali menginjakkan kaki di Aceh, setelah dua tahun mengejar study di Amerika. Aba adalah seorang pebisnis yang perusahaannya bercecer di Malaysia dan Indonesia. Aku tidak perlu pusing menentukan masa depan. Sudah pasti ujung-ujungnya akan duduk di belakang meja kebesaran Aba. "Apa rencana selanjutnya, Rasya? Apa kamu siap handel satu perusahaan sendiri?" Aba berkata santai. Pria berwibawa itu menghentikan suapannya. Saat ini kami sedang merayakan kepulanganku dengan makan malam keluarga di salah satu restoran. Aku tersenyum. Melihat pada lilin yang berada di tengah meja kami. "Bila Aba percaya, Rasya tak masalah." "Lulusan Harvard mana mungkin Aba tak percaya. Kau handel lah yang di Malaysia. Aba sudah lelah ke sana-kemari terus." Aba mengusap bibirnya dengan sapu tangan. "Menurut Umma sebaiknya menikah dulu. Dari pada awak simpan syahwat pada wanita." Umma memang selalu mengerti apa yang bujangnya butuhkan ini. Dua tahun di Amerika, berbaur
Kebahagiaan bermadu kasih hanya berlangsung selama satu minggu. Setelahnya aku harus berangkat ke Malaysia sesuai janji pada Aba yang mengharuskanku meng-handel perusahaan yang ada di sana. "Terus kapan kita akan menghabiskan waktu lama begini?" Dia meruncingkan bibir. "Nanti bila Abang tak sibuk dan bisa ambil libur." "Kapan?" "Tahun baru. Mungkin Abang bisa berlibur seminggu." "Janji!" Dia menunjukkan kelingking. "Janji." Aku menautkan kelingking kami. Setelahnya kami hanya bisa melepas rindu lewat ponsel cerdas pada jaman itu. Lalu bertemu seminggu sekali atau kadang dua minggu. Sungguh tersiksa pengantin baru harus LDR. Aisha gadis periang. Benar-benar sosok istri yang kuharapkan. Pernah satu ketika kami menghabiskan malam yang indah. Lalu paginya dia sudah berbusana cantik hendak kuliah. Namun karena gemas aku menahannya. Menguncinya di dinding setengah memaksa. "Abang ni. Orang aku mau kuliah juga." Dia mengomel sambil lari ke kamar mandi. "Nanti Abang antar." "Diantar
Pov Alina Setelah dari pemakaman kami duduk di kursi taman. Bernaung di bawah pohon dengan pemandangan rumput hijau. Bang Rasya menceritakan semuanya dengan raut kacau. Baru kali ini aku melihat lelaki menangis sampai berlinang-linang air mata. Bang Rasya menggenggam tanganku. Sikutnya bertumpu pada paha. Aku terpejam. Membaca semua rasa yang bergejolak di dada. Hatiku kini serupa rumah yang memiliki dua ruang. Ruang pertama diisi oleh rasa kasihan. Miris mendengar kisah cinta nan pilu itu. Kehilangan pasangan yang masih dalam nuansa berbulan madu. Apa lagi dia dalam kondisi hamil. Pantas Bang Rasya sampai depresi. Ruang kedua dadaku bergejolak. Panas karena cemburu. Aku baru tahu kalau ternyata ada wanita yang kian dalam mengisi hatinya. Aku cemburu karena sadar aku tidak memiliki cintanya. Cinta Bang Rasya hanya untuk orang yang jauh di sana. Bahkan perhatiannya timbul karena bentuk peluapan kekecewaannya pada diri sendiri. Dua perasaan itu membentuk sedih, sedih yang berbeda. E
Kami melanjutkan perjalanan melewati masjid besar yang berkubah hitam. Aku masih ingat pemberitaan tsunami Aceh di layar kaca. Dari lahan yang berhektar-hektar, hanya masjid ini yang berdiri tegak. Aku terpana melihat bangunan megah itu. Luar biasa indahnya. Kami tidak berhenti di sana, malah terus lanjut melaju jauh menjauhi kota. Mobil pun sudah tidak pelan, melainkan dalam kecepatan tinggi. Setelah jarak yang cukup jauh dilewati. Bang Rasya berhenti di sebuah rumah dua lantai yang cukup besar. Dia langsung turun dan berputar membukakan pintu. "Jom, Dik. Kita masuk dulu." "Ini apa?" "Rumah Abang yang lama." Apa papan pengumuman di depan rumah itu. 'Yayasan panti asuhan dan dhuafa. Aisha Umar.' "Ini jadi ...." "Jadi panti asuhan. Setelah tsunami Abang dan Umma langsung pindah ke Malaysia. Rumah lama kami jadikan panti asuhan. Agar ada pahala mengalir untuk Aba dan Aisha serta keluarganya. Jom!" Bang Rasya menggenggam tanganku. Memasuki rumah besar ini. Banyak anak-anak berla