Pov Teuku Arasya Agustus 2004. Aku kembali menginjakkan kaki di Aceh, setelah dua tahun mengejar study di Amerika. Aba adalah seorang pebisnis yang perusahaannya bercecer di Malaysia dan Indonesia. Aku tidak perlu pusing menentukan masa depan. Sudah pasti ujung-ujungnya akan duduk di belakang meja kebesaran Aba. "Apa rencana selanjutnya, Rasya? Apa kamu siap handel satu perusahaan sendiri?" Aba berkata santai. Pria berwibawa itu menghentikan suapannya. Saat ini kami sedang merayakan kepulanganku dengan makan malam keluarga di salah satu restoran. Aku tersenyum. Melihat pada lilin yang berada di tengah meja kami. "Bila Aba percaya, Rasya tak masalah." "Lulusan Harvard mana mungkin Aba tak percaya. Kau handel lah yang di Malaysia. Aba sudah lelah ke sana-kemari terus." Aba mengusap bibirnya dengan sapu tangan. "Menurut Umma sebaiknya menikah dulu. Dari pada awak simpan syahwat pada wanita." Umma memang selalu mengerti apa yang bujangnya butuhkan ini. Dua tahun di Amerika, berbaur
Kebahagiaan bermadu kasih hanya berlangsung selama satu minggu. Setelahnya aku harus berangkat ke Malaysia sesuai janji pada Aba yang mengharuskanku meng-handel perusahaan yang ada di sana. "Terus kapan kita akan menghabiskan waktu lama begini?" Dia meruncingkan bibir. "Nanti bila Abang tak sibuk dan bisa ambil libur." "Kapan?" "Tahun baru. Mungkin Abang bisa berlibur seminggu." "Janji!" Dia menunjukkan kelingking. "Janji." Aku menautkan kelingking kami. Setelahnya kami hanya bisa melepas rindu lewat ponsel cerdas pada jaman itu. Lalu bertemu seminggu sekali atau kadang dua minggu. Sungguh tersiksa pengantin baru harus LDR. Aisha gadis periang. Benar-benar sosok istri yang kuharapkan. Pernah satu ketika kami menghabiskan malam yang indah. Lalu paginya dia sudah berbusana cantik hendak kuliah. Namun karena gemas aku menahannya. Menguncinya di dinding setengah memaksa. "Abang ni. Orang aku mau kuliah juga." Dia mengomel sambil lari ke kamar mandi. "Nanti Abang antar." "Diantar
Pov Alina Setelah dari pemakaman kami duduk di kursi taman. Bernaung di bawah pohon dengan pemandangan rumput hijau. Bang Rasya menceritakan semuanya dengan raut kacau. Baru kali ini aku melihat lelaki menangis sampai berlinang-linang air mata. Bang Rasya menggenggam tanganku. Sikutnya bertumpu pada paha. Aku terpejam. Membaca semua rasa yang bergejolak di dada. Hatiku kini serupa rumah yang memiliki dua ruang. Ruang pertama diisi oleh rasa kasihan. Miris mendengar kisah cinta nan pilu itu. Kehilangan pasangan yang masih dalam nuansa berbulan madu. Apa lagi dia dalam kondisi hamil. Pantas Bang Rasya sampai depresi. Ruang kedua dadaku bergejolak. Panas karena cemburu. Aku baru tahu kalau ternyata ada wanita yang kian dalam mengisi hatinya. Aku cemburu karena sadar aku tidak memiliki cintanya. Cinta Bang Rasya hanya untuk orang yang jauh di sana. Bahkan perhatiannya timbul karena bentuk peluapan kekecewaannya pada diri sendiri. Dua perasaan itu membentuk sedih, sedih yang berbeda. E
Kami melanjutkan perjalanan melewati masjid besar yang berkubah hitam. Aku masih ingat pemberitaan tsunami Aceh di layar kaca. Dari lahan yang berhektar-hektar, hanya masjid ini yang berdiri tegak. Aku terpana melihat bangunan megah itu. Luar biasa indahnya. Kami tidak berhenti di sana, malah terus lanjut melaju jauh menjauhi kota. Mobil pun sudah tidak pelan, melainkan dalam kecepatan tinggi. Setelah jarak yang cukup jauh dilewati. Bang Rasya berhenti di sebuah rumah dua lantai yang cukup besar. Dia langsung turun dan berputar membukakan pintu. "Jom, Dik. Kita masuk dulu." "Ini apa?" "Rumah Abang yang lama." Apa papan pengumuman di depan rumah itu. 'Yayasan panti asuhan dan dhuafa. Aisha Umar.' "Ini jadi ...." "Jadi panti asuhan. Setelah tsunami Abang dan Umma langsung pindah ke Malaysia. Rumah lama kami jadikan panti asuhan. Agar ada pahala mengalir untuk Aba dan Aisha serta keluarganya. Jom!" Bang Rasya menggenggam tanganku. Memasuki rumah besar ini. Banyak anak-anak berla
Pernah memiliki suami yang berzina dengan orang lain itu sakit rasanya. Aku sering bertanya, apa yang salah? Kenapa sampai begitu? Sebelah mana yang kurang? Kok bisa sampai melakukan dosa padahal yang halal ada. Kata Bang Rasya itu terjadi karena orangnya saja yang brengsek, akan tetapi bagiku itu tetaplah pembelajaran. Sebagai seorang istri aku harus berusaha maksimal dalam melayani, selepas dari itu terserah takdir membawa ke mana. "Terima kasih, Comel." Bang Rasya mencium kening dan aku memeluknya semakin erat. Dering ponsel berbunyi di samping tempat tidur. Bang Rasya meraihnya dengan tangan kiri dan segera mengangkat. "Hello, Aldo." "Awak email saja nanti saya cek." "Oke ... oke ... it's oke no problem." "Ada kerja." Bang Rasya beringsut dan langsung ke kamar mandi. Setelah bersih dia memakai pakaian dan sibuk di depan laptopnya. Sampai malam larut dia tak beranjak lagi. Esok paginya kami langsung berbenah. Bang Rasya bilang kalau kerjaan di kantornya sudah menumpuk. Renc
Rumah ini mungkin luasnya dua kali lapangan bola, alias satu hektar. Dari gerbang utama ke pintu kemudian ke taman belakang itu panjang sekali. Rumah memiliki tiga bangunan. Tengah, samping kanan dan samping kiri. Entah mengapa Abang punya rumah sebesar ini. Kamar pun banyak yang tidak terisi. "Iki ...." Aku berlari menghampiri anak lelaki yang sedang main loncat-loncat itu. Baby sitter duduk tak jauh darinya. Aku langsung bermain dengan Zikri melepas kerinduan sampai cukup lama. Sulastri berjalan ke sini. "Nyonya muda, dipanggil Tuan Muda." "Apa-apaan sih kamu, Lastri." Aku tersenyum geli. Bisa saja dia. "Sekarang kan sudah jadi nyonya rumah ini." "Sama saja. Di mana dia?" "Di kamar. Ahay." Sulastri mengedipkan sebelah mata. "Dasar ya kamu." Aku segera menemui Abang dengan menggendong Zikri. Menuju kamar di lantai dua sebelah kanan. Aku sering beres-beres rumah, tapi tidak tahu seperti apa kamar Abang. Aku mengetuk pintu dengan perasaan aneh. Sepertinya darah TKW sudah mend
Pulang Kampung 30 Bang Rasya terpejam lelap. Napasnya teratur, dada naik turun. Lelah mungkin, tiga hari kami banyak menghabiskan waktu di jalan. Dari kampung-ke Aceh-ke Malaysia. Apa lagi semalam dia kerja sampai larut. Aku menutup pintu kamar dengan pelan. Berdiri di balkon sambil memainkan ponsel. Baru ingat, aku belum mengabari ibu dan bapak di kampung. Mana kami berpisah dalam keadaan kacau pula. Aku menekan panggilan keluar. Menyatukan ponsel dengan telinga. Beberapa detik menunggu. Lalu suara bapak pun terdengar. "Lina?" "Ya, Pak. Lina sudah sampai Malaysia." "Alhamdulillah." "Bagaimana bapak ibu di kampung? Shena tidak cari gara-gara lagi kan?" Bapak terdengar menghela napas. Lalu suara ibu juga terdengar tapi tak jelas bicara apa. "Lina," ucap suara Ibu. "Ya, Bu." "Ibu dan bapak malu sekarang buat keluar rumah. Muka sudah seperti dilulur tai kebo. Shena memalukan, benar-benar memalukan," keluh ibu. "Kenapa lagi dia, Bu?" Aku hanya menggeleng miris ketika ibu berc
Paginya, Suamiku berdandan rapi. Penampilan ini yang aku sukai. Dia memakai kemeja yang pas di badan. Lalu memasang dasi. "Bisa, tak, Adik pakaikan." Aku coba membuat simpul, seperti dulu waktu sekolah. "Bukan begitu, Comel." "Dulu waktu saya sekolah begini kok." "Bukan." Dia melihat cermin dan memakai dasinya sendiri. "Hari ini Abang tugaskan awak belajar simpul dasi. Understand?" "Siap." Setelah memasang dasi, Bang Rasya memakai rompi. Mengambil jas dan menenteng tas. Dia memberikan dua benda itu lalu kami turun. Sarapan beberapa suap saja. Lalu beranjak ke depan rumah. Dia meminta dipakaikan jas. Segera kupakaikan dan memastikannya rapi. "Baik-baik di rumah, Comel. Bila nak pergi awak minta bantu Satria. Dia belum punya lesen jadi awak naik taxi je, but harus dengan penjaga awak. Oke?" Abang mencium kening. "Oke, Abang." Pria keren ini masuk ke mobil dua pintu. Mesinnya menyala, lalu atapnya terbuka. Bang Rasya memakai kacamata hitam. "Assalamualaikum." Mobil keren itu m